Masalah Kesehatan Mental yang Terselubung di Balik Klaim “Miskin tapi Sejahtera” di Yogyakarta

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: jonpey


Seorang buruh pendidikan tinggi mengklaim bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang merupakan provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Jawa, namun di saat bersamaan memiliki tingkat kesehatan tinggi, panjang umur, dan pendidikan baik. Menurut dia, ada perbedaan makna antara pengeluaran dan kebahagiaan. Oleh karena itu baginya seseorang bisa saja bahagia meskipun tidak punya uang.

Liputan mendalam Katadata menunjukkan bantahan terhadap klaim bahwa DIY dalam keadaan baik-baik saja. Pada tahun 2021, Indeks Kebahagiaan DIY tidak masuk 10 besar se-Indonesia, bahkan berada di posisi bawah, 22. Peringkatnya pun terus turun, posisi ke-6 pada 2014 kemudian ke-8 pada 2017.

Temuan Katadata menunjukkan bahwa sejumlah faktor dalam Indeks Kebahagiaan di DIY punya angka yang lebih buruk dari rata-rata nasional. Hal tersebut tak hanya menyangkut aspek ekonomi melainkan juga kesehatan dan pendidikan. Indeks Kebahagiaan diukur berdasarkan tiga dimensi. Pertama, dimensi kepuasaan hidup–yang dibagi menjadi kepuasaan personal dan sosial. Kedua, dimensi perasaan. Ketiga, makna hidup. 

Penurunan posisi Indeks Kebahagiaan dapat diduga terkait dengan masalah kesehatan mental, apalagi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa ada peningkatan angka gangguan jiwa berat: dari 2,3 per mil pada 2013 menjadi 10 per mil pada 2018. Angka tahun 2018 bermakna bahwa di setiap 1.000 penduduk terdapat satu penyintas gangguan jiwa berat/psikosis. Berdasarkan Riskesdas 2013 maupun Riskesdas 2018, DIY juga selalu berada di peringkat ke-2 daerah dengan jumlah kasus gangguan jiwa berat terbanyak nasional.

Realita yang cukup mencengangkan ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Tulisan ini menggali masalah kesehatan mental di DIY yang berkelindan dengan akses, kelas sosial, dan struktur pengetahuan “yang bermasalah”.


Masalah Kesehatan Mental dalam Selubung Harmoni

Masalah kesehatan mental, menurut Parsons (1964), tak bisa dilepaskan dari pandangan Marx mengenai ekstraksi nilai guna ketika manusia berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Awalnya manusia mencukupi kebutuhan dengan mengambil dari alam (kebutuhan minimal). Mereka kemudian membuat produk turunan dan melakukan berbagai pertukaran untuk mencukupi kebutuhan “yang berkembang”. Manusia di tahap ini mempertukarkan nilai guna dengan sesamanya. Proses pertukaran tersebut lambat laun menghasilkan apa yang disebut nilai tukar atau patokan “harga”. Nilai tukar adalah kristalisasi dari nilai kerja dan sumber daya manusia (Parsons, 1964).

Produksi massal dan teknologi yang semakin maju kian menguatkan peran nilai tukar dalam relasi sosial, apalagi di antara sesama manusia yang menjadi kelas pekerja. Manusia kemudian hanya dilihat sebagai tenaga, bagian dari alat produksi yang harus diperas nilai tukarnya untuk kepentingan kelas borjuis/pemilik alat produksi/kelas atas.

Kerja produktif manusia terkait dengan kepemilikan privat dan bergantung pada eksploitasi. Pemenuhan kebutuhan dalam proses ini didasarkan pada pertukaran kerja sebagai komoditas dengan nilai guna dengan yang diciptakannya dalam proses produksi. Nilai guna yang berlebih dirampas oleh kelas borjuis. Hal tersebut selanjutnya menciptakan “keterasingan”, yakni pemisahan antara manusia dengan hasil kerjanya/upaya pemenuhan kebutuhan (Parsons, 1964). Keterasingan inilah masalah kesehatan mental itu.

Ketidaksetaraan kelas, yang meliputi kontrol atas pekerja dan penguasaan aset, memang terkait dengan masalah kesehatan mental. Kontrol atas pekerja memungkinkan pengambilan keputusan secara sepihak; kelas atas bertindak seenaknya terhadap nasib rakyat kecil. Keadaan ini memunculkan kecemasan sampai depresi pekerja (Muntaner et al., 2007). Konsentrasi penguasaan aset juga menyurutkan kemampuan rakyat untuk memperoleh pendapatan lebih baik.

Masalah kesehatan mental pada dasarnya juga buah dari eksklusi sosial, perampasan sumber penghidupan, dan represi sosial (Muntaner et al., 2007).

Kesehatan mental adalah bentuk hilangnya kendali seseorang untuk bekerja secara kreatif sesuai kemampuan dan kehendaknya karena adanya keharusan untuk mengikuti aturan main dari pemilik lapangan kerja, juga disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan akibat eksklusi sosial. Sebagai tambahan, kelas pekerja juga dihadapkan pada beban reproduksi di rumah tangga yang dapat menambah keterasingan mereka (O’Grady, 2014).

Pekerjaan mungkin saja tidak selalu terkait dengan masalah kesehatan mental, tetapi kemampuan seseorang untuk bekerja sangat bisa berdampak ke keterasingan. Hal tersebut menyangkut kemampuan memenuhi kebutuhan hidup, ketakutan akan kehilangan sumber penghidupan, sampai dengan rasa curiga terhadap mereka yang memiliki kemampuan “kerja” yang lebih menyejahterakan (O’Grady, 2014).

Keterkaitan antara kesehatan mental dengan kemampuan dalam mencukupi kebutuhan hidup itu misalnya dibuktikan oleh kajian Nurdiyanto & Jaroah (2020). Dalam lacakan keduanya, terdapat 242 kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul sepanjang 2012-2019. Sebanyak 67,34% penyintas adalah pria. 49,17% dari mereka berusia lanjut. Lalu 74,79% dari penyintas bunuh diri bekerja sebagai petani. Kajian tersebut memang tidak langsung mengaitkan pekerjaan penyintas dengan masalah bunuh diri, tetapi lebih pada masalah kesepian, penyakit menahun, hambatan kognitif, serta pengucilan sosial yang dihadapi oleh lansia. Namun hal tersebut tetap saja terkait dengan kesejahteraan karena menunjukkan minimnya perlindungan sosial bagi lansia.

Argumen yang mendukung juga berasal dari kajian itu sendiri, yaitu banyak pria bunuh diri karena terkait dengan konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga (Nurdiyanto & Jaroah, 2020).

Masalah kesehatan mental dapat ditunjukkan oleh realita banyaknya lansia terlantar di Kabupaten Gunungkidul. Probosiwi dan Suryani (2022), dengan mengutip data dari pemerintah daerah pada tahun 2019, mencatat 15.945 lansia terlantar di sana, yaitu yang tinggal sendiri dan berada di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2020, pembaharuan data tak dilakukan karena refocusing anggaran pemerintah.

Berbagai program perlindungan lansia seperti Puskesmas Santun Lansia, Gebyar Lansia, Bina Keluarga Lansia, dan Program Kabupaten Sehat memang disediakan pemerintah, namun masih belum mampu menghadapi masalah jumlah lansia yang berisiko bunuh diri dan banyaknya lansia (Probosiwi & Suryani, 2022). 

Lansia di Gunungkidul tinggal sendiri karena anak-anaknya harus menyambung hidup dengan bermigrasi. Mereka merasa kesepian dan menjadi tidak punya banyak pilihan kegiatan, apalagi jika sudah mengidap penyakit menahun.

Keterasingan atau hilangnya kemampuan untuk dapat mencari penghidupan turut berdampak kepada usia produktif. Mereka juga berupaya mengakhiri hidup, apalagi jika mengidap sakit menahun (Ali & Soesilo, 2021).

Para penyintas berupaya menutupi masalah penghidupannya dari orang lain. Penyintas merasa bisa menghadapi kesulitan sendiri dan enggan bercerita bahkan kepada anaknya karena melihat anaknya sendiri juga dalam kondisi sulit.

Studi yang dilakukan oleh Anjara, Brayne & Bortel (2021), dengan beberapa responden di DIY, mengidentifikasi faktor eksternal dan internal yang memicu penyintas mengidap masalah kesehatan mental. Faktor eksternalnya terkait dengan ketidakmampuan mengatasi stres akibat intensitas masalah penghidupan. Studi mereka menunjukkan bahwa penyintas menganggap penting peran teman dan keluarga, dan oleh sebab itu minimnya dukungan sesama dapat memicu timbul atau kambuhnya masalah kesehatan mental.

Masalah penghidupan yang menjadi faktor eksternal itu bisa berupa tekanan utang, trauma, dan tumbuh dalam kemiskinan. Hal tersebut menjadi semakin berat apalagi struktur budaya masyarakat kita yang suka membanding-bandingkan capaian penghidupan seperti kepemilikan harta dan tingkat pendapatan (Anjara et al., 2021). 

Faktor internal yang memicu masalah kesehatan mental pada responden di DIY yang dikaji adalah overthinking/lewah pikir, atau merenungkan tantangan penghidupan terlalu dalam. Hal tersebut biasanya terjadi karena banyaknya intensitas masalah yang harus ditanggung sendiri secara bersamaan dan sering berkombinasi dengan sikap lain seperti kecemburuan sosial.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa ada faktor struktur pengetahuan dari lingkungan sosial. Pengetahuan yang percaya bahwa masalah kesehatan mental terkait dengan gangguan jin, dan karena itu penyelesaiannya dapat dilakukan melalui “langkah keagamaan” (Anjara et al., 2021).


Struktur Pengetahuan yang Keliru

Studi yang dilakukan oleh Hadi dan Romadhani (2019) melihat ada dua struktur pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat dalam melihat fenomena bunuh diri di DIY. Pertama, mereka yang percaya bahwa kematian melalui bunuh diri adalah “takdir Tuhan”. Mereka percaya bahwa manusia tidak bisa campur tangan terkait kematian. Bunuh diri diyakini sebagai kehendak “Yang di Atas”.

Sikap pasif ini berasal dari budaya Jawa yang mendorong legawa/menerima peristiwa kematian yang dianggap “rahasia Ilahi”. Kepasrahan terhadap segala situasi membuat masyarakat merasa “tidak bisa ikut campur”. Penderitaan dan kesusahan penghidupan dianggap sebagai “anugerah Tuhan” yang harus diterima apabila sudah merasa di luar batas kemampuan kemudian bunuh diri dianggap “solusi alternatif nrimo” dari “cobaan” Tuhan (Hadi & Romadhani, 2019).

Kedua, kepercayaan bahwa bunuh diri adalah bagian dari kebebasan individu untuk memilih jalan hidupnya. Mereka percaya bahwa seseorang bebas menginginkan dan menerima konsekuensi dari pilihannya termasuk kematian. Bunuh diri dipandang sebagai kehendak bebas pelaku sekaligus jalan penyelesaian dari masalah penghidupan yang dihadapi. Pandangan seperti ini kurang melihat aspek perasaan dan perbedaan dari masing-masing penyintas bersama kondisi yang dihadapinya (Hadi & Romadhani, 2019).

Kejadian yang terus berulang, yakni bunuh diri dengan melakukan gantung diri di Gunungkidul, juga menyebabkan penyintas lainnya ingin meniru cara yang mirip. Ini bagaikan panduan karena kondisi kesehatan mental mereka yang memang sudah sulit mencerna informasi.

Gantung diri juga dianggap sebagai “cara yang paling berhasil menyebabkan kematian” dan “murah”.  Masyarakat Gunungkidul yang bekerja sebagai petani, nelayan, atau buruh informal dekat dengan tali temali seperti tali tampar. Alat itulah yang mudah dijangkau mereka untuk melakukan bunuh diri (Hadi & Romadhani, 2019).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Studi yang dilakukan oleh Putri et.al., (2021) mengonfirmasi beberapa sebab munculnya struktur pengetahuan bermasalah yang menyebabkan adanya stigma kepada penyintas kesehatan mental. Pertama, kurangnya literasi kesehatan mental. Prasangka dari keluarga menjadi penghalang penyintas untuk mendapatkan perawatan. Keluarga bahkan sering menganggap penyintas sebagai “orang yang kurang dekat dengan Tuhan/kurang iman”.

Kedua, prasangka negatif dari petugas kesehatan. Kajian Putri et.al., (2021) menemukan seringkali petugas kesehatan berprasangka terhadap penyintas, terutama bila menyinggung perawatan dengan konstruksi gender, agama, dan budaya yang diyakini masyarakat. Petugas kesehatan misalnya menghakimi keyakinan ataupun orientasi seksual si penyintas. Hal tersebut membuat keluarga maupun penyintas memilih sementara waktu tak berobat atau bahkan menghentikan perawatan (Putri et al., 2021).

Kajian yang dilakukan oleh Sekretariat DPRD DIY (2021) menunjukkan bahwa sebanyak 123 orang dari 574 responden survei menyatakan pernah memiliki ide untuk melakukan bunuh diri. 20% dari total 366 responden dewasa yang disurvei mengklaim memiliki anggota keluarga yang menjadi penyintas masalah kesehatan mental. Sebanyak 22% responden usia dewasa mengklaim pernah mendapatkan kekerasan verbal dari orang tua; 20% responden dewasa pernah mendapatkan kekerasan emosional dari orang tua; serta 17% responden dewasa pernah mengalami kekerasan fisik dari orang tua. 

18% responden usia dewasa pernah menjadi korban perundungan yang dilakukan masyarakat; 12% responden pernah difitnah; 12% responden pernah dihakimi masyarakat; 15% responden pernah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat; 7% responden pernah merasa tidak dihormati; 5% responden pernah dikucilkan; serta sebanyak 31% responden enggan menjawab mengenai represi sosial dari masyarakat.

Sebanyak 25% responden dari 11 responden lansia mengaku memiliki anggota keluarga yang mengidap masalah kesehatan mental. 41% responden lansia mengaku pernah mendapatkan perundungan dari masyarakat; 20% responden lansia merasa dibicarakan orang lain di belakang; 5% responden lansia diperlakukan tidak manusiawi; 5% responden lansia merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial; dan 26% responden lansia enggan menjawab pertanyaan terkait represi sosial dari masyarakat. 91,67% responden lansia mengaku kesulitan mengikuti topik perbincangan yang ada di masyarakat. 

Tidak hanya menyangkut masalah struktur pengetahuan yang bermasalah dari lingkungan sekitar, studi Sekretariat DPRD DIY di atas juga mengungkap masalah akses layanan kesehatan mental.

Layanan kesehatan mental yang relatif memadai terdapat di Kota Yogyakarta. Selain lewat pemerintah, juga atas kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat serta rumah sakit swasta, pembentukan konselor sebaya di sekolah, dan deteksi dini. Sementara Kabupaten Kulon Progo masih belum memiliki rumah sakit khusus penyintas kesehatan mental, lalu puskesmas–yang berjumlah 21–sudah memiliki masing-masing satu perawat untuk penyintas, namun belum memiliki spesifikasi sebagai psikolog klinis. 

Kabupaten Gunungkidul, pada sisi lain, belum memiliki perda terkait kesehatan mental tersendiri. Koordinasi antara berbagai pihak terkait masalah kesehatan mental di sana juga belum berjalan dengan baik, bahkan belum ada kerja sama dengan komunitas dan keluarga penyintas. Rumah sakit khusus juga belum tersedia. Kabupaten Gunungkidul pun tidak memiliki perawat khusus bagi penyintas. 

Kabupaten Bantul juga tak memiliki rumah sakit khusus bagi penyintas. Rumah sakit umum di Bantul hanya melayani layanan psikiatri rawat jalan. Kondisi yang lumayan baik terdapat di Kabupaten Sleman berkat adanya 25 puskesmas dengan layanan psikolog serta kedekatan akses dari rumah sakit yang memiliki poli jiwa. Kajian Sekretariat DPRD DIY (2021) juga menemukan jumlah psikolog klinis tak sesuai dengan kebutuhannya, apalagi mereka direkrut dengan kontrak lewat mekanisme pengadaan barang dan jasa.

DIY, sejak tahun 2014, sebenarnya juga telah memiliki peraturan gubernur mengenai penanganan pemasungan terhadap penyintas kesehatan mental. Namun, studi yang dilakukan oleh Yanasari (2019) dalam konteks Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa penanganan pemasungan oleh instansi pemerintah hanya berupa koordinasi antara tingkat kabupaten dan kecamatan. Pelaksanaan rehabilitasi berbasis masyarakat dalam penanganan pemasungan juga belum berjalan maksimal di Kulon Progo. Pembebasan penyintas dari pemasungan juga bukannya dilakukan oleh puskesmas sebagai unit layanan terdekat namun justru menunggu Rumah Sakit Grhasia (Yanasari, 2019).

Penanganan penyintas seringkali berlangsung dengan represi aparat, misalnya mengacu pada Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Pemda DIY justru menggunakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk “menertibkan” penyintas yang berstatus “gelandangan” dan kemudian akan dibawa ke tempat penampungan sementara untuk dilakukan “penilaian”. Penyintas akan dibawa ke rumah sakit jiwa setelah teridentifikasi, dan apabila sudah mampu “mengenali diri” dan menjelaskan asal usul akan dikembalikan kepada keluarga (Firdaus, 2016). Penyintas yang tak mengenal asal usulnya akan ditampung di panti sosial.

Kajian Firdaus (2016) menunjukkan bahwa ketersediaan bangsal penyintas di tempat penampungan sementara masih terbatas dan tidak tersedia anggaran khusus terkait masalah kesehatan mental.


Penutup

Kita telah melihat bahwa masalah kesehatan mental di DIY tak bisa dilepaskan dari problem struktural yang terkait dengan persoalan ketimpangan.

Langkah penting terdekat yang harus dimulai untuk mengatasinya adalah warga sendiri harus  memahami bahwa menutupi masalah penghidupan tak semestinya lagi dilakukan. Menjadikan sesama sebagai konselor/teman cerita dapat mencegah munculnya masalah kesehatan mental. Hal tersebut penting pula untuk mengakhiri stigma terhadap penyintas dan membantu mendampingi mereka untuk mendapatkan perawatan.

Pemerintah juga semestinya tak perlu menutup mata dengan masalah ketimpangan struktural. Kritik dari publik semestinya dianggap angin segar untuk menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Tidak hanya terkait akses perawatan bagi penyintas masalah kesehatan mental, pemerintah perlu memastikan adanya perlindungan sosial yang memadai bagi seluruh warga dan memberikan pelayanan tertentu pada kelompok lansia dan mereka yang berpenghasilan minim.

Pemerintah juga harus mampu memastikan rakyat memiliki penghidupan layak serta menganggap wajar rakyat menyuarakan masalah penghidupannya, agar tidak dipendam dan menjadi masalah kesehatan mental.


Daftar Pustaka

Ali, T. M., & Soesilo, A. L. S. (2021). Studi Kasus Tentang Bunuh Diridi Gunung Kidul: Antara Realitas dan Mitos Pulung Gantung. Wacana, 13(1), 82–103.

Anjara, S. G., Brayne, C., & Bortel, T. Van. (2021). Perceived causes of mental illness and views on appropriate care pathways among Indonesians. International Journal of Mental Health Systems, 15(74), 1–14.

Firdaus. (2016). Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Penyandang Skizofrenia Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10(1), 87–103.

Hadi, M. A., & Romadhani, R. K. (2019). Perceptions of Death and Recommendations for Suicide Prevention Policies: A Case Study of Suicide Case in Gunung Kidul. Proceedings of the 2nd International Seminar on Guidance and Counseling 2019 (ISGC 2019), 11–17.

Muntaner, C., Borrell, C., & Chung, H. (2007). Class Relations, Economic Inequality and Mental Health: Why Social Class Matters to the Sociology of Mental Health. In W. R. Avison, J. D. McLeod, & B. A. Pescosolido (Eds.), Mental Health, Social Mirror (pp. 127–141). Springer US.

Nurdiyanto, F. ., & Jaroah, S. (2020). The Characteristics of Suicide in Gunungkidul Indonesia. Disease Prevention and Public Health Journal, 14(2), 69–75.

O’Grady, P. (2014). Stop Making Sense: Alienation and Mental Health. Irish Marxist Review, 3(11), 36–47.

Parsons, H. L. (1964). Value and Mental Health in the thought of Marx. Philosophy and Phenomenological Research, 24(3), 355–365.

Probosiwi, R., & Suryani. (2022). Analisis Risiko Elder Abuse dan Peran Pemerintah dalam Perlindungan Sosial Lansia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 13(1), 89–104.

Putri, A. K., Gustriawanto, N., Rahapsari, S., Sholikhah, A. R., Prabaswara, S., Kusumawardhani, A. C., & Kristina, S. A. (2021). Exploring the perceived challenges and support needs of Indonesian mental health stakeholders: a qualitative study. International Journal of Mental Health Systems, 15(81), 1–9.

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. (2021). Laporan Akhir: Kajian Kebijakan Kebutuhan Layanan Kesehatan Jiwa Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yanasari, P. (2019). Implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 81 Tahun 2014 tentang Penanganan Pasung di Kab. Kulonprogo Yogyakarta. Mawa’izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 10(2), 354–375.


Anggalih Bayu Muh Kamim, alumnus Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.