Darsono PKI

Darsono, Anak Revolusi Kala Fajar Pergerakan Kiri Menyingsing

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


DI USIA SENJA, ia mencoba mengingat kembali pengalaman puluhan tahun lalu tentang betapa terjalnya menyadarkan kelas buruh Indonesia akan kondisinya pada awal abad ke-20. “Rakyat Jawa [kala itu] masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan cambuk, yaitu artikel-artikel yang berani. Tulisan-tulisan logis dan ilmiah tidak ada gunanya. Cara yang tepat adalah main hantam kromo,” kenang pria bernama Darsono tersebut saat wawancara dengan Soe Hok Gie. Wawancara tersebut berlangsung pada Januari 1964. 

Ketika itu Darsono sudah tidak lagi aktif dalam politik praktis. Ia telah melepas seluruh mantel organisasi politik kiri yang melekat padanya sejak muda. “Sekarang ini yang diperlukan adalah orang-orang yang berani,” ucapnya sebagaimana dicatat Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah (1999).


Menggodok Seorang Agitator

Darsono lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 1897, dari keluarga pegawai negeri. Namun sejak belia ia terbiasa hidup di kalangan kaum tani. Setelah menyandang gelar ahli pertanian, ia mulai bekerja di sebuah perkebunan. Berdasarkan catatan Gie, Darsono sempat berusaha melanjutkan studinya di sekolah kedokteran hewan. Nahasnya ia tak lolos. Saat itu juga Darsono keluar dari pekerjaannya dan bertolak menuju Semarang (Gie, 1999: 33).

Di kota tersebut, pada Maret 1917, tensi politik memanas. Menurut Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia (2017: 30), pemicunya adalah karena pada sore hari tanggal 18 menggema sebuah berita tentang kejatuhan Tsar Rusia. Henk Sneevliet, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), segera menyambutnya dengan menulis artikel yang diberi judul “Zegepraal” alias ‘Kemenangan’. Dalam tulisan tersebut Sneevliet menyanjung kemenangan revolusi Rusia sekaligus mengutuk kolonialisme Belanda. 

Pemerintah kolonial menjadi waspada dan segera merespons dengan mengadili Sneevliet. Untuk pertama kalinya Sneevliet diadili sejak datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Persidangan tersebut diikuti oleh banyak orang, termasuk Darsono. “… ia mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat,” tulis Gie (1999: 33). 

Ketika menyaksikan Sneevliet, Darsono juga bertemu Semaun, mitra politiknya di kemudian hari. Semaun mengajak Darsono untuk aktif di Sarekat Islam (SI) cabang Semarang. Lewat persidangan itulah pintu perjuangan untuk Darsono terbuka.

Saat itu internal SI terpolarisasi ke dalam dua kutub: Central Sarekat Islam (CSI) dan CSI Semarang. Masing-masing kubu memiliki pandangan yang berbeda. CSI condong konservatif dan religius, sedangkan CSI Semarang—diisi oleh Semaun dan Darsono—lebih bertendensi sekuler dan sosialis.

Polarisasi tersebut salah satunya tampak lewat saling serang via artikel. Darsono pernah menyerang pemimpin anti-Semarang, Abdul Muis, melalui artikel berseri sebelum kongres kedua CSI pada 1918. Selain mengkritik sikapnya yang pro wajib militer untuk pribumi, Indië Weerbaar, Darsono juga menuduh Muis cenderung mendukung ekspansi perkebunan tebu di tengah krisis pangan (McVey, 2017: 50).

Selama berlangsungnya kongres, kontradiksi antara Muis dengan CSI Semarang semakin tegang. Alhasil, pimpinan tertinggi SI, Tjokroaminoto, menunda kongres beberapa waktu. 

Menurut Gie, Tjokro banyak memberikan konsesi kepada kelompok Semarang. Hasil kongres dianggap banyak menguntungkan mereka, termasuk posisi Darsono. “… cabang Semarang puas atas penunjukan Darsono sebagai anggota propagandis resmi CSI dan Semaun sebagai komisaris CSI Jawa Tengah,” tulis Ruth T. McVey (2017: 51).

Posisi baru tersebut membuat Darsono rajin beragitasi dalam surat kabar. Seperti yang Darsono katakan pada awal naskah ini, artikel-artikelnya memang tidak berbelit sehingga mudah dipahami pembaca. Satu contoh adalah artikelnya di koran ISDV, Soeara Ra’jat. Di sana, sebagai “pengagum berat Revolusi Bolshewik”, Darsono mengajak pembaca mengorganisasi revolusi serupa: “Bukan penguasa yang mempunyai kekuatan, tetapi rakyat. Kibarkan bendera merah di setiap tempat sebagai lambang KEMANUSIAAN, PERSAMAAN, dan PERSAUDARAAN. Apa yang bisa menghentikan seseorang ketika ia memberontak? Mari kibarkan bendera merah!” (McVey, 2017: 37).

Pemerintah kolonial, yang semakin memusatkan kekuasaan dan tidak bersikap lunak terhadap agitasi kaum ekstremis, mengartikulasikan kalimat-kalimat Darsono sebagai ancaman pemberontakan. “Hal ini menyebabkan ia ditahan dan dihukum selama setahun pada November 1918,” tulis Ruth T. McVey (2017: 50).

Pada 1919, anggota-anggota ISDV yang revolusioner (di organisasi tersebut juga ada sayap moderat) menghendaki perubahan nama organisasi. Hal ini dipicu oleh terbentuknya Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) oleh SDAP Hindia pada tahun yang sama. Selain pelafalan yang hampir mirip, desakan mengubah nama juga untuk memisahkan diri dengan ISDP yang revisionis-evolusioner. 

Anjuran juga datang dari Sneevliet melalui surat dari Kanton pada awal 1920. Surat tersebut menyarankan agar ISDV menjadi anggota Komintern, dan “untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Gie (1999: 54).

Ketika mendekam di penjara Surabaya, Darsono menyetujui perubahan nama partai saat berbicara dengan Hartogh, pemimpin ISDV waktu itu. Selain memberi lampu hijau, Darsono menambahkan dua catatan bernada humor: (1) manifesto yang ditulis oleh Marx dan Engels berjudul Manifesto Komunis dan bukannya Manifesto Sosial Demokrat; (2) rakyat Indonesia tidak dapat membedakan ISDV dengan ISDP. 

Setelah berbagai diskusi yang alot dalam kongres, akhirnya mayoritas anggota setuju perubahan nama dari ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920 (Gie, 1999: 54)

Setelah menjalani masa penjara, Darsono kembali terjun berpolitik dan menulis. Tak menunggu waktu lama, pada 6 Oktober, dia kembali membuat gempar dunia pergerakan melalui serangkaian artikel yang pedas. Kali ini bukan pemerintah kolonial Belanda yang disasar, melainkan Tjokroaminoto. Darsono menyinggung “terkait penyalahgunaan sejumlah besar dana SI oleh Tjokroaminoto dan menuntut dilakukannya pemeriksaan keuangan organisasi tersebut” (McVey, 2017: 125). Menurut McVey, Darsono tidak dapat disalahkan karena kas SI hampir kosong. 

Akibat kritik-kritik Darsono, citra Tjokro yang agung menjadi tercoreng. Berkelindan dengan itu, pamor kubu Semarang semakin naik. 

Kritik Darsono kemudian ditanggapi oleh Tjokro dan CSI yang “menerangkan butir-butir bahwa mereka tidak bersalah.” Kritik Darsono kembali dibahas rinci dalam Kongres SI yang diadakan pada Maret 1921. 

Sesaat sebelum kongres, Darsono sempat berkeluh kepada Tan Malaka: “Masih terlalu persoonlijk (‘personal’) dalam perbedaan paham. Mereka belum dapat membedakan antara paham atau kecakapan seseorang dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka cintai (dalam hal ini Tjokro).” Tan Malaka dalam autobiografi Dari Penjara ke Penjara (2017: 92) menambahkan bagaimana frustrasinya Darsono saat itu. “Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi serangan atas dirinya sendiri, karena ia diancam orang lain kalau ia membela dirinya di muka rapat.” 

Karena antara kubu Semarang dan CSI ingin mengonsolidasikan kekuatan kembali, Darsono—yang selalu dicela loyalis SI—akhirnya dimaafkan oleh Tjokro tetapi bukan tuduhannya. Menurut Tan Malaka, panitia kongres tidak membenarkan kritik yang keras sekalipun panitia memberikan hak kepada Darsono untuk mengkritik. Akhirnya Darsono diangkat menjadi anggota komite yang menginvestigasi penggunaan dana SI (McVey, 2017: 129).


Dari Utara ke Selatan Lagi

Berbekal pengalaman dalam organisasi massa yang kuat, Darsono berangkat ke Moskow untuk menghadiri kongres ketiga Komintern pada musim gugur 1921 sebagai wakil PKI. Kehadiran Darsono dan kemudian Semaun menguatkan kontak reguler antara Komintern dengan PKI.

Aleksandr Reznikov dalam buku The Comintern and the East: Strategy and Tactics in the National Liberation Movements (1984: 108-109) mencatat di samping memberi tugas untuk membangun serikat buruh di Jawa, Seksi Timur dari Komintern juga menginstruksikan Darsono untuk menjalin aliansi dengan gerakan-gerakan nasional. Perintah terakhir tersebut bertolak belakang dengan pemikiran pribadi Darsono. Ia mengecap negatif segala kemungkinan kerja bersama gerakan nasionalis. Darsono dan orang-orang yang selaras dengannya yakin untuk tidak pernah membuka diri terhadap aliansi antiimperialis dan menganggap kelas borjuis nasional—yang identik dengan gerakan nasionalis—sebagai musuh kelas buruh.

Reznikov menyebut sikap Darsono tersebut sebagai sektarianisme. Menurutnya (1984: 107), penyakit sektarianisme merupakan corak umum di kalangan komunis muda di Timur Jauh saat itu. 

Dengan penolakan tersebut, Reznikov menyebut bahwa Darsono juga mengesampingkan hukum perkembangan revolusi; memaksakan revolusi sosialis dan tidak mengindahkan tugas-tugas dalam revolusi demokratik di tanah jajahan. Tak hanya itu, masih kata Reznikov (1984: 107), Darsono bahkan Semaun secara membabi buta ingin membuat “sistem manajemen pemerintahan buruh-tani” ala Soviet. Maka tepat kiranya analisis McVey yang menyatakan: “… ia (Darsono) terkadang menghadapi masalah dalam menerapkan gagasan-gagasan komunis Barat yang dipelajarinya dengan kondisi yang ada di negara Timur.”

Tahun 1923 menjadi penanda buruk bagi aktivisme PKI. Akibat kurang tajamnya pendidikan teori dan organisasi politik komunis, sebagian besar kader akhirnya tenggelam ke dalam avonturisme. “Kekerasan politik revolusioner” menjadi tema besar yang diusung oleh para kader PKI. Alih-alih berorganisasi dengan disiplin tinggi, mereka lebih memilih jalan bertindak individual atau “putchisme”. “Konsekuensinya ditunjukkan pada 1923, setelah kepergian Semaun, ketika terjadi pelemparan bom di Surakarta dan Semarang. Secara otomatis kaum komunis dianggap bertanggung jawab,” terang McVey (2017: 259).

Tahun itu, pada bulan Februari, Darsono kembali ke Hindia Belanda melalui Batavia. Buku-buku literatur marxis yang dibawanya dari Uni Soviet sempat disita oleh pegawai bea cukai. 

Merespons huru-hara putchisme, Darsono langsung bergerak mengadakan rapat di Semarang. Di sana dia memaparkan pandangan negatif PKI terhadap terorisme dan avonturisme. 

Di samping itu, untuk mengembalikan harkat komunisme, ia juga mengatakan: “Kawan-kawan kita di negeri jajahan sering kali berbuat kesalahan dengan mengambil jalan komunisme kiri. Mereka terdidik dengan buku-buku yang menyatakan perjuangan untuk diktator proletariat yang baru lahir dan para pengrajin dari Cina, Korea, India, dan Mesir, melawan borjuasi asing dan pribumi, dengan upaya mendukung gerakan nasional untuk persamaan hak dari borjuasi pribumi yang masih muda melawan pusat kaum kapitalis yang menindas” (McVey, 2017: 259).

Konsistensi Darsono mengangkat disiplin komunisme yang benar dapat ditemukan dalam suatu kongres pada Juni 1924. Ia mengatakan, “partai tanpa disiplin seperti dinding tanpa semen, mesin tanpa sekrup; tapi dengan disiplin, bahkan di sebuah partai kecil, seperti Bolshewik di Rusia, dapat meraih kemenangan besar (McVey, 2017: 266).

Satu tahun setelahnya, aksi-aksi pemogokan buruh terjadi di berbagai wilayah Hindia Belanda. Buku Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sedjarah PKI (1961: 46) menyebut buruh-buruh percetakan Tionghoa yang dibantu oleh buruh Indonesia mengorganisasikan pemogokan di Semarang pada Juli 1925. Satu bulan kemudian, para pegawai rumah sakit pusat menggelorakan pemogokan di kota yang sama. Buruh-buruh yang bekerja di bidang pemerintah, perbengkelan, dan listrik pun unjuk gigi sepanjang tahun itu. Tak salah jika PKI menisbahkan tahun 1925 sebagai “tahun penuh pemogokan”.

Laporan Semaun yang berjudul “Labor in Far East (Indonesia)” dalam surat kabar The Daily Worker nomor 250 edisi 2 November 1925 menyebut Darsono terlibat dalam perencanaan pemogokan di pelabuhan yang melibatkan sekitar 1.600 buruh di Semarang. Semaun melukiskan: “Layanan pelabuhan benar-benar berhenti. Pemogok dari tempat lain menolak untuk bekerja. Walaupun pemogokan telah berkurang intensitasnya, tetapi armada pelabuhan masih terhenti karena sabotase yang terjadi.” 

Politik represi pemerintah kolonial mulai bekerja merespons pemogokan yang bertubi-tubi. Pemerintah menargetkan menangkap pemimpin-pemimpin komunis, termasuk Darsono. Koran Darmo-Kondo nomor 99 edisi 30 Desember 1925 melaporkan bahwa klimaksnya adalah ketika tiga pemimpin PKI—Darsono, Mardjohan, dan Aliarcham—ditangkap. “Saudara Darsono itoe sebagaimana diketahoei sampai sekarang masih ada dalam tahanan pendjara Eropah (Centrale Gevangenis) di Semarang. Beberapa hari berselang sdr. Mardjohan poen laloe ditahan, demikian djoega saudara Aliarcham,” tulis koran tersebut. 

Di kemudian hari, pemerintah kolonial memberikan hukuman alternatif pada Darsono: diizinkan pergi ke pengasingan. Ia tidak berangkat ke Belanda seperti eksil politik lain, melainkan langsung menuju Uni Soviet (McVey, 2017: 433).

Selama di Soviet, Darsono memfokuskan kerjanya untuk Komintern. Dua pemimpin PKI lain, Alimin dan Musso, juga datang ke Moskow pada Juli 1926 untuk bekerja bersama Darsono dan Semaun yang telah berada di kota itu selama setahun. Keempat tokoh prominen komunis itu kemudian memaparkan presentasi tentang kondisi objektif Hindia Belanda dan partai kepada Komite Eksekutif Komintern. Mereka menjelaskan bahwa “SI benar-benar hancur, partai dan serikat buruh praktis dilarang, dan kemarahan tumbuh di kalangan rakyat” (Reznikov, 1984: 116-117).

Antara rentang tahun 1925-1929, Darsono banyak memberikan kontribusi untuk Komintern. Namun janya secuil saja pandangannya diarahkan untuk mengamati kondisi Hindia Belanda. 

Pada 1929, menurut koran Daulat Ra’jat nomor 40 edisi 20 Oktober 1932, Darsono sempat ke Belanda dan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda. Beribu sayang, satu kursi di parlemen tak berhasil didapatnya.

Berlin menjadi destinasi lain bagi para pejuang antikolonial. Di sana mereka mengadakan kongres Liga Melawan Imperialisme—sebuah organisasi yang dibentuk pada 1927. Alih-alih menunjuk pemimpin PKI lain, Darsono—yang masih berada di Moskow— menyarankan agar Komintern mengundang seorang insinyur cum Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno, untuk menghadiri acara tersebut. Tanpa diketahuinya sedikit pun, saran tersebut akan menjadi puncak dari segalanya untuk Darsono di kemudian hari (Reznikov, 1984: 122).

Pada akhir 1929, akhirnya Darsono dikeluarkan dari Komintern akibat pandangannya yang bersifat kompromi terhadap gerakan nasionalis-reformis. Koran AKSI nomor 16 edisi 15 April 1931 melaporkan bahwa, “Tahoen-tahoen paling belakang Darsono telah ambil sikap opportunistisch. Ia bilang, bahwa Komintern perloe bekerdja sama dengan nationaal reformisten di Indonesia.” Menurut koran tersebut, Indonesia tak memiliki borjuasi nasional, dengan demikian juga “tidak ada dasar jang baik boeat gerakan perobahan.” Darsono sendiri menolak habis-habisan mengkritik pemimpin reformis nasional di tempat umum dalam suatu kongres di Frankfurt. 

Koran yang sama nomor 5 edisi 31 Maret 1931 menuliskan bahwa Moskow sangat berhati-hati dan bahkan cenderung mengecam siapa pun yang hendak terus terang merangkul kaum nasionalis. Kejadian serupa pernah menimpa Semaun. “Semaoen disoedoetkan [oleh Moskow] akibat ketahoean pernah berdjabat tangan dengan pimpinan Perhimpunan Indonesia di Belanda.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


“Kommunist” atau “Tjoema Koroso-Koroso”

Setelah sekian puluh tahun berada di luar negeri, Darsono akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950. Saat itu Darsono tua sudah tidak memiliki koneksi apa pun dengan gerakan komunis Indonesia yang saat itu dipimpin D. N. Aidit. Ia menghabiskan sisa hidup dengan bekerja sebagai penasihat untuk Kementerian Luar Negeri sampai 1960.

Bagaimanapun juga, kendati putus relasi dengan gerakan kiri di masa tua, nama Darsono akan tetap selalu menggema dalam sejarah perkembangan komunisme di Indonesia; sekaligus sebagai proto-komunis di samping Semaun, Tan Malaka, Haji Misbach, dan lain-lain. Hal itu telah diakui pada tahun 1930-an, ketika PKI generasi pertama sudah ditumpas habis oleh pemerintah. 

Dalam koran Daulat Ra’jat nomor 38 edisi 30 September 1932, pada kolom “Soerat Kiriman” dengan judul artikel “No Sacrifice is Wasted” (‘Tidak ada korban jang terboeang’), misalnya, penulis dengan nama samaran A. S. menulis:

“Penoelis berkejakinan, bahwa bagaimanapoen djoega paham dan kejakinan mereka itoe, tetapi dalam toedjoean jang tertinggi ialah melepaskan rak’jat Indonesia dari pendjadjahan bangsa asing. […]. Boeat memboektikan tjoekoeplah kita seboetkan Tan-Malaka, Semaoen, Darsono. Apakah nama jang terseboet belakangan ini tjoema koroso-koroso dan ampas manoesia belaka? Ataukah mereka takoet poela ditoedoeh kommunist d.l.l,, seoempama menengok hantu pada tengah hari?” 

Darsono wafat pada 1976, saat Orde Baru sukses mengukuhkan legitimasi antikomunis dalam masyarakat.***


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.