Domenico Losurdo: Sang Sejarawan Militan (1941-2018)

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: domenicolosurdo.blogspot.com

 

KAMIS, 28 Juni 2018, Domenico Losurdo wafat karena penyakit tumor otak. Bagi banyak khalayak di Indonesia, nama Losurdo mungkin masih dianggap asing karena kalah populer dengan banyak intelektual cultural studies/posmodern yang sering dikutap-kutip oleh banyak penulis. Namun, dalam disiplin ilmu sejarah kontemporer, Losurdo satu dari sedikit intelektual Marxis yang disegani oleh banyak pihak. Karyanya yang seringkali detail, teliti, namun partisan terhadap agenda emansipasi selalu mendapat tempat tersendiri dalam lingkaran keilmuan Marxisme. Losurdo sendiri adalah profesor emeritus di Universitas Urbino, Italia. Selain menyandang status profesor, dia juga adalah seorang aktivis komunis militan. Sepanjang tahun 90an sampai dengan akhir hayatnya, dia terlibat aktif dalam upaya gerakan kiri Italia untuk membangun kembali Partai Komunis Italia yang bubar pasca kehancuran Uni Soviet.

Dikenal sebagai seorang penulis yang produktif, Losurdo terlatih secara profesional dalam disiplin filsafat dan sejarah. Spesialisasinya adalah filsafat Hegel beserta konteks sejarahnya. Namun ia banyak menulis pula tentang Nietzshe, Gramsci, dan tentu saja Marx serta Engels. Lebih banyak karyanya dituliskan dalam bahasa Italia. Namun seiring dengan semakin signifikan pemikirannya bagi tradisi marxisme yang lebih luas, mulai banyak bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Bagi rekan-rekannya, Losurdo dikenal sebagai akademisi dengan argumen yang orisinil. Menariknya orisinalitasnya adalah buah dari kepercayaannya yang mendalam terhadap marxisme, sebagai ideologi maupun seperangkat metodologi. Baginya, penelusuran atas fakta material sejarah harus juga meliputi gagasan serta biografi orang-orang yang membentuk sejarah itu sendiri. Tidak heran jika kemudian karya-karyanya adalah representasi terbaik dari studi-studi materialisme historis: setiap pengkajian harus selalu secara eksplisit berupaya menyingkap secara jelas hubungan antara ekonomi dan ideologi, antara struktrur sosial dengan budaya yang berkembang.

Perkenalan awal saya terhadap karya Losurdo dapat dikatakan baru. Pada tahun 2011 saya membaca salah satu bukunya yang telah ditranslasikan ke bahasa Inggris, Liberalism: A Counter History (Substansi dari buku Losurdo itu dapat dilihat dari review yang di tulis dalam laman ini). Akan tetapi, penulis mendapatkan kesan yang sangat impresif dari karya Losurdo ini, dimana ia berhasil mengungkapkan titik kontradiksi, sekaligus dialektika, dari liberalisme sebagai suatu gagasan tentang kebebasan manusia. Bagi Losurdo, cara terbaik untuk menilai keterbatasan liberalisme adalah bukan pada pembacaan yang berdasar kerangka normatif-moralis dimana liberalisme harus dinilai berdasar salah atau benarnya gagasan tersebut. Menurutnya, yang tepat justru adalah menempatkan Liberalisme sebagai materialitas gagasan yang menyejarah yang didalamnya terkandung inkonsistensi internal. Secara brilian, Losurdo berhasil mengungkapkan bahwasanya kebebasan ala liberalisme hanya dapat dicapai ketika terdapat entitas sosial lain yang tidak bebas/ditindas (yang dalam hal ini adalah kelompok budak). Di sini Losurdo mengajukan kritik imanen terhadap liberalisme dalam termin yang ditentukan oleh liberalisme itu sendiri.

Akan tetapi, bagi saya, kontribusi terpenting Losurdo terhadap pengetahuan sejarah ada dalam karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2015, War and Revolution: Rethinking the Twentieth Century. Dalam buku ini, Losurdo melakukan intervensi teoretik melawan tendensi revisionisme dalam disiplin ilmu sejarah yang banyak dikembangkan oleh pemikiran Ernst Nolte dan juga Stephen Courtois dengan buku mereka The Black Book of Communism. Kritik Losurdo terhadap revisionisme berangkat dari argumen bahwasanya tendensi ini secara sengaja melakukan delegitimasi terhadap gerakan revolusioner dan anti-imperialisme dalam sejarah modern abad 20. Delegetimasi ala revisionisme dapat membuat semua perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh banyak negara Dunia Ketiga menjadi tidak relevan karena secara tidak langsung perjuangan tersebut hanya menghambat upaya kekuasaan negara barat untuk mendorong “kemajuan” (progress) di masyarakat non-barat.

Dalam War and Revolution, Losurdo seakan hendak membantah teori sepatu kuda (horseshoe) ala metafisika Heideggerian perihal Komunisme dan Fasisme-Nazi sebagai “dua sisi dari koin yang sama.” Teori ini lahir pembacaan tertentu tentang “totalitarianisme” komunisme yang justru menciptakan reaksi defensif dari peradaban barat yang termainfestasi dalam bentuk “totalitarianisme yang lain”, yakni fasisme-Nazi. Losurdo mencatat, cara pandang ini adalah buah dari maraknya penggunaan konsep “totalitarianisme” tanpa adanya proses refleksi kritis. Ketidakkritisan ini membuat konsepsi ini justru mengabaikan dinamika nyata dari konflik serta pertarungan yang mendasar antara dua bentuk gerakan yang menyejarah tersebut. Banyak pendukung teori ini menggunakan fakta kesepakatan Hitler-Stalin sebagai bukti keterikatan antara Komunisme dan Fasisme-Nazi. Namun, jangan lupakan bahwasanya kesepakatan seperti itu tidak akan muncul jika pada tahun 1930an negara barat seperti Inggris dan Prancis tidak mengisolasi Uni Soviet dengan melakukan penolakan untuk membangu kesepakatan anti Nazi sebagaimana yang ditawarkan Stalin. Tidak dapat diabaikan pula bahwa pasca kemenangan Tentara Merah atas Nazisme justru membukakan jalan bagi tatanan pencerahan ala masyarakat Eropa di timur.

Setelah War and Revolution, saya mulai berkenalan dengan beberapa buku serta artikel yang ditulis olehnya. Bagi saya, wawasan yang ditawarkan Losurdo melalui banyak karya-karyanya memiliki tautan strategis bagi politik pengetahuan gerakan kiri. Banyak karyanya merupakan upaya klarifikatif atas posisi komunisme dalam sungai sejarah yang ada. Proses ini memiliki relevansinya sendiri sebagai sarana refleksi gerakan sosialis dalam menghadapi era abad XX.

Fakta keras mengenai kekalahan eksperimen sosialisme abad XX di Uni Soviet acapkali disimpulkan sebagai kenyataan tak terbantahkan tentang kegagalan sosialisme. Kesimpulan yang seringkali mendorong terjadinya banyak disorientasi dalam tubuh gerakan kiri itu sendiri. Namun bagi saya, membaca Losurdo seakan mengingatkan bahwa disorientasi tersebut justru adalah buah dari ketidaktahuan gerakan kiri terhadap sejarah perjuangannya sendiri. Ketidaktahuan yang bersumber dari kegagalan gerakan kiri untuk menilai tradisinya sendiri secara kritis namun berimbang. Oleh karenanya alih-alih melihat kekalahan tersebut sebagai sepenuhnya kegagalan, Losurdo hendak mengajak kita untuk berpikir secara lebih mendalam bahwasanya eksperimen sosialisme justru penting bagi perkembangan masyarakat modern. Tanpa ada sosialisme, capaian-capaian kemanusiaan modern yang kita nikmati sekarang musykil untuk ada.

Kita mungkin bisa tidak bersepakat dengan beberapa kesimpulan yang ditawarkan Losurdo terkait warisan sosialisme abad XX; seperti, misalnya, ia berpendapat bahwa kekerasan yang dilakukan Stalin berkontribusi penting bagi perdamaian dunia; atau Cina di bawah kekuasaan Deng adalah sejenis sosialisme dengan coraknya yang unik. Akan tetapi poin krusial dari setiap karya Losurdo adalah pentingnya memeriksa kembali asumsi-asumsi pengetahuan kita sendiri ketika menilai sosialisme sebagai praktik yang menyejarah. Apakah asumsi-asumsi pengetahuan tersebut telah ditempatkan sebagai kriteria yang tepat untuk menilai suatu praktik kekuasaan yang seringkali rumit dan kompleks.

Sebagai contoh, kita seringkali mengkritisi betapa kekuasaan rezim sosialis adalah otoritarian. Namun kita seringkali alpa melihat bagaimana kalangan sosialis yang berkuasa dihadapkan pada tantangan struktural yang nyata. Upaya mereka untuk membangun sistem kesejahteraan universal harus dihadapkan dengan perlawanan imperialisme atau sabotase kekuatan kontra-revolusioner yang seringkali memerlukan respon keras dan efektif untuk menanggulanginya. Losurdo mengingatkan bahwa mengabaikan materialitas struktural yang ikut memengaruhi perjuangan membangun sosialisme hanya akan menempatkan sosialisme sebagai suatu angan-angan yang utopis.

Proyeksi intelektual Losurdo adalah tentang pentingnya mengklaim kembali seluruh capaian dan keterbatasan sosialisme oleh gerakan kiri. Disinilah Losurdo muncul sebaga seorang sejarawan militan yang tidak pernah berhenti mengingatkan signifikansi sejarah sosialisme bagi peradaban: Semua yang pernah terjadi dalam sejarah, di bawah bendera sosialisme, merupakan bagian integral bagi nafas dan hidup gerakan kiri itu sendiri. Tanpa pengakuan ini, gerakan kiri sekarang hanya akan menjadi zombie, bernyawa namun tidak memiliki ide (akal) sama sekali. Sekali lagi Losurdo kembali mengingatkan kita mengenai pentingnya salah satu proposisi Marxisme yakni praksis; keterkaitan erat yang penuh ketegangan antara teori dengan praktik.

Losurdo mungkin telah meninggalkan kita, namun proyeksi intelektualnya begitu berharga untuk diabaikan jika kita hendak menjadikan Marxisme selalu relevan dalam pengalaman sekarang.

Rest in power, Domenico!***

 

Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), mahasiswa doktoral ilmu politik di Northwestern University, Chicago, AS.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.