Reformed Epistemology: Mengapa Teisme Lebih Cocok Dengan Materialisme Dialektika, Dibanding Ateisme?

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: seculartees.com

 

MUNGKINKAH seseorang teis (beragama), di saat yang sama, turut menganut Materialisme-Dialektika (selanjutnya disingkat MD)? Tampaknya, ini menjadi sebuah pertanyaan yang tricky. Namun, faktanya pertanyaan ini kerap menjadi polemik dalam berbagai diskursus gerakan progresif/Marxis hari-hari ini.

Wacana tentang Yang Transenden (belief) ketika dikaitkan dengan MD sering kali dianggap tidak menarik. Bahkan, banyak orang kerap melabelinya sebagai kontraproduktif. Beragama dianggap tak lebih dari sebentuk idealisme atau fideisme klasik. Mentok-mentoknya, kaum beragama terpaksa “mengalah” dan menempatkan teologi sebagai instrumen belaka. Teologi dimanipulasi hanya sebatas alat penerjemah agar ide-ide progresif (materialis) bisa dipahami oleh umat. Sebaliknya, menjadi seorang ateis dinilai sebagai posisi yang rasional dan progresif. Bahkan, tak jarang orang menganggap itulah posisi yang kompatibel dengan MD itu sendiri. Singkatnya, menjadi ateis adalah konsekuensi logis dari menganut MD.

Melalui tulisan ini, saya hendak mempertanyakan kembali klaim tersebut. Saya malah ingin mengambil posisi diametral. Saya ingin menghadirkan argumentasi bahwa person yang transenden, sebagai dasar epistemologis, sejalan dengan progresifitas/MD. Dengan kata lain, menjadi teis justru adalah pilihan yang lebih rasional dan lebih serasi dengan MD. Dalam tulisan ini, secara khusus, kita akan berangkat dari kritik terhadap ateisme-naturalis. Kemudian, kita akan melihat tawaran alternatif dari kekristenan, yaitu Reformed Epistemology, sebuah konsep berpikir yang dikembangkan dari teologi Reformed John Calvin pada abad 16.

 

Ateisme-Naturalis Sebagai Animisme.

Sebelum memulai pembahasan ini, saya perlu menyampaikan jenis ateisme yang akan dikupas. Hal ini perlu mengingat banyaknya varian dari posisi ateisme. Kita sebut saja, misalnya, ateisme-eksistensialis, ateisme-nihilis, ateisme-fenomenologis, dan sebagainya. Pada kesempatan kali ini, yang menjadi fokus kritik saya adalah ateisme-naturalis. Mengapa ateisme-naturalis? Karena posisi ateisme inilah yang paling mungkin dan paling umum dipegang oleh mereka yang mendaku menganut MD. Apabila kita bersepakat bahwa MD bertumpu pada realisme dan meyakini adanya yang objektif di luar pikiran/kesadaran manusia, agaknya mustahil memikirkan seorang penganut MD menganut bentuk ateisme lain yang berpusat pada kesadaran manusia (mis: ateisme-eksistensialis, ateisme-fenomenologis), atau bahkan abai terhadap objektivitas (mis: ateisme-nihilis).

MD mengakui adanya kenyataan yang independen. Artinya, keberadaannya tidak bergantung dan tidak terjamin pada korelat-korelat kemanusiaan (pikiran, kesadaran, dll.). Konsekuensi logisnya adalah, diperlukan adanya semacam “penjamin” objektivitas kenyataan di luar agensi bernama manusia. Di sinilah, ateisme-naturalis mengajukan klaimnya. Ia mengatakan hanya alam semesta dan seluruh hukumnya lah yang menggerakkan dunia dan realitas. Dengan kata lain, hukum alam yang menjadi “penjamin” objektivitas. Dari hukum itulah, kita bisa menurunkan proposisi pengetahuan dan kebenaran (epistemologi). Pendekatan semacam ini juga dikenal dengan nama Metaphysical Naturalism, sebagai berikut:

“Ada beberapa asumsi filosofis yang menjadi dasar metode saintifik — yaitu, 1) realitas (alamiah) adalah objektif dan konsisten; 2) manusia memiliki kapasitas untuk memahami realitas dengan akurat; dan 3) ada penjelasan rasional pada setiap elemen di dunia nyata. Asumsi inilah yang menjadi dasar naturalisme, sebuah filsafat yang menjadi dasar dari metode ilmiah. Filsafat, setidaknya secara implisit, adalah inti dari setiap posisi atau keputusan yang kita ambil, dan filsafat yang tepat adalah keharusan untuk mendasari sains.”[1]

Dari penjelasan di atas, setidaknya kita bisa melihat bagaimana ateisme-naturalis meletakkan objektivitas. Ia mendasarkan semua pada naturalitas dan mengasumsikan kemampuan manusia untuk menangkapnya secara penuh. Dengan disetarakannya naturalitas dan objektivitas, maka alam dianggap manunggal dan utuh pada dirinya sendiri. Dengan begitu, bukankah sesuatu yang utuh pada dirinya sendiri adalah transenden? Karena definisi transenden adalah entitas yang mempunyai kapasitas melampaui dirinya sendiri. Jadi, tidaklah mengherankan apabila para pemikir ateisme-naturalis seperti Robert Audi mengatakan “alam ada sebagaimana adanya, dan seluruh kebenaran dasar adalah kebenaran alam”[2].

Dari titik ini, kita mulai melihat kontradiksi internal dalam pemikiran ateisme-naturalis. Tidak hanya itu, ia juga berkontradiksi dengan MD. Alam, di satu sisi, dilihat sebagai sesuatu yang sebagaimana adanya, dari sononya, dan netral. Namun di saat yang bersamaan, alam juga dianggap memiliki daya progresivitas melampaui dirinya. Padahal, ada kata ‘dialektika’ dalam MD. Dialektika antara yang ‘sebagaimana adanya’ dengan agensi yang bukan ‘sebagaimana adanya’. Dengan kata lain, tidak mungkin ada progresivitas dari yang netral.

Dengan penalaran di atas, maka ateisme-naturalis tidak lain adalah sebentuk animisme. Pasalnya, ia menganggap materi pada dirinya sendiri memiliki sifat-sifat transenden, sebagaimana jargon populer yang disebut dengan Mestakung (Semesta mendukung), sekaligus terjebak dalam netralitasnya sendiri.

 

Reformed Epistemology: Tuhan Sebagai Kepercayaan Dasar.

Kontradiksi ateisme-naturalis ini pula yang pada abad 16 mengambil wujud dalam bentuk evidensialisme. Evidensialisme adalah suatu pemikiran yang menuntut adanya bukti empiris atas segala sesuatu, termasuk klaim-klaim religius, khususnya Tuhan. Untuk meresponi ini, para teolog Reformed mengembangkan sebuah pemikiran yang disebut Reformed Epistemology (selanjutnya disingkat RE). RE mengkritik evidensialisme yang mencoba menetapkan standar empirisismenya kepada semua hal, namun abai pada dirinya sendiri. Standar evidensialisme pada dirinya sendiri juga terbukti tidak empiris dan menggugurkan argumennya sendiri.

Sebagai alternatif, RE menawarkan konsep Tuhan sebagai kepercayaan dasar yang pada dirinya sendiri tidak memerlukan bukti. Alasannya, karena bukti masih berada dalam ranah empiris yang melibatkan alam dan persepsi manusia, sedangkan, Tuhan tidak dipengaruhi oleh hukum apapun (baik dari manusia dan alam). Oleh karena sifat ke-tak-terpengaruhan-nya inilah, Tuhan bisa menjadi “penjamin” objektivitas kenyataan.

Salah satu pemikir yang mengembangkan konsep RE kontemporer adalah Alvin Plantinga. Berangkat dari RE, Plantinga menyusun sebuah argumen mengkritik ateisme-naturalis yang disebutnya sebagai Evolutionary Argument Against Naturalism (selanjutnya disingkat EAAN). Sebagai seorang pemikir analitik, Plantinga mencoba menjabarkan konsep ini dalam model matematika, khususnya teori peluang bersyarat, sebagai berikut:

Premis 1: N adalah naturalisme (Plantinga mendefinisikan sebagai “ide bahwa tidak ada Tuhan yang personal atau sosok yang transenden.”[3] atau bisa juga kita sebut ateisme-naturalis)

Premis 2: E adalah kepercayaan bahwa manusia berkembang sesuai dengan teori evolusi.

Premis 3: R adalah keyakinan bahwa fakultas kognisi dan rasio kita ‘dapat dipercaya’. ‘Dapat dipercaya’ dalam pengertian, bahwa ada jaminan bahwa realitas adalah objektif dan tidak menipu kita.[4]

Berdasarkan premis-premis di atas, Plantinga mencoba melihat korelasi antara satu premis dan premis lainnya, dan ia menemukan bahwa jika hanya salah satu saja dari N atau E yang dipegang, maka R masih berpeluang besar atau terjamin. Namun, ketika N dan E sama-sama disetujui, peluang R akan turun, karena konsekuensi logis dari menyetujui N dan E adalah mengakui evolusi yang adaptif, dimana insting bertahan hidup N akan selalu mengungguli R. Maka, berdasarkan teori peluang bersyarat, peluang R = P(R | N & E) secara matematis adalah kecil atau tidak terjamin.

Kesimpulannya, posisi ateisme-naturalis, secara logis, tidak mampu menjamin objektivitas kenyataan. Menurut Plantinga, tepat di kebuntuan inilah RE bisa memberi solusi alternatif. Apakah itu? Kepercayaan dasar akan agensi/person di luar alam dan di luar manusia yang memberi jaminan objektivitas dan makna. Dalam hal ini, agensi tersebut adalah Tuhan[5].

 

Implikasi dan Tawaran.

Hari ini kita hidup di tengah kecurigaan. Lebih tepatnya, kecurigaan yang tak terarah. Kedisiplinan disetarakan dengan pengekangan kebebasan. Jika kita mengklaim kebenaran, maka itu disinonimkan dengan kepicikan nalar. Beragama (terlebih pasca fenomena 212), dipandang tak ubahnya kenaifan yang mengawang-awang.

Pada situasi ini, kaum teis tidak perlu meminta maaf ataupun malu akan klaim teologisnya. Apalagi ketika kita berbicara tentang objektivitas dan MD. Justru sebaliknya, menjadi teis adalah sejalan dengan progresifitas yang diusung oleh MD itu sendiri. Pasalnya, teisme menyadari dan mengakui agensi yang menjamin adanya kebenaran.

Situasi kita hari-hari ini menuntut perjuangan dan militansi dalam membentuk gerakan politik alternatif. Namun harus diakui, kita sedang diperhadapkan dengan berbagai kebuntuan dan kemustahilan wacana. Oleh karena itu, menjadi penting untuk meyakini bahwa apa yang kita perjuangkan adalah benar. Dalam hal ini, keyakinan itu bukan sekadar persepsi subjektif semata.

RE, dengan konsep kepercayaan dasar, menolong kita untuk sadar bahwa kebenaran memprasyaratkan agensi. Dengan demikian, keyakinan kita terjamin ketika kita berpihak kepada yang dipihaki oleh agensi tersebut. Bagi para pembaca, yang saat ini mengambil posisi sebagai seorang ateis, anggaplah paparan saya di atas sebagai tawaran untuk memikirkan ulang ke-ateis-an Anda dalam perjalanan menemukan Yang Objektif itu.***

 

Alan Darmasaputra adalah pengasuh Diskusi Selasaan, sebuah diskusi teologi yang diadakan rutin oleh Gereja Komunitas Anugerah, setiap Selasa malam pukul 19:30 WIB, di Jl. Guntur No. 15, Jakarta

 

————-

[1] A., Kate, & Sergei, Vitaly. 2000. “Evolution and Philosophy: Science and Philosophy”

[2] Audi, Robert. 1984. “Naturalism,” in The Encyclopedia of Philosophy, p. 372-374.

[3] Plantinga, Alvin (July–August 2008). “Evolution vs. Naturalism – Books & Culture”. https://www.booksandculture.com/articles/2008/julaug/11.37.html. Diakses 22 Agustus 2018.

[4] Plantinga, Alvin & Beilby, James. 2002. “Alvin Plantinga’s Pox on Metaphysical Naturalism”. Philosophia Christi.

[5] Plantinga, Alvin & Copan, P. (2001). “Warranted Christian Belief”. The Review of Metaphysics. 54 (4): 939–941.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.