“Radikalisasi” Pengertian “Radikal”

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: geotimes.co.id

 

JUDUL tulisan Kompas di rubrik “Politik&Hukum” tanggal 8 September 2018, membuat saya sedikit kebingungan. “Radikalisasi Pancasila Penting Dilakukan”, begitulah judul tulisan itu. Aneh, menurut saya. Sepintas, setelah membaca judul tersebut, apa yang segera terlintas di otak adalah terorisme, sekumpulan orang fanatik, dan hal-hal negatif lainnya.

Mengapa demikian? Karena selama ini, seperti yang kita tahu, mediacetak maupun daringselalu menghubungkan kata “radikal” atau “radikalisasi” dengan sesuatu yang negatif. Berita-berita mengenai kasus pengeboman atau terorisme pasti tidak akan lupa menyertakan kata itu: “Radikalisasi agama”, “meningkatnya paham radikal”, dan berbagai frasa lainnya, yang semakin mempertegas pengertian bahwa kata “radikal” dan “radikalisasi” merujuk pada sesuatu yang negatif.

Kata “radikal” ataupun “radikalisasi” dalam frasa “paham radikal” dan “radikalisasi agama” dalam berita-berita di media bisa diartikan sebagai sesuatu yang berlebihan, fanatik, dan tentunya tidak baik. Maka, ketika Kompas memberikan judul tulisannya “Radikalisasi Pancasila Penting Dilakukan”, hal negatiflah yang kemudian terpikirkan di benak saya.

Jika diartikan sesuai dengan pengertian yang lazim media gunakan, kata radikal di judul berita itu akan membuat judulnya kurang lebih menjadi seperti ini: “Fanatisme Pancasila Penting Dilakukan”. Sifat cinta begitu berlebihan terhadap Pancasilakah yang dimaksud judul berita itu? Kalau begitu, maka yang ditawarkan judul tersebut berhubungan dengan sikap Jingoisme, alias pandangan yang terlalu mengagung-agungkan kebesaran dan kekuasaan negeri sendiri. Kan radikalisasi Pancasila?

Namun, setelah membaca isi berita tersebut, akhirnya saya mengerti. Ternyata, yang dimaksud “radikalisasi Pancasila” adalah pengajaran Pancasila secara masif atau besar-besaran. Hmm… kok tidak konsisten ya? Ketika membahas isu fanatisme agama dan terorisme, kata “radikal” dihubungkan dengan sesuatu yang negatif dan buruk. Tapi ketika membahas mengenai Pancasila, kenapa artinya jadi baik dan positif? Apakah masalahnya terletak pada konteksnya saja? Jadi ada dua macam pengertian kata “radikal”, yang negatif dan positif?

Jika kita menengok KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata “radikal” memiliki tiga pengertian. Pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kedua, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak. Pada pengertian KBBI tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya kata “radikal” tidak memiliki pengertian yang negatif dan buruk. Justru kata “radikal” memiliki pengertian yang bisa dibilang positif dan baik.

Maka, jika kita benar-benar mengikuti pengertian kata “radikal” sesuai dengan KBBI, frasa “meningkatnya paham radikal” dapat diartikan menjadi “meningkatnya paham yang maju dalam berpikir”. Tapi kok kata “radikal” terus-menerus digunakan untuk menjabarkan sesuatu yang negatif ya?

Padahal, jika media ingin menyatakan sesuatu yang buruk dan berlebihanyang saat ini masih menggunakan kata “radikal”ada kata yang lebih cocok dan sesuai artinya. Kata itu adalah “sektarian”. Dalam KBBI, kata “sektarian” diartikan sebagai berkaitan dengan anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau mazhab, picik, terkungkung pada satu aliran saja, anggota kelompok keagamaan, orang yang sangat fanatik kepada suatu doktrin dan menolak paham yang berbeda dengannya.

Sedangkan kata “sektarianisme” sendiri diartikan sebagai semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, aliran dalam politik yang antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh, dan antidialog.

Bukankah kata “sektarian” lebih pantas digunakan untuk menjabarkan sesuatu yang buruk? Maka ketika suatu berita berhubungan dengan fanatisme agama dan terorisme, sudah seharusnya kata “sektarian” dan “sektarianisme” yang digunakan. Frasa “radikalisme agama” dan “paham radikal” misalnya, harusnya diubah menjadi “sektarianisme agama” dan “paham sektarian”, karena kata itulah yang sebenarnya menggambarkan pengertian yang tepat dan tidak salah. Kata “radikal” sepatutnya diarahkan pada sesuatu yang positif, seperti “radikalisasi Pancasila” itu sendiri.

Penggunaan kata “radikal” oleh media untuk menggambarkan sesuatu yang buruk dan juga positif sepertinya nampak aneh dan tidak konsisten. Bahkan saya belum pernah melihat media cetak menggunakan kata “sektarian” untuk menggambarkan sikap intoleran dan fanatisme beragama. Kata yang digunakan selalu saja “radikal” dan “radikalisme”. Apa mereka belum tahu ada kata yang dikenal sebagai “sektarian”, atau malah sengaja terus memakai kata “radikal” untuk membuat suatu distorsi pengertian kata itu?

Jika ditelisik, orang-orang radikal punya andil yang besar dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Sukarno sendiri semasa mudanya bisa dibilang sebagai seorang nasionalis radikal. Pada saat itu, radikalisme dapat diartikan sebagai gerakan atau paham yang tidak mau berkompromi dengan kolonialisme Belanda.

Penculikan Sukarno dan Hatta sendiri dilakukan oleh sekelompok anak muda radikal yang tidak setuju dengan “kelompok tua”. Tanpa orang radikal, kemerdekaan Indonesia dapat dipastikan tidak akan terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Naasnya, gerakan radikal memang identik dengan paham kiri. Wikana, Semaun, dan Tan Malaka yang radikal, mempunyai afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sudah identik dengan kiri, orang radikal sendiri sering menyuarakan pendapat mereka dengan lantang jika berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan. Nampaknya, entah siapa yang memulaibisa saja Orde Barunya Suhartokata “radikal” malah mengalami penyimpangan makna.

Rudi Hartono, pimpinan redaksi Berdikari Online dalam tulisannya yang berjudul Menyelamatkan Istilah “Radikal”, mengkhawatirkan pembelokan arti kata “radikal” sebagai suatu pendiskreditan arti “radikalisme” yang mengubah artinya menjadi “biang keladi gerakan kekerasan yang destruktif”. Jika media terus-terusan menghubungkan kata “radikal” dengan sesuatu yang buruk, siapa orang yang mau menjadi radikal? Padahal seorang yang radikal merupakan suatu kebutuhan mutlak untuk perubahan yang lebih baik, sesuai dengan pengertian yang ada di KBBI, “maju dalam berpikir atau bertindak”.

Paulo Freire sendiri dalam Pendidikan Kaum Tertindas mengatakan bahwa bukunya itu hanya cocok untuk orang-orang radikal. Baginya, radikalisasi adalah sebuah sikap kritis dan bersifat membebaskan. Freire bahkan menjelaskan mengenai sektarianisme, yang dia sebut sebagai “perintang bagi usaha emansipasi manusia.” Baginya sektarianisme selalu ditumbuhkan oleh perasaan fanatisme dan pasti “mengebiri”, sedangkan sikap radikal pastilah kritis dan kreatif. Dalam beberapa paragraf, Freire juga menjabarkan perbedaan sektarian dan radikal dengan sangat jelas. Kenapa banyak media masih belum melakukan hal itu? Membedakan penggunaan kata “sektarian” dan “radikal”?

Seorang yang fanatik terhadap agamanya tidak sepatutnya disebut sebagai seorang “radikal”, karena kata “radikal” mengandung esensi “maju dalam berpikir”. Dapatkah orang-orang fanatik yang intoleran disebut sebagai seorang yang “radikal”? Sudah seharusnya media cetak dan daring mengganti penggunaan kata “radikal” untuk hal buruk dan sikap fanatisme dengan kata yang lebih cocok, yaitu “sektarian”. Biarlah kata yang mengandung arti baik tetap menjadi baik!***

 

Miguel Angelo Jonathan adalah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.