Foto: Amir Sjarifoeddin membacakan hasil Perjanjian Renville, 7 Desember 1947 / ANTARA
Judul buku: Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948
Penulis: Rudolf Mrázek
Penerbit: Cornell University Press
Tahun terbit: 2024
Tebal: 414 halaman
MESKIPUN tidak diajarkan di sekolah, banyak orang Indonesia telah hafal garis besar riwayat hidup Amir Sjarifoeddin. Itu dapat diingatkan dalam satu kalimat panjang: Ia lahir 1907 di keluarga Batak yang terhormat (Harahap dari ayah, Siregar lewat ibu), menjalani pendidikan sekolah menengah di Belanda, pemeluk Kristen, mengalami politisasi di Sekolah Hukum Batavia sebelum Perang Dunia Kedua, aktif di gerakan anti-fasis awal zaman Jepang (yang menyatukan nasionalis kiri dengan sejumlah figur Belanda), dipenjara tentara Jepang, keluar tahun 1945 dalam suasana revolusi, menjadi menteri di sejumlah kabinet (informasi, pertahanan, sampai perdana menteri), kalah secara politik akibat sikap kompromi yang tidak populer dengan Belanda, diidentifikasi secara terbuka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dalam pusaran Peristiwa Madiun 1948, melarikan diri ke pegunungan Jawa Timur, sampai akhirnya mati dieksekusi tentara Republik.
Lewat buku yang terbit tahun lalu berjudul Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948, Rudolf Mrazek membuat Amir “hidup” kembali, dengan “senyumannya yang sedikit menyindir.” Dalam menyusun buku ini ia banyak menggali arsip baik dalam bahasa Prancis, Inggris, Belanda, dan Indonesia. Sayangnya tulisan pribadi Amir sendiri hampir tak ada yang selamat, dimusnahkan keluarga setelah 1965.
Tujuan Mrazek lebih besar daripada sekadar membuat biografi. Ia ingin menulis tentang “pahlawan” dalam segala macam revolusi (yang menurutnya selalu gagal). Ia tanamkan emosi pribadinya dalam menarasikan Amir. Berulang kali ia membandingkan Amir dengan tokoh komunis di negeri kelahirannya, Cekoslowakia, terutama Vladimir Clementis, yang juga dihukum mati oleh sebangsanya tahun 1952 karena dituduh menganut titoisme (Tito adalah pemimpin Cekoslowakia yang berusaha menjaga kemandirian negerinya dari Stalin. Pada April 1948, sebelum Peristiwa Madiun dan sebelum Tito sendiri mengalami kerusakan moral, Amir menamakan anak bungsunya Tito Batara – ‘Tito yang Ilahi’, hal. 195).
Mrazek membuka bukunya dengan sesuatu yang sudah berupaya dilakukan berkali-kali di Indonesia tapi belum ada satu pun yang berhasil: revolusi. Katanya:
Revolusi adalah sebuah upaya perubahan sosial radikal dalam langkah besar. Dramawan Bertolt Brecht menulis, “Untuk mencapai tujuan besar, perubahan besar dibutuhkan. Perubahan kecil adalah musuh perubahan besar.” Revolusi juga merupakan sebuah gambaran, sebuah ingatan, dan sebuah inspirasi, sedangkan revolusi sendiri rupanya telah tiada lagi. Dalam ideologi yang dominan sekarang, kaum revolusioner adalah orang jahat, teroris paling buruk, pengganggu paling baik. Di dalam fakultas akademis yang revisionis, penelitian tentang revolusi telah menjadi latihan “estetika penghilangan” (aesthetics of disappearance) (hal. ix, terjemahan saya sendiri).
Dari paragraf itu saya akan membuat dua pertanyaan, untuk kemudian dikembangkan menjadi isi ulasan ini. Pertanyaan pertama: Siapa itu sebenarnya kaum revolusioner, pahlawan, kesatria, hero? Saya tidak tahu istilah mana yang paling tepat, pokoknya orang yang mengabdi sambil menderita demi perubahan besar yang baik. Pertanyaan kedua: Bagaimana kita dapat menulis tentang kepahlawanan sekarang ini?
Siapa itu pahlawan?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Daftar “pahlawan nasional” pun belum tentu mendefinisikannya. Ada pahlawan sungguhan, ada yang gelarnya dibeli keluarga.
Puluhan tahun lalu Mrazek pernah merasa menemukan pahlawan yang sebenarnya dalam sejarah Indonesia. Namanya Sjahrir. Belakangan ia mengaku kepada saya bahwa ia menulis buku Amir sekadar menebus dosa karena telah menulis buku tentang Sjahrir. Dengan humor yang khas, ia selipkan catatan berikut ke dalam buku Amir (hal. 177):
Trotsky kini barang kali akan berkata tentang Sjahrir apa yang pernah ia katakan tentang orang Amerika yang sosialis Morris Hillquit, secara kasar sekali, bahwa ia adalah “juru bicara sosialis yang ideal untuk seorang dokter gigi yang sukses.”
Mrazek memilih menulis tentang “pahlawan yang mungkin” – possible heroes. Ungkapan “possible hero” mula-mula muncul dalam judul buku yang dipilih Mrazek sendiri: Possible Heroes – Concrete Utopias: Amir Sjarifoeddin and the Demise of Revolution in Indonesia. Cornell University Press kemudian menyederhanakannya hingga menjadi Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948. Possible hero adalah frasa Walter Benjamin, filsuf Jerman yang banyak memengaruhi pemikiran Mrazek (dan Ben Anderson, dan banyak yang lain). Mrazek menulis (hal. ix):
Tampaknya revolusi sedunia pada abad ke-20 tidak pernah berpeluang menang. Walter Benjamin, pada awal abad, mencatat bahwa para tokoh kesatria dramawan Shakespeare serta Calderon cenderung “masuk panggung sambil lari.” Buat Benjamin, dan buat buku ini, kaum revolusioner adalah pahlawan yang mungkin; kegagalan mereka tak terhindarkan.
Selanjutnya Mrazek memperkenalkan konsep kunci yang lain, yang juga disebut dalam judul buku versi asli. Utopia Nyata, Concrete Utopias. Ia melanjutkan (hal. ix):
Namun mereka bertujuan mencapai utopia nyata. Menurut gagasan Ernst Bloch, sahabat Benjamin, utopia nyata adalah ruangan yang mungkin tak akan tercapai. Tetapi sambil menuju ke sana, kaum revolusioner belajar siapa dirinya dan belajar apa itu dunia.
Istilah “utopia nyata” dipakai oleh Bloch ketika menulis tentang Karl Marx. Bloch adalah juga filsuf Jerman. Marxis. Ia berhasil lolos dari Nazi, dan di dalam berbagai perpustakaan umum di Amerika ia menulis bukunya yang termasyur: The Principle of Hope, 1959. Banyak orang pernah menulis tentang utopia, kata Bloch. Kebanyakan menuliskan keinginannya lalu mengandaikan itu akan menjadi kenyataan dengan sendirinya. Marx berbeda. Walaupun idamannya jarang digambarkan dengan warna jelas, ia memikirkannya secara realistis. Utopianya bersifat nyata, dapat dicapai lewat politik nyata. Untuk pemikir utopis nyata, kebenaran bukanlah sesuatu yang berada untuk dirinya, melainkan mengandung makna emansipatoris.
Jadi, siapa itu pahlawan? Mrazek menjawab: sosok eksistensial. Pahlawan hanya dapat dipahami lewat filsafat eksistensialisme, yaitu gagasan bahwa makna kehidupan dapat ditemukan dalam pendiriannya sebagai individu. Seseorang harus hidup secara benar meskipun dunia di luar tampak absurd. Saya kerap menemukan nama filsuf eksistensialis yang kurang familier dalam buku ini. Menurut Prakata (hal. xii):
Saya berharap buku ini akan dibaca oleh orang yang merasa bahwa dunia kita terluka, bahwa kesengsaraan di dunia bertambah, dan bahwa perubahan besar dibutuhkan tetapi sedang gagal. Saya berharap telah berhasil meyakinkan pembaca bahwa Jean-Luc Nancy, Emmanuel Levinas, atau Søren Kierkegaard, tanpa menyebut Walter Benjamin, adalah bagian dari sejarah Indonesia, dan dari sejarah revolusi, sama baiknya dengan Sjahrir, Sukarno, Tan Malaka, dan Amir Sjarifoeddin. Atau, sama baiknya dengan kita sendiri.
Pandangan eksistensial atas riwayat hidup Amir memberikan warna khas kepada biografi ini.
- Gambar memainkan peran penting. Ada gambar pahlawan dalam buku pelajaran sekolah dasar yang dikirim dari Belanda untuk dibaca anak Indonesia: Kristofer Kolumbus, Hernán Cortés, Karel V, Ignatius Loyola, Willem Sang Pendiam, PP Coen (hal. 9). Ada gambar teknis Sukarno bagi jembatan baru yang dipamerkan di dinding Technische Hoogeschool di Bandung (hal. 44). Ada gambar di dinding penjara Jepang di Surabaya. Seorang awak kapal Bugis yang berbagi sel dengan Amir menggores gambar perahu pinisinya di tembok, berulang kali, hingga akhirnya berhenti menggores sebab sudah terlalu putus asa (hal. 124).
- Agama banyak dibicarakan. Sejarawan lain mungkin menghindari tema ini, malu karena seorang nasionalis kiri ternyata menganut agama kaum penjajah. Mrazek tidak. Ia memandang sejarah dengan mata Walter Benjamin, seorang Yahudi. Dia kabur karena diincar Nazi, tapi tertangkap dan lalu memilih bunuh diri. Tidak lama sebelum itu, ia menulis tentang Angelus Novus, ‘Malaikat Baru’, sebuah lukisan karya Paul Klee yang ia miliki. Benjamin memandang figur bersayap ini sebagai Malaikat Sejarah yang menoleh ke belakang, menatap musibah demi musibah di masa lalu. Tapi pada saat yang sama sayapnya terisi angin dari Firdaus yang meniupkannya ke masa depan. Visi Benjamin tentang sejarah menggabungkan realisme dengan kepercayaan yang gila-gilaan, yang tidak rasional. Seseorang menulis tentang Benjamin: “Kadang saya coba pegang kalimat Benjamin, bahwa ‘setiap saat dalam waktu adalah pintu kecil di mana Mesias bisa masuk’. Kira-kira begitu. Itu tidak berarti kau harus percaya pada sebuah peristiwa pseudo-mesianik; kau belum tentu harus percaya secara harfiah pada campur tangan ilahi, melainkan pada sebuah retakan tak terduga yang hampir memiliki ciri mesianik.” (Istilah mesias/mesianik di sini mengacu pada sang penyelamat yang akan datang menurut kepercayaan Yahudi, mirip dengan mahdi dalam keyakinan Islam).
Orang yang berpikir seperti itu pasti gagal. Seorang penulis lain, Robert Musil, dikutip demikian oleh Mrazek (hal. 321):
Barangkali dapat dikatakan bahwa, dalam segala revolusi yang telah berlangsung di dunia ini, pemikirlah yang nasibnya selalu paling buruk. Mereka selalu mulai dengan mengandaikan sebuah peradaban baru, mereka menyapu habis seluruh kemajuan yang hingga kini telah tercapai budi manusia seolah-olah adalah milik musuh, dan kemudian mereka ditimpa gejolak yang berikut sebelum mereka berhasil melewati puncak keberhasilan pendahulunya.
Bagaimana kita menulis tentang pahlawan?
Mrazek menutup bukunya dengan tiga bab mengenai peneliti lain yang telah menggambarkan Amir. Dugaan saya, ia ingin berkata bahwa tidak banyak di antaranya berhasil dengan baik. Maka, untuk pertanyaan kedua –apakah ada cara lain selain menamakannya “orang jahat, teroris paling buruk, pengganggu paling baik”– belum terjawab atau setidaknya tidak ada jawaban tunggal.
- Yang menang
Kelompok penulis pertama adalah kaum pemenang. Ernest Douwes Dekker, pada masa awal revolusi sudah merupakan negarawan senior, veteran pergerakan nasional, berkata (dikutip oleh Mrazek, hal. 260):
… kebencian antara kaum komunis dengan non-komunis melebihi kebencian antara Indonesia dengan Belanda. Dengan cara yang mengerikan, pembantaian menjadi hal yang biasa.
T.B. Simatupang, tentara intelektual yang waktu itu condong ke kiri, menulis dalam memoarnya (hal. 265):
Saat belajar di Akademi Militer, saya selalu mendengar bahwa perang saudara lebih banyak membangkitkan emosi dan kebencian yang mendalam daripada perang biasa. Kini kebenaran dari pelajaran itu telah mendarat.
Banyak buku yang ditulis oleh pemenang memiliki judul penuh peringatan, misalnya Bahaja Merah (Isa Anshary dkk), Peristiwa Madiun: Tragedi Nasional (H. A. Notosoetardjo), dan sejenis, terutama setelah 1965 (hal. 272).
Pandangan pemenang lain lebih bernuansa. Sukarno misalnya menulis bahwa Peristiwa Madiun merupakan revolusi sosial yang pecah terlalu dini sejumlah dasawarsa (hal. 275). Hatta tetap percaya dengan Barat. Walaupun selalu membantah telah menyetujui penghukuman kilat terhadap Amir, ia tidak pernah mengutuk eksekusinya. Amir adalah lawan politiknya yang paling berbobot. Namun, bagi Hatta pun, Amir tetap merupakan teka-teki. Hatta menyalahkan tentara karena telah menembak mati Amir tanpa proses peradilan (hal. 277).
“Kini,” tulis sejarawan Anthony Reid (hal. 278), “revolusi sosial ditunda tanpa batas waktu. Walaupun arah revolusi masih jauh dari selesai, namun telah ditarik ke kanan secara tajam.”
Selama bertahun-tahun, masyarakat umum tidak tahu apa yang terjadi dengan Amir. Akhirnya jenazahnya ditemukan, diangkat dan dikubur lagi secara terhormat. Sejumlah orang yang melakukannya ditahan, lalu dilepas. Keluarga kembali mendapat pensiun karena jabatannya. Itu pun berakhir tahun 1965. Menurut pemenang, Amir sebaiknya dilupakan.
- Yang kalah
Para penyintas dari Madiun cerai-berai. Dari mereka yang selamat, sebagian akhirnya ke luar negeri. Di sana pun sebagian memilih bungkam. “Maaf… Saya ingin melupakan masa muda saya di Indonesia. Saya kehilangan begitu banyak keluarga dan sahabat selama revolusi,” tulis seseorang (hal. 286). Jean-Luc Nancy mengomentari kebungkaman semacam ini (hal. 286):
Tanggapan terhadap kebenaran yang nyaris menghilang, adalah ikut menghilangkan dirinya sendiri.
Sejumlah aktivis muda kemudian mulai berpolitik lag setelah Madiuni: D.N. Aidit, Soedisman, Njoto, dan Loekman. Tetapi mereka bicara secara lebih formal, sekadar rumusan politik. Segalanya menjadi hitam atau putih: Hatta jelek, Sukarno baik.
Di antara para penyintas lain muncul narasi korban. Amir dieksekusi secara tak adil. Titik. Mereka fokus pada status mereka sebagai korban (victimhood).
Pramoedya Ananta Toer tidak pernah menulis tentang Madiun atau Amir. Pada tahun 1982, ketika ditanya secara spontan tentang Amir, ia hanya menyayangkan mengapa Amir menerima tugas Van der Plas untuk melawan fasisme Jepang (hal. 294-295).
- Yang mengamati
Banyak pengamat asing menilai karakter Amir dengan kata “tak imbang” dan “berambisi secara gila.” Seorang possible hero. Mrazek meringkas posisi Amir dalam historiografi kini sebagai berikut (hal. 307):
Sambil memandang ke belakang, Amir sedang digolongkan buat zaman baru. Gemilang, bermoral, sesat, terlalu penuh emosi, terlalu agamais sehingga tak mungkin menjadi komunis, terlalu rumit hingga tak mungkin nyata. Secara spektakuler. “Peristiwa Madiun adalah tragedi yang mengerikan,” tulis Reid dalam sejarah revolusinya. Dan memang, kata kunci kemudian adalah “teater”, “drama”, atau “tragedi”. Seseorang mengamati sejarah dan menunggu hingga drama berakhir dengan lampu menyala. Daripada pahlawan, yang ada adalah “aktor”.
Banyak pengamat asing yang menulis tentang Amir merasa mengenalnya melalui lingkaran Sjahrir. Termasuk John Coast, pilot berbangsa Inggris yang menawarkan diri sebagai simpatisan Barat mulai 1946. Pada September 1948 ia menulis dalam buku hariannya bahwa “Amir Sjarifoeddin membuat pernyataan yang diberitakan secara luas, atau mungkin dinas rahasia Belanda merekayasa pernyataannya, bahwa ia telah menjadi komunis secara rahasia sejak tahun 1936” (hal. 309). Seluruh anggota kelompok Sjahrir membenci fasisme, percaya pada demokrasi dan sosialisme, tetapi mereka tak ingin “melangkah terlalu jauh.”
Sejarawan Cornell George Kahin mengenal hampir semua tokoh republikan secara pribadi. Ia menarik kesimpulan berikut tentang Amir (hal. 317):
Ketidakstabilan karakter dan ambisi politis pasti menjadi faktor sangat penting dalam keputusan Amir untuk memilih berpihak dengan kaum stalinis.
Kahin tidak jadi menulis buku tentang Amir. Buat dia, orang Indonesia lainlah secara lebih meyakinkan mencerminkan cita-cita sosialisme dan demokrasi. Ben Anderson, mahasiswa Kahin, dan pembimbing Mrazek, bersikap lain. Bagi Anderson, Tan Malaka yang penuh gejolaklah menjadi figur kunci, dan kematiannya melambangkan titik akhir revolusi.
Tentang Amir, ia menulis bahwa semua menyukainya tetapi garis politiknya tidak begitu berpengaruh (hal. 321-322):
[Amir adalah] seseorang yang tak satu pun dari lawan politisnya merasa membencinya… Sangat cerdas, bersemangat, dan berambisi, dengan kehangatan pribadi, humor, romantisme emosional yang membangkitkan loyalitas amat kuat di antara pengikutnya yang hampir tak terpengaruh oleh garis politik yang diambilnya pada setiap saat.
Penutup
Sulit dipercaya tapi benar, buku ini hampir satu-satunya buku penuh tentang Amir. Ada satu yang lain oleh Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin: Pergumulan Imamnya dalam Perjuangan Kemerdekaan, tetapi langsung dibredel saat terbit 1984 (hingga terbit ulang tahun 2009).
Dalam diskusi bedah buku yang diselenggarakan Indoprogress, buku Mrazek dipuji karena kedalaman arsipnya, sekaligus dikritik karena sejumlah pertanyaan kunci tak terjawab. Coen Husain Pontoh menyayangkan kenapa tidak ada penjelasan tentang evolusi pemikiran Amir menuju komunisme, berangkat dari pandangan “etis” di sekolah Belanda. Ia tambahkan: Kita juga tetap belum tahu persis apa yang terjadi di Madiun. Bagaimana dengan indikasi bahwa Amir, Musso, beserta kelompoknya memang merencanakan “sesuatu” yang besar di sana pada September 1948? Peserta lain merasa cerita Perjanjian Renville tidak cukup diterangkan.
Diskusi akhirnya menyimpulkan bahwa kehausan pembaca akan riwayat Amir tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu buku baru. Kita masih butuh lebih banyak buku besar. Dan tidak hanya tentang Amir. Banyak possible heroes bermunculan dalam sejarah Indonesia yang penuh revolusi.
Tantangannya tak sedikit. Tantangan lembagawi: Institusi mana yang membiayai biografi “pahlawan yang mungkin” dalam sejarah Indonesia? Dalam suasana neoliberal, sejarah menjadi hiburan belaka, atau pembenaran status quo. Sejarah yang otentik dan radikal terpaksa ditulis di lembaga non-formal, secara pro bono.
Yang lebih fundamental lagi adalah tantangan intelektual. Generasi sekarang banyak merasa bahwa “pahlawan yang mungkin” telah “melanggar garis”, bahwa mereka terlalu berambisi, terlalu berideologi, terlalu cepat frustrasi, bahwa seharusnya mereka mengambil “langkah kecil” secara “demokratis” (hal. 323). Bisa saja sikap itu memungkinkan ingatan tidak lenyap sama sekali. Tetapi dunia kini membutuhkan lebih dari kehati-hatian.
Hanya perubahan yang radikal akan menyelamatkan dunia kita dari krisis ekologis. Perjuangan Amir dan sesama “pahlawan mungkin”-nya untuk memerdekakan Indonesia dari kapitalisme Dunia Utara gagal. Dengan akibat: Dunia Utara kini telah membawa seluruh dunia ke ambang kehancuran. Skala revolusi yang dibutuhkan bahkan melebihi skala yang menghadapi Indonesia tahun 1948. Di manakah possible heroes yang memimpinnya?
Gerry van Klinken adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara dan peneliti tamu di KITLV, Leiden, di mana ia lama bekerja. Tulisan ini dipresentasikan dalam Bedah Buku Indoprogress (Zoom), 18 Januari 2025.