Kredit ilustrasi: Twitter
Voting to me will mean that I legitimise this choice
And I don’t want to legitimise this choice
I want to fight against it
And I will fight against it by NOT VOTING!
(Seorang demonstran dalam protes anti pemilu di Perancis, 2017)
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua kandidat pasangan yang akan berlaga dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Proses penentuan kedua pasangan tidak hanya mempertontonkan berbagai intrik dan politik dagang sapi yang telanjang. Kandidat yang pada akhirnya diajukan oleh kedua kubu—seperti telah banyak diulas berbagai media massa—juga memiliki rekam jejak yang buruk terkait perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian, analisis personalistik yang cenderung sekadar mempertimbangkan rekam jejak ataupun latar belakang calon pemimpin negara maupun calon anggota legislatif hanya memberi separuh gambaran mengenai bagaimana kekuasaan politik akan dijalankan.
Buktinya, Joko Widodo (Jokowi) yang telah berkuasa selama empat tahun, yang dipercaya dapat membawa perubahan karena rekam jejaknya tidak terhubung dengan elite lama, tidak jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan jika Prabowo yang menjadi presiden. Tidak ada kemajuan berarti dalam pengusutan kasus kejahatan serius masa lalu, banyak purnawirawan jenderal yang bertanggung jawab atas kejahatan serius tersebut masuk dalam kabinet, konflik agraria terus meningkat, lahir produk hukum yang berkarakter fasis seperti UU Organisasi Massa, digunakannya politik identitas untuk mengonsolidasikan kekuasaan, sementara kualitas hidup masyarakat secara ekonomi juga tidak banyak berubah. Mengapa demikian?
Menurut saya, sumber kekacauan tatanan politik saat ini tidak pernah bisa dipersonifikasi seperti pada era Orde Baru yang dapat dengan mudah menunjuk Suharto. Karena itu pula sikap politik tidak bisa ditentukan semata-mata berdasarkan pertimbangan personalistik. Termasuk di antaranya dengan berlomba-lomba membuat justifikasi baru mengoreksi standar moral sebelumnya karena kandidat kedua kubu tidak seperti yang dibayangkan semula. Arena politik yang didominasi oleh kepentingan predatoris—perampokan sumber daya ekonomi dan politik untuk akumulasi kekayaan sekelompok orang—pada kenyataannya memberi kemungkinan yang sangat terbatas bagi tokoh politik mana pun, sebaik dan sesaleh apa pun, untuk bermanuver menghindar darinya. Menguatnya kekecewaan publik atas situasi politik terkini, karena itu, dapat menjadi momentum yang tepat bagi gerakan progresif memperkuat konsolidasi menantang aliansi dan kepentingan-kepentingan predatoris itu dengan memboikot pemilu. Berpartisipasi dengan memilih salah satu calon tanpa dukungan gerakan progresif yang terorganisir sama halnya dengan menyerahkan diri terserap dalam predatorisme, yang pada akhirnya sekadar menjadi pembenar tatanan politik yang banal itu, seperti pengalaman pemilu 2014 maupun sebelum itu.
Namun, memboikot pemilu dengan cara tidak memilih atau membuat surat suara tidak sah atau dikenal dengan istilah golput (golongan putih, sebagai lawan dari golongan kuning pada era Orde Baru) mesti diarahkan lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan kepada para kandidat. Boikot pemilu adalah upaya memerdekakan diri dari predatorisme politik. Sebab, politik yang berkualitas hanya mungkin dicapai jika ada upaya terus-menerus mengurangi derajat predatorisme dengan mengonsolidasikan, mengorganisir dan memperkuat oposisi, bukan dengan menggadaikan diri kepada partai dan kelompok borjuis atau bersorak melegitimasi aliansi para bandit berwajah humanis dalam kompetisi elektoral.
Tidak adanya tantangan terhadap dominasi kepentingan perampokan sumber daya untuk akumulasi privat serta lemahnya gerakan progresif terorganisir adalah aspek yang membuat menguatnya politik identitas; persoalan pokok yang kini tengah menjadi kekhawatiran banyak kalangan. Lemahnya gerakan progresif terorganisir juga membuat makin leluasanya persekongkolan politisi-birokrat-pengusaha merampok kekayaan negara untuk akumulasi privat—menjadikan korupsi, politik uang dan manipulasi hukum sebagai norma. Tatanan politik semacam ini juga memberi jalan bagi reproduksi politik kekerasan, menghidupi kelompok-kelompok preman dalam ruang demokrasi. Dengan kata lain, politik identitas, politik uang dan politik kekerasan adalah jalan pintas yang ditempuh oleh aliansi politisi-pengusaha memobilisasi suara dalam kompetisi elektoral serta instrumen untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan mereproduksi tatanan politik predatoris.
Dominasi Predatorisme
Konsekuensi paling nyata dari dominasi predatorisme dalam politik Indonesia adalah kekalahan yang selalu dialami oleh kelompok marginal dalam berbagai konflik dengan korporasi dan negara baik di bidang perburuhan maupun agraria, di perkotaan dan di pedesaan. Tata politik semacam itu menguat terutama sejak peristiwa pembunuhan massal tahun 1965. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi para petani, kaum miskin kota, buruh serta kelompok marginal lainnya; tidak ada lagi organisasi dan saluran politik yang konsisten menyuarakan dan memenangkan kepentingan mereka. Sejak itu, dalam berbagai konflik mereka berjuang sendiri, terombang-ambing dalam negosiasi timpang dengan pengusaha dan penguasa.
Aktor-aktor negara, termasuk juga di era demokrasi, lebih sering menjadi kepanjangan tangan korporasi daripada memenangkan kepentingan kelompok marginal. Partai politik dan lembaga legislatif lebih mengutamakan kepentingan para pemodal dan kelompoknya, daripada kepentingan rakyat. Serikat-serikat buruh besar terjerat dalam elitisme dan transaksionalisme politik dengan partai-partai borjuis, ketimbang memperjuangkan kepentingan anggotanya—warisan korporatisasi organisasi sosial-politik era otoriter. Organisasi masyarakat sipil yang berupaya menantang berbagai bentuk kronisme, selain terfragmentasi dalam berbagai isu dan elitis juga cenderung mengandalkan strategi yang mudah ditelikung oleh aliansi predatoris, seperti melakukan lobi-lobi kepada elite politik maupun kampanye media—yang mayoritas dikontrol para konglomerat-politisi. Beberapa menempuh strategi perubahan dari dalam dengan masuk menjadi bagian dari kekuasaan dengan hanya mengandalkan rekam jejak dan jaringan sebagai aktivis yang fragmentaris itu—pilihan politik yang mengemuka sejak era Presiden Megawati hingga Jokowi. Hasilnya, mereka lebih banyak terserap dan melegitimasi tatanan politik yang ada, ketimbang mampu memenangkan kepentingan kelompok marginal.
Politik Identitas
Politik identitas adalah salah satu instrumen aliansi predatoris. Artinya, menguatnya politik identitas bukan disebabkan oleh semakin lakunya gerakan keagamaan radikal, tetapi karena tidak adanya gerakan progresif terorganisir yang dapat menjadi saluran alternatif berbagai kekecewaan politik serta kecemasan atas kondisi sosial ekonomi yang semakin serba tidak pasti. Secara sosiologis, memang tampak bahwa masyarakat menjadi semakin konservatif dalam beragama. Namun patut dicatat, ‘kesalehan’ yang menguat merupakan simtom bahwa masyarakat merasa menemukan jawaban atas berbagai kecemasan hidup dalam laku agama yang konservatif—karena absennya alternatif saluran yang lain.
Meskipun secara sosiologis menguat, secara politik kelompok masyarakat yang semakin konservatif dalam beragama ini lemah. Mereka tidak bisa mentransformasikan diri menjadi kekuatan politik yang koheren dan terkonsolidasi. Adalah peran politisi oportunis yang memerlukan dukungan suara dalam kompetisi elektoral maupun dukungan untuk mengonsolidasikan kekuasaan yang mengaktifkan mobilisasi sentimen keagamaan dan membuat kelompok konservatif seolah kekuatan politik yang mengkhawatirkan dan mengancam masa depan demokrasi. Kini, banyak pendukung Jokowi yang kecewa karena ia ternyata juga dipersepsikan menggunakan politik identitas dengan memilih Ma’ruf Amin—ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfasilitasi politisasi agama dalam pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta 2017—sebagai wakilnya. Merespons hal itu, banyak pendukung setia Jokowi berlomba membujuk para pihak yang kecewa, selain dengan membuat pembenaran baru atas kedudukan Ma’ruf juga mengampanyekan ancaman terpilihnya Prabowo jika mereka tetap golput, seperti pada kasus kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat (AS). Padahal, sebelum itu Jokowi juga telah terang-benderang menggunakan strategi politik yang sama, memolitisasi sentimen keagamaan yang moderat dan sentimen nasionalisme sempit menghadapi kelompok konservatif.
Dalam arena politik yang didominasi oleh predatorisme, hampir tidak ada jalan keluar untuk tidak menggunakan politik identitas dalam memobilisasi suara maupun mengonsolidasikan kekuasaan. Bukti atas hal ini juga melimpah sejak awal era reformasi. Megawati, misalnya, dalam berkompetisi pada pemilu 2004 harus menggandeng ketua PBNU Hasyim Muzadi untuk mengonter serangan kelompok konservatif mengenai larangan pemimpin perempuan. Susilo Bambang Yudhoyono mengonsolidasikan aliansi dari kelompok konservatif dengan memfasilitasi fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sipilis) serta memberi jalan lahirnya SK Menteri yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Dalam pemilihan kepala daerah, para calon dipilih berdasarkan representasi etnis maupun agama dan orientasi keagamaannya. Maraknya peraturan-peraturan daerah bernuansa syariah sejak awal desentralisasi adalah contoh lain bagaimana politik identitas telah sejak lama digunakan untuk memobilisasi suara dan mengonsolidasikan kekuasaan.
Politik Uang
Politik uang adalah jalan pintas lainnya dalam memobilisasi suara dan mengonsolidasikan kekuasaan dalam arena politik yang predatoris. Para politisi serta partai politiknya mungkin saja banyak didukung oleh rakyat miskin, para petani tak bertanah, buruh atau kelompok masyarakat marginal lainnya. Namun, dalam banyak kasus dukungan semacam itu merupakan hasil dari hubungan klientelisme, pertukaran material untuk dukungan politik. Ini karena para politisi dan partai politik tidak mengakar, produk kebijakan massa mengambang, sementara rakyat apolitis serta tidak menganggap ada saluran politik formal yang dapat memediasi kepentingannya. Alhasil, hubungan di antara mereka bersifat transaksional, temporer dan penuh ketidakpastian. Pemilih tentu tidak akan banyak berharap kepentingannya tersalurkan, tetapi setidaknya mereka memperoleh keuntungan material yang bersifat langsung. Sedangkan para politisi juga tidak bisa menjamin sejumlah uang yang diberikan bisa dikonversi begitu saja sebagai dukungan politik saat pencoblosan. Namun, jika seorang politisi tidak melakukannya, lawan politiknya yang akan merebut suara.
Tidak hanya melalui pembelian suara langsung dari pemilih, para politisi berada dalam jerat transaksionalisme dengan partai politik, aliansi partai politik (termasuk penyelenggara pemilu, lembaga survei, penegak hukum dan aparat represif lainnya) dan para pemodal melalui mahar pencalonan, pengamanan kertas suara dari manipulasi penyelenggara pemilu, uang saksi, serta dana kampanye dan iklan. Jejaring yang luas dalam transaksi politik semacam ini yang mengaktifkan dan mereproduksi predatorisme: kekuasaan politik untuk memfasilitasi perampokan sumber daya ekonomi, memberi jalan bagi ekspansi bisnis, yang surplus kapitalnya digunakan untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politik untuk kembali melapangkan jalan perampokan.
Tidak ada ruang bagi kelompok marginal dalam jaringan predatoris semacam itu, selain sekadar suara yang dibutuhkan dalam pemilu. Beberapa pihak melakukan kontrak politik untuk mendorong pertukaran program dengan suara serta mengikat politisi bertanggung jawab pada konstituennya. Namun, para politisi dapat dengan mudah mengabaikan kontrak dan janji-janji kampanyenya karena masyarakat terlampau lemah menjadi penekan, sementara penegakan hukum telah menjadi bagian dari jaringan politik yang buas itu.
Menguatnya politik identitas juga didasari oleh hubungan transaksional serupa. Namun kelompok konservatif yang amat bergantung pada politisi oportunis tidak pernah belajar dari sejarah bahwa mereka selalu diperdaya oleh militer dan elite politik dan karena itu pula selalu tertipu. Pemilihan Sandiaga Uno, pengusaha yang tidak memiliki jejak dalam gerakan Islam konservatif, sebagai calon wakil presiden Prabowo karena telah memberikan mahar politik mengilustrasikan kecenderungan itu. Prabowo sendiri adalah seorang sekuler. Kelompok Islam konservatif juga mudah ditipu dengan memandang Prabowo sebagai seorang nasionalis dalam visi ekonominya dengan mengkritik Jokowi sebagai antek Cina. Padahal Prabowo dan jaringan bisnis adiknya juga terhubung dengan dan berupaya memberi jalan kepada investor asal AS untuk memfasilitasi kepentingan aliansi politiknya, ketimbang memenangkan kepentingan umat yang tertindas.
Politik Kekerasan
Predatorisme juga memproduksi dan direproduksi oleh politik kekerasan. Kelompok kekerasan menjalankan dua fungsi pokok dalam tatanan politik yang banal itu. Pertama, kelompok-kelompok ini menjadi saluran dalam menjawab kebutuhan subsistensi masyarakat kelas bawah. Menjadi anggota preman memberi peluang memperoleh keuntungan material secara langsung, misalnya dengan ikut dalam proyek pengamanan lahan, proyek bisnis maupun menjadi tenaga sekuriti. Menjadi anggota preman juga memberi kebanggaan karena mengubah seseorang yang semula dianggap bukan siapa-siapa menjadi disegani dan ditakuti, dan ini menjadi modal untuk memeras atau memperoleh pekerjaan-pekerjaan pengamanan. Menjadi anggota kelompok kekerasan, dengan kata lain, menjawab sebagian kecemasan akibat meningkatnya ketidakpastian masa depan. Kelompok kekerasan, selain komunitas keagamaan konservatif, menyubstitusi absennya kelompok progresif dalam merespons kecemasan dan dalam memperjuangkan kepentingan kelompok marginal serta menggantikan fungsi negara dalam memberikan layanan sosial.
Fungsi kedua kelompok kekerasan adalah melayani aliansi politisi-birokrat dengan pengusaha dalam melakukan perampokan sumber daya untuk akumulasi privat. Kelompok kekerasan turut menjaga, mempertahankan dan mereproduksi ketakutan sosial atas bangkitnya komunisme, memberi jalan bagi dominasi kepentingan predatoris. Melalui reproduksi ketakutan ini pula kelompok kekerasan berkontribusi mencegah lahirnya potensi perlawanan terhadap aliansi ini. Mereka membantu korporasi dan aparat negara merepresi gerakan buruh, mengusir warga, merampas properti serta menghancurkan pemukiman dalam rangka pembangunan kota, perluasan perkebunan maupun pembukaan lahan pertambangan. Di beberapa tempat, seperti di Sumatera Utara, kelompok kekerasan juga dimobilisasi politisi untuk mengintimidasi warga dalam pemilu. Mereka juga aktor yang mengaktifkan mobilisasi sentimen rasial, seperti dalam kasus pilgub Jakarta maupun dalam kontestasi politik di berbagai tempat.
Siapa Lawan Gerakan Progresif?
Tidak ada musuh tunggal dalam politik kontemporer, seperti pada era kolonial yang ditujukan pada orang asing berkulit putih ataupun pada era Orde Baru yang ditujukan pada sosok Suharto. Keadaan ini sepertinya juga berkontribusi membuat konsolidasi elemen gerakan progresif menjadi sulit. Pada era demokrasi, lawan gerakan progresif juga tidak lagi bisa dipersonifikasi. Lawan gerakan progresif bukanlah oligark, melainkan oligarki atau predatorisme, yakni jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan yang melahirkan para oligark perampas sumber daya ekonomi dan politik untuk akumulasi privat. Politik identitas, politik uang dan politik kekerasan adalah instrumen pokok aliansi predatoris itu.
Keadaan ini sebenarnya lanjutan dari tatanan politik Orde Baru. Hanya saja, kekuasaan politik yang tersentralisasi pada Suharto memberi keuntungan bagi kelompok progresif pada saat itu dalam mendefinisikan siapa musuh serta memudahkan reorganisasi perlawanan. Meskipun Suharto dapat ditumbangkan, tapi sesungguhnya kelompok progresif tidak terkonsolidasi dengan baik serta terlalu fokus melawan Suharto ketimbang pada jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan yang menopangnya. Jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan ini yang justru mampu mereorganisasi diri dalam ruang politik demokrasi.
Karena lawan gerakan progresif tidak bisa dipersonifikasi, maka sikap politik juga tidak bisa sekadar didasarkan pertimbangan personalistik hanya dengan melihat rekam jejak para calon penguasa. Penentuan sikap politik mesti didasarkan pada pemahaman yang menyeluruh mengenai sifat-sifat politik Indonesia kontemporer. Karena kedua kandidat yang akan berlaga dalam pilpres 2019 maupun para calon anggota legislatif 2019 adalah bagian dari jaringan oligarki, maka sikap politik mesti diarahkan untuk menginvestasikan kemungkinan terkonsolidasinya gerakan progresif menantang dominasi kepentingan perampokan sumber daya ekonomi dan politik. Keadaan politik bisa jadi akan lebih buruk jika Prabowo memenangkan kompetisi elektoral, terutama terkait penggunaan politik kekerasan. Namun, menyerahkan diri pada aliansi predatoris berwajah ‘humanis’ sama halnya menutup kemungkinan investasi perlawanan terhadap aliansi itu. Situasi yang lebih buruk juga sangat mungkin membuka peluang perlawanan kepada kekuasaan menjadi lebih keras, investasi penting bagi konsolidasi gerakan progresif.
Para aktivis dan masyarakat yang terus melawan berbagai upaya perampasan tanah maupun berbagai bentuk eksploitasi dan penindasan lainnya, serta keluarga korban kejahatan serius masa lalu maupun serikat buruh radikal yang menolak elitisme dalam gerakan telah lama bersikap pesimistis kepada pemerintahan yang semula dianggap reformis dengan menyatakan golput pada pemilihan berikutnya. Sementara itu, banyak pendukung kedua kubu yang akan berlaga dalam pilpres 2019 juga mengekspresikan kekecewaan karena kandidat yang diajukan koalisi partai politiknya tidak seperti yang dibayangkan semula. Meluasnya kekecewaan ini merupakan peluang untuk mengonsolidasikan gerakan golput, tetapi bukan seperti yang telah dilakukan oleh Arief Budiman pada tahun 1970-an, semata-mata sebagai penolakan terhadap penyelenggaraan pemilu yang manipulatif.
Makna gerakan golput juga mesti diperluas, bukan sekadar respons kekecewaan karena para kandidat yang berlaga sama-sama buruknya. Gerakan ini dapat direorganisasi sebagai perlawanan terhadap dominasi jaringan, aliansi, relasi dan kepentingan-kepentingan predatoris yang tidak hanya menghasilkan kandidat yang buruk, tetapi juga membuat sebaik apa pun kandidat akan memiliki ruang yang sangat terbatas dalam memenangkan kepentingan kelompok marginal. Oleh karena itu, gerakan ini juga dapat direorganisasi sebagai alternatif pilihan politik, terutama kepada kelompok masyarakat yang mengalami kekecewaan secara langsung sebagai korban dari tatanan politik yang predatoris. Boikot pemilu adalah momentum awal dari upaya panjang untuk mengonsolidasikan subjek politik emansipatif serta mereorganisasi politik menjadi lebih progresif.***
Abdil Mughis Mudhoffir, kandidat PhD di Asia Institute, The University of Melbourne, Australia