Kredit foto: Nasional Tempo.co
“When clothes are cheap, women are cheap”
(Nazma Akter, aktivis buruh perempuan dari Bangladesh)
BELAKANGAN “Politik Emak-Emak” banyak mendapat perhatian publik. Emak-emak yang umumnya dipandang tidak begitu peduli dengan politik, justru aktif melancarkan aksi politiknya. Barisan Emak-Emak Militan (BEM) sudah beberapa kali melakukan demonstrasi terkait dengan harga kebutuhan bahan pokok. Tidak pelak lagi, kedua kubu yang akan berlomba merebut suara rakyat dalam pesta demokrasi skala nasional yang akan datang melihat emak-emak sebagai potensi untuk meraup suara rakyat. Kubu Prabowo menggunakan istilah “emak“ dengan harapan mereka dapat menjangkau kelas bawah. Sementara tim petahana memilih menggunakan istilah “ibu“ untuk menjangkau berbagai kelas. Yang jelas keduanya bertujuan untuk meraup suara perempuan dengan cara memobilisasi “emak“ atau “ibu“.
Kegagalan Kelompok Progresif
Fenomena emak-emak berpolitik di atas sebenarnya menunjukkan, ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak puas atau yang ditindas, tetapi suaranya belum tersalurkan. Emak-emak yang berpolitik salah satunya mencakup ibu-ibu kelas buruh yang setiap hari harus memutar otak untuk menghidupi keluarganya. Mereka ini mungkin saja bergerak dalam sektor yang tidak ramah dengan serikat buruh, sehingga aspirasi mereka mengenai penghidupan yang layak harus disalurkan melalui “Politik Emak-Emak”.
Ada juga kemungkinan bahwa mereka bekerja dalam sektor yang sudah digerakkan oleh serikat buruh, tetapi serikat buruh abai terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi buruh perempuan. Berbagai studi menunjukkan gambaran yang kurang menyenangkan mengenai posisi dan relasi buruh perempuan dalam serikat buruh. Syarif Arifin, misalnya melaporkan bahwa di beberapa serikat buruh, kepengurusannya didominasi oleh laki-laki, meskipun anggotanya kebanyakan adalah buruh perempuan. Erni Agustini menunjukkan bagaimana buruh perempuan mengalami kesulitan dalam memperjuangkan hak-haknya dalam serikat buruh.
Sementara itu, meski gerakan feminis berjalan beriringan dengan gerakan buruh perempuan, buruh perempuan terkadang kurang mendapat perhatian dalam gerakan feminis, khususnya ketika gerakan feminis tersebut tidak peka dengan persoalan kelas buruh. Para aktivis feminis, misalnya, cukup aktif dalam menyoroti kasus pelecehan seksual, dan dengan lantang menyuarakan gugatan terkait dengan kasus ini. Sering kali kelompok feminis yang tidak peka dengan persoalan kelas lupa bahwa kemampuan menggugat dalam kasus pelecehan seksual itu bukan hanya persoalan gender, tetapi juga persoalan kelas. Buruh perempuan yang juga menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja sering kali memilih bungkam dalam kasus ini karena tidak ingin dipecat. Pada akhirnya, berapa banyak orang kah, khususnya kalangan feminis sendiri, yang melihat persoalan-persoalan yang dihadapi buruh perempuan sebagai isu feminis?
Militansi Buruh Perempuan Dimanfaatkan
“Politik Emak-Emak” menunjukkan gambaran ibu-ibu yang militan dalam menyalurkan aspirasi mereka, khususnya terkait harga kebutuhan pangan. Mengingat bahwa sebagian ibu-ibu ini adalah buruh perempuan, militansi mereka tidak perlu diragukan lagi. Kekuatan gerakan buruh dalam memobilisasi massa buruh, salah satunya, terletak pada buruh perempuan. Buruh perempuan turut serta dalam aksi-aksi demonstrasi serikat buruh. Buruh perempuan turut serta dalam aksi piket, dan belakangan dalam media sosial.
Pendek kata, seperti argumen Symth dan Grijns, buruh perempuan merupakan tulang punggung dalam demonstrasi perburuhan. Keterbatasan buruh perempuan dalam berpartisipasi dalam gerakan buruh justru dikarenakan oleh faktor-faktor yang berasal dari interaksi antara sistem patriarki dan sistem kapitalis. Tetapi, keterbatasan-keterbatasan tersebut justru dapat juga mendorong buruh-buruh perempuan menjadi semakin militan dalam bergerak.
Kita bisa melihat contohnya dalam aksi yang dilakukan oleh buruh perempuan PT PDKB (PT Panarub Dwi Karya Benoa). Selama kurang lebh lima tahun, para buruh perempuan ini secara militan melakukan aksi demonstrasi, aksi piket dan kampanye melalui media sosial. Hasilnya, kasus mereka mendapat perhatian internasional, bahkan disidangkan di Komite Kebebasan Berserikat Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Syarif Arifin berpendapat bahwa aksi buruh perempuan PT PDKB ini tidak lazim. Pertama, aksi tersebut dilakukan oleh buruh perempuan. Hal ini berlawanan dengan anggapan bahwa buruh perempuan itu adalah sosok yang lemah dan penurut. Kedua, mayoritas buruh perempuan PT PDKB yang melakukan aksi tersebut sudah berkeluarga dan memiliki anak. Hal ini tidak terlepas dari anggapan yang umum bahwa buruh perempuan yang cenderung lebih aktif dalam gerakan buruh adalah buruh perempuan yang belum menikah, atau hanya sekadar ikut-ikutan aktivisme laki-laki yang berasal dari dunia yang sama. [1]
Kelompok Progresif Kecolongan?
Saya sudah memaparkan di atas bahwa “emak-emak berpolitik“ menjadi peringatan bagi kelompok progresif karena gagal dalam menangkap isu-isu yang dihadapi buruh perempuan. Meski pun buruh perempuan juga diorganisir oleh serikat buruh, persoalan-persoalan yang dihadapi buruh perempuan masih diabaikan oleh serikat buruh. Syarif Arifin berpendapat bahwa hal ini mencerminkan belum berubahnya karakter serikat buruh. Kalau kita mau membawa lebih jauh argumen ini, kita bisa melihat bahwa serikat buruh merupakan produk masyarakat, dalam arti, karakter masyarakat itu sendiri tentu saja tercermin dalam serikat buruh. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia yang masih dilandasi oleh sistem patriarki secara otomatis memengaruhi karakter serikat buruh secara khusus, dan kelompok kiri pada umumnya.
Kita dapat menarik benang merah antara absennya suara buruh perempuan dalam serikat buruh, ataupun kelompok kiri, dengan posisi perempuan yang ditugaskan dalam ranah domestik. Penelitian Maria Mies menunjukkan bahwa bangkitnya sistem kapitalis salah satunya dilandasi oleh subordinasi perempuan, khususnya penunjukkan tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga (housewifization). Munculnya kelas pekerja upahan tidak dapat dilepaskan dari perempuan yang ditugaskan dalam ranah domestik dan reproduktif yang tidak dibayar. Pembagian kerja adalah penting dalam sistem kapitalis, dan di dalam sistem kapitalis pekerjaan domestik dan reproduktif dikonstruksikan menjadi pekerjaan yang tidak produktif secara ekonomi. Kalaupun kemudian berbagai jenis tugas domestik dan reproduktif dikerjakan oleh orang lain (misalnya: asisten rumah tangga, pengasuh anak), selain pekerjaan ini kebanyakan masih diisi oleh pekerja perempuan, pekerjaan ini juga masih dibayar dengan gaji yang relatif lebih rendah. Artinya, keterampilan dalam mengerjakan tugas domestik dan reproduktif masih dianggap remeh. Selain tidak dibayar dan dianggap sebagai keterampilan yang nilainya lebih rendah, posisi perempuan di ranah domestik seakan-akan tidak terlihat (invisible).
Adalah feminis marxis yang mengembangkan teori dan analisis yang mempertimbangkan perempuan atau aspek gender dalam relasi kuasa dalam sistem kapitalis. Sebagian pemikir feminis marxis memandang bahwa sistem kapitalis dan patriarki adalah sistem yang terpisah, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan dan saling memengaruhi satu sama lain. Analisis feminis marxis biasanya diawali dari analisis reproduksi sosial, di mana perempuan memegang peranan dalam reproduksi kelas pekerja atau buruh. Peran perempuan dalam reproduksi sosial dalam sistem kapitalis menunjukkan betapa pentingnya posisi perempuan dalam sistem kapitalis. Tanpa ada perempuan, kelas buruh tidak dapat direproduksi, dan pada akhirnya tidak akan ada nilai surplus dan proses akumulasi. Intinya, tanpa ada perempuan, sistem kapitalis tidak dapat berjalan.
Sementara itu, feminisme tidak dipungkiri lagi mengalami perkembangan pesat. Salah satu agenda gerakan feminis adalah memperjuangkan kesempatan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan. Di dalam konteks ini, misalnya, kalangan feminis secara aktif mendorong partisipasi perempuan dalam ranah ekonomi produktif. Sistem kapitalis bukanlah sistem yang pasif. Ia melihat apakah ada celah atau kesempatan dari perkembangan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan. Di sini, sistem kapitalis melihat partisipasi perempuan dalam ranah ekonomi produktif sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi. Berangkat dari ranah domestik yang dianggap tidak produktif secara ekonomi, oleh kaum kapitalis perempuan dijadikan sebagai tenaga kerja murah. Feminisasi tenaga kerja adalah salah satu fenomena yang muncul pasca jatuhnya Fordisme di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Fordisme adalah sistem sosial ekonomi yang berdasarkan pada produksi dan konsumsi massal, dan ditopang oleh kebijakan-kebijakan ekonomi Keynesian. Ketika sistem ini tidak dapat lagi memberikan keuntungan, kelas kapitalis mencari sumber lain yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi untuk menghasilkan surplus dan memungkinkan untuk proses akumulasi keuntungan. Dalam hal ini, partisipasi perempuan dalam ranah ekonomi produktif dilihat sebagai salah satu sumber bagi kelas kapitalis yang dapat dieksploitasi.
Bukan hanya dalam hal ini sistem kapitalis bersinggungan dengan feminisme. Sistem kapitalis liberal juga membuka kesempatan yang luas bagi perempuan menjadi pemimpin dalam perusahaan-perusahaan besar. Meskipun hal-hal ini dapat dilihat sebagai kemajuan, khususnya bagi kaum feminis, ada hal yang tetap tidak berubah, yaitu, ranah domestik tetap dianggap sebagai ranah perempuan. Perempuan-perempuan yang sekarang dapat menjadi pemimpin-pemimpin perusahaan-perusahaan besar pada umumnya harus mengalokasikan pekerjaan ranah domestik kepada asisten rumah tangga, yang pada umumnya adalah perempuan. Di belakang perempuan-perempuan direktris biasanya ada buruh domestik perempuan yang bertugas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan/atau mengasuk anak yang dibayar dengan gaji yang relatif rendah dan sering kali tidak mendapat hari libur atau istirahat. Kaum feminis sering kali terpesona dengan kemajuan yang dicapai oleh perempuan-perempuan pemimpin sehingga lupa bahwa kemajuan ini sering kali dibarengi dengan penindasan perempuan kelas buruh atau pekerja. Oleh karena itu, penting bagi para kaum feminis untuk melihat penindasan kaum perempuan sebagai aksi penindasan yang melibatkan tidak hanya aspek gender, tetapi juga aspek kelas, rasial, orientasi seksual, kelompok agama, kelompok etnis, dan golongan masyarakat lainnya.
Memetakan Posisi Politik Buruh Perempuan
Meskipun sejak reformasi organisasi buruh memiliki ruang gerak yang lebih luas dibandingkan pada saat Orde Baru, kelas buruh dihadapkan dengan tantangan yang lain, salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada pasar tenaga yang fleksibel. Selain itu, penyelesaian permasalahan perburuhan diserahkan kepada pengadilan hubungan industrial, yang pada praktiknya lebih menyulitkan buruh dalam memperjuangkan hak-haknya. Pada intinya, kebijakan-kebijakan pemerintah sejak reformasi semakin ramah terhadap pelaku-pelaku bisnis. Hal ini masih terlihat pada periode Jokowi, di mana kebijakan pemerintah justru semakin memperkuat oligarki bisnis.
Buruh perempuan tentu saja menjadi korban dari dampak pasar tenaga kerja yang fleksibel itu. Pasar tenaga kerja yang fleksibel antara lain menguntungkan sektor-sektor industri yang bertujuan ekspor, salah satunya adalah industri garmen, yang merupakan industri yang didominasi oleh perempuan. Di dalam industri ini, buruh perempuan dipekerjakan baik sebagai buruh outsourcing dan/atau kontrak, maupun sebagai buruh rumahan. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Buruh perempuan menerima upah murah, sehingga mereka sering kali harus bekerja lembur agar dapat mencukupi kebutuhan hidup. Ketika permintaan terhadap produksi garmen berkurang, pabrik atau kontraktor dapat dengan mudah melakukan PHK atau memutuskan kontrak. Artinya, tidak hanya upah murah, tetapi buruh perempuan juga tidak memiliki keamanan pekerjaan (job security).
Selain di sektor industri, buruh perempuan juga bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Sebagian dari mereka sebelumnya mengelola lahan kebun atau lahan pertanian sendiri, yang hasilnya baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari, maupun untuk dijual ke pasar. Tetapi lahan mereka dicaplok. Akibatnya, buruh perempuan harus bekerja di kebun atau lahan pertanian milik orang lain, khususnya milik perusahaan-perusahaan besar. Seperti halnya buruh perempuan di sektor industri, buruh perempuan di sektor perkebunan dan pertanian juga dibayar dengan upah murah, menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, dan sering kali tidak memiliki keamanan pekerjaan. Di perkebunan kelapa sawit, misalnya, perempuan bekerja mengumpulkan berondolan, yang hasilnya kemudian dihitung bersama dengan hasil TBS (tandan buah segar) yang biasanya dipanen oleh suaminya. Buruh perempuan pengumpul berondolan tidak menerima upah tersendiri, melainkan menjadi bagian dari upah yang diterima oleh suaminya sebagai pemanen. Buruh perempuan juga bekerja sebagai BHL (buruh harian lepas) dalam proses penyemprotan dan pemumpukan yang membuat perempuan terekspos pada zat-zat kimia yang berbahaya. Reforma agraria yang tidak kunjung selesai menunjukkan bahwa kita masih belum bisa mengharapkan perbaikan nasib buruh perempuan di sektor perkebunan dan/atau pertanian.
Tentunya kita tidak lupa buruh perempuan yang bekerja di negeri orang. Pekerja domestik yang bekerja di luar negeri (migrant domestic worker) sebagian besar adalah buruh perempuan. Mereka ini adalah salah satu sumber devisa negara yang penting, tetapi justru kurang mendapat perlindungan dari pemerintah. Kita sering mendengar kasus TKW (tenaga kerja wanita) Indonesia yang menjadi korban kekerasan oleh majikannya. Mereka juga bekerja tidak mengenal waktu dan sering kali tidak mendapatkan hari libur.
Mengingat posisi perempuan yang masih ditempatkan dalam ranah domestik, buruh perempuan menanggung beban ganda, yaitu urusan domestik sehari-hari dalam keluarga dan urusan pekerjaan di tempat kerja. Ini juga berarti bahwa perempuan ikut merasakan dampak negatif yang sama ketika buruh laki-laki terkena imbas dari kebijakan pemerintah yang pro bisnis. Hal ini lah yang sebenarnya dimobilisasi sebagai “Politik Emak-Emak“ oleh kedua kubu yang akan bertanding dalam Pilpres 2019. Hanya saja, “Politik Emak-Emak“ berfokus kepada kesejahteraan dalam hal daya beli masyarakat, dan bukan kesejahteraan kelas buruh secara umum, dan buruh perempuan secara khusus. Dan yang paling penting, kedua kubu yang bertanding lupa mengenai pentingnya peranan buruh perempuan baik dalam ranah ekonomi produktif maupun dalam reproduksi sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Ani Soetjipto, “Politik Emak-Emak“ pada akhirnya hanya lah dijadikan instrumen untuk meraup suara, dan justru kembali memarjinalkan perempuan.
Pada Pemilu 2014, kelompok progresif mengusung dukungannya kepada kubu Jokowi dengan harapan akan pemerintahan dan keberlangsungan negara yang demokratis. Negara yang demokratis tentunya akan berdampak pada ruang gerak kelompok kiri dalam memperluas pengaruhnya. Selain itu, Nawacita yang merupakan visi dan misi politik yang diusung Jokowi-JK dianggap berjiwa-ragakan Sukarnoisme dan dianggap sejalan dengan kiblat politik kelompok kiri. Empat tahun sudah berjalan, kubu petahana justru menjalankan demokrasi yang dibarengi dengan kekerasan terhadap rakyat. Abdil Mughis Mudhoffir berpendapat bahwa Nawacita dalam realitanya hanyalah kontrak politik untuk meraup suara dari kelompok progresif tetapi tidak diikuti oleh perubahan yang berarti. Kelompok progresif masih berdebat panjang apakah akan melanjutkan dukungan terhadap kubu petahana atau memilih golput.
Lalu bagaimana dengan buruh perempuan? Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kedua kubu yang akan bertanding dalam Pilpres 2019 tidak memobilisasi buruh perempuan secara khusus, malah justru memilih memobilisasi “Politik Emak-Emak“. Emak-emak hanya dipakai untuk merebut suara, dengan tetap memarjinalkan posisi perempuan. Jokowi dan aspirasi Sukarnoisme-nya harusnya sudah menjadi peringatan bagi kaum buruh perempuan. Kita perlu mengingat bahwa pada era pemerintahan Sukarno, gerakan perempuan mendapat dukungan oleh Sukarno, tetapi dengan syarat gerakan perempuan harus bergerak sejalan dengan laki-laki, dan tidak melawan kaum laki-laki. Membaca hal ini, Gerwani, salah satu gerakan perempuan pada saat itu, terpaksa harus melakukan kompromi, misalnya dengan tidak menentang praktik poligami yang dilakukan Sukarno, agar tetap dapat memperkuat dan memperlebar aktivitas dan gerakan politiknya. Ini menunjukkan bahwa pada akhirnya Sukarnoisme masih mencerminkan nilai-nilai patriarkis yang tetap menindas kaum perempuan.
Hal ini juga yang menjadi salah satu dari dua hal yang mewarnai gerakan perempuan selama ini. Pertama, gerakan politik perempuan, termasuk gerakan buruh perempuan, sering kali harus melakukan kompromi politik. Kedua, gerakan perempuan, termasuk gerakan buruh perempuan, sering kali dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Selain “Politik Emak-Emak”, kita juga bisa melihat bagaimana gerakan perempuan dikooptasi oleh penguasa melalui meningkatnya persentase parlemen perempuan dan juga jumlah kepala daerah perempuan di Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh Maulida Sri Handayani. Meningkatnya persentase parlemen perempuan tidak diikuti oleh perbaikan kondisi buruh perempuan Indonesia. Sementara, hanya 37 persen dari perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah yang mengajukan visi keberpihakan kepada perempuan.
Berangkat dari paparan di atas, tampaknya buruh perempuan perlu bergerak dalam alternatif pilihan yang lain. Hal ini juga semakin diyakinkan oleh beberapa aspek. Pertama, sejalan dengan pokok pikiran Suar Budaya Rahadian, mempertimbangkan golput berarti berpikir di luar binari. Feminisme, yang pada dasarnya juga melandasi gerakan buruh perempuan, tidak hanya memperjuangkan keseteraan gender, tetapi juga berupaya mematahkan binari jender. Sistem patriarki mengonstruksikan binari jender, di mana laki-laki yang menjadi pusat kekuasaan, sedangkan perempuan sebagai kelompok yang dikuasai. Logika feminisme adalah logika yang melampaui binari jender. Logika feminisme juga adalah logika yang memikirkan alternatif dan bergerak dalam perjuangan alternatif.
Kedua, golput sering kali dilihat sebagai aksi protes di luar sistem. Aksi protes adalah hal yang identik dengan gerakan buruh, khususnya buruh perempuan. Aksi protes menjadi tindakan yang diambil oleh buruh perempuan karena menyadari bahwa kepentingan buruh perempuan sering kali terlupakan, tidak hanya oleh pemberi kerja dan negara, tetapi juga oleh serikat buruh itu sendiri. Aksi protes juga instrumen yang sering digunakan oleh kaum feminis karena sadar akan penindasan dalam sistem patriarki. Berpikir di luar sistem adalah cara berpikirnya feminisme. Oleh sebab itu, golput sebagai aksi protes di luar sistem adalah sejalan dengan semangat gerakan buruh perempuan dan gerakan feminis.***
Hariati Sinaga, feminis dan peneliti isu perburuhan di Universitat Kassel, Jerman. Ia memperoleh gelar PhD dari universitas yang sama.
———-
[1] Mengenai kedua hal ini, ada baiknya kita menengok ke belakang. Pertama, gambaran bahwa perempuan Indonesia adalah perempuan yang lemah dan penurut adalah bagian dari gambaran yang secara kuat dipromosikan khususnya pada masa Orde Baru. Gambaran ini merupakan produk diskursus, yang disebut oleh Julia Suryakusuma sebagai “Ibuisme Negara“, melalui mana negara berupaya untuk melakukan kontrol terhadap perempuan, dan kontrol tersebut penting untuk menunjukan rezim Orde Baru yang otoriter. Kedua, sebelum Suharto berkuasa, sejarah kita merekam gerakan perempuan yang militan, yaitu, Gerwani. Meskipun awalnya berasal dari kelompok perempuan kelas menengah ke atas, Gerwani kemudian menjadi gerakan perempuan yang aktif menjangkau perempuan kelas buruh. Gerwani bekerja sama dengan BTI (Barisan Tani Indonesia) dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dalam memperjuangkan persoalan upah rendah yang dihadapi buruh perempuan saat itu. Militansi Gerwani tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, dikarenakan hal itu juga, anggota Gerwani menjadi korban dalam aksi pembunuhan massal 1965/1966. Menghancurkan gerakan Gerwani yang militan adalah prasyarat penting bagi rezim pemerintahan berikutnya, yang kemudian memperkenalkan diskursus “Ibuisme Negara“ sebagai ideologi yang menetapkan garis-garis identitas perempuan Indonesia.
Sementara itu, gerakan feminisme sering kali menjadikan aktivis buruh perempuan sebagai contoh karakter aktivis gerakan perempuan yang militan. Tidak jarang aktivis feminis merujuk kepada Marsinah sebagai acuan militansi, yang energinya menjadi motor yang penting dalam gerakan perempuan. Militansi buruh dalam bergerak, khususnya buruh perempuan, merupakan elemen penting dalam gerakan feminisme. Sejarah Hari Perempuan Sedunia diawali dengan adanya Hari Perempuan Nasional di Amerika Serikat, yang ditetapkan sebagai peringatan akan demonstrasi buruh garmen di New York di mana buruh perempuan menyelenggarakan aksi protes terkait kondisi perburuhan pada waktu itu.
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019
Airlangga Pribadi Kusman, Empat Tesis Intervensi Pilpres 2019: Mengusung Kembali Nawacita Sebagai Gugatan Politik
Roy Murtadho, Tesis September: Perihal Kekaburan Kaum Intelektual Kiri Dalam Pilpres 2019
Ken Budha Kusumandaru, Negara, HAM dan Tidak Relevannya Pilihan Golput
Suarbudaya Rahadian, Menggugat Minus Malum: Mengapa Golput Perlu Dipertimbangkan
Umi Ma’rufah, Negara, HAM dan Relevansi Boikot Pemilu
Abdil Mughis Mudhoffir, Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri
Muhammad Ridha, Intervensi Pemilu dan Strategi Politik Gerakan Rakyat
Ken Budha Kusumandaru, Negara dan HAM: Satu Perjuangan Politik