Ilustrasi: Reformed Institute
KAPITALISME selalu ada dalam keseharian, kecuali Anda mentalak tiga dunia beserta sistemnya seperti Maharlika dalam film dokumenter Terpejam untuk Melihat (2024). Kapitalisme tak pernah abstain bahkan dalam sesuatu yang terkesan “suci dan luhur”, yakni gerakan toleransi lintas iman.
Tulisan ini adalah kesaksian lirih, semacam catatan pinggir hasil refleksi dari proses yang tidak sebentar. Data-data dalam tulisan ini saya peroleh ketika meneliti gerakan anak muda lintas iman beserta jejaring donor dan kuasa modal yang “melibatkan diri” lewat yayasan korporat. Komunitas penerima yang saya teliti di Yogyakarta hanyalah satu contoh kecil—yang tidak perlu saya sebut karena poin besarnya bukan pada komunitas penerima yang cenderung lugu.
Berbekal rasa penasaran, juga saran dari interlokutor sesama peneliti (Erik Meinema), saya akhirnya slulup di lautan data yang terserak namun menyelip di pelosok Internet. Begitu menyelaminya, ada kesan yang tandas di benak saya: bahwa sedemikian sulit untuk mengakses data korporasi dan donor (asing maupun domestik) yang terlibat dalam pendanaan toleransi lintas iman atau isu sejenis.
Sehimpun data semacam itu mustahil muncul di halaman pertama mesin pencari favorit kita. Perlu upaya untuk menjajal puluhan kata kunci variatif dan memelototi layar satu demi satu. Tentu saya jadi curiga, donor yang berperan di gerakan ini hampir selalu melibatkan yayasan korporasi besar. Mereka terlalu kuat dan berlimpah cuan untuk membayar SEO agar memunculkan kesan dan citra yang baik-baik saja di mesin peramban. Tapi ini hanya kecurigaan—sesuatu yang boleh jadi meleset, atau justru memang akurat.
Syukurnya, dengan metode open source intelligence (OSINT), saya mengotak-atik kalimat pencarian secara dwibahasa (keterbatasan jumlah bahasa yang saya kuasai tentu jadi hambatan). Dari penelusuran tersebut, saya menangkap sebuah pola yang tak asing. Pembacaan pola ini juga mustahil tersibak dan mengkristal bila tanpa daya jelajah bacaan secara algoritmis (algorithmic purposive reading) dari satu referensi ke ke referensi lainnya yang relevan dan cukup pelosok. Hasilnya cukup memicu “anjir moment” sambil mengelus-elus kepala sekaligus ikut memedihkan batin. Berikut potongan kecil yang bisa saya bagikan.
Gincu Peacewashing, Modus Baru Perusahaan Energi Kotor
Kita mulai dari negeri sendiri: Ada jejak energi kotor yang berupaya menjamah gerakan toleransi dan keberagaman di tanah air. Salah satu yang paling populer adalah Indika Foundation. Yayasan korporasi ini menetas dari rahim PT Indika Energy Tbk pada 2017. Mereka mengklaim, seperti di laman resminya, telah mengelola dana sejumlah Rp31,3 miliar yang disebarkan ke 78 proyek dengan 146 kolaborator dan 41.651 penerima manfaat langsung. Ada beberapa komunitas dan LSM lintas iman tercakup sebagai penerima.
Untuk membaca lebih dalam, ada yang perlu ditelisik dari perusahaan yang melahirkan yayasan korporasi tersebut. PT Indika Energy Tbk hanya salah satu bagian dari mega-korporasi swasta bernama Indika Group. Korporasi raksasa ini bergerak di bidang pertambangan, energi, konstruksi, perdagangan, transportasi, dan jasa. Induknya sendiri telah lahir sejak 1996 dengan nama pendirinya Agus Lasmono Sudwikatmono. Sosok ini tak lain adalah anak dari salah seorang konglomerat terbesar di zaman Orba, yaitu Sudwikatmono, yang merupakan sepupu Soeharto.
Ross Tapsell, peneliti kajian media dan budaya di Indonesia, menyebut nama Sudwikatmono dalam risetnya tentang kuasa media dan jejaring oligarki di tanah air. Ia termasuk jajaran pengusaha media besar, yaitu SCTV (Tapsell, 2021). Sedari awal Orde Baru, Sudwikatmono diperjumpakan dengan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, salah satu taipan besar yang keturunannya, Anthony Salim, juga memiliki banyak perusahaan seperti Indofood dan Indosiar. Di sini kita dapat mengintip betapa luas jangkauan para pebisnis itu di Indonesia dan luar negeri.
Selain menjadi pendiri Indika Group, Agus Lasmono Sudwikatmono, yang mana keponakan Soeharto, juga pendiri sekaligus pemilik NET TV. Tahun 2010, ia pernah masuk daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dengan total kekayaan mencapai USD845 juta yang membuat dirinya disejajarkan dengan taipan-taipan kakap lainnya seperti Anthony Salim, Hartono Bersaudara, Ciputra, Prajogo, Aburizal Bakrie, dan masih banyak lagi. Salah satu sektor korporasinya, yakni pertambangan, ikut berperan dalam bisnis batu bara sebagai penyuplai bahan bakar energi kotor pembangkit listrik. Salah satunya di PLTU Cirebon-2.
Perusahaan yang terlibat salah satunya Indika Group, lewat kepemilikan saham di PT Cirebon Energi Prasarana. ICW memasukkan nama Agus Lasmono sebagai individu dalam PLTU Cirebon-2, mengingat dialah pemilik saham mayoritas sekaligus pengendali PT Indika Inti Investindo yang menguasai PT Indika Energy Tbk dengan besaran saham 37,79%. Pendapatan Indika Energy Tbk pun cukup besar, di tahun 2022 meraup sekitar USD4,334 miliar.
Pada prosesnya, pembangunan PLTU ini tidak sepi dari kerusuhan. Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam laporannya mencatat pembangunan PLTU Cirebon-2 ini diwarnai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Cirebon periode 2013-2018 (dari Partai Banteng). Protes warga pun merabuki jalanan. Mereka melakukan aksi memblokir PLTU. Aparat kepolisian, seperti sering terjadi, justru menggelandang warga ke kantor polisi dan baru keluar pukul 02 dini hari.
Mengamati rentetan data tersebut, citra yayasan korporasi Indika Foundation tentu sulit dilepaskan dari perusahaan induk. Apalagi yayasan korporasi sering kali berperan sebagai kanal penyalur dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang sekaligus berfungsi sebagai alat paling efektif untuk membangun citra. Melalui CSR, kampanye perusahaan terhadap isu tertentu cukup mangkus menciptakan citra (imaji) positif, membangun reputasi, dan kredibilitas korporasi di benak khalayak.
Dalam bingkai itu, kendatipun Indika Group selaku perusahaan induk telah lama berbisnis energi tak terbarukan (baca: kotor) dan tidak ramah lingkungan, praktik CSR melalui yayasan korporasi Indika Foundation dapat menjadi sejenis “penebusan” atau “pemberian kompensasi” terhadap masyarakat; baik yang terlibat memakai jasa mereka (sebagai konsumen) maupun warga sipil yang berhadapan langsung dan berkonflik dengan perusahaan—sebagaimana kasus di PLTU Cirebon-2. Perbedaannya, yayasan korporasi ini memanifestasikan modusnya—untuk menunda menyebut “mengendarai”—melalui pendanaan pada gerakan toleransi, keberagaman, dan perdamaian lintas iman.
Penyingkapan semacam itu bukan barang baru. Ada kemiripan pola dengan praktik greenwashing. Terutama jika melibatkan perusahaan yang melakukan promosi palsu pada produk dan buaian abal-abal berlabel ramah lingkungan. Sebagai informasi singkat, istilah greenwashing pertama muncul dalam esai pegiat lingkungan Jay Westerveld di tahun 1986. Mengacu Encyclopedia of Corporate Social Responsibility, praktik greenwashing adalah tindakan promosi palsu mengenai organisasi yang mengklaim menjaga lingkungan atau praktik alokasi dana besar untuk mencitrakan “perusahaan/organisasi hijau” ketimbang melakukan aksi-aksi ramah lingkungan yang sesungguhnya. Tamsilnya melimpah dan menjangkau banyak sektor, seperti promosi produk, eko-pariwisata, hingga label hasil laut yang diperoleh dengan metode ramah ekosistem padahal kenyataan berkata sebaliknya.
Celakanya, praktik greenwashing masih begitu asing di Indonesia. Hanya sebagian kecil akademisi, jurnalis, juga pegiat lingkungan yang jeli dan kritis saja yang paham. Walhasil, regulasi spesifik yang mengatur perlindungan warga terkait greenwashing masih belum menjadi bagian penting dalam rangkaian kebijakan.
Dalam konteks gerakan lintas iman, apa yang dilakukan yayasan korporasi bentukan Indika Group ini tidak sedang menerapkan praktik semacam itu. Mereka memakai strategi berbeda dan terbilang inovatif. Alih-alih melabeli diri ramah lingkungan (meski praktik mereka justru sebaliknya), Indika Foundation memanfaatkan sumber daya mereka untuk menampilkan diri ikut memberi perhatian terhadap isu keragaman, perdamaian, dan toleransi.
Tiga isu “terbasah” sekaligus “jualan terlaris” dalam dua dekade terakhir di Indonesia sangat cocok dengan wacana publik di sini yang telah bertubi-tubi diinfus dengan berita, kajian kaum akademia, hingga hasil survei tentang menguatnya konservatisme, darurat radikalisme, hingga terorisme. Hadirnya wacana global sebagai dampak pasca-tragedi 9/11 tersebut telah saling berkonfigurasi dan menjelma “inspirasi”, “peluang”, sekaligus “stempel legitimasi” bagi banyak pihak untuk pasang badan mengatasinya lewat program yang merebak secara internasional bernama preventing/countering violent extremism (P/CVE)—sambil secara naif atau tak sadar mengesampingkan isu yang tidak kalah penting seperti krisis ekologis, kemiskinan/pemiskinan struktural, menyempitnya lapangan pekerjaan, korupsi yang seperti venom, hingga konflik sipil dengan proyek strategis nasional.
Tanpa mendiskreditkan komunitas dan LSM/NGO yang menerima manfaat dari dana yayasan korporasi, saya jadi termenung. Apakah praktik yang telah berlangsung di atas membukakan peluang bagi kita untuk membincang, memperdebatkan, dan mendiskusikan istilah baru bernama peacewashing? Tentu perlu keterlibatan banyak pihak untuk mengkritisi, urun rembuk, hingga memperkaya lewat riset. Namun begitu, ada satu poin krusial yang perlu kita tengok: bahwa agenda donor meninggalkan bekas yang mendalam di gerakan sosial. Tentakel-tentakel kaum pemodal besar ikut menjamah sektor-sektor yang selama ini dielu-elukan dan difavoritkan sebagai upaya kemanusiaan murni—padahal tidak.
Uraian sebelumnya seolah menandaskan kembali bahwa peran donor terhadap dinamika komunitas dan sosial cukup signifikan. Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (2006) pun pernah menuliskan bahwa agenda donor, terutama asing, itu sangat tersangkut paut dengan masalah sosial dan politik di negeri asal. Ia juga “meninggalkan jejak, yang baik maupun yang buruk, kepada berbagai jenis proyek yang dijalankan dengan dukungan mereka di Indonesia.” Bahkan dalam kurun 1980-an, kajian feminis dan gender menerima gelontoran dana besar dari donor asing. Di awal pergantian menuju alaf kegita kemarin, aneka gagasan seperti good governance, social capital, dan civil society menjadi perhatian utama donor asing. Beberapa di antaranya USAID, Asia Foundation, Friedrich Naumann Foundation, Rockefeller Foundation, Carnegie Foundation, hingga Ford Foundation yang banyak mendanai program di PTKIN, termasuk program Literasi Keagamaan dan Lintas Budaya (LKLB).
Sebuah potret masygul dan musykil, di mana Yayasan Ford yang punya jejak darah mendanai perang dan pembantaian jutaan warga sipil yang dituduh komunis di negara-negara Amerika Latin (Roy, 2022), justru ikut terlibat menjamahkan tangannya ke gerakan yang dianggap mengusung misi suci kemanusiaan (HAM) dan keberagaman. Betapa ganjil sekaligus membikin risau.
Depolitisasi, Pembonsaian Pikiran, dan Langgengnya Ketidakadilan
Konsekuensi dari serangkain pola tadi tidaklah murah. Para donor dan yayasan korporasi dapat berposisi sebagai “wasit halus” pengendali isu apa yang layak diberi dana dan mana yang tidak. Hal pertama penting bagi kelangsungan hidup komunitas dan NGO/LSM, yang kemudian menarik banyak gerakan untuk ikut menggarap “isu basah” tersebut dengan ongkos mengerdilkan isu lain yang boleh jadi lebih genting dan mendesak.
Dengan kata lain, tentakel para kapitalis ini punya kendali besar namun halus. Dalam analisis Arundhati Roy, ikut menentukan kriteria bentuk aktivisme macam apa “yang bisa diterima” dan “yang tidak”. Ini jelas-jelas termasuk upaya sistemik canggih pembonsaian pikiran. Di dalam arus itu, miliaran orang terperdaya dan salah mengidolakan tokoh publik. Mereka rentan salah bercita-cita ingin menjadi despot eksploitator ulung macam orang-orang terkaya di dunia yang dielu-elukan seperti Soros, Gates, Elon, dll. Efek dari “salah cita-cita” tidak bisa disepelekan: eksploitasi demi laba sebesar-besarnya akan merusak ekosistem, mindset yang menyebut kemiskinan adalah produk dari kemalasan, hingga mengindividualisasi persoalan yang aslinya kompleks dan struktural-sistemik (sebagaimana dampak buruk dari tren buku-buku self-help/self-improvement).
Sebenarnya menjadi kaya bukanlah sebuah dosa sosial, tetapi kalau kekayaan kaum 1% itu hendak membeli ruang hidup, merusak halaman belakang rumah kita, hingga menghisap kebahagiaan dan masa depan generasi mendatang layaknya Dementor di Harry Potter, apakah kita hanya bisa diam? Di situlah kapitalisme harus terus menerus digugat.
Apalagi, secara gradual, imbas keterlibatan kaum kapitalis rakus itu juga dapat berupa depolitisasi dan penjinakan global oleh terhadap gerakan masyarakat sipil. Arus dan benih gerakan yang radikal dan revolusioner, pembangkangan sipil, hingga kaum anarko (dalam makna aslinya sebelum terjadi peyorasi nilai) akan rentan dikriminalisasi, dibusukkan nama dan citranya, sehingga masyarakat jijik terhadapnya tanpa sempat mau mengerti dan mempelajarinya.
Sementara gerakan lembek yang tidak mengancam proyek para kapitalis justru tumbuh, merebak, berbiak, dan tidak menghasilkan perubahan apa-apa kecuali di level superfisial, penuh jargon, dan rasa-berjasa yang semu. Gerakan yang direstui sistem kapitalisme ini tidak menusuk ke jantung persoalan yang lebih struktural, pelik, dan bersifat multidimensional (dikenal sebagai wicked problem). Alhasil, ketidakadilan di berbagai wilayah menjadi hal yang bukan saja terabaikan, tetapi justru lestari dan makin meluas. Lestarinya ketidakadilan ini merupakan akumulasi hasil dari berbagai sektor, termasuk peran sektor ketiga: NGO/LSM, termasuk yang bergerak di isu toleransi lintas iman.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sektor Ketiga: Topeng Pluralisme dan NGO sebagai Pelindung Kapitalisme
Ketidakadilan sebagai dampak sistem kapitalisme rakus nyatanya ikut dilestarikan secara tak langsung oleh sektor ketiga: organisasi nirlaba. Sektor ketiga ini merupakan identifikasi organisasi-organisasi yang berada di luar sektor bisnis swasta maupun pemerintahan. Cakupannya menjangkau asosiasi perdagangan, klub olahraga, seni, lembaga pekerja sosial (LSM), lembaga advokasi hukum, institusi kultural, ormas, yayasan, institut riset, universitas, dan sejenis itu yang sering bersifat sukarela.
Joan Roelofs mempertajam kajian kritis yang spesifik memelototi peran yayasan korporasi dan NGO dalam melindungi kapitalisme—sesuatu yang luput disadari ilmuwan sosial dan politik. Roelofs menunjukkan fakta-fakta yang jarang disorot akademisi kiri yang lain, bahwa peran yayasan korporasi di Amerika Serikat sejak 1920-an dalam percaturan geopolitik dunia sangat signifikan. Yayasan Rockefeller dan Carnegie, misalnya, ikut campur tangan dalam pembentukan Dewan Hubungan Luar Negeri (Council on Foreign Relations/CFR). Kemudian Ford Foundation pun menyusul ambil bagian di dalamnya. Dan pada 1947, CIA yang baru terbentuk mendapat dukungan dan bekerja mesra dengan CFR. Kolaborasi maut itu pula yang ikut mengatur pendirian PBB sekian tahun sebelumnya dan melibatkan dana hibah dari John D. Rockefeller sebesar USD8,5 juta sebagai modal membeli lahan yang kini jadi markas besar PBB di New York.
Dari fakta historis tersebut kita dapat membaca banyak hal serupa. Strategi semacam itu menginspirasi banyak perusahaan untuk mendirikan yayasan korporat (yang di banyak negara mendapat keistimewaan “bebas pajak”) sambil mempermulus agenda destruktif mereka sekaligus membangun citra mulia di mata publik. Yayasan-yayasan ini, dengan gemuknya kekayaan mereka, ikut mengarahkan, memperdagangkan, dan mendistribusikan kekuasaan mereka lewat think tank elite didikan yayasan (Roy, 2022: 38). Dari sini, filantropi korporat menjelma bisnis paling mujarab dan visioner dalam mendikte kebijakan di berbagai negara.
Sehimpun fakta itu memicu Robert Arnove menuliskan perihal praktik “filantropi dan imperialisme kultural” secara pedas: Yayasan seperti Carnegie, Rockefeller, dan Ford memiliki pengaruh korosif terhadap masyarakat demokratis; mereka merepresentasikan konsentrasi kuasa dan kekayaan yang tak teregulasi dan tidak akuntabel yang membeli talenta, mempromosikan tujuan-tujuan tertentu, dan sebagai dampaknya menciptakan sebuah agenda tentang apa yang layak mendapat perhatian masyarakat. Mereka berfungsi sebagai lembaga yang “mendinginkan”, menunda, dan mencegah perubahan struktural yang lebih radikal (Roelofs, 2003).
Lewat kucuran dana di pelbagai sektor hingga di level beasiswa dan hegemoni intelektual itu, yayasan korporasi dan NGO yang menerima santunannya perlahan-lahan menciptakan suatu imajinasi tertentu. Dalam bahasa Arundhati Roy (2022: 49), mereka melahirkan “sebuah pretensi rapuh yang sangat permukaan tentang toleransi dan multikulturalisme yang menjelma menjadi rasisme, nasionalisme fanatik, chauvinisme etnik, atau Islamophobia yang haus perang dan tidak plural.”
Celakanya, serangkum hal itu sudah mendominasi wacana publik hari ini. Para aktivis NGO—bahkan di sektor “kiri” sekalipun—yang menerima dana hibah dari yayasan korporasi berhasil terkooptasi, dijinakkan, dan tidak kritis menggali potret yang lebih besar menyangkut keberagaman di wilayah masing-masing dan kaitannya dengan sistem pasar dan kapitalisme yang menancapkan kuku-kukunya begitu kuat. Demikian pula sebaliknya, mereka yang kritis, radikal, dan revolusioner menginginkan perubahan sosial secara mendasar, akan mendapati dirinya dan diri-komunitas/lembaganya menjadi terpinggir, miskin, loyo, tak ada suntikan dana, dan mengalami keterasingan akut. Tinggal menunggu waktu vakumnya atau mati dan lenyap untuk selamanya–atau berganti menepi ke pinggir, melakoni permaculture dan beternak lele. Menempuh uzlah dan masa bodoh dengan dunia (sesuatu yang tidak salah, namun cukup egois).
Begitulah cara kerja kapitalis besar menyusupi gerakan masyarakat sipil. LSM-LSM yang dibiayai yayasan korporat adalah pintu masuk agenda global ke dalam gerakan perlawanan. Berbekal segepok cuan, mereka sanggup mengubah kelompok yang secara potensi aslinya revolusioner menjadi para aktivis berupah, seniman edgy, intelektual dan sineas funding, dan menghindarkan diri mereka dari konfrontasi radikal—sebagaimana ketus Arundhati Roy. Posisi tersebut mengantarkan mereka ke arah multikulturalisme, kesetaraan gender, pembangunan komunitas yang menyelimurkan mata mereka dari persoalan yang lebih serius, lebih mendesak dan menyangkut hajat hidup para mustadh’afin, kaum-kaum yang dilemahkan, disekaratkan.
Saya pun semakin kalut ketika menyadari ada detak kapitalisme di setiap denyut yang memompa zaman dan peradaban. Sistem ini berhasil menyusup, menginfiltrasi miliaran kepala, jutaan lembaga. Kapitalisme berhasil menunggangi gerakan toleransi lintas iman, dengan potret unik dan strategi yang tak jauh beda sebagaimana greenwashing.
Para aktivisnya, yang lugu-lugu, konformis, dan kurang rasa-penasaran itu, pada gilirannya getol teriak perihal kesetaraan gender, toleransi keagamaan, hingga kampanye pentingnya anak muda menjadi peacemaker. Di saat yang sama, mereka bungkam (atau sekurang-kurangnya bersuara lebih lirih) dalam hal kebijakan ekonomi dan pertambangan, yang ketika berlangsung akan mendera jutaan kaum perempuan dan anak-anak muda di seantero negeri. Inilah imbas dari politik kompartementalisasi, yang membuat gerakan di LSM mengalami pembidangan, ter-profesionalisasi, dan memiliki kepentingan khusus sendiri yang sempit (Roy, 2022: 55). Sejenis politik pemecah-belahan di level ruang gerak/isu, bentuk modifikasi dari devide et impera (divide and conquer).
Yang holistik dicacah-cacah, agar tidak ada alternatif untuk ikut melibatkan diri ke dalam perjuangan kelas melawan para perusak yang oleh Vandana Shiva disebut “Kartel Racun”. Dalihnya bisa saja berbunyi, “Oh, itu bukan ruang gerak kami….” Padahal tidak ada yang tidak terhubung di bumi interkoneksi ini. Dalam sehelai benang di baju yang kita kenakan sekarang, ada jejak ratusan keringat manusia dan jasa-jasa organisme serta anasir kesemestaan yang lain: buruh pemanen kapas, petani, peternak, sopir, pedagang, admin, sales, bakul nasi yang rutin diutangi, dst. Belum peran cacing, tanah, sinar mentari dan lain sebagainya yang ikut menumbuhkan kapas bahan benang di bajumu itu. Sama halnya ketika bicara gender, toleransi, inklusi, dan lintas iman, namun tanpa bicara penindasan sistemik dan kerusakan lingkungan akibat privatisasi, kapitalisme, dan kerakusan korporasi-plus-pemerintah sama saja mengatakan bahwa bajumu hasil download dari awan antah berantah—tanpa melibatkan proses yang begitu panjang.
Mendidik Diri, Merebut Waktu: Sebuah Refleksi dan Ajakan
Merenungkan barisan analisis tersebut, saya merasa terkapar di rimba ketidakberdayaan. Badan saya rebah, tidur menatap langit sepi Yogyakarta yang tertutup kabut, sementara puluhan tanda tanya merubungi seisi kepala. Apakah ini kutukan bernama rasa penasaran itu? Aih, andai saja saya tidak tahu, atau tidak perlu mau tahu, mungkin kepala dan batin saya akan damai-damai saja. Beginikah rasanya kutukan dari pengetahuan itu? Bukankah pengetahuan adalah kekuatan? Yap, tapi itu masih koma. Knowledge is power … power that makes you suffer. Kenangkanlah jua pepatah bijak itu, ignorance is bliss, right? Belum lengkap. Ignorance is bliss … bliss that drives people crazy. Ya, ketidaktahuan dapat mencetuskan kegilaan; seperti prasangka, rasisme, hingga pembunuhan dan pembantaian.
Lantas, di bawah kolong langit ini, apa yang dapat kita percayai? Apakah kita perlu menempuh keputusan ekstrem sebagaimana Maharlika? Perlukah kita mentalak-tiga sistem zaman sambil menekuni tirakat anarko ala Zhuangzi dengan pergi memancing di kali-kali? Yang pasti, jangan sampai menempuh jalur terorisme seperti Ted Kaczynski (Unabomber), sebab kau takkan ada bedanya dengan mereka para Kartel Racun.
Kabut di Yogyakarta luruh menjelma hujan dan saya jadi teringat kalimat Roelofs saat memberi disclaimer di bukunya. Ia menyebut tujuan risetnya bukan untuk mendemonisasi yayasan korporat, atau mendiskreditkan NGO. Mereka lewat jutaan dolarnya sering kali mengerdilkan (discourage) kritisisme terhadap yayasan dan organisasi yang mereka sponsori, sembari memarginalkan kajian kritis. Roelofs sekadar ingin menegaskan, apa pun alasannya, ketika kita mengkaji kuasa, adalah keliru/salah jika mengabaikan peran yayasan dan jejaring mereka yang luas.
Tentu tidak semua LSM/NGO itu sama. Menyamakan semua LSM/NGO sama konyolnya dengan mengatakan semua jenis burung itu cuma satu. Namun, sulit mengabaikan peran mereka dalam menamengi kapitalisme yang nyata-nyatanya tercatat dalam sejarah. Tidak aneh kalau Arundhati Roy berkata sarkas, “Semakin kacau suatu wilayah, semakin banyak NGO-nya.” Ada seorang teman yang menanggapi curhatan saya di Instastory soal itu, “Ya kalau saja NGO sudah ada sejak 1920-an di Indonesia, enggak bakal lahir gerakan revolusi kemerdekaan, Pak. Batal merdeka.” Tulisnya dengan huruf wkwk sebagai penutup.
Yang di atas itu tentu hanya humor gelap, anggap saja letupan kecil yang muncul dari tekanan berlebih. Namun kita jadi makin sulit menyangkal, bahwa mirisnya, Indonesia punya begitu banyak sektor ketiga ini, yang juga bermesraan dengan banyak yayasan korporat dan donor perusahaan yang merusak. Ada ormas, universitas, juga gerakan masyarakat sipil yang menengadah gembira terhadap santunan yayasan korporat. Memang, mereka bisa saja merebut klaim: “Justru kami sedang memanfaatkan mereka, untuk menumbangkan agenda mereka lewat gerak melingkar.” Hanya saja, lupakah kita pada diktum Audre Lorde, for the master’s tools will never dismantle the master’s house?
Lebih lagi, bisakah surga keberagaman itu dikompensasi/diberikan oleh tangan yang berlumur darah yang ikut mendanai perang, pembantaian komunis, dan ekspansi eksploitasi di berbagai penjuru muka bumi? Celakanya, mereka tetap menyelusup masuk sambil mengusap-usap ubun-ubun ormas besar di tanah air—yang mencitrakan diri mengemban misi suci agama dan demi kemaslahatan umat. Jika ada perwakilannya yang teriak secara jumawa, “kita jaga NKRI, usir semua musuh Pancasila,” tentu orang Jawa Timur yang paham kuasa modal dan cawe-cawenya yayasan korporat di balik itu akan menjawab sinis: preketeq mbelprett!
Semua ini bukan tentang teori konspirasi, dengan elite global pemuja setan atau ajaran Freemason. Sama sekali tidak. Ini data-data yang sulit dibantah, tentang kaum 1 persen yang menebar jala kekuasaannya di seantero planet; melahirkan perang, rasisme, eksploitasi, perbudakan modern, dan kerusakan alam yang tak tertanggungkan. Hanya demi laba, kuasa, dan ketakutan akut bahwa dominasi mereka di muka bumi bisa terhapus sewaktu-waktu. Paranoia berbasis keserakahan itulah yang menancapkan jangkar teramat dalam di penjuru negara-negara berkembang dan pernah terjajah sebagai garansi agar mereka tetap berkuasa. Agar mereka tetap memegang kemudi dan kendali penuh. Fakta-fakta ini semakin menggiriskan di buku Vandana Shiva (2023 dan 2024) berjudul Terra Viva, yang membedah privatisasi, bio-imperialisme, terorisme industrial dan kejahatan korporasi.
Ini semua hanya potret gamblang dari parasitisme akut dalam sejarah peradaban manusia. Serupa jamur Viagra Himalaya (Ophiocordyceps sinensis) yang terkenal di dataran Tibet sana. Penduduk lokal menyebutnya Yarchagumba. Semula ia menyusup masuk secara rahasia, lalu membajak tubuh sang ulat, lantas meremukkannya dari dalam sebelum berhasil menjadi kupu-kupu. Jamur parasit ini, seperti kapitalisme, menyusup, merenggut badan, lalu mekar dan menguasai seluruh tubuh inang hingga lenyap tak bersisa.
Di sini saya hanya ingin menutup dengan tanda tanya: apa yang bisa kita perbuat? Memupuk etos kepedulian, collective care, dan harapan-bersama seperti disarankan Fildzah Izzati dalam tulisannya? Bisakah patah hati multidimensional ini kita transformasikan menjadi daya dorong yang memberdayakan? Terus terang, saya perlu mendidik diri, juga merebut waktu. Hanya saja, saya pun butuh teman diskusi dan sambat. Kalau kalut ini teramat dalam, mungkin saya akan kerja mati-matian, mengumpul modal, dan memilih beternak lele, seraya pergi memancing di kali-kali sebagaimana Zhuangzi. Maka silakan kritik habis atau tanggapi tulisan ini dengan analisis yang lebih kaya, itu sudah sangat membantu.
M. Naufal Waliyuddin adalah penulis dan peneliti isu anak muda, hubungan lintas iman, dan bina damai sehari-hari (everyday peacebuilding). Ia mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat risetnya berkisar pada anak muda dan persoalan yang melingkupinya secara multi-interdisipliner, termasuk utang, sosial-keagamaan, kerentanan, transisi, hingga kesenjangan antargenerasi. Karya-karyanya dapat dibaca di https://bit.ly/karya_naufal. Instagram: @madno_wk