Ilustrasi: Ilustruth
Pengantar penerjemah: Claudio Katz adalah profesor ekonomi di Universitas Buenos Aires (Argentina) dan anggota Economists of the Left. Ia telah menulis berbagai artikel dan buku tentang kapitalisme dan imperialisme kontemporer, termasuk Bajo el Imperio del Capital, Dependency Theory After Fifty Years, dan yang terbaru, La Crisis del Sistema Imperial. Dalam wawancara mendalam bersama Federico Fuentes dari LINKS International Journal of Socialist Renewal ini, Katz menjelaskan tentang pentingnya untuk tidak hanya memandang imperialisme dari sudut pandang ekonomi, membahas kebangkitan yang ia sebut sebagai “sistem imperial” dan kompleksitas gerakan anti-imperialisme di abad ke-21.
Federico Fuentes (FF): Apakah konsep imperialisme masih relevan saat ini? Dan, jika ya, bagaimana Anda mendefinisikan imperialisme?
Claudio Katz (CK): Kita harus mengakui bahwa imperialisme memainkan peran yang menentukan dalam berfungsinya kapitalisme, tetapi pada saat yang sama, imperialisme tidak identik dengan kapitalisme. Imperialisme tidak dapat disamakan dengan kapitalisme: yang terakhir adalah modus produksi yang dominan, sedangkan yang pertama adalah instrumen yang memastikan kelangsungan sistem tersebut. Kapitalisme selalu menunjukkan karakteristik kolonial atau imperialisme, dan menggunakan berbagai bentuk penindasan untuk memaksakan dominasinya. Imperialisme modern adalah bagian dari kesinambungan ini. Ia bukanlah sekadar tahap dalam perkembangan kapitalisme, seperti liberalisme abad ke-19 atau intervensionisme negara pascaperang. Imperialisme juga bukan sebuah bentuk pengelolaan negara, seperti keynesianisme atau neoliberalisme. Pembedaan ini sangat penting untuk memberikan konteks pada apa yang ingin kita definisikan.
Imperialisme memastikan kelangsungan kerja kapitalisme melalui tiga cara. Pertama, dalam aspek ekonomi, ia berfungsi sebagai mekanisme di mana para kapitalis di negara-negara inti menguasai dan mengambil alih sumber daya dari negara-negara pinggiran. Kedua, dalam aspek geopolitik, ia berperan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persaingan antara kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk mendominasi pasar. Dan ketiga, dalam aspek politik, ia berfungsi untuk melindungi kepentingan para penindas.
Untuk memahami imperialisme, kita perlu mempertimbangkan ketiga aspek ini. Ini berarti, yang terpenting, kita harus menjauhkan diri kita dari pendekatan liberal yang memisahkan isu kekuatan imperialis dari akar kapitalisnya. Namun, kita juga harus mengambil jarak dari pendekatan marxis tradisional kita sendiri, yang cenderung memandang imperialisme hanya dari sudut pandang ekonomi dan mengabaikan dimensi politik dan geopolitik.
Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi penilaian ulang yang signifikan terhadap interpretasi yang terlalu sederhana mengenai imperialisme. Pengenalan konsep “dua logika” oleh Giovanni Arrighi sangat penting. Konsep ini memberikan pemahaman yang lebih tepat tentang geopolitik dalam kerangka imperialisme, serta membantu menjelaskan ketegangan antara AS dan Cina sebagai sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar persaingan ekonomi. Saya berusaha untuk menambahkan komponen lain dalam analisis ini: dimensi politik ketiga dari imperialisme, yang menyoroti bagaimana para penindas memanfaatkan imperialisme untuk menguasai yang tertindas. Penaklukan ini sering kali dilakukan melalui ancaman atau kekerasan. Imperialisme beroperasi pada skala global untuk menghadapi perlawanan rakyat, pemberontakan, dan revolusi.
FF: Anda baru saja menerbitkan The Imperial System in Crisis. Mengapa Anda menggunakan istilah ”sistem imperialisme” dan apa yang Anda maksudkan dengan hal ini?
CK: Saya menggunakan konsep ini untuk menjelaskan keunikan imperialisme modern. Menurut pendapat saya, saat ini kita berada dalam sebuah sistem imperialisme yang pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-20. Sistem ini memiliki karakteristik yang sangat unik yang membedakannya dari model-model sebelumnya.
Sistem kekaisaran ini berbeda, pertama dan terutama, dari konsep tradisional kekaisaran yang sering kali kabur. Banyak ilmuwan telah menggunakan istilah ini untuk menggambarkan berbagai kekuatan sepanjang sejarah yang beroperasi dengan cara yang sama untuk mengendalikan negara-negara yang ditaklukkan. Definisi umum seperti itu tidak memadai jika kita ingin mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Definisi tersebut mengabaikan fakta bahwa terdapat berbagai jenis kekaisaran, yang masing-masing memiliki perbedaan yang signifikan karena didasarkan pada moda produksi yang berbeda. Konsep sistem imperialisme menekankan perbedaan ini. Imperialisme modern sangat berbeda dari kerajaan-kerajaan pra-kapitalis seperti Roma, Yunani, Persia, Spanyol, Portugis, atau Belanda, yang didorong oleh keinginan untuk memperluas wilayah atau ambisi perdagangan.
Sistem kekaisaran juga berbeda dari model kekaisaran informal yang lebih modern yang muncul selama konsolidasi kapitalisme antara tahun 1830 dan 1870. Dalam model ini, penggunaan kekerasan hanya merupakan aspek pelengkap dari dominasi Inggris. John A. Hobson menyoroti keunikan ini, dan banyak penulis yang menggunakan konsep tersebut untuk menggambarkan skenario selanjutnya, seperti dominasi Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia II. Penulis lain juga menerapkan konsep yang sama untuk menjelaskan supremasi AS selama periode globalisasi. Saya lebih memilih konsep sistem imperialisme karena konsep ini menekankan bahwa imperialisme modern merupakan struktur pemaksaan yang ditopang oleh jaringan pangkalan militer yang digunakan untuk melancarkan berbagai jenis perang hibrida. AS tidak bertindak sendiri ketika melakukan invasi, melainkan berperan sebagai pemimpin dari jaringan sistemik yang luas ini.
Terakhir, konsep sistem imperialisme ini berbeda dari imperialisme klasik yang dianalisis oleh Vladimir Lenin pada awal abad ke-20, ketika negara-negara besar bersaing satu sama lain dalam Perang Dunia. Mereka yang ingin memperbarui model Lenin dan mengantisipasi kembalinya perang antar-imperialis, sering kali menggambarkan Cina dan Rusia sebagai kekuatan imperialis yang bersaing dengan AS dan Eropa untuk mencapai supremasi global. Mereka percaya bahwa bentrokan antara kekaisaran Timur dan Barat akan diselesaikan di medan perang. Pada akhirnya, mereka melihat bahwa akhir dari globalisasi akan menciptakan kembali ketegangan dan situasi yang sangat mirip dengan Perang Dunia I.
Sebaliknya, saya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan substansial antara masa lalu dan sekarang. Yang paling mencolok adalah tidak adanya perang antara kekuatan kapitalis besar sejak pertengahan abad ke-20. Tidak ada konflik militer antara Prancis dan Jerman atau Jepang dan AS. Bahkan, meskipun ada ketegangan yang meningkat dengan Uni Soviet, yang memiliki karakteristik yang berbeda, tidak berujung pada konfrontasi bersenjata secara langsung. Kehadiran senjata nuklir menghadirkan ancaman yang jelas bahwa perang yang meluas dapat mengakhiri umat manusia. Selain itu, tidak ada persaingan antara kekuatan yang setara. Sebaliknya, terdapat kekuatan global yang melindungi seluruh sistem melalui kekuatan militer Pentagon, dengan AS sebagai inti dari sistem kekaisaran. Terdapat juga perbedaan ekonomi yang signifikan antara kapitalisme di masa Lenin dan kapitalisme di abad ke-21. Upaya untuk menganalisis situasi kontemporer dengan menggunakan kriteria Lenin pada akhirnya mengarah pada kategorisasi yang dipaksakan, terutama terkait dengan status Rusia atau Cina.
Sistem kekaisaran muncul pada paruh kedua abad ke-20. Semua institusi dan instrumen yang, dalam satu atau lain bentuk, ada saat ini muncul pada periode itu. AS memimpin sistem ini dan beroperasi sebagai penjaga kapitalisme, sebuah peran yang didelegasikan kepadanya oleh negara-negara sekutunya. AS memainkan peran sentral dalam menumpas berbagai pemberontakan revolusioner di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Orang dapat berargumen bahwa metode intervensi AS telah berubah di abad ke-21, tetapi perannya sebagai penyokong kapitalisme Barat tetap tidak berubah.
Sistem kekaisaran memiliki struktur hierarki. AS berdiri di puncak piramida yang memiliki aturan tentang keanggotaan, koeksistensi, dan pengecualian. Setiap wilayah atau negara yang tergabung dalam sistem ini memiliki posisi tertentu dalam struktur tersebut, yang pada gilirannya menentukan intensitas konflik. Konflik antara mereka yang berada dalam sistem imperialisme tidak sebanding dengan perselisihan dengan negara-negara di pinggiran. Misalnya, perbedaan antara AS dan Eropa mengenai nilai tukar euro/dolar (atau supremasi Boeing atas Airbus) memiliki karakter yang sangat berbeda dengan perselisihan dengan Cina dan Rusia. Hal ini memiliki skala yang berbeda karena melibatkan kekuatan yang berada di luar sistem kekaisaran.
Eropa merupakan mitra utama AS dalam sistem ini, meskipun beberapa negara memiliki tingkat otonomi operasional yang cukup tinggi dari Washington. Akibatnya, mereka memiliki status sebagai kekuatan alternatif imperial. Prancis, misalnya, menerapkan kebijakan imperialisnya sendiri terhadap bekas jajahannya di Afrika. Namun, biasanya meminta izin, bersekutu, atau meminta nasihat dari AS sebelum mengambil langkah internasional yang signifikan. Mitra-mitra lain beroperasi pada tingkat yang berbeda dalam sistem ini, seperti Israel, Australia dan Kanada. Kepentingan mereka saling terkait dengan kepentingan AS, dan mereka menjalankan peran-peran kekaisaran yang spesifik di berbagai wilayah di dunia.
Penting juga untuk mengakui bahwa sistem imperialisme telah mengubah hubungan antara negara-negara dan kelas-kelas dominan, tetapi perubahan ini tetap berlangsung pada skala nasional. Hal ini bertentangan dengan ekspektasi Antonio Negri atau William I. Robinson, yang membayangkan bahwa imperialisme berevolusi menjadi imperium global dengan negara-negara dan kelas-kelas transnasional yang beroperasi di dalam tatanan dunia yang lebih seragam. Harapan-harapan ini telah terbantahkan dengan berakhirnya euforia globalisasi dan munculnya persaingan geopolitik antara AS dan Cina. Konflik ini menegaskan tidak ada keterkaitan yang berarti antara kelas-kelas atau negara-negara dari dua kekuatan besar dunia tersebut. Sistem kekaisaran membantu kita memahami situasi saat ini.
FF: Seberapa besar bobot relatif dari mekanisme eksploitasi imperialis saat ini, dibandingkan dengan masa lalu?
CK: Mekanisme-mekanisme ini telah diteliti secara ekstensif dalam studi-studi tentang ekonomi imperialisme. Mekanisme-mekanisme ini merupakan elemen penting dari sistem ini karena tujuan utama struktur ini adalah untuk mengeruk keuntungan dari negara-negara pinggiran yang ditaklukkan. Terdapat persaingan yang ketat antara kekuatan-kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dunia Arab, dan sebagian besar Asia. Dalam konteks ekonomi, sistem imperialisme berfungsi sebagai mekanisme internasional yang mentransfer sumber daya dari pinggiran ke pusat. Eksploitasi ini dimungkinkan karena kekuatan tertentu mengendalikan negara-negara lain yang kedaulatannya dibatasi, dinetralkan, atau dilucuti. Jelas bahwa negara-negara pinggiran tidak terlibat dalam sistem imperialisme atau dalam perselisihan mengenai keuntungan yang diekstraksi dari mereka.
Studi tentang ekonomi imperialisme berkembang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Terdapat berbagai diskusi mengenai dinamika pertukaran yang tidak merata dan berbagai metode yang digunakan untuk mengalirkan nilai dari pinggiran ke pusat. Beberapa peneliti menyoroti bagaimana ekonomi yang lebih padat modal menyerap nilai lebih dari ekonomi yang lebih bergantung. Prinsip ini menjelaskan logika ekonomi objektif dari imperialisme. Sangatlah penting untuk mengungkap misteri seputar masalah ini. Namun, jelas terdapat berbagai mekanisme yang digunakan untuk memindahkan sumber daya dari daerah pinggiran ke pusat. Ada mekanisme produktif, seperti maquilas dan zona pemrosesan ekspor yang didirikan di negara-negara pinggiran; terjadi pertukaran yang tidak setara ketika barang-barang manufaktur atau layanan teknologi tinggi diperdagangkan dengan komoditas dasar; dan ada mekanisme transfer keuangan seperti utang luar negeri. Penting untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme ini, berbeda dengan pendekatan yang hanya berfokus pada bidang produktif atau hanya tertarik pada aspek keuangan. Transfer sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat terjadi melalui berbagai jalur.
Beberapa penulis telah mengeksplorasi bagaimana proses-proses ini berbeda dengan yang terjadi pada abad sebelumnya. Arus utama dalam kajian ini sangat terkait erat dengan teori ketergantungan marxis, yang dapat dilihat sebagai salah satu cabang dalam ekonomi imperialisme. Para penulis ini menawarkan beberapa jalur penelitian yang menjanjikan, tetapi tetap memerlukan beberapa catatan tambahan.
Para pendukung pendekatan ini dengan tepat menekankan bentuk-bentuk transfer nilai saat ini dari ekonomi yang kurang berkembang ke ekonomi yang lebih maju. Namun, kita perlu lebih cermat dalam mendefinisikan aktor-aktor yang terlibat. Sebagai contoh, kita harus berhati-hati ketika merujuk pada Global South (Dunia Selatan): siapa saja yang termasuk dalam kelompok negara-negara ini, dan siapa yang tergolong dalam dalam kutub yang berlawanan, Global North (Dunia Utara)? Apakah Global North mencakup semua negara inti, sementara Global South mencakup semua negara pinggiran? Jika demikian, di manakah posisi Cina? Jika kita mengategorikan Cina sebagai bagian dari Selatan, maka akan sangat sulit untuk menjelaskan bagaimana transfer nilai beroperasi saat ini.
Pendekatan saya juga berusaha menyoroti karakteristik unik dari ekonomi menengah. Terdapat jurang pemisah yang sangat besar antara negara-negara seperti Brasil dengan Haiti, Turki dengan Yaman, dan India dengan Mali. Memahami hal ini adalah kunci untuk mencatat berbagai cara yang digunakan untuk menguras, mempertahankan, atau menyerap nilai dalam dinamika akumulasi kapitalis.
Saya juga berpendapat bahwa gagasan tentang produksi global, di mana nilai lebih dihasilkan secara eksklusif di Selatan dan disita oleh Utara, sebagai pandangan yang terlalu sederhana. Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa nilai lebih dihasilkan di seluruh dunia. Yang membedakan antara inti dan pinggiran bukanlah penciptaan nilai lebih itu sendiri, melainkan siapa yang paling diuntungkan dari nilai lebih yang dirampas dari para pekerja. Eksploitasi tenaga kerja terjadi di mana-mana; perbedaannya terletak pada kapasitas yang lebih besar yang dimiliki oleh para kapitalis di pusat untuk meraih keuntungan dari eksploitasi tersebut.
Konsep mengenai super-eksploitasi juga harus digunakan dengan hati-hati, dan tidak hanya diterapkan pada ekonomi pinggiran. Metode pemberian upah tenaga kerja di bawah nilai sebenarnya ini dapat ditemukan di sektor-sektor termiskin di semua negara. Perbedaan utama antara negara inti dan negara pinggiran bukanlah adanya eksploitasi berlebihan, melainkan karena negara pusat mengambil sebagian besar nilai yang dihasilkan melalui cara ini.
Saya juga percaya bahwa kita harus berhati-hati dengan isu-isu dan kontroversi ini. Penting untuk tidak kehilangan fokus pada gambaran besar saat membahas rincian tertentu. Isu-isu utama terkait teori imperialisme tidak dapat diselesaikan hanya dalam ranah ekonomi. Mempelajari super-eksploitasi, hukum nilai atau finansialisasi, misalnya, tidak akan memberi kita kejelasan tentang status Cina saat ini.
FF: Dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya ada perubahan dalam sistem kekaisaran. Sementara AS dipaksa mundur dari Afganistan, Rusia telah menginvasi Ukraina, Cina terus bangkit, dan negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi, di antaranya, telah mengerahkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara garis besar, bagaimana Anda menjelaskan perubahan dinamika dalam sistem kekaisaran ini?
CK: AS tetap menjadi pemimpin sistem imperialisme. Ini berarti kita harus terus-menerus menganalisis kekuatan utama saat mempelajari imperialisme modern. Menilai kondisi AS dapat memberikan wawasan yang signifikan tentang arah sistem imperialisme. Teka-teki utama yang masih tersisa adalah sejauh mana skala penurunan ekonomi negara tersebut. Jelas bahwa AS telah terperosok ke dalam kemerosotan ekonomi struktural yang serius dan berkepanjangan. Buktinya terlihat jelas, seperti hilangnya daya saing perusahaan-perusahaannya dan tingkat de-dolarisasi tertentu yang terjadi secara global. Penurunan ini telah memicu konflik domestik antara dua kelompok ekonomi yang kuat di AS: kaum globalis yang berbasis di pesisir dan kaum amerikanis di pedalaman.
Cina telah membuat kemajuan penting dalam upayanya untuk mendominasi secara global, namun AS masih jauh dari mengalami kekalahan. Saat ini, AS belum memiliki jawaban yang memadai atas tantangan yang diajukan oleh Beijing. Saya sependapat dengan mereka yang skeptis terhadap prediksi penurunan ekonomi AS yang tak terelakkan. Sektor produktifnya mengalami proses rekomposisi secara berkala, yang meskipun tidak memulihkan supremasi AS, namun menangkal gagasan tentang penurunan yang tidak dapat dipulihkan.
Lebih penting lagi, kita tidak boleh melihat perselisihan global ini hanya sebagai pertarungan ekonomi. AS telah terlibat dalam aksi militer berskala besar untuk memengaruhi hasil dari konflik ini. Itulah mengapa sistem kekaisaran adalah konsep yang sangat diperlukan dalam merumuskan diagnosis yang akurat. Strategi utama negara adikuasa ini adalah mengimbangi kemerosotan ekonominya dengan memanfaatkan kekuatan militernya di seluruh dunia. AS menggunakan pendekatan ini untuk mencoba membangun kembali kepemimpinannya, yang pada gilirannya meningkatkan risiko perang dan, dengan demikian, memperkuat kompleks industri militer. Kompleks industri militer tetap menjadi pendorong utama inovasi teknologi, dengan Pentagon memainkan penting penting dalam revolusi informasi yang dipimpin oleh AS. Inovasi yang dikembangkan di sektor militer kemudian ditransfer ke ranah sipil untuk memastikan daya saing.
Namun, dalam upaya untuk menghentikan kemerosotan ekonominya melalui tindakan militer, AS telah terjebak ke dalam perangkap hipertrofi militer. Hal ini justru memperburuk situasi dan merusak upaya untuk memperbaiki ekonominya yang sedang kesulitan. Ternyata, obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakitnya. Dengan menurunnya produktivitas, muncul ketegangan antara sektor militer dan sipil, yang memperparah pengeluaran yang tidak produktif. Kepentingan kontraktor berbenturan dengan kepentingan perusahaan yang mencari keuntungan. Ketidaksepakatan di dalam kelas penguasa meningkat terkait prioritas; misalnya, apakah akan mendukung ambisi ekspansionis Israel secara membabi buta atau berusaha mempertahankan dukungan Saudi untuk dominasi global dolar AS. Departemen Luar Negeri AS terus-menerus terganggu oleh ketegangan yang belum terselesaikan ini, yang terus berlanjut baik pada saat kemenangan (seperti pengeboman Yugoslavia), atau kekalahan (seperti di Afganistan dan Irak). Gigantisme militer memperbesar kemerosotan ekonomi dan mereproduksi ketegangan yang menggerogoti masyarakat AS.
Masalah utamanya terletak pada perbedaan kualitatif antara sistem kekaisaran modern saat ini dan model pada abad ke-20. Pada paruh kedua abad ke-20, AS memimpin sebuah sistem yang memiliki basis ekonomi yang kuat. Saat ini, meskipun AS masih memegang kendali, tetapi dominasi ekonominya tidak sekuat dulu. AS berusaha mengimbangi situasi ini dengan meningkatkan tindakan permusuhan.
Upaya serangan balik yang dilakukan Joseph Biden beberapa waktu lalu mencerminkan hal ini. Di satu sisi, ia memprovokasi perang Ukraina dengan mendukung inisiatif untuk menarik Ukraina ke dalam sistem jaringan rudal NATO. Ia berusaha menjebak Rusia dan mengulangi mimpi buruk kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Namun, setahun kemudian, semua pihak masih terjebak dalam konflik yang hingga saat ini tidak menunjukkan siapa pemenangnya. AS tentu saja telah mencapai beberapa tujuan: mereka berhasil memaksakan pertumpahan darah tanpa harus mengerahkan pasukannya sendiri; mengembuskan kehidupan baru ke dalam NATO; dan berhasil mengintegrasikan Finlandia dan Swedia ke dalam organisasi tersebut. NATO juga telah mampu mengalihkan biaya ekonomi, kemanusiaan, sosial, dan politik dari perang ke Eropa. Namun, kekalahan Rusia yang diharapkan tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Hasil di medan perang lainnya juga masih belum pasti. AS telah mengirim pasukan ke Laut Cina untuk meningkatkan ketegangan dan membenarkan pembentukan NATO Pasifik bersama Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Meskipun ini berhasil meningkatkan intensitas konflik, AS gagal memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang jelas dalam pertarungan ini.
Biden menggabungkan keynesianisme dalam dalam kebijakan domestik dan menerapkan pendekatan luar negeri yang lebih agresif untuk menghidupkan kembali semangat Perang Dingin yang baru dan mengembalikan posisi sentral AS dalam aliansi Barat. Penting untuk dicatat bahwa strategi ini memiliki kemiripan dengan strategi yang pernah diterapkan pada paruh kedua abad ke-20. Serangan balasan di Ukraina dan Laut Cina merupakan reaksi terhadap tantangan yang dihadapi di Afganistan dan Irak. Hal ini menunjukkan bahwa AS menggunakan kekuatan militer sebagai upaya untuk menghentikan, atau setidaknya memperlambat, penurunan ekonominya.
FF: Apa yang bisa Anda ceritakan tentang peran Cina dan Rusia?
CK: Mari kita mulai dengan membahas Rusia. Periode traumatis setelah runtuhnya Uni Soviet telah berlalu, dan kapitalisme kini berkuasa. Ini menunjukkan bahwa Rusia memenuhi persyaratan pertama untuk diakui sebagai kekaisaran: adanya ekonomi kapitalis. Namun, meski demikian, ekonominya masih lemah dan sangat bergantung pada ekspor sumber daya alam. Negara ini menghadapi berbagai tantangan terkait produktivitas dan masih terdapat kesenjangan teknologi yang signifikan antara sektor militer dan industri sipilnya. Ketidakseimbangan ini terjadi dalam kerangka ekonomi kapitalis, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan status Rusia saat ini.
Status Rusia dipengaruhi oleh dualitas unik sebagai negara yang tertindas sekaligus penindas. Rusia mengalami penindasan, tetapi juga melakukan intervensi eksternal. Situasi yang dihadapi Rusia sangat kontradiktif. Di satu sisi, AS, melalui NATO, secara agresif mengganggu Moskow. Washington terus-menerus berusaha untuk memecah-belah mantan musuhnya. Boris Yeltsin (dan, pada awalnya, Vladimir Putin) mencoba meredakan tekanan ini dengan menawarkan integrasi Rusia ke dalam sistem kekaisaran, tetapi semua langkah tersebut diveto oleh AS. Elit neoliberal Rusia –yang terdiri dari oligarki internasional yang berinvestasi di Inggris, berlibur di Florida, dan mendidik anak-anak mereka di New York– terus berusaha untuk berasimilasi dengan Barat. Namun, upaya ini pun tidak cukup untuk mengurangi ambisi AS dalam memecah belah Rusia. Tekanan yang berkelanjutan ini mendorong Putin mengambil langkah defensif, dengan menegakkan aturan negara dan melaksanakan otoritas negara guna untuk mencegah disintegrasi.
AS memiliki obsesi agresif terhadap Rusia, dan alasan di baliknya sangat jelas: sulit untuk mengendalikan sistem kekaisaran ketika berhadapan dengan musuh yang memiliki persenjataan nuklir yang besar. Untuk menjalankan dominasi yang efektif, Pentagon perlu mengganggu musuhnya. Inilah yang menjadi tujuan dari semua serangan yang dilakukan sebelum dan selama konflik di Ukraina.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Rusia bukan hanya korban dari sistem kekaisaran. Rusia juga merupakan kekuatan yang sangat aktif, terutama di wilayah pinggirannya, di mana ia menerapkan kebijakan dominasi dan melindungi kepentingan bersama dengan para elite yang bersekutu dengan Moskow. Kazakstan adalah salah satu contohnya. Di negara ini, Kremlin mengirimkan pasukan untuk melindungi kepentingan bisnis yang dimiliki bersama dengan mitra lokalnya. Oleh karena itu, melihat status Rusia perlu mempertimbangkan peran gandanya sebagai agresor dan korban.
Menurut pandangan saya, status Rusia saat ini dapat digambarkan sebagai kerajaan non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan. Istilah non-hegemonik digunakan karena beroperasi di luar sistem kekaisaran yang mapan, sementara ”sedang dalam masa pertumbuhan” karena mencerminkaan karakter embrionik dari status barunya. Rusia tidak menunjukkan tingkat stabilitas yang sama dengan kekaisaran lainnya. Perang Ukraina kemungkinan besar akan menjadi penentu apakah negara ini berhasil mengonsolidasikan status kekaisarannya atau justru menghadapi kemunduran dini. Konsep kekaisaran non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan ini memungkinkan kita untuk membedakan Rusia dari kekuatan imperialis lainnya. Konsep ini berbeda dari pandangan yang menempatkan Rusia pada level yang sama dengan AS. Selain itu, konsep ini juga menantang anggapan yang berlawanan bahwa Rusia tak lebih dari sekadar target agresi AS. Sementara rudal-rudal NATO mengepung Rusia, negara ini terus mengerahkan pasukan ke Suriah dan mengekspor tentara bayaran ke Afrika. Dalam konteks ini, meskipun Rusia berada di luar sistem kekaisaran dan menempati posisi ekonomi yang subordinat, ia berusaha menegaskan posisinya dalam tatanan global melalui penggunaan kekuatan. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam mendefinisikan status Rusia.
Menggambarkan karakteristik Cina lebih mudah dilakukan. Seperti halnya Rusia, Cina berada di luar sistem kekaisaran dan menjadi target agresi AS. Namun, berbeda dengan Rusia, kapitalisme belum sepenuhnya pulih di Cina. Meskipun kapitalisme hadir, ia tidak mengendalikan dan mendominasi ekonomi atau masyarakat Cina. Ciri khas ini menjelaskan kemajuan luar biasa negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Cina berhasil memadukan fondasi sosialis lamanya dengan mekanisme pasar dan parameter kapitalis. Kombinasi ini memungkinkan Cina untuk mempertahankan surplusnya melalui sistem yang berbeda dengan neoliberalisme dan finansialisasi. Cina tidak akan bisa mencapai kemajuan luar biasa jika hanya menjadi negara kapitalis biasa.
Perbedaan utama antara Cina dan Rusia (dan negara-negara Eropa Timur lainnya) terletak pada bidang politik, terutama dalam pembatasan yang dikenakan pada kelas kapitalis. Sektor ini memang ada dan memiliki pengaruh penting, tetapi tidak mengendalikan negara atau memegang kekuasaan politik. Di Cina, terdapat modus produksi yang sebagian berakar pada tradisi sosialis lama dan birokrasi yang mengelola negara dengan cara yang sangat berbeda dari kapitalis.
Kebijakan luar negeri Cina tidak memiliki karakteristik yang sama dengan kekuatan imperialis. Cina menahan diri untuk tidak mengirim pasukan ke luar negeri, menghindari konflik militer, dan sangat berhati-hati dalam hal geopolitik. Beijing mengadopsi pendekatan defensif, mendukung pelemahan saingannya, Amerika Serikat, dan memprioritaskan tekanan terhadap Taiwan sebagai cara untuk menegaskan kembali status sah “Satu Tiongkok”. Oleh karena itu, menggambarkan kekuatan baru ini dengan istilah kekaisaran tidaklah tepat.
Ini bukan berarti saya setuju dengan pandangan yang memandang Cina sebagai bagian dari Global South. Beijing memanfaatkan daerah pinggiran, menyerap nilai surplus dari ekonomi yang paling terbelakang dan sering kali menjalin hubungan dominasi ekonomi dengan sebagian besar negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ini adalah tren yang umum terjadi, meskipun jika negara-negara pinggiran bernegosiasi dengan raksasa Asia ini dengan cara yang berbeda, mereka mungkin dapat mencapai pembangunan yang lebih merata.
FF: Bagaimana dengan negara-negara kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang kini melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Bagaimana Anda melihat status negara-negara ini?
CK: Beberapa beberapa negara ini kini semakin berperan penting di panggung global, dan para pemain regional ini telah memberikan dampak yang tidak terduga. Contohnya adalah BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), di mana Cina telah membangun berbagai kemitraan dengan negara-negara ini untuk memastikan pasokan energi, mengamankan rute laut, dan bersaing dalam memperebutkan kendali atas sumber daya Afrika.
Ada dua konsep yang berguna untuk menjelaskan status negara-negara ini. Yang pertama adalah gagasan ekonomi semi-periferal yang diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein untuk menunjukkan bahwa dalam pembagian kerja global, terdapat lebih dari sekadar negara-negara inti dan negara-negara pinggiran. Ada juga sekelompok negara yang berada di posisi tengah. Negara-negara ini, meskipun tidak dapat naik ke tingkat atas, mereka tidak mengalami tingkat ketidakberdayaan dan ketergantungan yang sama seperti negara-negara yang lebih terbelakang. Konsep lain yang membantu adalah gagasan Ruy Mauro Marini tentang sub-imperialisme. Istilah ini mengacu pada negara-negara berkembang yang mampu menggunakan kekuatan untuk menantang dominasi regional. Contoh terbaru dari konflik semacam itu adalah persaingan tripartit untuk dominasi ekonomi di Timur Tengah antara Turki, Arab Saudi, dan Iran.
Terdapat banyak variasi di antara negara-negara menengah ini. Dalam kelompok yang sama, terdapat negara yang ekonominya sangat bergantung (seperti Argentina), dan negara lain yang mampu bersaing di tingkat global dalam industri tertentu (seperti Korea Selatan), meskipun pengaruh politiknya relatif kecil. Selain itu, ada negara berkembang yang memiliki kehadiran geopolitik yang signifikan tetapi basis ekonominya lemah (seperti Turki), dan negara-negara yang memiliki pengaruh penting di kedua wilayah tersebut (seperti India). Situasi ini sangat kompleks dan terus berkembang, sehingga membutuhkan interpretasi yang cermat dan akurat.
Arab Saudi, misalnya, merupakan sebuah teka-teki yang besar. Negara ini tidak lagi beroperasi sebagai monarki pasif yang sepenuhnya dikendalikan oleh AS. Meskipun merupakan sekutu kunci dari sistem kekaisaran, Arab Saudi tidak terlibat secara langsung di dalamnya. Selama bertahun-tahun, negara ini telah memasok rente minyak yang digunakan pasar oleh keuangan global untuk mempertahankan supremasi dolar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para raja Saudi telah mempertahankan otonomi tertentu dari AS dalam beberapa bidang kebijakan. Mereka telah melakukan langkah-langkah yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana mereka berencana untuk mengelola sewa minyak yang menopang dolar.
Saudi juga telah muncul sebagai klien penting untuk Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina (Belt and Road Initiative), menerima investasi yang sangat besar-besaran. Konsekuensi dari peristiwa-peristiwa ini mulai terlihat, tetapi Departemen Luar Negeri AS kesulitan untuk meresponsnya. Mereka khawatir tentang kemungkinan de-dolarisasi di masa depan, tetapi tidak memiliki rencana untuk mencegahnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
FF: Apa pendapat Anda tentang konsep multipolaritas yang dipromosikan oleh beberapa sektor sayap kiri?
CK: Saya berpendapat bahwa konsep sistem imperialisme memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang situasi global ketimbang ide-ide seperti multipolaritas. Istilah ini, bersama dengan unipolaritas dan bipolaritas, pada dasarnya bersifat deskriptif dan merujuk pada tingkat stabilitas tertentu dalam berbagai konfigurasi tatanan dunia. Terdapat perbedaan yang luas dalam bidang Hubungan Internasional mengenai mana yag lebih baik dalam menciptakan keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan: multipolaritas atau unipolaritas.
Konteks multipolar yang ada saat ini menunjukkan adanya distribusi kekuatan yang sepadan dengan krisis sistem imperialisme. Aspirasi neokonservatif yang muncul setelah keruntuhan Uni Soviet, untuk menciptakan “Abad Amerika Baru” di bawah kepemimpinan Washington, telah mengalami kemunduran yang signifikan akibat kekalahan militer dan kegagalan geopolitik AS. Pergeseran ke arah multipolaritas dapat dilihat sebagai hal yang positif dibandingkan dengan konteks unipolar sebelumnya, terutama jika itu berarti melemahnya kapasitas agresif imperialisme.
Namun, multipolaritas tidak dapat disamakan dengan anti-imperialisme. Para pemimpin dari semua pemerintahan yang berkonflik dengan AS dan sekutunya berusaha untuk meningkatkan kekuatan kelas penguasa atau birokrasi mereka. Tidak ada yang berusaha menetralisir imperialisme sebagai cara untuk menciptakan masyarakat baru. Oleh karena itu, saya tidak memiliki ketertarikan atau idealisasi naif yang dimiliki oleh banyak orang di sayap kiri terhadap multipolaritas. Pujian semacam itu sangat keliru ketika mengesampingkan tokoh-tokoh yang lebih konservatif dan sayap kanan yang berada di garis depan gerakan multipolar.
Usulan mendiang presiden Venezuela, Hugo Chavez, mengenai proyek pluripolaritas sosialis jauh lebih baik. Proyek ini tidak bertentangan dengan multipolaritas, tetapi berbeda karena berusaha melibatkan program dan kekuatan rakyat yang memiliki tujuan serupa untuk membangun masa depan pasca-kapitalis. Konsep ini telah diusulkan dalam berbagai pertemuan gerakan sosial dan partai kiri, terutama di Amerika Latin. Konsep ini mengikuti jalur yang sama dengan forum-forum yang diselenggarakan oleh gerakan anti-globalisasi. Saya percaya bahwa benih-benih gerakan kontra-hegemoni telah ditaburkan di Seattle dan Porto Alegre pada tahun 1990-an. Sayangnya, upaya-upaya ini tidak tahu bagaimana caranya atau gagal untuk berkolaborasi dengan pemerintah-pemerintah yang lebih radikal di Amerika Latin “Pink Tide”, yang menyebabkan kemunduran gerakan internasionalis.
Saat ini, kita menghadapi situasi yang sangat kompleks karena menguatnya konsolidasi gerakan kanan-jauh. Dengan retorika dan perilaku reaksionernya, kekuatan kanan-jauh ini berhasil menyalurkan ketidakpuasan rakyat dalam jumlah besar. Menghadapi tantangan ini, penting untuk memperkuat proyek kiri kita sendiri, dengan tujuan-tujuan egaliter dan aspirasi sosialisnya.
FF: Mengingat semua ini, seperti apa seharusnya anti-imperialisme abad ke-21?
CK: Pertama-tama, kita harus kembali ke akarnya. Karl Marx memulai warisannya dengan mengubah pandangannya bahwa kelas pekerja Eropa akan memimpin revolusi sosialis yang akan menyeret kaum pinggiran menuju dunia tanpa penindasan. Belakangan, ia menyadari pentingnya perlawanan dari masyarakat pinggiran. Pertama kali ia melihat ini di Irlandia, kemudian di Cina dan India, dan akhirnya memperluas pandangannya ke wilayah lain. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlawanan terhadap kapitalisme yang menggabungkan pemberontakan anti-kolonial dengan aksi kelas pekerja di pusat-pusat industri.
Tesis ini dikembangkan lebih lanjut oleh Lenin, yang menyoroti hubungan positif antara perjuangan sosial dan nasional dalam melawan kapitalisme. Ia mendukung hak penentuan nasib sendiri di Eropa Timur dan menentang internasionalisme abstrak yang menolak konvergensi perjuangan semacam itu. Ketika dinamika revolusi bergeser ke Timur, Lenin sangat menganjurkan kerja sama dengan nasionalisme revolusioner di balik proyek anti-imperialisme sosialis. Konsep ini kemudian terbukti berhasil dalam revolusi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba.
Di abad ke-21, meskipun masih banyak perjuangan anti-kolonialisme, dunia telah berubah. Palestina adalah contoh yang paling menonjol. Anti-imperialisme tradisional juga muncul kembali di bekas koloni Prancis di Sahel Afrika, dengan kebangkitan semacam chavisme radikal di wilayah ini. Anti-imperialisme klasik, yang tampaknya telah memudar di awal abad ini kecuali di Amerika Latin, kini kembali mendapatkan momentum.
Namun, kita harus melihat dinamika saat ini dengan pandangan yang terbuka, mengakui bahwa anti-imperialisme saat ini lebih kompleks, beragam, dan rumit dibanding masa lalu. Banyak perlawanan terhadap imperialisme kini tidak lagi dipimpin oleh kekuatan nasionalis, progresif, atau kiri, melainkan oleh arus reaksioner yang eksplisit, seperti Taliban di Afganistan, yang berhasil mengalahkan AS tanpa menyempurnakan kemenangan bagi rakyat. Rezim penindas yang didirikan di Kabul adalah antitesis dari proyek progresif, berbeda dengan kemenangan-kemenangan anti-imperialis di paruh kedua abad ke-20.
Perang Ukraina juga menimbulkan pertanyaan yang berbeda: Di pihak manakah kubu anti-imperialis dalam konflik ini? Bagaimana seharusnya kita memosisikan diri? Menurut saya, tanggung jawab utama atas perang ini terletak pada AS, yang sengaja memprovokasi perang dengan mengepung Rusia dengan rudal, mendorong aksesi Kyiv ke NATO, memanipulasi pemberontakan Maidan, mendukung provokasi sayap kanan di Donbas, dan menolak proposal Rusia untuk penyelesaian yang dirundingkan. Namun, Putin juga melakukan invasi yang tidak dapat dibenarkan, menciptakan kepanikan di antara penduduk dan kebencian terhadap penjajah.
Hasil militer apa pun akan memiliki konsekuensi politik yang negatif: jika Zelensky dan NATO menang, sistem kekaisaran akan diperkuat; jika Putin menang, akan ada luka mendalam di Ukraina dan menciptakan kondisi untuk konfrontasi yang berkepanjangan. Saya tidak setuju dengan aliran sayap kiri yang membenarkan invasi Rusia dan lawan-lawan mereka yang membebaskan NATO (dan, dalam kasus yang paling aneh, menganjurkan untuk memasok senjata ke Ukraina). Solusi terbaik dalam skenario buruk ini adalah melanjutkan pembicaraan tentang gencatan senjata, hasil positif yang dipromosikan oleh banyak pemimpin progresif dan gerakan sayap kiri.
Secara lebih umum, saya melihat anti-imperialisme sebagai sebuah prinsip yang tetap relevan dalam konteks agresi, pembantaian, tragedi, dan perang saat ini, meskipun hal ini tidak sejelas pada abad ke-20. Oleh karena itu, mungkin kita perlu kembali ke Marx untuk menemukan panduan strategis. Marx hidup di masa peperangan yang hebat dan menolak penyederhanaan anarkis yang menganggap semua pihak dalam konflik sebagai kekuatan yang setara. Dia juga menolak pasifisme liberal yang menentang perang dengan alasan etika sambil mengabaikan logika politik dan akar kapitalisme. Marx menyarankan beberapa prinsip untuk memihak atau menentang dalam perang, siapa yang menjadi agresor, siapa yang mengajukan tuntutan yang adil, dan siapa yang menjadi musuh utama kedaulatan dan demokrasi. Secara khusus, dia menilai sejauh mana hasil dari konflik akan mendukung kekalahan pihak yang paling kuat dan pengembangan proses sosialis selanjutnya.
Mengadaptasi panduan ini ke dalam situasi saat ini dapat membantu kita menemukan beberapa kriteria panduan untuk internasionalisme anti-imperialis dan mengatasi dua masalah di sebelah kiri: evaluasi konflik dalam istilah geopolitik murni (antara kekuatan yang menurun dan yang meningkat atau yang regresif dan yang progresif); dan penyederhanaan yang menganjurkan untuk melawan semua pihak secara setara. Saya pikir, kita perlu menggabungkan penilaian-penilaian ini, mengarakterisasi makna dari setiap konfrontasi antara kekuatan atau pemerintah, sambil mengamati bagaimana konflik-konflik ini terkait dengan aspirasi kekuatan rakyat. Dengan kata lain, dalam konflik, kita perlu memperhatikan apa yang terjadi di atas sambil melihat aksi yang terjadi di bawah. Ini adalah sintesis yang dicari oleh semua pemimpin sosialis revolusioner sebelumnya, dan kita harus berusaha mengikuti jejak tradisi ini dalam perjuangan kita saat ini.
Artikel wawancara ini pertama kali terbit di Links International Journal of Socialists Renewal pada 24 Oktober, 2023. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. Diterbitkan ulang di IndoProgress untuk tujuan pendidikan dan pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme.