Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: SlideShare

 

  1. Tidak ada gerakan Kiri yang cukup berpengaruh untuk menghasilkan perubahan signifikan pada Pilpres 2019.
    • Gerakan Kiri hari ini tidak punya dampak signifikan pada perpolitikan Indonesia, baik secara aktual maupun potensial.
      • Secara aktual, gerakan Kiri terpecah-pecah secara organisasional. Ditambah lagi basis massanya semakin mengecil, ditinggal orang hijrah.
      • Secara potensial (artinya kalaupun kita bayangkan bisa bersatu), gerakan Kiri hanya akan menyumbang di bawah 1% total suara dalam Pilpres 2019; dengan kata lain, insignifikan.
      • Berpikir gerakan Kiri hari ini punya dampak signifikan sehingga punya hak untuk menentukan aturan permainan berarti mengidap “waham kebesaran” (delusion of grandeur) yang sangat akut.
    • Pilpres 2019 akan berjalan dengan atau tanpa gerakan Kiri
      • Gerakan Kiri belum punya kekuatan nyata untuk menggeser sistem politik elektoral menjadi sistem demokrasi kerakyatan
      • Ratusan tulisan kritis tentang buruknya politik elektoral borjuis, tidak akan mengubah politik elektoral borjuis
      • Kritik adalah kritik adalah kritik. Kenyataan lain lagi.
  1. Masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2019 lebih menguntungkan buat gerakan Kiri ketimbang mempropagandakan golput.
    • Golput bukan bukti sikap kritis; justru sebaliknya, memilih golput di 2019 (seperti di 2014) adalah bersikap naif. Entah itu sebagai pilihan politik maupun sebagai bagian dari kampanye delegitimasi.
      • Sebagai pilihan, golput bukan pilihan. Golput tidak dihitung dalam sistem elektoral kita. Sehingga heroisme memilih golput adalah heroisme untuk menjadi insignifikan.
      • Sebagai kampanye deletigimasi atas sistem elektoral, propaganda golput berarti mengasingkan diri dari kemungkinan untuk membuat aliansi taktis dengan unsur-unsur progresif dalam ekosistem elektoral. Di zaman Orba, tidak ada unsur progresif dalam sistem, maka golput menjadi pilihan taktis. Di zaman pasca-Reformasi, unsur itu ada hanya saja mata kita sudah terlanjur terbebat kain teori Alien versus Predator (yakni segala macam teori “elit predatoris”, “oligarki” dan “o mama o papa” lainnya). Malas bekerja, banyak curiga. Rendah inisiatif, tinggi teori.
    • Masuk ke medan elektoral bukan berarti berhenti menjadi sekadar “relawan” (dalam pengertian lazimnya), melainkan mengupayakan kemungkinan untuk mengambil posisi dalam rezim yang akan menang demi memajukan agenda Kiri
      • Kritik atas elektoralisme biasanya justru terjebak dalam asumsi elektoralisme: “Ngapain dukung capres? Kita bakal kecewa ntar waktu presiden terpilih ngga menjalankan janji-janjinya”. Hanya orang yang percaya betul pada elektoralisme yang bisa berilusi bahwa janji-janji kampanye akan terlaksana dengan sendirinya, tanpa kerja pasca-elektoral kita sebagai penyokongnya. Mereka lupa bahwa setelah janji, ada kerja.
      • Tidak ada template seragam untuk memenangkan posisi dalam rezim demi memajukan agenda Kiri. Untuk itu tidak ada jalan lain: belajar berpolitik, jangan hanya berdiskusi politik.
  1. Mendukung Jokowi lebih menguntungkan bagi gerakan Kiri daripada mendukung Prabowo di Pilpres 2019
    • Soekarnoisme adalah pilihan terdekat (secara ideologis) bagi gerakan Kiri
      • Gerakan Kiri perlu membuka buku sejarah Indonesia (ini penting: bukan Rusia) lagi dengan satu pertanyaan ini di lubuk hatinya: ideologi mana di antara partai-partai yang ada sekarang yang paling dekat dengan pandangan-dunia Kiri?
      • Soekarno, Natsir atau Sjahrir? Kalau pilihannya hanya ada tiga itu, siapa orang yang mengaku Kiri tapi tak memilih Soekarno?
      • Soekarno memang bukan Aidit atau Njoto, tapi tanpa Soekarno—umpama Soekarno diganti Sjahrir atau Natsir—tidak akan ada Aidit atau Njoto.
    • Mendukung Jokowi berarti menyelamatkan ruang demokrasi, sebab dia lah figur terkuat saat ini yang dapat membendung gelombang fundamentalisme anti-Kiri
      • Ide-ide Kiri perlu ruang demokrasi untuk hidup dan berkembang.
      • Menolak Jokowi berarti membuka pintu bagi penghancuran ruang demokrasi oleh golongan fundamentalis. Beraliansi dengan golongan fundamentalis adalah berilusi, berteman dengan tukang jagalnya sendiri.
      • Gerakan Kiri yang menolak Jokowi sebetulnya sedang menggali kuburnya sendiri.
    • Mendukung Jokowi bukan sekadar mendukung orang bernama Joko Widodo, melainkan memajukan agenda Soekarnoisme yang direpresentasikan olehnya dan partai penyokongnya.
      • Nawacita dan Trisakti adalah posisi ideologi mainstream yang paling progresif saat ini. Dari sana, banyak hal yang bisa didorong untuk jadi lebih progresif lagi.
      • Jangan lupa: yang didukung sesungguhnya bukan orangnya, tetapi ideologi di baliknya—posisi historis yang direpresentasikan olehnya dalam konstelasi politik hari ini. Sosoknya adalah indeks dari posisi tersebut.
  1. Kekeliruan Indoprogres di 2014: mengartikan “dukungan kritis” sebagai posisi intelektual, bukan sebagai kerja politik.
    • Kita mengkritik politik transaksional tapi diam-diam menyimpan asumsi transaksional: kita memberikan suara dengan mengharapkan pelaksanaan janj-janji yang direpresentasikan oleh suara tersebut sebagai imbalannya.
    • Masalah kita: kesadaran berpolitik seperti anak kos-kosan. “Jangan pada berisik, gue mau tidur.” “Seminggu lagi ya, Kang, lagi cekak nih.” Kita berpolitik dengan mendepankan hak warganegara, bukan kewajiban warga untuk membangun negara.
    • Dukungan kritis sebagai posisi intelektual: “Sampah numpuk, Kang, beresin dong, kan gue udah bayar sewa”. Berpolitik dengan kesadaran anak kos.
    • Dukungan kritis sebagai kerja politik: “Sampah numpuk, Kang, yuk kita bersihin rame-rame”. Berpolitik dengan kesadaran membangun negara.
  2. Kaum Intelektual Kiri mesti kembali menjadi orang Indonesia, bukan berusaha menjadi Indonesianis
    • Ada tendensi dekaden di kalangan intelektual Kiri hari ini: berlomba-lomba menjadi Indonesianis di negeri sendiri. Terlihat smart dengan menulis articles dan essay. “Oh Indonesia, alangkah malang nasibmu”—seakan-akan mereka bukan bagian dari Indonesia. “Tidak ada Prumpung hari ini.”
    • Ketika tendensi dekaden ini mengejawantah dalam tinjauan seputar Pilpres 2019, hasilnya sungguh bisa ditebak. Kaum “Indonesianis” yang Marxis akan membawa-bawa Rusia ke mana-mana—Leninisme sebagai haute couture. Kaum “Indonesianis” yang libertarian akan mengamati Indonesia sebagai sebuah entitas teoretis yang tak ada sangkut-pautnya dengan diri mereka sebagai warga dunia.
    • Semua varian dari tendensi dekaden itu akhirnya sama saja: mereka berlaku seolah-olah Indonesia bisa dibongkar-pasang semaunya sesuai amanat hati nurani teoretis. Seolah-olah sejarah Indonesia itu nisbi dan tentatif.
    • Kerja intelektual Kiri hanya bisa dimulai dengan meninggalkan ilusi seorang Indonesianis; ia hanya bisa dimulai dengan pertama-tama mengambil bagian dalam negara-bangsa yang nyata dan menyejarah bernama Indonesia ini. Mengambil pilihan-pilihan nyata yang punya implikasi konkrit pada jalannya sejarah bangsa kita. Mengambil posisi pemikiran dan membawanya dalam praktik yang didasarkan atas kepentingan kebangsaan yang mewujud dalam para tetangga kita, orang-orang yang kita temui di jalan, tukang rokok di ujung gang, semua, semua orang Indonesia yang hidup dan mati bersama kita di Republik ini.
    • Sudah waktunya kita meninggalkan ilusi intelektual yang menempatkan Indonesia sebagai “rumah kaca” yang kita amati dalam prasangka intelektual kita, yang bisa dirakit dan dibongkar-pasang sesuai tuntutan teori dan hukum kodrat emansipasi, seakan-akan kita adalah ahli waris sah dari Jacques Pangemanann.
    • Sekarang kau tahu resikonya: stop berimajinasi tentang Cornell, atau kau akan menjadi Cornelis de Houtman.
  3. Yang kita butuhkan sekarang, lebih dari segalanya, adalah realisme politik
    • Sebagian akibat tendensi menjadi Indonesianis yang menjangkiti kaum intelektual Kiri kita, muncul pula tendensi moralistik dalam memandang politik riil. Moral compass kita seolah-olah sudah dipatok pada sistem klasifikasi Marxis sehingga kita menggolong-golongkan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan seturut sistem klasifikasi tersebut. Di sini teori-teori Marxis canggih dan terkini juga tidak membantu. Belajar tinggi-tinggi, jadinya dogmatis juga; persis seperti anak-anak LMND di kursus politik pertamanya, bedanya hanya membaca Verso atau tidak.
    • Salah satu sebab mengapa gerakan Kiri sangat involutif adalah moralisme Kiri itu sendiri. Ada salah satu obat yang manjur: baca, baca lagi Machiavelli. Belajarlah realisme politik sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya berakhir menjadi kelompok studi (kembali ke titik di mana gerakan ini mulai di era 1980-an).
    • Sadari bahwa:
      • Jumlah aktivis kita: seupil
      • Kondisi organisasi kita: seperti fragmen puisi Agus Jabo
      • Mutu kader kita: sebagian besar demoralisasi (sebagian hijrah jadi fundies, sebagian lain hijrah jadi Wota)
    • Periksa pilihan yang ada:
      • Golput = menjadi insignifikan untuk lima tahun ke depan (istilah kerennya: hiatus), dengan kata lain, demoralisasi lagi untuk lima tahun ke depan
      • Prabowo = ruang demokrasi semakin sempit, ideologi semakin tidak nyambung, demoralisasi menanti
      • Jokowi = ruang demokrasi diamankan, kesempatan untuk menggali dan mempropagandakan akar sosialisme dari Soekarnoisme, kemungkinan untuk membangun basis massa
    • Ambillah pilihan yang paling menguntungkan buat gerakan, yang paling mungkin memenangkan agenda progresif.
  4. Kaum Kiri Indonesia, jangan centil!***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.