Seabad Pram dan Eksistensi Kemanusiaan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


HARI ini kita memperingati seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925-6 Februari 2025). Di momen sukacita ini, kita tak sepatutnya mengenang Pram sekadar sebagai sastrawan, intelektual, atau tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebab dia lebih luas dari itu. Pram adalah pembawa terang kebenaran di tengah pasang surutnya zaman.

Pram, kelahiran Blora, Jawa Tengah, adalah maestro dan begawan sastra Indonesia yang tidak mungkin dilupakan dalam catatan sejarah. Ia menulis bukan sekadar untuk bercerita, melainkan untuk menyadarkan hati dan menggerakkan nurani. Dalam setiap karya, tak lekang ia sematkan kritik dan cita-cita. Dia menjadikan sastra sebagai alat perjuangan sekaligus bahan refleksi. 

Melalui Tetralogi Buru (1980-1988)—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—Pram merajut narasi tentang ketimpangan struktural yang dialami pribumi dan kelompok marginal dalam sistem sosial, politik, dan budaya yang menindas. Minke, sang protagonis, menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan feodalisme. Minke mengajarkan kita untuk bertanya dan berpikir melampaui batas, menunjukkan bahwa kebebasan tidak datang tanpa kesadaran, dan kesadaran adalah awal dari revolusi. Selain itu, Pram tak hanya menyajikan kisah perlawanan fisik, melainkan pertempuran ideologis dan intelektual yang melibatkan persoalan identitas, hak asasi, dan kesadaran sosial.

Cakupan isu yang dibahasnya amat luas. Dalam novel Gadis Pantai (1962), ia membongkar kedok kuasa patriarki yang mendiskriminasi perempuan. Gadis Pantai, seorang perempuan muda dari desa yang dipaksa menikah dengan bangsawan, menjadi simbol dari jutaan orang yang hak-haknya dirampas atas nama tradisi. Ia menulis dengan empati mendalam dan keberanian untuk menentang norma-norma usang dan kolot. 

Dengan cara yang berbeda, dia menyajikan tokoh bernama Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia, novel pertama dari Tetralogi Buru. Lahir dengan nama Sanikem, ia dijual oleh ayahnya sendiri yang seorang mandor kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema untuk dijadikan gundik. Dalam sistem kolonial Hindia Belanda, “nyai” adalah status rendahan. Mereka tidak memiliki hak di mata hukum, dianggap tak beradab, dan kerap dipandang sebelah mata baik oleh Eropa maupun pribumi. 

Namun Nyai Ontosoroh menolak tunduk pada takdir. Alih-alih menyerah, ia mendidik dirinya sendiri. Ia belajar bahasa Belanda, menguasai administrasi, dan bahkan mengambil alih kendali perusahaan setelah Mellema menjadi pecandu opium. Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan pribumi bisa memiliki kecerdasan, keterampilan, dan kepemimpinan. 

Meski telah membuktikan kemampuannya, masyarakat tetap menghakimi. Tidak pernah melihatnya sebagai manusia utuh yang bermartabat. Puncak penderitaannya terjadi ketika Annelies, putrinya, diambil oleh pengadilan kolonial karena hukum Eropa tidak mengakui hak perwalian seorang nyai. Meski Nyai Ontosoroh berjuang dengan segala daya, ia tetap tidak diakui oleh hukum yang memang diproduksi untuk menindas pribumi, lebih-lebih perempuan. Ia pun harus menerima kenyataan pahit: sekokoh apa pun dirinya, sistem tetap meminggirkan dan meremehkannya.

Kisah Nyai Ontosoroh adalah potret ketidakadilan yang dialami perempuan pribumi dalam kolonialisme. Ia menunjukkan bahwa perempuan bisa mandiri dan berdaya, tetapi stigma sosial dan ketidakadilan struktural tetap menekan mereka. Dengan demikian, Nyai Ontosoroh menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang menindasnya.

Kemudian, lewat Arus Balik (1995) pembaca akan dibawa untuk merenungi sejarah “Dipantara” yang pernah berjaya pada abad ke-13 hingga 14 masehi, di antara kerajaan-kerajaan besar di dunia, hingga kemudian dikhianati. Pram menggambarkan bagaimana kekuatan asing dan pengkhianatan yang dilakukan oleh sesama anak bangsa akhirnya membawa kehancuran pada peradaban Nusantara kala itu atau bahkan hingga sekarang. Lewat karya ini, ia mengingatkan jika sejarah adalah cerminan, bahwa bangsa yang tidak belajar dari sejarah akan terus mengulang kesalahan yang sama.


Warisan Pramoedya

Pram, hingga akhir hayatnya, adalah manusia yang percaya akan kekuatan kata-kata. Pada Bumi Manusia (1980) ia menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Kalimat ini seakan ingin mempertegas prinsip hidupnya, jika keadilan bukan sekadar tujuan, melainkan proses yang dimulai dari kesadaran diri. Selain itu, ia juga menyoroti bahwa manusia sebenarnya merupakan makhluk merdeka yang sering kali terbelenggu oleh ketidaktahuan dan ketakutan. Di novel yang sama, Pram berseru, “Kita telah melawan, nak, nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Ini merupakan seruan moral untuk tidak menyerah; terus berjuang meski keadaan tampak mustahil.

Karyanya bagian dari refleksi eksistensi manusia dalam khazanah Indonesia. Apabila manusia tak lahir sebagai budak. Bilamana kebebasan adalah hak asasi, meski harus diperjuangkan. Melalui tokoh-tokohnya, Pram mengingatkan kesadaran kritis merupakan langkah utama menuju pembebasan diri. Pram juga mengajarkan bahwa keberanian tidak serta merta mengambil senjata. Kadang kala, keberanian berarti menulis kebenaran di tengah ancaman, seperti yang dilakukannya saat masa pengasingan di Pulau Buru, Maluku. 

Ia saksi sekaligus korban dari kekuasaan yang represif: rezim Orde Baru. Meski ditangkap tanpa pengadilan dan ditahan selama 14 tahun di Pulau Buru, ia tetap menulis. Dengan segala keterbatasan, Pram konsisten melawan kezaliman menggunakan kata-kata. Ia menyadari jika pena lebih tajam daripada pedang, dan karena itu kata-kata (kesusastraan) dijadikannya senjata.

Pesan moral yang paling mendalam dari Pram, bagi saya, adalah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh manusia itu pemikiran dan kebebasan dalam berpikir. Pada dasarnya, kemerdekaan bukanlah tentang bebasnya tubuh dari penjajahan, tetapi tentang bebasnya pikiran dari belenggu keragu-raguan dan kekangan. Setiap individu memiliki potensi untuk berubah dan mengubah dunia melalui cara berpikir yang bebas, yang tidak terikat oleh tradisi, norma, ataupun kekuasaan yang menindas.

Selain melalui karya, Pram melawan ketidakadilan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Salah satu fragmen yang menunjukkan sikapnya adalah respons terhadap surat terbuka dari Goenawan Mohamad (GM). 

Lewat “Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer” yang terbit di Majalah Tempo edisi 3-9 April 2000, GM mengkritik sikap Pram yang menolak permintaan maaf Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atas peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada medio 1965-1966. GM membandingkan situasi ini dengan rekonsiliasi di Afrika Selatan, di mana Nelson Mandela memaafkan rezim apartheid setelah bertahun-tahun penindasan. Ia berharap Pram dapat mengambil sikap serupa untuk mendorong rekonsiliasi nasional.

Pram meresponsnya dengan artikel juga, berjudul “Saya Bukan Nelson Mandela”. Di sana ia menegaskan jika situasi Indonesia berbeda dengan di Afrika Selatan. Pram menyatakan bahwa penindasan di Indonesia dilakukan oleh sesama pribumi, selain oleh penjajah asing, sehingga permasalahannya lebih kompleks. Pram juga mengkritik permintaan maaf Gus Dur yang menurutnya sekadar basa-basi tanpa upaya nyata untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi para korban. Pram menekankan bahwa yang ia inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan, bukan sekadar perkataan simbolis. Perdebatan antara GM dan Pram ini mencerminkan perbedaan pandangan mengenai cara terbaik untuk menghadapi masa lalu yang kelam dan upaya menuju rekonsiliasi nasional.

Pram memang tidak segan menunjukkan keberpihakan politiknya. Lihat saja bagaimana dia merespons gerakan kaum muda yang diwakili oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD), organisasi politik yang sejak awal secara terbuka menyatakan perlawanan terhadap Orba dan banyak pengurusnya diculik dan hilang sampai sekarang. “Saya bersedia menjadi anggota, kalau diterima,” kata Pram dalam rapat pendirian komite persiapan legalisasi PRD di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, 14 Juli 1998. Selain terhadap anak muda, dukungan ini juga menunjukkan keberpihakannya pada gerakan rakyat dan demokrasi yang tengah berjuang melawan hegemoni kediktatoran dan militeristik yang belum hancur sepenuhnya meski Soeharto sudah tumbang. 

Jika masih hidup, Pram mungkin akan menyesali dukungannya itu sebab banyak mantan aktivis muda yang dulu ia dukung kini menjadi bagian dari sistem dan kekuasaan yang dulu mereka lawan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Lentera Kemanusiaan

Sebagai orang yang pernah mengalami penindasan terutama di masa otoriter Orba, Mamuk, nama panggilan Pram sewaktu kecil, jelas sangat mengerti hakikat kebebasan sebagai warga negara. Ia adalah simbol dari keteguhan tak tergoyahkan dalam menghadapi situasi penuh ketidakpastian. Sebagaimana katanya sendiri, “Saya tidak pernah jadi budak.” Tentu dia juga ingin orang-orang mengalami hal yang sama. Tidak jadi budak dan tidak memperbudak. 

Karena itu pula ia selalu keras terhadap penguasa. Warisannya merupakan pengingat bahwa kekuasaan tanpa etika dan kemanusiaan hanya akan melahirkan malapetaka. Dalam Rumah Kaca (1988), ia merefleksikan bagaimana kekuasaan yang tamak dapat meluluhlantakkan sistem pemerintahan. “Ketika penguasa takut pada rakyatnya, itulah tanda sebuah bangsa yang sehat,” ulas Pram dengan tajam. Pemerintah harus mendengarkan suara rakyat, bukan membungkamnya. Mereka diharapkan memimpin dengan adil, bukan mengutamakan kepentingan sendiri. 

Setiap tulisannya selalu menggugah kesadaran agar tidak hanya menerima keadaan, tapi juga merenungkan dan mencari jalan menuju perubahan. Setiap halaman dari karya-karyanya menantang kita untuk berpikir kritis, merasakan, sekaligus berani bersikap. Ia menanamkan keyakinan pada kita bahwa dunia bisa berubah kalau manusia itu bermimpi lalu bergerak. Seperti yang ia amanatkan, “Hidup ini harus diperjuangkan.” 

Seabad kelahiran Pram semakin menegaskan kepada kita bahwa dapur solidaritas akan tetap selalu menyala. Bahwa kita tidak melupakan Pram. Ia tetap hidup di jiwa dan langkah orang-orang yang memilih menegakkan kepala dan melawan berbagai persoalan yang mengurangi harga diri manusia, yang menindas dan menghina nilai-nilai kemanusiaan. Pramoedya tidak pernah mati. Ia selalu hidup melalui 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa. Ditambah tulisan-tulisan lainnya yang berserakan di mana-mana. Ia adalah simbol akan harapan dan keberanian melawan ketidakadilan.


B. Mario Yosryandi Sara, Anggota Associate Scholarium di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.