Fatia dan Haris, Kami Bersama Kalian

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Youtube Haris Azhar


Tidak ada seorang pun dan tidak ada satu kedudukan pun yang begitu tinggi sehingga tidak dapat dikritik (Imam Ali)

Jika anda gemetar karena marah atas setiap ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya (Che Guevara)


FATIA Maulidiyanti dan Haris Azhar akhirnya diseret ke muka pengadilan atas tuduhan yang sangat khas rezim Orde Baru: pencemaran nama baik. 

Berdasarkan dakwaan yang dibacakan oleh jaksa, tampak jelas kalau tuduhan itu didasarkan atas perasaan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Luhut marah, geram dan tersinggung mendengar Haris dan Fatia mengungkap keberadaan bisnisnya di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua, dalam sebuah acara yang disiarkan di Youtube. Di sana keduanya membongkar apa yang selama ini sebenarnya telah banyak diungkap oleh media tentang bisnis para oligark; pejabat yang menguasai tambang merugikan hidup rakyat di sekitarnya. Jaksa juga mendasarkan dakwaan pada luka hati Luhut. Jaksa menyatakan sebutan “lord” adalah hinaan yang melukai harga diri Luhut. 

Inilah teater hukum yang mengulang kembali era diktator Soeharto: perasaan pejabat jadi alasan menyeret aktivis ke meja persidangan.

Sebetulnya sama sekali tak berlebihan menyebut Luhut sebagai “lord”. Faktanya pria berkuasa ini punya segudang jabatan penting dan strategis di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tak pelak ia adalah pembantu terpercaya dan terkuat Presiden. 

Pernyataanya tak pernah ada yang menyanggah apalagi menggugat. Pernah ia bilang, menurut big data, ada 110 juta orang menginginkan pemilu ditunda. Ucapan ini ngawur karena tidak disertai dengan penjelasan metodologis dari mana asal muasal angka itu. Tapi, karena pengaruh dan kekuasaan yang tak terkira, tak ada yang berani menyeret Luhut ke pengadilan sebagai pelaku penyebar hoaks apalagi pencemaran nama baik. 

Sekali waktu, majalah Tempo melaporkan bagaimana keluarga Luhut terlibat dalam bisnis pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kayan, Kalimantan Utara. Majalah yang sama juga mengungkap apa yang populer dengan nama Panama Papers: ada hampir 2.300 triliun rupiah uang orang Indonesia ditanam di sejumlah yuridiksi bebas pajak dan nama Lord Luhut termasuk di laporan itu! Lagi-lagi, tak ada yang berani memperkarakannya ke pengadilan. 

Jadi, Lord Luhut memang telah lama membangun kerajaan bisnis. Bahkan bukan hanya Luhut. Tuan Presiden dikelilingi dan dipadati oleh para pebisnis. Haris dan Fatia mengungkap semua kebobrokan itu dengan menunjuk satu contoh bisnis yang tidak lain milik Lord Luhut. 

Mestinya, data, yang didasarkan pada hasil riset serius itu, disanggah dengan data tandingan agar publik bisa melihat adu argumentasi yang cerdas dan bisa belajar darinya: pejabat yang sangat berkuasa dan berpengaruh melawan aktivis gerakan sosial dengan data. Beritanya akan jauh lebih menarik dan itu menunjukkan majunya kita ber-demokrasi. 

Sialnya, alih-alih mempertontonkan adu argumentasi yang mencerdaskan, Lord Luhut malah unjuk kekuasaan. Gua marah, gua tersinggung, mereka memfitnah, mereka harus diseret ke pengadilan, mereka harus membuktikan kebenaran datanya di pengadilan! Persis seperti era kolonial dan Orba, di mana data dihadapkan dengan pasal, suara kritis dibungkam dengan palu kekuasaan. 

Sungguh tidak lucu. 

Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jadi alat menyerang Haris dan Fatia. Bukan kali ini UU yang kontroversial itu memakan korban. Menurut laporan Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 393 orang dituntut dengan pasal UU ITE selama 2013 sampai 2021. Jelas UU ITE ini berbahaya karena merongrong nilai-nilai demokrasi; memangkas hak menyatakan pendapat sekaligus menimbun pasal yang bisa memenjarakan aktivis yang bersuara kritis. Pada saat yang sama, UU ITE menjadi perisai elite politik dalam meringkus pandangan aktivis dan memayungi arogansi penguasa. 

UU ITE ini mengandung standar ganda. Buktinya, di tengah keterpurukan demokrasi, kita diracuni oleh para pendengung yang mengekor semua kepentingan penguasa. Tak hanya itu, media sosial sering dipakai oleh para pejabat untuk cari muka dan membuat bingung masyarakat. Misalnya soal ricuh dana Rp300 triliun di Kementerian Keuangan yang membawa kontroversi tapi tak jelas siapa tersangkanya. Lebih kacau lagi, sejumlah pejabat menggunakan percakapan di media sosial untuk mengukur indeks kepercayaan publik. UU ITE tak berani menjerat mereka apalagi menyeretnya ke persidangan. 

Haris dan Fatia memberitahukan apa yang sudah jadi rahasia umum, yaitu para pejabat yang merangkap pengusaha telah membunuh demokrasi. Hal ini juga terjadi di sisi legislatif. Parlemen yang kini dipadati pengusaha melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang hanya menguntungkan mereka. Salah satunya UU Cipta Kerja. Ditawan oleh kepentingan para pebisnis merangkap politikus (bahasa kerennya: oligarki), demokrasi kita mundur seperti masa Orba: hak rakyat terancam dan kehidupan petani hingga buruh berada di pusaran bahaya. Tertekan oleh ekspansi modal membuat rakyat kehilangan segalanya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sekalipun mereka kesulitan. Harga yang melejit tak mampu diredakan. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Jokowi yang dulu dianggap sebagai pemimpin populis lebih memilih untuk bersangkar bersama oligark. Menyetujui semua keinginan mereka dan menutup suara kritis yang disuarakan oleh para aktivis. Padahal naiknya Jokowi ke tahta di antaranya karena didukung aktivis. 

Sebagian di antara para aktivis pendukung Jokowi kini duduk sebagai komisaris, direktur, juru bicara, dan lainnya di seputar Istana. Para aktivis yang dulu berjuang menjatuhkan Soeharto kini asyik dengan kursi kekuasaanya.

Pilihan posisi itu bukan tanpa bayaran: mereka berdiam diri ketika Jokowi menyembelih wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi hingga mengutamakan kepentingan pengusaha. Demokrasi yang mereka perjuangkan dulu kini berganti dengan kepatuhan absolut pada semua agenda elite pimpinan Jokowi. Mereka sukarela menjadi corong Jokowi dan kabinetnya, menjungkirbalikkan pengetahuan untuk membenarkan semua keputusan pemerintah dan bahkan siap menjadi benteng pertama jika Jokowi dikritik keras soal kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan politiknya. 

Haris dan Fatia menghidupkan perlawanan itu kembali; aktivis yang menghidupkan lagi api perlawanan yang dikubur oleh para senior. Keduanya mengembalikan lagi arti aktivis: bukan sebuah perjalanan di masa lalu, bukan sebuah nostalgia atau romantisasi heroisme zaman gelap yang terus dirayakan, tapi keberanian untuk menyelamatkan masa depan. Keduanya telah menyelamatkan kehormatan kata “aktivis” yang kini mengalami peyorasi. Peyorasi karena mereka berkomplot dengan para oligark dalam membajak kedaulatan rakyat, ikut mengebiri hak kebebasan menyatakan pendapat dan tidak mampu menahan ambisi para elite dalam mengakumulasi kekayaan. 

Singkatnya, para pejuang demokrasi di masa lalu malah ikut mengkhianati prinsip demokrasi: menjadi pendengung, terlibat dalam lahirnya UU yang sarat masalah bahkan bungkam ketika hak menyatakan pendapat diberangus oleh patronnya. 

Saat Haris dan Fatia melawan, itulah waktu yang tepat untuk menarik garis batas. Batas mereka yang memperjuangkan demokrasi dan yang hendak membunuhnya. Batas antara mereka yang jadi bagian komplotan oligark dan mereka yang melawannya. 

Pada tapal batas itulah perjuangan merebut demokrasi bukan disandarkan hanya di pemilu: yang mana Lord Luhut, menurut majalah Tempo, ikut dalam isu perpanjangan tiga periode hingga penundaan pemilu.

Lord Luhut bebas saja untuk marah, tapi rakyat memang tidak lagi percaya. Survei memberi petunjuk kepercayaan publik pada lembaga negara merosot drastis, terutama aparat yang kini menangani perkara Haris dan Fatia. Jika perkara digelar berdasarkan atas perasaan sakit hati pejabat, betapa kacaunya kita membangun tatanan konstitusi. 

Ben Bland dalam buku Man of Contradictions menyatakan: “Jokowi bisa mengambil keputusan besar begitu saja dan tak ada menteri yang bisa mengkritiknya.” Dalam hal ini ternyata bukan Jokowi saja, tapi anak buahnya juga melakukan hal yang sama. Lord Luhut marah atas kritik, lantas menyeret Haris dan Fatia ke pengadilan. Kita khawatir sikap Presiden dan Lord Luhut akan menjadi “teladan” bagi elite di sekitarnya, juga elite di bawahnya. Itu artinya kita sedang berada di Zaman Otoriter!***


Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.