Kredit ilustrasi: Porter and Chester Institute
DI KALANGAN pro-pekerja, setidaknya belum satupun saya temukan komentar bernada positif terhadap laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report, yang tahun 2018 ini merilis edisi terbarunya bertajuk “The Changing Nature of Work” (perubahan sifat kerja). Bagaimana jika ternyata pembacaan objektif dokumen tersebut dengan perspektif pekerja (khususnya pekerjais, workeris) mampu memungut apa yang masih tersisa bagi pekerja untuk diselamatkan, diorganisir, dan dijadikan senjata untuk melawan balik (dan menang!). Boleh saja kita lari terbirit-birit diburu oleh penguasa dan aparatnya atau pemodal dan premannya yang hendak mengotomasi, mengefisiensi dan memplokoto kita para pekerja. Namun, jangan lupa slogan Situasionis, “lari, tapi sembari lari, pungut senjata!”
Genre tulisan yang mendemonisasi dan mengutuk laporan Bank Dunia ini sudah banyak. Dan bagi mereka yang mengikuti dan mengamati genre-genre perlawanan terhadap organisasi internasional ini, saya yakin kita tidak menemukan nada baru dalam kritik di luar nada-nada seperti: “hak buruh dilucuti,” “kedaulatan diintervensi,” “negara berpihak pada pemodal,” “pasar bebas memiskinkan petani,” bla bla.. Kosakatanya pun tidak akan jauh-jauh dari: “kutuk”, “tolak”, “boikot”, “lawan” bla..bla.. Tahun 2014 lalu, dengan kawan-kawan di Jaringan Riset Kolektif (JeRK), saat kami roadshow 10 kota di Jawa-Bali untuk paparan riset tentang dan melawan pertemuan Kongres Kementerian WTO ke-9 di Bali, saya sudah menjumpai nada-nada dan kosakata tersebut. Setelah empat tahun berselang, saya nggumun seperti poster demo yang saya pernah dapati di Pinterest: “I can’t believe we’re still protesting this shit” (“Gila aja, kita masih harus mrotesin hal ini!”). Apakah ketel kritik sudah kehabisan uap, sehingga lokomotif gerakan tidak maju kemana-mana? #Bertanya #Padarumputyangbergoyang
Adalah respon reaksioner khas jiwa-jiwa cantik yang menurut tengara saya merupakan biang dari sumbatan imajinasi dan vitalitas gerakan. Salah satu contohnya adalah seperti saat saya mencari pandangan dari lingkungan gerakan progresif tentang laporan Bank Dunia ini, hampir semua seragam!: “tidak adil bagi kaum buruh“, “tolak IMF-WB“, “akal-akalan mengebiri hak-hak buruh“, “masa depan buruh di negeri ini terancam“, “merampas hak buruh“, “tolak pertemuan tahunan IMF-WB,” “IMF agen Neoliberalisme,” bla..bla.. Dari segi sorotan pun semua media yang saya kutip di atas berpusar pada aspek laporan yang itu-itu saja: fleksibilisasi aturan perekrutan/pemecatan pekerja, penghapusan pesangon, penghapusan upah minimum dan investasi modal manusia (human capital). Dan tentu saja hal tersebut JELEK dan harus di-TOLAK .. dan .. simsalabim! Rekomendasi IMF-WB batal diterapkan.
Jiwa-jiwa cantik (beautiful souls) senang melihat dan menggembar-gemborkan dirinya sebagai korban atau, mengutip bahasa Marx sendiri, “korban mangsaan Setan.” Posisi jiwa cantik selalu melihat dunia ini #kamujahat dan selalu ingin menjaga keberjarakan diri seraya menolak tangannya untuk kotor. Ketimbang berpikir dengan kepala dingin, ia selalu gampang mengumbar-umbar hal normatif, moralis, asumtif, simplistis, minim faedah, bla..bla.. singkatnya: sampah! Jiwa-jiwa cantik tidak kenal perencanaan revolusioner karena ia tidak bervisi, karena memang tidak ada masa depan dalam ceracauan jiwa-jiwa cantik.
Kembali ke laporan Bank Dunia.
Seperti klaim yang ditawarkan di atas, sebuah pembacaan yang khas pekerjais (workerist)—yaitu yang memosisikan sentralitas universal pekerja dalam seluruh evolusi peradaban kapitalisme, dan yang penuh dengan vitalitas visioner akan masa depan revolusioner pekerja—akan mampu melihat hal yang tidak akan pernah bisa dilihat para jiwa cantik. Pekerjaisme, yang dapat dilacak dari pemikiran Mario Tronti dan Antonio Negri, selalu berangkat dari aksioma bahwa seluruh perkembangan taktik manajemen dan senarai permesinan kapitalisme adalah respon kalap akan resistensi pekerja (Tronti). Respon tersebut ironisnya adalah dengan membekukan/mengkristalisasikan kekayaan potensi kreatif kerja para pekerja hidup ke dalam rupa-rupa artifak teknologis (yi. mesin), dan balik menghadap-hadapkannya dengan pekerja. Dengan sains, kreativitas manusia dalam bekerja dimodel, dikodekan, direplikasi dan diobjektivikasi dalam bentuk artifisial yang independen dari tubuh pekerja. (Lebih detilnya, lihat penjelasan saya tentang asal-usul robot joget Twerk-Bot dan akumulasi primitif). Sehingga pekerja pun menjadi terdepak—setidaknya inilah yang langsung terlihat di permukaan.
Namun demikian, karena selalu ada kontradiksi antara vitalitas dan kreativitas kerja hidup (living labor) dengan upaya-upaya kapital untuk menundukkan, mengkristalisasi dan membekukan kerja hidup ini menjadi rupa-rupa permesinan—istilah Marx, kerja mati (dead labor)—maka upaya tersebut akan selalu dirundung krisis.[1] Namun, sekalipun krisis, sejarah menunjukkan kapitalisme selalu bisa kembali lagi lebih canggih dan lebih cerdik dari pekerja. Pekerja selalu payah memanfaatkan krisis kapitalisme untuk benar-benar menyudahi sistem eksploitatif ini. Persis seperti di era yang disebut-sebut “Revolusi Industri 4.0” saat ini: pekerja hanya mampu mengenduskan gertakan ompong “tolak PHK.” Sekalipun begitu, tetap saja, siklus dialektis sejarah konfliktual antara kerja hidup dengan teknologi otomasi akan terus bergulir. Dan juga, tetap saja, jika aksioma pekerjais masih terus berlaku (seperti yang masih sampai hari ini), akan selalu ada titik di mana resistensi pekerja (atau bahasa pekerjais, penolakan kerja [refusal of work]) akan membuat krisis rezim teknologis kapital ini. Sehingga tugas historis kita pertama-tama adalah meraba kemungkinan-kemungkinan tersebut, mengidentifikasi peluangnya, dan merencanakan eksploitasi maksimalnya bagi agenda perjuangan—atau agenda otomasi 4.0—yang berpihak pada pekerja.
Modal Manusia
Satu dari sekian banyak tema yang sedikit direspon kawan-kawan progresif dari laporan Bank Dunia tersebut dan yang hendak saya bahas adalah tentang tema modal manusia (di samping, misalnya: kontrak sosial baru, pendidikan, dan atau malah statistik-statistiknya). Menurut laporan tersebut, seiring dengan terhapusnya banyak pos pekerjaan karena otomasi dengan mesin dan robot, maka akan terjadi inovasi-inovasi baru yang membutuhkan keterampilan kerja yang lebih tinggi. Itulah mengapa untuk memastikan tidak ada pekerja yang tidak mendapat tempat dalam rezim eksploitasi berbasis kerja-upahan pasar tenaga kerja yang baru, menjadi penting bagi serikat dan koperasi negara untuk mengerahkan investasinya pada modal manusia (hal. 29). Laporan ini berani menjamin bahkan bahwa investasi ini tidak akan mengecewakan (“no-regret investment”) (hal. 5)!
Memang, Bank Dunia bukan yang pertama melihat pentingnya modal manusia. World Economic Forum (WEF) sudah terlebih dahulu memantik dan bahkan memimpin euforia soft skills dan modal manusia ini. Ia memproduksi laporan penelitian yang banyak dikutip di mana-mana, baik oleh pemerintah, bisnis, akademik maupun awam: yaitu The Future of Jobs Report 2018. WEF, misalnya, menempatkan pemikiran analitis dan inovatif sebagai urutan teratas keterampilan masa depan, dengan diikuti pembelajaran aktif, perancangan teknologi, pemikiran kritis dan pemecahan masalah kompleks (complex problem solving, CPS). Google bahkan disebut-sebut “menghargai soft skills jauh melampaui nilai baik.” Diketahui bahkan bahwa Google meriset pegawai-pegawainya selama setidaknya lima tahun terakhir—dengan dua kali proyek riset: Project Oxygen (2013) dan Project Aristotle (2017). Hasilnya cukup mengejutkan, bahwa ciri pekerja-pekerja yang berkontribusi secara signifikan bagi perusahaan BUKANLAH mereka yang menguasai STEM (Science, Tech, Engineering, Mathematics), melainkan mereka yang memiliki keandalan dalam … soft skills. Google mendaftar sedikitnya 8 soft skills mulai dari menjadi coach, memilliki keterampilan komunikasi, mendengarkan, empati, suportif, dst. Kesemunya ini didokumentasikan Google dalam repositori manajemen pengetahuannya, Re-Work, dengan nama Kecerdasan Emosional (emotional intelligence).
Sekalipun mirip dengan soft skills ala WEF dan Google, laporan Bank Dunia punya caranya sendiri dalam melihat modal manusia. Ia mencakup pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, yaitu hal-hal yang dibutuhkan untuk “memampukan manusia merealisasikan potensi-potensinya sebagai anggota masyarakat yang produktif” (hal. 50). Pengetahuan dan keterampilan yang dimaksud ini cukup spesifik dirujukkan kepada seperangkat keterampilan “yang mengombinasikan pengetahuan teknis (know-how), pemecahan-masalah dan berpikir kritis, dengan keterampilan lunak alias soft skills seperti kegigihan, kolaborasi dan empati” (hal. vii). Di bagian lain, dispesifikasikan lebih sistematis bahwa keterampilan yang perlu dibiakkan melalui investasi ke pendidikan dan kesehatan adalah: “keterampilan kognitif lanjut seperti pemecahan masalah kompleks (complex problem solving, CPS), keterampilan prilaku sosial (sociobehavioral skills) seperti kerjasama, dan kombinasi keduanya dalam kemampuan bernalar (reasoning) dan kemandirian” (hal. 3). Keterampilan-keterampilan inilah yang ingin dipetik apabila investasi diarahkan pada dasar-dasar modal manusia dan sikapnya untuk terus selalu kursus dan sertifikasi upskilling belajar (lifelong learning).
Mengamati definisi-definisi di atas, kita bisa lihat bagaimana keterampilan abstraksi non-teknis dan keterampilan sosial adalah yang dikejar oleh rekomendasi Bank Dunia untuk investasi di modal manusia. Kedua ini seringkali dirujuk sebagai keterampilan lunak atau soft skills.[2] Jika keterampilan keras bisa diajarkan secara langsung (seperti memainkan musik Internationale, menghafal kutipan-kutipan heroik Marx, membuat molotov, menyervis mobil komando, dan mengoperasikan komputer serikat), sayangnya keterampilan lunak (seperti membaca situasi kompleks eksploitasi, melihat konteks gambar besar peristiwa receh nasional yang diliput media arus utama, mengonsolidasi dan menjaga semangat perlawanan harian, apalagi merancang perencanaan revolusioner yang terukur dalam program dan indikator) adalah keterampilan yang tidak bisa diajarkan atau ditransmisikan langsung. Keterampilan lunak, dengan demikian, nampak pada kepiawaian orang tersebut dalam memobilisasi keterampilan kerasnya. Persis seperti kutipan motivasional yang sering saya jumpai, “life consists not in holding good cards but in playing those you hold well”: ya, soft skill adalah hidup (life) itu sendiri.
Keterampilan lunak adalah keterampilan yang lahir melalui pembelajaran terlibat dan imersif dalam keseharian kehidupan kelas sosial masyarakat. Keterampilan lunak tidak akan mungkin sepenuhnya dibekukan ke dalam modul-modul ajar; ia hanya bisa dilatih dan dipelajari secara tak sengaja (mis. sadarkah kita saat kita semakin mahir berbahasa Indonesia sejak kecil?). Pembelajaran keterampilan lunak adalah selalu pembelajaran sosial, dalam artian pembelajaran yang didapat dari keterlibatan langsung di masyarakat, sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sekalipun bersifat sosial, tetap saja ini bukan berarti seorang sarjana sosial-humaniora lantas otomatis memiliki keterampilan lunak; soft skills bukanlah monopoli disiplin manapun: tidak soshum, tidak juga STEM. Keterampilan lunak itu tidak terduga, se-tak-terduga improvisasi perilaku dan linguistik sehari-hari dalam menciptakan gestur dan bahasa plesetan, misalnya. Keterampilan lunak itu sifatnya memang tidak terprediksikan. Ini semua demikian adanya, karena keterampilan lunak adalah bahasa yang digunakan sistem ini untuk menyebut apa yang dua ratus tahun lalu disebut Marx sebagai ‘kerja hidup’ (living labor) yang tak lain adalah daya kerja (labor-power) itu sendiri.[3]
Kredit ilustrasi: Institute of Entrepreneurship Development
Perburuan Soft Skills
Mungkin ini yang menyebabkan Bank Dunia merasa perlu untuk menyeriusi upaya untuk “mengamankan” potensi-potensi dari keterampilan lunak alias soft skills ini. Tapi mengapa seserius itu? Di laporan itu kita bisa lihat betapa soft skills ini adalah apa yang selalu menjadi hambatan bagi otomasi; sedemikian rupa sehingga para pekerja yang memiliki soft skills tinggi menjadi terlindungi dari otomasi (hal. 29). Pasalnya, mesin tercanggih sekalipun masih kesulitan meniru soft skills (hal. 50). Lihat saja Zhang Zhow, si AI pembaca berita dari Cina, atau AI debat dari IBM: dalam sekali dengar saja kita bisa langsung tahu bahwa Zhang adalah robot, dan bahwa argumen debater AI adalah argumen umum nan buku-teks.
Menarik juga membaca pandangan laporan ini tentang kerja-kerja feminin. Beda dari pekerjais teknofeminis seperti Leopoldina Fortunati atau Ruth Cowan, laporan ini justru melihat bagaimana mesin cuci dan mikrowave pada zamannya dulu mampu membebaskan perempuan untuk menjebloskan dirinya ke rezim kerja-upahan bekerja dan mengaktualisasikan dirinya di luar rumah (29). Jika awalnya pekerjaan perempuan dibedakan dengan jelas, kini, pekerjaan dengan kualitas feminin relatif menjadi tergeneralisir; Cristina Morini, seorang feminis pekerjais, menyebut ini sebagai ‘feminisasi kerja’.[4] Kita bisa melihat feminisasi kerja ini secara nyata dalam bentuk kualitas afektif dan emosional yang secara tradisional diasosiasikan dengan jender feminin sebagai prasyarat kerja, misalnya: tahan banting, bisa bekerja sama, multi-tasking, murah senyum, berpenampilan dan kepribadian menarik, dst. …dan kita teringatkan kembali akan soft skills; memang, ia adalah aspek feminin dari keterampilan kerja! Nah, persoalan bagi laporan Bank Dunia ini malah bagaimana menguniversalkan lebih lanjut lagi, mengukurnya, dan mengomodifikasinya.
Ruth Cowan, dalam buku More Work for the Mother: The Ironies of Household Technology from the Open Hearth to the Microwave (1983) menunjukkan betapa janji teknologi domestik untuk mengurangi kerja perempuan justru membuat mereka bekerja lebih banyak lagi: setelah pulang kerja dari luar, mereka tetap harus menjaga anak, memasak, dan meladeni suaminya (kerja-kerja reproduktif yang tidak akan pernah dibayar kapitalisme). Demikian pula Fortunati dalam karya-karya belakangannya tentang robot (“Robotization and Domestic Sphere,” 2017), menyoroti betapa peningkatan otomasi ke sektor-sektor sosial (rumah tangga dan kesehatan, misalnya) hari ini, justru merupakan kelanjutan proyek kelas untuk menguasai jantung sosial produsen daya reproduktif dari kerja (yang membuat suplai daya kerja lestari). Setelah sukses mengapitalisasi feminitas perempuan, mempekerjakannya dan memberlakukannya secara universal,[5] kali ini teknokapitalisme ingin merangsek lebih dalam lagi ke intimitas relasi sosial masyarakat yang salah satu pilarnya adalah keluarga. Keluarga adalah simbol cinta, perhatian dan perawatan; ia memegang peran sentral dalam edukasi, pendewasaan dan kesehatan; membuatnya menjadi suatu no-regret investment bagi Bank Dunia. Sayangnya, laporan ini belum mampu menunjukkan ukuran pasti bagi investasi ke aspek feminin dan soft dari keterampilan kerja ini; belum ada rezim ukuran yang mampu mengukurnya secara pas, dan belum ada sistem jejaring saraf artifisial yang mampu mengajari mesin keterampilan ini.
Saya agak grogi, tapi saya cukup berani bertaruh sejago-jagonya seorang neurosaintis yang fundamentalis mengatakan bahwa semua keterampilan sosial tak lebih dari sekadar korelat saraf, dan secanggih-canggihnya programmer kecerdasan buatan mampu memprediksi prilaku sosial dan bahkan mereplikasi jejaring kemungkinannya dalam otak robot, tetap saja keterampilan sosial tidak akan bisa benar-benar dimesinkan.[6] Namun demikian, dilema dan pertaruhan macam ini tidaklah penting! Sekali lagi, tidaklah penting! Karena, taruhlah memang robot-robot ini mampu mengakusisi soft skills secara jauh lebih baik dari manusia, bukankah hal itu baik? Bukankah akhirnya manusia benar-benar terbebas dari bekerja, sehingga bisa lebih berkonsentrasi mengembangkan sains, seni, teknologi, dan relasi sosial sementara semua pekerjaan administratif bahkan pemerintahan dikerjakan robot?
Itulah mengapa dilema konservatisme dan fundamentalisme bahkan bigotisme tentang humanisme ini harus disudahi. Karena ia hanyalah isu yang mendistraksi kita dari persoalan sebenarnya: yaitu monopoli agenda perancangan, peruntukan dan penguasaan kendali penciptaan dan pengerahan robot-robot dan mesin-mesin otomasi produksi. Selama agenda otomasi tidak di tangan kita pekerja, maka seluruh artifak teknologi akan selalu memusuhi kita: merebut pencaharian (menggantikan pekerjaan omong kosong kita), memiskinkan kita (karena terus mengeruk uang kita), melukai kita (karena desain yang tidak manusiawi), dan limbah dan sampahnya merusak alam. Sebaliknya, apabila agenda otomasi ada di tangan kita kelas pekerja, maka senarai teknologi ini akan membebaskan kita dari kerja, dan memberi kita waktu lowong (disposable time) yang banyak.
Tentang waktu lowong, Marx menulis dengan sangat indah:
“Maka, menjadi jelas bahwa pekerja tidak lain adalah daya-kerja (labor-power) untuk sepanjang keseluruhan hidupnya, dan oleh karenanya seluruh waktu lowongnya adalah pada prinsipnya waktu-kerja (labor-time), untuk diabdikan kepada pengayaan nilai (valorisasi) Kapital. Waktu untuk pendidikan, untuk perkembangan intelektual, untuk pemenuhan fungsi-fungsi sosial, untuk pergaulan sosial, untuk bermain-main dengan vitalitas tubuh dan pikiran, bahkan waktu istirahat akhir pekan–oh sungguh bodohnya! [..] Kapital [..] merampas waktu untuk pertumbuhan, perkembangan dan perawatan kesehatan tubuh. Ia mencuri waktu yang dibutuhkan untuk menghirup udara segar dan mentari pagi. Ia menawar-nawar jam makan, dan jika memungkinkan akan dimasukkan juga ke dalam proses produksi itu sendiri, sehingga makanan dipakankan kepada pekerja layaknya alat-alat produksi, seperti batu bara ke ketel uap, dan minyak pelumas ke mesin-mesin. Ia memotong waktu tidur nyenyak yang dibutuhkan untuk penyegaran, pembaharuan, dan pemulihan daya vital sampai hanya sebanyak waktu estivasi [hibernasi, torpor] yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali organisme yang kehabisan tenaga. Pada dasarnya bukanlah perawatan normal daya-kerja yang menentukan batas-batas jam/hari kerja, melainkan seluruh kekayaan kemungkinan penggunaan harian daya-kerja tersebut yang membatasi” (Marx, Capital, Vol. 1, hal. 375-6).
Di Grundrisse, Marx lebih jelas lagi menghubungkannya apa yang disebut anak zaman now sebagai ‘pengembangan diri’.
“The free development of individualities, and hence not the reduction of necessary labour time so as to posit surplus labour, but rather the general reduction of the necessary labour of society to a minimum, which then corresponds to the artistic, scientific etc. development of the individuals in the time set free. [..] Kekayaan bukanlah penguasaan jam kerja surplus, melainkan waktu lowong di luar yang dibutuhkan untuk produksi langsung, baik untuk setiap individu dan juga keseluruhan masyarakat.” (Marx, Grundrisse, hal. 706).
Pengembangan Diri dan Masa Depan
Kembali ke Bank Dunia dan ambisinya menguasai soft skills. Jangan-jangan Marx memang memperingatkan kita, bahwa karena sumber dari kerja manusia sebenarnya adalah kerja hidup, yaitu soft skills, alias aspek feminin dari kerja, dan sialnya bagi kapitalis, ini semua tidak bisa diotomasi secara sempurna, maka ia akan mati-matian memburunya. Di pengantar laporan, Bank Dunia menyamakan antara kurangnya investasi modal manusia dengan “the lost productivity of the next generation of workers.” Produktivitas yang hilang ini tentunya adalah produktivitas dalam artian menambah tingkat akumulasi profit dari pemodal tentunya, dan bukan, produktivitas—dengan hard dan soft skills yang sama—untuk kerja-kerja serikat, koperasi dan program-program revolusioner. Laporan ini sudah menyadari, pengembangan diri itu tidak tunggal, dan bahwa diri yang berkembang itu juga tidak lantas mengabdi pada kapital; itulah kenapa investasi modal manusia adalah instrumen kendali biopolitis untuk menyekap, menyandera, dan mengarahkan pembiakan soft skills semenjak “perkembangan anak usia dini” karena “ini adalah cara paling efektif untuk membentuk keterampilan yang berharga bagi pasar tenaga kerja masa depan” (hal. 10).
Sehingga jelas, apa yang saat ini hendak dan sedang dan akan selalu diupayakan kapital untuk dirampas dari manusia lewat otomasi dan perkodingan dan mesin-mesin pembelajar BUKANLAH semata-mata nilai kerjanya. Itulah mengapa membingkai eksploitasi sebagai sekadar pencurian nilai kerja tidak akan membawa gerakan dan seruan pekerja kemana-mana. Karena pasalnya, yang dicuri oleh kapital sebenarnya adalah “kekayaan kemungkinan penggunaan harian daya-kerja” (the greatest possible daily expenditure of labour-power). Adalah masa depan non-eksploitatif, non-kerja omong kosong, non-kerja-upahan; atau masa depan yang mana manusia memiliki seluruh waktu luang untuk bebas mengembangkan diri dalam artian pasase Marx di atas; singkatnya, kemungkinan masa depan yang non-kapitalis yang coba diantisipasi kapitalisme dan dihapuskan kemungkinan keberadaannya dari ingatan seluruh rakyat pekerja.
Bisa jadi kapitalisme sudah menyadari kontradiksi bergerak (moving contradiction) ini yang pada waktunya akan membatalkan sendiri kapitalisme dengan secara total menghapuskan kerja manusia dan mengalihkannya ke kerja robot. Akibatnya, ia harus mencari-cari cara untuk tetap memegang kendali masa depan otomasi kapitalis. Elon Musk misalnya, yang konon salah satu rasul masa depan teknoutopia 4.0 bla bla, ketimbang mengatakan bahwa robot-robotnya kelak akan membebaskan umat manusia dari kerja, ia malah mengatakan bahwa manusia seharusnya bekerja 80 jam seminggu (dua kali lipat dari yang berlaku saat ini; artinya dua kali lipat lebih bullshit dari bullshit jobs Graeberian kita saat ini).
Barisan terdepan pertentangan kelas di medan teknologi menariknya hampir tidak teknologis sama sekali, melainkan lebih human-is, atau lebih tepatnya, feminis[7]; adalah soft-skills, kerja-kerja feminin, kreativitas dari kerja dan ke-hidup-an dari kerja-kerja manusia yang membuatnya suatu daya potensi kemungkinan tak terbatas. Adalah soft skills yang saat ini sedang berlomba-lomba diserbu otomasi kapitalis; sekalipun hal itu belum begitu berhasil—penelitian Future of Jobs 2018 dari World Economic Forum yang banyak dikutip pun belum melihat hal ini setidaknya dalam lima tahun ke depan (hal. 11). Hal ini nampaknya mengonfirmasi seruan Focaultian dari Hardt dan Negri, bahwa dalam setiap penundukan teknologis akan selalu ada resistensi kerja hidup; soft skills atau living labor berpotensi menjadi lonceng kematian bagi seluruh rezim kerja kapitalis; ia berpotensi menjadi senjata ampuh bukan hanya menggebrak meja tawar-menawar kerja dengan kapitalis, melainkan bahkan untuk mengambil alih seluruh semesta teknosains dari kapitalisme. Kelak, dalam suatu skenario masa depan decopunk yang saya dambakan, soft skills ini yang bisa menjadi sarana pemersatu manusia dan robot dalam sistem sosial kolektif 4.0 (AI-based), bahkan 5.0 (AI + transhuman augmented intelligence).
Namun, sebelum bermimpi lebih jauh, problemnya kemudian: apa agenda politik kita kelas pekerja dalam mengeksploitasi balik soft skills ini dan merebutnya dari incaran kapitalisme?***
Hizkia Yosias Polimpung adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan editor IndoPROGRESS
** Tulisan ini juga merupakan refleksinya selama menjadi fasilitator workshop Complex Problem Solving dan Emotional Intelligence.
———-
[1] Sudahlah, Anda pasti terlalu malas untuk menggali lebih jauh tentang kondtradiksi yang disebut Marx di Grundrisse (hal. 706) sebagai ‘kontradiksi bergerak’ (moving contradiction). Pokoknya, intinya, gampangnya, selalu akan ada kontradiksi antara: 1) upaya kapitalis untuk melakukan R&D dengan ilmuwan-ilmuwan dan periset-perisetnya untuk menciptakan teknologi kerja mutakhir (INGAT, yang selalu dimodel dari kerja hidup) sehingga bisa memangkas pekerja itu sendiri, dengan 2) kenyataan bahwa kekayaan kapitalis hanya didapat dari pencurian nilai atas waktu kerja berlebih (surplus labor time) pekerja yang adalah orang hidup dan bukan entitas teknologis seperti mesin, algoritma atau robot. Nah, pembacaan pekerjais, Negri misalnya, adalah bahwa kontradiksi ini menunjukkan betapa seluruh rezim pengukuran nilai dari kerja akan selalu krisis, karena memang pada dasarnya vitalitas dan kreativitas dari kerja hidup akan selalu berontak terhadap setiap formula takaran kapitalis.
[2] Banyak perdebatan mengenai batasan keterampilan keras (hard skills) dengan lunak, yang tentunya bukan cekcok berarti dari perspektif argumen yang mau dibahas di artikel ini.
[3] “We mean by labour-power, or labour-capacity, the aggregate of those mental and physical capabilities existing in the physical form, the living personality, of a human being, capabilities which he sets in motion whenever he produces a use-value of any kind.” Marx, Capital, vol. 1, 270.
[4] Poin ini, lihat Cristina Morini, “The Feminization of Labour in Cognitive Capitalism,” Ephemera, 2007.
[5] Lagi, lihat Cristina Morini, Ibid.
[6] Saya tidak punya banyak tempat menjelaskan, namun argumen saya banyak terinspirasi dari Matteo Pasquinelli, Alleys of Your Mind: Augmented Intelligence and Its Traumas, 2015. Buku ini menunjukkan bahwa manusia memiliki model intelijensia yang berbeda dari mesin terpintar sekalipun, yaitu bahwa ia bisa salah. Mesin tidak bisa salah; apabila ia salah, ia rusak. Namun tidak bagi intelijensia manusia. Ia trauma, lalu belajar darinya.
[7] Tidak dalam artian politik identitas; melainkan lebih ke artian tekno- atau xeno-feminis, yaitu dalam artian merebut sarana reproduksi, berikut teknologi-teknologi otomasinya yang termutakhir: mulai dari biologis, molekular, sosial, bisnis, sampai filosofis; mulai dari rahim buatan, hormon, alat pel AI sampai planetary scale computation. Lih. The Shulamith Firestone, Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution, 1970; Laboria Cuboniks, Xenofeminist Manifesto: A Politics for Alienation, 2015; Helen Hester, Xenofeminism, 2018.