Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
ARGUMEN golput terhadap mereka yang mengadvokasi posisi intervensi pemilu dari kalangan kiri adalah bahwa posisi itu sia-sia belaka. Mereka yang memutuskan untuk memilih hanya akan ditundukkan oleh kekuasaan politik dominan yang memang selama ini telah menciptakan masalah bagi Indonesia itu sendiri. Bagi kalangan golput ini, adalah tidak masuk akal jika upaya pembangunan politik alternatif justru dilakukan dengan memaklumi bahkan mendukung kandidat politik yang menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Untuk itu, mengambil sikap golput adalah sikap yang, mengutip Abdil Mughis Mudhoffir, radikal karena tidak memberikan ruang untuk “kompromi dan berbagai bentuk moderasi terhadap elemen predatoris.”
Walau secara intuitif benar, namun argumen ini bukan tanpa masalah. Masalah mendasarnya terletak pada asumsi linear dalam melihat keterlibatan: semenjak politik predatoris adalah kekuasaan yang dominan, maka hasil akhir bagi siapapun yang hendak terlibat sudah selalu dapat ditebak semenjak dini. Asumsi linear ini menghilangkan sama sekali keserba-kemungkinan (kontingensi) yang biasa muncul dalam setiap keterlibatan politik. Mengingat keterlibatan politik juga memungkinkan adanya pertarungan.
Bagi saya, premis ini penting untuk mendemistifikasi apa yang sebenarnya kita maksud dengan intervensi oleh gerakan rakyat. Dalam pertarungan politik, ruang politik tidak dapat dilihat terisolasi dan tertutup. Sebab setiap aktor politik senantiasa melakukan perhitungan secara strategis tentang apa yang menguntungkannya dengan memperhatikan kondisi objektif yang mereka hadapi. Oleh karenanya dalam setiap pertarungan, hasil akhir tidak selalu dapat ditentukan sedari awal. Momen bertarung bagi gerakan rakyat secara hipotetis dapat menciptakan kondisi kemungkinan yang lain. Tentu jika intervensi tersebut dilakukan secara strategis.
Pertanyaannya kemudian, apa yang kita maksud dengan intervensi yang strategis dalam pemilu 2019 oleh gerakan rakyat? Dalam perdebatan tentang sikap pemilu 2019, mereka yang mengadvokasi pentingnya intervensi masih belum memberikan petunjuk yang memuaskan mengenai intervensi strategis oleh gerakan rakyat. Dalam Tesis Agustus Martin Suryajaya, misalnya, gerakan rakyat justru disarankan untuk bersikap mengekor terhadap agenda politik yang ditawarkan oleh Jokowi. Martin mengkritik bahwa gerakan kiri (alias gerakan rakyat) harus membuang sikap ala “pengontrak rumah” dan mulai memikirkan (menggunakan ekspresi politik negara yang paternalisitik ala Orde Baru) “kewajiban” untuk berpartisipasi dalam politik negara. Implikasinya, tentu, gerakan rakyat tidak perlu membangun agenda dan posisi intervensinya sendiri. Bagi Martin, alih-alih mengupayakan pertarungan yang strategis, gerakan rakyat justru harus bertindak subordinat atas ruang politik yang sudah disediakan Jokowi.
Sementara pada kesempatan yang lain, Airlangga Pribadi berupaya mengajukan posisi yang lebih kritis dalam rangka mendorong intervensi. Bagi Airlangga, justru kita perlu berangkat dari memahami problem politik yang melingkupi kandidat yang didukung, yakni Jokowi. Akan tetapi, sayangnya, dalam mendorong upaya intervensi, Airlangga melakukan “lompatan keyakinan” yang terlalu jauh dimana problem struktural yang melingkupi Jokowi masih dapat ditanggulangi jika agenda Nawacita direbut kembali sebagai agenda utama perjuangan rakyat. Ada petunjuk strategis dari argumen Airlangga ini dimana gerakan rakyat dapat mengunakan agenda realisasi Nawacita secara konsisten sebagai garis demarkasi utama dalam mendukung Jokowi. Akan tetapi di sini Airlangga tidak cukup bersikap kritis dalam melihat Nawacita itu sendiri. Kegagalan Nawacita untuk menjadi “ruh kekuasaan” Jokowi sekarang harus dilihat dari kemenduaan Nawacita itu sendiri. Impotensi Nawacita adalah konsekuensi dari hilangnya ancaman politik Nawacita terhadap kekuatan dominan yang ada selama ini. Tidak heran jika kekuasaan dominan kemudian mengakomodasi dan memoderasi Nawacita dan bersikap nyaman terhadapnya. Di sini akhirnya argumentasi untuk memperjuangkan Nawacita menjadi bernuansa moralistik tinimbang politis.
Apa yang sejauh ini tampak dari keterbatasan diskusi tentang intervensi gerakan rakyat terhadap pemilu adalah luputnya perspektif tentang kemungkinan gerakan rakyat membangun agenda intervensinya sendiri secara strategis. Walau Martin cenderung apologetik terhadap Jokowi dibanding Airlangga, keduanya berbagi asumsi yang sama bahwasanya upaya intervensi harus memiliki ikatan tertentu terhadap calon yang dipilih. Karena baik Martin maupun Airlangga menempatkan calon yang dipilih, yakni Jokowi sebagai titik referensi utama bagi gerakan rakyat. Bukan menempatkan posisi gerakan rakyat sebagai pusat yang hendak mempertarungkan kepentingannya dalam ruang elektoral yang ada.
Implikasinya ketika kita berbicara mengenai intervensi pemilu secara strategis oleh gerakan rakyat, itu berarti gerakan rakyat menjadi aktor politik yang aktif yang sedang “mengakali” situasi politik pemilu yang ada. Relasi antara gerakan rakyat dengan kandidat menjadi tidak sebatas pada perasaan atau moral tertentu, namun berangkat dari aspirasi programatis untuk memenangkan agenda atau posisi tertentu.
Kalangan yang skeptis terhadap posisi intervensi akan melihat bahwa posisi ini tidak akan membuahkan hasil. Karena strutkur kekuasaan yang dominan sudah pasti akan membatasi ruang manuver gerakan rakyat itu sendiri; secerdik apapun strategi gerakan rakyat. Selain itu kemungkinan kooptasi terhadap anggota gerakan terbuka lebar karena organisasi gerakan memaparkan dirinya terhadap politisasi kandidat. Skeptisisme ini valid, namun tidak sepenuhnya benar. Masalah pembatasan manuver serta kooptasi dapat diantisipasi jika gerakan rakyat memiliki strategi yang didasari pada kalkulasi yang ketat (rigid) tentang kekuatan dan kelemahan yang diiringi dengan disiplin berkoordinasi dalam menjalankan strategi organisasi. Dengan kalkulasi, gerakan rakyat sebagai organisasi dapat merumuskan capaian minimal hingga maksimal dengan kondisi objektif organisasi yang ada. Sementara disiplin koordinasi berguna untuk tetap mempertahankan independensi kepemimimpinan politik gerakan itu sendiri dari pengaruh posisi individual kandidat. Dengan persiapan organisasional seperti ini, apapun hasil politik yang muncul dari intervensi dapat menjadi modal politik yang berguna bagi gerakan rakyat itu sendiri.
Oleh karena itu, intervensi politik elektoral oleh gerakan rakyat tidak dengan sendirinya menegasikan gerakan rakyat itu sendiri. Intervensi yang strategis memungkinkan gerakan rakyat untuk meraih capaian-capaian politik yang berguna bagi perjuangan gerakan rakyat itu sendiri di masa depan. Salah satunya melalui pembelajaran langsung tentang proses politik elektoral yang berada dalam dominasi borjuasi. Dengan pengalaman intervensi, gerakan rakyat memiliki referensi terkait seluk-beluk sekaligus kelemahan terlibat proses politik elektoral minus organisasi politik miliknya sendiri. Pengalaman politik ini kelak menjadi pendidikan politik bagi gerakan rakyat untuk memperluas horison perjuangannya: Tidak sekadar melawan politik borjuasi di jalanan tapi juga perlawanan politik terhadap kaum borjuasi yang menguasai pemilu melalui partai politiknya sendiri.***
Muhammad Ridha adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
Artikel lain terkait debat pilpres 2019:
Muhammad Ridha, Posisi Sosialis untuk Pemilu 2019: Golput Bukan Pilihan
Abdul Mughis Mudhoffir, Boikot Pemilu dan Masa Depan Gerakan Progresif: Kritik atas Pendekatan Personalistik
Martin Suryajaya, Tesis Agustus Tentang Gerakan Kiri dan Pilpres 2019
Airlangga Pribadi Kusman, Empat Tesis Intervensi Pilpres 2019: Mengusung Kembali Nawacita Sebagai Gugatan Politik
Roy Murtadho, Tesis September: Perihal Kekaburan Kaum Intelektual Kiri Dalam Pilpres 2019
Ken Budha Kusumandaru, Negara, HAM dan Tidak Relevannya Pilihan Golput
Suarbudaya Rahadian, Menggugat Minus Malum: Mengapa Golput Perlu Dipertimbangkan
Umi Ma’rufah, Negara, HAM dan Relevansi Boikot Pemilu
Abdil Mughis Mudhoffir, Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri