Ilustrasi: PxHere
Keseharian yang Terenggut
KEHIDUPAN sehari-hari, yang sering kita anggap sebagai rutinitas yang tak terhindarkan dan tak terelakkan, ternyata tidak sesederhana itu. Di balik aktivitas yang tampaknya biasa—bangun pagi, bekerja, berbelanja, bersosialisasi, hingga tidur—tersembunyi sebuah proses yang lebih besar: kita sedang menghidangkan diri kita pada kapitalisme. Menghidangkan diri pada jamuan kapitalisme bukan sekadar tentang konsumsi barang atau jasa; ini adalah tentang penyerahan diri terhadap suatu sistem yang tidak hanya mengatur ekonomi, tetapi juga membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.
Dalam kehidupan modern, kita seolah dihadapkan pada meja jamuan yang tak bisa kita hindari, di mana pilihan kita, meskipun tampak bebas, sesungguhnya telah diatur oleh struktur yang lebih besar—sistem pasar yang berusaha membentuk setiap detik kehidupan kita. Setiap aspek, mulai dari produk yang kita konsumsi hingga cara kita memandang waktu dan hubungan sosial, adalah bagian dari “menu” kapitalisme yang kita terima tanpa kesadaran penuh, tetapi secara terus-menerus kita nikmati.
Sebagaimana Lefebvre jelaskan dalam Everyday Life in the Modern World (1971), kehidupan sehari-hari bukanlah sekadar rutinitas pribadi, melainkan arena di mana kapitalisme beroperasi. Kita sering kali tidak menyadari bahwa dalam perjuangan kita untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita sebenarnya berperan sebagai “pejuang garis depan” dalam sistem kapitalisme. Jika kita tidak menyadari hal ini, kita akan terus menjadi penyokong utama dari dunia yang terus dipertahankan oleh sistem tersebut. Kesadaran akan hal ini adalah langkah pertama yang sangat penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan terjebak dalam logika konsumsi yang mengatur setiap aspek kehidupan kita, dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Kita seolah-olah memilih hidup kita sendiri padahal tidak. Kapitalisme telah memilihkannya untuk kita. Waktu kita telah dibagi menjadi jam kerja dan waktu luang yang keduanya dimanfaatkan oleh pasar. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, yang kemudian uang itu kita belanjakan untuk membeli produk yang diiklankan oleh kapitalisme. Keputusan yang kita buat, mulai dari makanan, pakaian, hingga hiburan, sering kali bukanlah pilihan bebas, melainkan pilihan yang dipengaruhi oleh pasar dan ideologi konsumsi. Di era digital, pengaruh kapitalisme semakin diperkuat oleh algoritma yang tersembunyi di balik platform sosial media. Algoritma ini mengumpulkan data perilaku kita, lalu menggunakannya untuk memprediksi dan membentuk keinginan kita, menjebak kita dalam siklus konsumsi yang terus-menerus tanpa henti.
Dari pagi hingga malam, kita terus berkelindan dengan kapitalisme. Misalnya, saat memulai hari dengan menyeruput kopi dari merek tertentu, kita mungkin tidak hanya menikmati rasa kopi itu, tetapi juga menikmati status yang terbangun di sekitarnya. Merek kopi yang kita pilih bukan sekadar produk, tetapi sebuah simbol status yang dibentuk oleh kapitalisme. Kita terjebak dalam jaring konsumsi yang lebih besar, di mana setiap pilihan kita didorong oleh sistem pasar. Tidak hanya dalam pemilihan produk, tetapi juga dalam ritme hidup kita yang dikendalikan oleh jadwal kerja yang ditentukan oleh pasar. Waktu kita, yang seharusnya menjadi milik pribadi, kini menjadi komoditas yang diperdagangkan dan dikelola oleh sistem ekonomi global.
Begitu pula ketika kita pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Waktu luang yang kita anggap sebagai hak untuk beristirahat seringkali dipenuhi oleh hiburan-hiburan yang diproduksi oleh kapitalisme. Menonton acara televisi, menggunakan media sosial, atau berbelanja daring adalah contoh bagaimana kapitalisme berhasil menyusupi ruang privat kita. Apa yang kita konsumsi dalam waktu luang kita, meskipun tampaknya sebagai pilihan bebas, sering kali dipengaruhi oleh tekanan pasar yang mendorong kita untuk terus-menerus membeli dan mengonsumsi produk-produk tertentu. Dalam kenyataannya, kapitalisme terus berusaha mengisi ruang pribadi kita dengan kebutuhan-kebutuhan yang direkayasa.
Malam hari, ketika bersiap untuk tidur, kita mungkin merenung tentang hari yang telah kita lalui, tetapi banyak dari kita juga terperangkap dalam kecemasan yang dipicu oleh tuntutan kapitalisme. Pekerjaan yang belum selesai, utang yang harus dilunasi, atau standar hidup yang harus dipenuhi menjadi beban yang terus mengganggu pikiran kita. Tidur, yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat, sering kali menjadi semacam recharge untuk mempersiapkan kita menghadapi hari berikutnya dalam putaran kapitalisme yang tak berujung. Dalam kondisi yang paling pribadi sekalipun, kita bahkan tidak benar-benar bisa lepas dari pengaruh kapitalisme yang mengatur bagaimana kita menjalani hidup, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri.
Kendaraan Kapitalisme
Kapitalisme tidak beroperasi seperti sihir yang langsung masuk ke dalam kepala kita. Ia merupakan hasil perjalanan panjang yang dimulai lebih dari dua setengah abad yang lalu, ketika Adam Smith pertama kali memperkenalkan konsep invisible hand dalam bukunya Wealth of Nations (1776). Sejak saat itu, kapitalisme terus berkembang, belajar, dan menyesuaikan diri dengan zaman. Bahkan meskipun Marx meramalkan kehancurannya dalam Das Kapital (1867), kapitalisme tetap menunjukkan ketahanan dan kemampuannya untuk beradaptasi. Di era digital ini, kapitalisme telah mencapai bentuk yang lebih sulit dikenali, begitu membaur dengan kehidupan kita. Kapitalisme tidak lagi terlihat sebagai musuh yang harus dihancurkan; ia sudah menjadi bagian dari kehidupan kita yang tak terpisahkan, seperti borok yang kita benci namun tak bisa kita lepaskan.
Kendaraan paling penting dan utama dari kapitalisme adalah keinginan manusia. Meski terdengar klise dan filosofis, keinginan ini adalah fondasi dari segala yang kita lakukan, dorongan yang mendorong manusia untuk terus mengubah dunia. Keinginan dalam kapitalisme bukan sekadar soal kebutuhan dasar seperti makan, berpakaian, atau berteduh. Keinginan kapitalis jauh lebih kompleks dan telah diperhalus sedemikian rupa, mencakup emosi, identitas, dan status sosial. Kapitalisme tidak hanya berusaha memenuhi apa yang kita butuhkan, tetapi juga membentuk dan memperluas kebutuhan kita, menciptakan hal-hal yang kita rasa harus kita miliki atau lakukan untuk mencapai kepuasan atau rasa “lengkap”. Dalam dunia kapitalis, kita tidak hanya membeli barang atau jasa, tetapi juga membeli citra diri, rasa diterima, dan status sosial yang terkait dengan konsumsi tersebut.
Dari keinginan yang telah dibentuk ini, kapitalisme menemukan kendaraan kedua yang lebih kompleks dan berbahaya: waktu. Waktu dalam kapitalisme bukanlah entitas netral; ia telah dikomodifikasi menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Kita semua terbatas oleh waktu—hanya 24 jam dalam sehari—dan dalam jangka waktu itu kita harus bisa memenuhi semua keinginan. Kapitalisme, dengan cerdiknya, memanfaatkan waktu yang terbatas ini untuk memperkuat siklus konsumsi. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, yang kemudian kita tukar untuk produk dan layanan yang memperbaharui keinginan kita, yang seolah tidak pernah habis. Waktu yang seharusnya menjadi ruang pribadi kita, kini diatur oleh pasar. Bahkan dalam waktu senggang sekalipun, kita tidak pernah benar-benar bebas dari tuntutan kapitalisme; kita harus berlibur ke gunung atau ke pantai, kita harus menginap di villa atau hotel, atau bahkan di rumah sekalipun kita sedang mempertimbangkan konsumsi lainnya.
Dan di sinilah iklan dan media massa memainkan peran yang sangat penting. Iklan menjadi alat yang sangat efisien untuk meretas kecemasan dan kebosanan kita lalu menawarkan solusi dalam bentuk konsumsi. Iklan adalah bahasa kapitalisme yang berbicara langsung ke dalam pikiran kita, menciptakan rasa kekurangan dan memprogramkan keinginan kita. Melalui iklan, kapitalisme tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga gaya hidup, status, dan identitas yang bisa kita dapatkan jika kita membeli dan mengonsumsi barang atau jasa. Bersama dengan media yang kini hadir di ujung jari kita—dari televisi hingga ponsel pintar—kapitalisme semakin masuk ke dalam ruang privat kita. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi lebih dari itu, media membentuk realitas sosial kita. Media memberi tahu kita apa yang seharusnya kita miliki, kenakan, atau capai untuk bisa diterima, dihargai, dan dianggap berhasil dalam masyarakat.
Pada titik tertentu, kapitalisme mulai mengaburkan batas antara apa yang kita pilih dan apa yang sebenarnya telah dipilihkan untuk kita. Media dan iklan bekerja begitu efisien, tak hanya mengisi waktu luang kita, tetapi juga membentuk cara kita memandang dunia dan diri kita sendiri. Tidak ada lagi garis tegas antara keinginan yang lahir dari dalam diri dan keinginan yang disemai oleh kapitalisme. Kita hidup dalam dunia yang secara terus-menerus dipenuhi dengan “pilihan”, namun pilihan itu sering kali hanyalah ilusi, yang telah ditata dan dipandu oleh pasar. Dalam dunia kapitalis, kita selalu merasa bahwa kita memilih, padahal yang kita lakukan hanyalah mengikuti jejak-jejak yang sudah ditentukan sebelumnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Membebaskan Diri dari Kapitalisme
Orang dengan pikiran kritis sering kali menghadapi dilema kebahagiaan. Mereka terperangkap dalam rasa curiga dan ketakutan, selalu bertanya-tanya apakah pilihan-pilihan mereka tidak secara tidak sadar memperkuat cengkeraman penguasa. Memang, kecenderungan ini ada benarnya. Namun, salah satu tanda sejati dari kebebasan dalam memilih adalah kesadaran bahwa segala sesuatunya sedang dipilihkan. Kekuatan manusia yang paling besar, selain keinginan, adalah kemampuannya untuk berpikir, untuk menalar, dan untuk memproses realitas yang sedang dihadapinya. Pikiran inilah yang harus dipelihara, karena melalui pemahaman dan kesadaran akan ketidakberesan ini, kita bisa mulai melahirkan resistensi terhadap kepalsuan dan stagnasi yang dibangun oleh sistem.
Namun, memupuk kesadaran ini bukanlah hal yang mudah. Pikiran manusia perlu dibangunkan, disadarkan, dan diarahkan untuk melihat realitas dengan cara yang berbeda. Michel de Certeau dalam The Practice of Everyday Life (1980) mengusulkan bahwa meskipun kehidupan kita sudah direnggut oleh kapitalisme, kita tetap bisa melawan melalui tindakan-tindakan kecil dalam keseharian kita. Tidak perlu menunggu perlawanan besar untuk melawan kekuatan yang besar; justru, dalam setiap momen kecil kita, terdapat ruang untuk melakukan perlawanan. De Certeau menyebutnya sebagai taktik—strategi mikro yang berusaha menyelinap melalui celah-celah kekuasaan yang lebih besar.
Contohnya, ketika Theodor Adorno mengkritik musik pop yang mengikuti formula pasar, kita bisa melawan dengan memilih untuk mendengarkan musik yang lebih kompleks, seperti musik klasik atau karya-karya independen. Kita bisa berjalan di gang-gang kecil kota kita tanpa melewati jalanan yang penuh dengan iklan di gedung dan bus-bus umum. Pilihan ini bukan hanya soal selera, tetapi tentang menentang formula kapitalisme yang mencoba mendiktekan apa yang “harus” kita lakukan.
Begitu juga dengan dunia seni yang sering terjebak dalam logika pasar dan manipulasi institusional. Sebagaimana Pierre Bourdieu menunjukkan, seni telah dilepaskan dari logika ekonomi, tetapi seringkali terjebak dalam ‘komedi’ ketika nilai simboliknya bergantung pada strategi pemasaran. Tentu kita masih ingat bagaimana fenomena lukisan pisang yang dilakban di tembok dan terjual dengan harga fantastis, yaitu $6,2 miliar. Karya seni ini jelas tidak lebih dari sebuah gagasan yang dijual dengan harga yang tidak masuk akal, murni karena hype dan kapitalisasi di baliknya. Untuk membebaskan diri dari cengkraman kapitalisme dalam seni, kita bisa memilih untuk menikmati karya-karya seni dengan mengunjungi galeri kecil, menikmati lukisan jalanan, atau mendukung seniman independen yang menciptakan karya tanpa terjebak dalam hype dan kapitalisasi.
Di era digital, kapitalisme telah menguasai banyak aspek hidup kita. Namun, kita bisa menggunakan alat yang sama yang dimiliki oleh sistem ini untuk membangun media alternatif. Gerakan belanja ke warung tetangga sudah lama bergaung di Indonesia meskipun hilang dalam ingatan kita. Gerakan lainnya, misalnya, kita membeli barang bekas atau mencoba menahan tidak membeli pakaian di hari raya juga contoh nyata dari resistensi terhadap konsumsi massal. Kita bisa menggugat narasi yang sering diproduksi oleh media mainstream melalui kanal-kanal alternatif di YouTube, Reels, atau TikTok. Di sini, media bukan lagi menjadi alat kapitalisme untuk mengontrol kita, tetapi menjadi sarana untuk menawarkan ruang bagi perspektif yang lebih bebas dan beragam.
Namun, meskipun gerakan-gerakan ini bisa memberikan sedikit ruang bernafas, kita harus sadar bahwa kapitalisme bukanlah sesuatu yang mudah ditumbangkan. Gerakan-gerakan ini, meskipun penting, tidak akan mengalahkan kapitalisme membentuk perilaku kita. Jadi kita biarkan gerakan ini kecil-kecil namun banyak, dan memang tidak perlu dibentuk sebuah kelompok baru. Karena jika gerakan semacam ini menang, lalu memiliki kekuasaan, kecenderungan kekuasaan untuk menguasai orang lain secara manipulatif akan terus berulang. Kita bisa mengingat Desa Macondo dalam novel 100 Years of Solitude karya Gabriel García Márquez, yang dibangun dengan semangat untuk membebaskan diri dari mitos tradisional, kemudian ia tetap jatuh ke dalam mitos modern; pemerintah, politisi, militer, dan logika ekonomi.
Pada akhirnya, kebebasan yang sesungguhnya tidak akan datang begitu saja melalui perlawanan terhadap kapitalisme atau sistem yang lebih besar. Kebebasan sejati terjadi ketika seseorang menyadari bahwa dirinya tidak benar-benar memiliki kebebasan. Karena pada titik itulah, kesadaran akan ketidakbebasan membuka jalan untuk refleksi lebih dalam, dan hanya melalui pemahaman ini kita bisa mulai mengambil langkah kecil, untuk hidup dengan cara yang lebih otentik; berjalan di tempat-tempat asing, memakan makanan lokal, menikmati waktu luang bersama keluarga, tertawa pada lelucon garing kawan kita, atau menonton akun TikTok yang mengajarkan kita sebuah perlawanan.
Daftar Bacaan
Adorno, T. W. (1991). The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. Routledge.
Bourdieu, P. (1993). The Field of Cultural Production. Columbia University Press.
De Certeau, M. (1984). The Practice of Everyday Life. University of California Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Lefebvre, H. (2017). Everyday life in the modern world (S. Rabinovitch, Trans.). Routledge. (Original work published 1971)
Marx, K. (1867). Capital: A Critique of Political Economy. Penguin Classics.
Postman, N. (1985). Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Penguin Books.
Smith, A. (1776). The Wealth of Nations. Methuen & Co.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.
Beberapa minggu ini, saya selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari dosen saya, Doç. Dr. Mert Gürer dari Kocaeli University, Türkiye. Pertanyaan ini muncul karena berulang-ulang kami mendiskusikan tradisi kritis dalam perkuliahan, dan menemukan kehidupan yang tidak otentik lagi. Saya tahu, pertanyaan tersebut ia ajukan secara retoris, dan bukan pula sesuatu yang baru: “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa kita tidak memiliki kebebasan di dunia modern ini, sedangkan kita bisa memilih untuk update story apapun dengan leluasa; kita juga menonton apapun dengan leluasa, kita juga bisa mengakses semua media atau memilih tidak mengakses apapun dengan penuh kebebasan dan kesadaran?”
Saya mencoba menjelaskannya dengan seksama, tetapi karena perkuliahan menggunakan bahasa Turki, dan menjelaskan dalam bahasa yang baru saya pelajari selama empat bulan ini sangat melelahkan. Maka, saya menulis artikel ini sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan cara yang lebih jelas dan terstruktur. Jawaban dari pertanyaan tersebut juga tidak mudah dan tidak selayaknya diam di ruang sepi, tapi bisa menjadi obrolan bersama betapa kebebasan kita untuk hidup sehari-hari pun telah direnggut.
Fathul Qorib adalah dosen jurnalistik di Universitas Tribhuwana Tungga Dewi. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Kocaeli, Turki.