Pemberontakan Prancis

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Protes di Paris, 7 Maret 2023 (AP Photo/Aurelien Morissard)


Prancis tengah bergejolak. Awal Maret lalu dilaporkan lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Eskalasinya terus meningkat sejak Januari lalu, setelah pemerintah mengumumkan akan menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 64. Namun di balik perlawanan terhadap kebijakan khusus tersebut ada hal substansial lain: orang-orang protes karena sudah tidak percaya terhadap pemerintah yang berbuat sesukanya tanpa memperhatikan kehendak rakyat. Artikel di bawah ini menjabarkan secara detail isu tersebut.


SENIN, 20 Maret lalu, halaman depan situs-situs berita nasional Prancis diliputi kegembiraan. Mereka tengah melaporkan mosi tidak percaya terhadap pemerintah: menghitung berapa banyak wakil rakyat yang akan memberikan suara, menilai peluang mosi, membayangkan roda pemerintahan yang berputar dan melakukan kesepakatan, memainkan peran sebagai orang dalam–sungguh menyenangkan. Jurnalisme politik: sebuah paspor untuk kegilaan politik.

Sementara itu, politik, dengan segala kekuatannya yang tak terduga, telah mencengkeram negeri ini. Aktivitas-aktivitas spontan terjadi di semua sisi: aksi mogok kerja, pemblokiran jalan, kerusuhan dan demonstrasi, perkumpulan para aktivis mahasiswa; energi anak muda memenuhi jalanan Place de la Concorde. Semua orang merasa seolah-olah berjalan di atas bara api, ketidaksabaran mengalir di kaki mereka–tetapi bukan karena hal-hal sepele yang terus memenuhi akuarium ikan mas warga Paris, yang penghuninya lebih tidak peduli daripada yang lain tentang apa yang sekarang terjadi: titik didih.

Sungguh, sebuah pemandangan yang indah ketika tatanan yang berkuasa mulai retak. Hal-hal kecil namun luar biasa muncul, menghancurkan isolasi dan atomisasi individual yang menjadi sandaran para penguasa. Di sini, para petani membawa sekantong sayuran untuk para pekerja kereta api yang mogok; di sana, seorang pemilik restoran Lebanon membagi-bagikan falafel kepada para demonstran yang sedang mabuk; para mahasiswa bergabung dalam barisan demonstran; tak lama lagi, kita akan melihat orang-orang yang membuka pintu rumah mereka untuk menyembunyikan para demonstran dari kejaran polisi.

Pergerakan yang sesungguhnya telah dimulai. Kita sudah bisa mengatakan bahwa situasinya sudah pra-revolusioner. Bagaimana prospeknya? Mungkinkah “pra-” itu akan terguncang?

Di Prancis, legitimasi struktur kekuasaan telah runtuh; saat ini struktur itu tidak lebih dari sebuah blok pemaksa (coercive bloc). Setelah menghancurkan semua mediasi lainnya, sang autokrat hanya dipisahkan dari rakyat oleh garis batas polisi. Tidak ada yang bisa dikesampingkan, karena akal sehat telah meninggalkannya sejak lama.

(Presiden Emmanuel) Macron tidak pernah bisa menerima yang lain. Dia hanya berbicara dengan dirinya sendiri; baginya dunia luar itu tidak eksis. Itulah mengapa pidatonya–jika kita fokus pada makna sebenarnya dari kata-katanya–tidak memiliki jejak validasi kolektif yang berasal dari diskusi rasional dengan orang lain. Pada 3 Juni 2022, ia menegaskan, tanpa mengedipkan mata, bahwa “orang Prancis sudah lelah dengan reformasi yang datang dari atas”; pada 29 September, ia kembali mengatakan “warga negara bukanlah seseorang yang keputusannya bisa dipaksakan.” Bukankah sudah jelas bahwa, jika berhadapan dengan pemimpin seperti ini, kemungkinan untuk berdialog sudah tertutup? Bahwa tidak ada satu pun yang dikatakannya dapat dianggap serius? Orang seperti itu tidak mampu mengakui kesalahan apa pun kecuali kesalahan yang dibuat-buat, karena Anda harus mendengarkan yang “di luar”, yang bukan diri Anda sendiri, untuk menyadari bahwa Anda telah melakukan kesalahan. Inilah sebabnya mengapa janji-janji Macron tentang “penemuan kembali”–yang begitu memikat para jurnalis–tak ubahnya seperti pantomim yang diproduksi di ruang tertutup.

Bagi seorang lalim, yang dibiarkan sendiri oleh institusi politik yang selalu berpotensi–dan sekarang benar-benar–libertisida (penghancur kebebasan, ed), semua bentuk kekerasan adalah mungkin. Apa pun bisa terjadi; memang, semuanya sedang terjadi. Rekaman pembakaran di Rue Montorgueil pada hari Minggu ini mengirimkan sinyal yang jelas bahwa politik Macron sedang dalam proses pembubaran. Mulai sekarang, kekuasaan akan diatur oleh pengumpulan massa yang tumpah ruah di jalan-jalan. Polisi akan menggiring dan menangkap siapa saja, termasuk orang-orang yang lewat dan tidak berhubungan dengan protes, laki-laki dan perempuan yang ketakutan serta bingung dengan apa yang terjadi pada mereka. Pesannya hanya satu: jangan turun ke jalan, tinggal di rumah, menonton televisi, patuh.

Di sini, kesepakatan yang tidak disadari antara kepolisian dan anggota-anggota mereka muncul: kesepakatan antara institusi yang didedikasikan untuk melakukan kekerasan dan individu-individu yang mencari persetujuan hukum/legal atas dorongan kekerasan mereka sendiri. Situasi pra-revolusioner menghadirkan peluang yang tak tertandingi, ketika kekuasaan dapat bertahan hanya dengan kekerasan, ketika kekerasan memperoleh signifikansi yang tidak proporsional–dan juga kebebasan penuh untuk bertindak sesuai keinginan (carte blanche). Seperti yang kita lihat selama aksi protes jaket kuning (gerakan Gilets Jaunes), sekarang adalah waktunya para sadis, para bengis berseragam, beraksi.

Dalam konteks ini, slogan la police avec nous! ‘polisi bersama kita!’ telah sepenuhnya usang, tidak ada lagi yang tersisa: slogan ini bertumpu pada ilusi kedekatan sosial yang objektif, sebuah materialisme vulgar tentang “kepentingan bersama”, yang kini dikalahkan oleh goyangan libidinal dari kekerasan yang berwenang. Beginilah cara sebuah struktur menghasilkan efeknya, dan tatanan memenuhi kebutuhannya: ia bergerak secara estafet melalui mentalitas para fungsionaris yang dipilihnya, dari Macron di puncak kekuasaan sampai ke preman polisi di jalanan.

Namun kekuatan tandingan melindungi kita terjatuh ke dalam tirani, atau lebih jelasnya, dari dihancurkan oleh polisi. Ada kemungkinan bahwa beberapa sisa moralitas, beberapa gagasan tentang titik kritis dan batasan, masih tertanam di dalam aparatur negara–meskipun tentu saja tidak di Kementerian Dalam Negeri, yang telah sepenuhnya dikuasai oleh penyakit cacar, dan di mana seorang menteri mirip fasis berkuasa. Tapi mungkin di dalam kabinet, di dalam “rombongan” di mana, setiap saat, kesadaran akan pelanggaran politik, kegelisahan tentang melakukan tindakan yang tidak dapat diperbaiki, dapat berkembang. Namun, seperti yang kita ketahui, lebih baik tidak mengandalkan hipotesis yang membutuhkan lompatan kebajikan (bentuk keajaiban sekuler), terlebih lagi dengan adanya korupsi, baik secara moral maupun finansial, yang melanda “republik teladan” ini.

Tindakan polisi yang berlebihan mungkin akan menghasilkan aksi tandingan yang lebih besar. Bukan dalam panasnya beberapa pertempuran lokal–tanpa pengembangan taktik khusus, ini mungkin tidak ada harapan–tetapi di negara ini secara keseluruhan. Jika di suatu tempat di Kementerian Dalam Negeri ada “papan besar” dengan gaya Dr Strangelove, itu pasti berkelap-kelip seperti pohon Natal–hanya ditutupi dengan warna merah. Polisi bisa saja bertahan selama Gilets Jaunes karena protes ini terjadi di sejumlah kota terbatas dengan frekuensi seminggu sekali. Sekarang mereka ada di seluruh Prancis dan setiap hari. Kekuatan angka yang mengagumkan–sangat  menakutkan para penguasa di mana-mana. Kelelahan sudah terlihat di balik para preman bersenjata ini. Namun, para preman itu belum selesai menempuh jarak berkilo-kilometer dengan gerobak padi mereka. Yang dibutuhkan adalah kembang api, sehingga pohon itu menjadi tidak lebih dari sebuah karangan bunga besar dan papan besar itu meledak. Kelelahan polisi: pusat saraf untuk gerakan.

Akhirnya, ada sumber daya yang lain: kebencian terhadap polisi–sejauh ini merupakan kekuatan pendorong utama. Ketika kekuasaan melepaskan antek-anteknya, dua hasil yang sangat berbeda dapat terjadi: intimidasi atau pelipatgandaan kemarahan yang kian bergelombang. Pergolakan terjadi ketika yang pertama bermutasi menjadi yang kedua. Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa kita telah sampai pada tahap ini. Antipati terhadap polisi menjanjikan pencapaian keluasan dan kedalaman yang sampai sekarang tidak diketahui.

Namun Macron tetap bertahan dengan mereka; melalui bukti ini (ipso facto), kebencian terhadap polisi berubah menjadi kebencian terhadap dirinya. Saat ini, kita belum tahu bagaimana Macron akan berakhir–skenario terbaiknya adalah naik helikopter.

Semakin jelas bahwa karena ingin menduduki tahta, untuk menimbun semua kemenangan, Macron telah mengikat dirinya pada undang-undang pensiun dan polisi–dengan kata lain, dia telah menjadi sintesis hidup dari semua kebencian tertentu: pada akhirnya ia menjadi satu-satunya objek mereka. Dengan sentuhan analogi lainnya, seperti halnya dengan kebutuhan struktural, ia juga terikat pada “tatanan kapitalis”. Jadi, pertanyaan yang ada dalam agenda sekarang adalah: bagaimana cara mengakhiri “tatanan-kapitalis-Macron”. Dengan kata lain, ini adalah sebuah pertanyaan revolusioner.

Pertanyaan yang diajukan dapat bersifat revolusioner tanpa harus menunggu situasinya menjadi revolusioner. Sejarah telah menunjukkan bahwa ada dua kecenderungan yang mungkin terjadi di sini: menunggu hingga situasi seperti itu (revolusioner) terbentuk “dengan sendirinya”, atau secara aktif membantunya menjadi ada–bukan tanpa kesulitan, memang, tetapi dengan kemungkinan bantuan dari ritme yang, dalam konjungtur tertentu, dapat mengalami akselerasi yang memukau.

Bagaimanapun, kita tidak akan berpindah dari masa kini “pra-revolusioner” ke masa depan “revolusioner” hanya melalui kekuatan negatif penolakan. Penegasan juga diperlukan, sebuah alasan menggembirakan yang menyatukan oposisi. Apakah itu? Jawabannya haruslah sama dengan pemberontakan yang sedang berlangsung di negara tersebut, meskipun bentuk pemberontakan masih belum terdefinisikan. Agar dapat berkembang menjadi sarana, bukan tujuan, dan agar menjadi proses yang benar-benar revolusioner, pemberontakan tersebut harus dapat merumuskan sebuah keinginan politik positif yang dapat diakui oleh mayoritas.

Anda tidak perlu mencari terlalu lama untuk menemukan keinginan tersebut. Pada kenyataannya, kita semua mengetahuinya: mengurus urusan kita sendiri, dimulai dengan produksi. Keinginan politik yang positif, yang ditentang oleh kapitalisme dan lembaga-lembaga politik borjuis secara prinsipil, adalah keinginan untuk berdaulat.

Kedaulatan produsen atas produksi–sebuah slogan yang memiliki daya tarik, dan jauh melampaui kelas pekerja, mereka yang paling berkepentingan secara langsung. Karena, semakin banyak dari mereka yang kita sebut sebagai “pekerja kerah putih” juga menderita akibat pembodohan manajerial, akibat kontrol buta para pemegang saham, akibat kebodohan atau bahkan pilihan-pilihan beracun dari para bos. Mereka bercita-cita–aspirasi yang luar biasa–untuk memiliki suara atas semua yang telah direbut.

Legitimasi, dan akibatnya kedaulatan, hanya dimiliki oleh mereka yang melakukan pekerjaan. Adapun mereka yang tetap mengklaim mengatur pekerjaan orang lain meskipun tidak tahu apa-apa–konsultan dan perencana–tidak lain adalah parasit dan harus diusir.

Argumen utama yang tak terbantahkan untuk kedaulatan pekerja telah dibuat oleh seorang anggota serikat, Eric Lietchi dari CGT cabang Paris Energy. Fakta-fakta berbicara sendiri, seperti yang diamati Lietchi: di bawah manajemen kelas parasit, negara telah hancur. Sistem hukum hancur, pendidikan hancur, universitas dan penelitian hancur, rumah sakit hancur, begitu juga dengan pasokan farmasi–apotek diperintahkan untuk memasak amoksisilin di belakang toko mereka.

Musim gugur lalu, tulis Borne, negara ini hanya bisa berharap bahwa “dengan rahmat Tuhan” cuaca tidak akan terlalu dingin sehingga jaringan listrik, yang hancur seperti yang lainnya, akan runtuh selama musim dingin. Para guru direkrut melalui proses “perekrutan kilat” selama tiga puluh menit. Pegawai negeri sipil diperbantukan sebagai sopir bus–apakah tugas sebagai masinis kereta api akan menyusul? Dan, di tengah semua ini, orang-orang kelaparan. Orang tidak akan mengira bahwa hal ini mungkin terjadi pada hari ini, tetapi inilah dia: seperempat orang Prancis tidak memiliki cukup makanan. Anak-anak muda kelaparan. Ada antrean yang tak ada habisnya di bank makanan.

Di tengah-tengah kekurangan ini dan tindakan polisi, jika France 2 membuat program tentang “gambaran besar” tanpa mengungkapkan negara tempat pengambilan gambar, sebuah solidaritas atas sesuatu-atau-yang lain bisa diorganisir dalam sekejap–Binoche akan memotong sehelai rambutnya dan Glücksmann akan menulis sebuah kolom–untuk orang-orang yang kurang beruntung di belahan dunia lain.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Dalam kurun waktu beberapa dekade, dan terutama sejak tahun 2017, keseluruhan model sosial telah bertekuk lutut. Mereka telah membuat negara ini bertekuk lutut. Bukan CGT, bukan Intersyndicale/federasi serikat pekerja–mereka  dan mereka sendiri yang telah melakukan ini. Negara ini telah dihancurkan oleh mereka yang berkompeten. Negara ini berada dalam kondisi disorganisasi total.

Seperti yang kita ketahui, untuk menggulingkan aristokrasi, kaum borjuis mempromosikan gelar-gelar universitas dan simbol-simbol meritokrasi sebagai pengganti hubungan darah dan keturunan. Oleh karena itu, sebuah paradoks (yang banyak terjadi) dalam kapitalisme akhir: ketidakmampuan kaum borjuis dengan sendirinya telah menjadi sebuah kekuatan historis, yang dapat diidentifikasi dengan sedikit perubahan pada Schumpeter: kehancuran yang merusak (destructive destruction). Atau, untuk memberikan nama yang tepat: McKinsey.

Di sinilah argumen Lietchi memperoleh signifikansi penuhnya. Karena ide kedaulatan pekerja, yang biasanya dianggap sebagai bagian dari dunia mimpi, kini muncul sebagai konsekuensi logis dari analisis yang tak terbantahkan, yang kesimpulannya juga sama tajamnya: kita harus menyingkirkan hama-hama dungu ini dan mengambil kembali totalitas produksi. Mereka tidak tahu bagaimana menjalankannya? Para pekerja pasti tahu–mereka sudah tahu. Kita dapat bertanya pada diri kita sendiri, apa arti sebenarnya dari frasa “pemogokan umum”? Bukan penghentian kerja secara umum, tetapi sebuah tindakan awal dari pengambilalihan kembali alat-alat secara umum–awal dari kedaulatan pekerja.

Pada momen inilah peristiwa tersebut menandakan kekuatannya yang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan jika, untuk saat ini, kekuatan itu hanya berada dalam imajinasi. Luar biasa membayangkan dampaknya terhadap fisiognomi perusahaan ketika mereka dikembalikan ke tangan pekerja. Luar biasa membayangkan reorganisasi layanan publik ketika ia dikontrol dan diarahkan oleh mereka yang tahu bagaimana memelihara dan mengendalikan rel kereta api, bagaimana mengajari orang lain untuk melakukannya dengan aman, bagaimana mengemudikan kereta api, bagaimana memberi isyarat, bagaimana mengantarkan pos sambil memiliki waktu untuk berbicara dengan orang-orang lain. Luar biasa membayangkan universitas yang terbuka untuk umum, emansipasi seni dari seniman borjuis dan sponsor kapitalis. Luar biasa membayangkan keruntuhan kaum borjuis, kutukan historis atas karakteristik campuran kesombongan dan kebodohannya: tidak mampu melakukan apa pun, hanya bisa meminta orang lain melakukan sesuatu untuknya.

Tentu saja kita setuju bahwa kita harus dipersenjatai dengan lebih dari sekadar imajinasi–jauh lebih baik. Tetapi skenario imajinatif seperti itu, setidaknya, memfokuskan pikiran. Skenario tersebut memberikan arah yang sama, yang berasal dari pertanyaan politik yang harus diterapkan dalam semua situasi: siapa yang memutuskan? Pertanyaan itu sendiri berasal dari prinsip tertentu: semua pihak yang berkepentingan memiliki hak untuk memutuskan. Prinsip ini sendiri menandai sebuah titik temu. Kaum borjuis percaya bahwa hanya mereka yang cukup kompeten untuk mengambil keputusan.

CNews, yang bertindak sebagai corong borjuis, sepenuhnya menyadari bahaya yang ada saat ini: “Haruskah kita takut akan kembalinya komunisme?” tanya seorang chyron yang sedih. Mereka bijaksana, tidak diragukan lagi secara tidak sengaja, untuk bertanya-tanya–karena “komunisme” dipahami dengan benar sebagai partai yang berlawanan, partai semua orang, partai kedaulatan umum, partai kesetaraan.

Pemberontakan yang luar biasa dari Gilets Jaunes tidak pernah, dan ini sangat disayangkan, membahas masalah upah. Adapun suara-suara resmi yang ditugaskan untuk mengajukan pertanyaan ini, roda penggerak yang dipasang di pusat sistem yang hangat, tidak pernah berhenti mendepolitisasi, mengubahnya menjadi masalah kesepakatan kolektif belaka. Dengan dan di bawah kepemimpinan yang tercerahkan seperti itu, kita selalu mengalami kekalahan.

Tetapi kini, dalam rentang waktu dua bulan, semuanya telah berubah. Bentuk-bentuk perjuangan semakin beragam dan saling melengkapi satu sama lain: kita tidak bisa lagi memisahkan protes hari Kamis, yang masif tetapi sia-sia, dari protes-protes yang tidak dideklarasikan tapi membuat polisi berkeliaran hingga larut malam. Substansi perjuangan kelas mengalir ke dalam cetakan Gilets Jaunes. Ini adalah kombinasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang telah lama ditunggu-tunggu; kali ini, mencengangkan.***


Artikel ini pertama kali muncul di Le Monde Diplomatique. Diterjemahkan dari versi Inggris yang terbit di New Left Review oleh Coen Husain Pontoh. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.


Frédéric Lordon adalah ekonom dan filsuf Prancis, direktur riset pada Centre européen de sociologie et de science politique in Paris.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.