#2019GantiPresiden

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: jurnas.com

 

BEBERAPA waktu yang lalu saya menonton video klip lagu yang berjudul #2019GantiPresiden. Saya riang gembira mendapati Amien Rais bernyanyi. Iya, bernyanyi! Ini pertama kali dalam hidup saya mendengar dia bernyanyi. Untung ada equalizer dan semua peralatan audio modern yang memperbaiki kualitas suaranya. Dia bernyanyi bersama Ahmad Dhani, yang adalah, Sodara tahu sendiri, seorang penyanyi.

Dalam video klip itu ada Neno Warisman yang kemarin membuat berita. Kita kuliti ini di belakang. Di video klip yang lain, juga saya lihat Rocky Gerung, orang yang dulu dikenal sebagai filsuf. Entah kesetrum apa dia menjadi politisi. Kayaknya dia sudah bukan politisi paruh waktu. Dia menjadi politisi oposisi tanpa partai. Sampai sekarang dia tidak mengumumkan afiliasinya pada satu partai.

Rocky Gerung kabarnya dulu menjadi tim sukses AHaY untuk gubernur DKI. Apakah dia menjadi proxy suara oposisi mewakili bapaknya AHaY? Kita tidak tahu. Tidak terlalu penting juga. Yang terpenting adalah posisi yang diambilnya.

Tidak lupa, di sana juga ada Fadli Zon. Ya, politisi temannya politisi Orange dari Amerika, Donald J. Trump. Tuan Zon menyanyi cukup bagus dalam video klip itu. Sehingga cukup membuat saya berdoa agar dia tidak menari.

Kemudian tampak juga beberapa aktivis Cina seperti Lieus Sungkharisma dan Zeng Wei Jian. Yang pertama kita tahu adalah petualang politik sejati. Dia pernah memimpin partai kecil untuk mewakili minoritas Cina. Hanya saja masalahnya, dia juga banyak berantem dengan komunitasnya. Mungkin kegemarannya berantem membuat dia tidak pernah dipakai siapa saja yang berkuasa. Dia laku sebagai oposisi yang menghantam yang berkuasa. Namun ketika si oposisi ini berkuasa, mereka tidak mau karakter seperti ini berada di dalam. Begitulah. Dia menderita penyakit yang namanya: kekecewaan permanen (permanent disappointment).

Sementara Zeng Wei Jian adalah seorang aktivis juga. Bedanya dengan Sungkharisma, dia tidak pernah memimpin partai. Namun dia pernah menjadi pemimpin pemuda Buddhis, sebelum kemudian juga berantem dengan komunitasnya. Dia adalah penulis dan jurnalis. Cukup baik sebenarnya. Kemudian dia masuk penjara untuk kasus yang tidak enak: narkoba. Zeng Wei Jian dulunya adalah seorang yang dekat dengan Ahok Tjahaya Purnama, bekas gubernur DKI Jakarta. Namun, entah kenapa, dia menjadi pengkritik paling keras gubernur ini.

Ada juga beberapa ulama di sana. Saya tidak hapal dengan nama-nama mereka. Kalaupun ada yang saya kenal, saya yakin, Anda lebih mengenal mereka daripada saya. Masih banyak juga yang lain, yang terlalu banyak disebutkan satu persatu.

Tampak jelas bahwa koalisi anti-Ahok pada pemilihan gubernur DKI 2016 memegang peranan paling dominan dalam gerakan #2019GantiPresiden ini. Sekalipun dikesankan sebagai gerakan spontan dari akar rumput, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan ini sesungguhnya sangat sistematis dan terkoordinasi dengan baik. Dia dimulai dengan tagar. Dari tagar kemudian menjadi lagu. Bahkan saya dengar bahwa lagu ini “tidak sengaja” diputar terus menerus di supermarket-supermarket milik seorang konglomerat yang dulunya dekat dengan Presiden SBY, yang sekarang ikut beroposisi.

Secara perlahan-lahan gerakan #2019GantiPresiden ini memasuki ruang publik di Indonesia. Dalam akhir pekan kemarin, paling tidak ada dua kejadian yang disorot media massa yang mengangkat nama gerakan ini ke permukaan.

Pertama, yang paling populer, adalah gerakan demo di depan gerai martabak Markobar di Solo. Seperti kita tahu, Markobar bukan warung martabak biasa. Dia adalah bisnis pribadi anak presiden RI.

Sebenarnya, kegiatan ini, sebagaimana diakui penyelenggaranya Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), sebagai kegiatan jalan sehat umat Islam Solo Raya. Namun, di masa kini, sangat sulit untuk membedakan jalan sehat dengan politik. Apalagi dengan politik yang sehat.

Peserta “Jalan Sehat” itu semuanya memakai kaos #2019GantiPresiden. Lalu mengapa memilih di depan warung martabak Makobar, yang seluruh penduduk kota Solo tahu bahwa itu dimiliki anaknya Jokowi?

Menurut Endro Sudarsono dari Divisi Advokasi Dewan Syariah Kota Surakarta, tidak ada kesengajaan massa berkumpul di tempat itu. “Dari dulu kalau kami aksi titik kumpulnya selalu di situ. Jadi, tidak tahu kalau di situ ada gerai Markobar,” katanya sebagaimana dikutip sebuah koran ibukota.

Tidak tahu? Sulit untuk dipercaya bahwa ini adalah sebuah ungkapan kejujuran. Agama memang melarang untuk berbohong. Tapi untuk politisi aturan itu bisa dikendorkan. Asal bisa berkilah.

Banyak orang mmpertanyakan kepatutan demo ini. Mereka mengatakan bahwa ini tidak patut. Martabak Markobar tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan Presiden Jokowi. Namun, tidak ada yang hal yang tidak patut dalam politik.

Yang kedua, yang tidak kalah populer, adalah tingkah laku Ratna Sarumpaet yang menjadi ‘heckler’ pada Luhut Panjaitan yang sedang bicara kepada keluarga KM Sinar Bangun yang mengalami musibah di Danau Toba.

Ratna Sarumpaet adalah mantan aktivis dan sampai saat ini dia kukuh memegang teguh keaktivisannya. Di jaman demokrasi ini memang tipis batas antara aktivis, agamawan/ulama, cendekiawan, atau pun filsuf dengan politisi. Masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri melakukan aktivitas politik. Tentu saja dengan predikat-predikat yang disandangnya. Konstituennya pun diambil sekenanya. Ada yang langsung mengaku mewakili ‘rakyat.’

Tidak sedikit yang mewakili ‘umat Islam.’ Seperti demo di depan martabak Markobar di atas. Jalan sehat ini diakui mewakili Umat Islam Solo Raya yang dihadiri ribuan umat Islam. Foto maupun video yang beredar memperlihatkan mungkin tidak lebih dari seratusan orang.

Entah apa yang membawa Ratna Sarumpaet ke Danau Toba untuk melakukan advokasi terhadap korban-korban KM Sinar Bangun. Dia sempat berkonfrontasi dengan petugas-petugas Basarnas di lapangan. Ratna memprotes keputusan Basarnas untuk menghentikan pencarian 164 orang korban. Dalam konfrontasi yang berlangsung sengit, Ratna bersikeras bahwa pencarian itu tidak seharusnya dihentikan. Alasannya, lokasi tenggelamnya kapal itu sudah diketahui.

Kemudian terjadilah ‘political show down’ antara Menko Luhut Panjaitan. Ratna datang ke pertemuan dimana Luhut Panjaitan sedang berusaha menjelaskan hasil pertemuannya dengan instansi-instansi yang terlibat dalam penanganan kasus KM Sinar Bangun. Belum dimulai, Ratna Sarumpaet sudah menyela dari belakang. Dia mengaku mewakili ‘keluarga korban’, walaupun belum jelas korban yang mana yang dia wakili. Namun, mantel sebagai aktivis memberinya hak dan kebebasan untuk itu.

Aktivis seperti Ratna merasa bahwa dia bisa bicara apa saja dan menyalahkan siapa saja. Saya kira, adalah sesuatu yang sangat immoral untuk mengeksploitasi kemalangan para korban KM Sinar Bangun untuk kepentingan politik sesaat. Agaknya dia tidak berusaha mencari tahu mengapa pencarian ini dihentikan. Secara teknis, pencarian dan pengangkatan kapal itu sangat sulit dan mahal untuk dilakukan. Mengangkat bangkai kapal dari kedalaman lebih dari 300 meter memerlukan peralatan khusus. Jika ini di laut lepas, mungkin kesulitannya bisa diatasi karena banyak kapal besar dengan crane yang bisa dipindahkan. Namun bagaimana mengangkut peralatan tersebut ke dataran tinggi Danau Toba? Namun itu rupanya tidak penting untuk dia.

Ratna Sarumpaet adalah sebuah figur yang antik. Aktivismenya meledak-ledak. Dia dengan bangga mengenakan mantel pembela rakyat kecil dan miskin, namun ketika mobilnya diderek oleh petugas Dishub DKI karena dianggap melanggar parkir, dia bisa langsung menelepon gubernur DKI yang dibantunya dalam pemilihan.

Sekali lagi, kita sulit membedakan aktivisme Ratna Sarumpaet dengan politiknya. Juga dengan segala macam keistimewaan yang lahir dari klaim aktivismenya itu. Satu-satunya cara kita untuk memahaminya adalah dengan meneropongnya lewat optik politik. Ratna Sarumpaet adalah bagian dari kelas politik Indonesia yang memakai aktivismenya untuk tujuan politiknya. Sesederhana itu.

Ratna Sarumpaet pun adalah bagian dari oposisi. Dia pun menyambut baik dan mengasosiasikan dirinya dengan gerakan #2019GantiPresiden. Dua peristiwa yang terjadi di dua tempat dan terkait dengan gerakan oposisi ini mungkin tidak nyaman untuk pendukung Presiden Jokowi. Dan ini bukan hanyalah awal dari sebuah gerakan politik. Saya bisa menduga bahwa gerakan ini akan membesar. Dua kejadian ini hanyalah hidangan pembuka (appetizer). Hidangan utamanya belum keluar.

Gerakan #2019GantiPresiden bukan tanpa kelemahan. Salah satu yang terbesar adalah yang paling sederhana: diganti dengan siapa? Pertanyaan ini sudah sering dilontarkan. Memang hingga saat ini belum terlalu jelas siapa wajah yang akan ditampilkan untuk memimpin oposisi terhadap Presiden Jokowi. Kalau pun ada, mereka adalah pemain-pemain lama yang itu-itu saja.

Untuk generasi yang berumur 35 tahun, Prabowo Subianto sudah menjadi kandidat presiden atau Wapres sejak mereka boleh memilih. Semua orang tahu akan ambisi Prabowo. Hingga saat ini, dia adalah kandidat presiden terkuat. Dia didukung partai yang dia ciptakan sendiri. Di tahun 2016, dia ikut membidani kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno untuk jabatan gubernur DKI Jakarta. Saat itu dia membangun koalisi partainya dengan partai-partai Islam, khususnya dengan PKS. Dia percaya, koalisi ini mungkin akan berhasil menaikkannya menjadi presiden pada 2019. Kenyataannya, koalisi ini berjalan cukup baik dan cukup sukses di daerah-daerah.

Demikian juga Amien Rais, yang tampaknya “terinspirasi” oleh keberhasilam Mahathir Muhammad menjadi PM Malaysia di umur 92 tahun. Namun Amien Rais lupa bahwa Mahathir bisa naik karena Anwar Ibrahim sudah meletakkan dasar-dasar organisasi yang kuat untuk Pakatan Harapan. Dia juga lupa bahwa pada Pilihan Raya di Malaysia 2013, Pakatan Harapan sudah memperoleh suara terbanyak namun kalah dalam pemilihan sistem distrik karena gerrymandering (istilah ini saya jelaskan lain kali) yang dilakukan Barisan Nasional. Amien Rais tidak memiliki ketekunan untuk membangun organisasi seperti itu. Memang benar dia ikut mendirikan PAN. Namun dia tidak membesarkan PAN dan tidak meletakkan secara jelas apa yang dimaui partai ini. Amien Rais kelihatan memproyeksikan dirinya jauh lebih besar dari PAN. Itu pun dia malas mengorganisasi koalisi yang akan mengangkatnya menjadi kandidat presiden yang kuat.

Sekalipun gerakan #2019GantiPresiden hanya serupa janji kosong yang hingga sekarang belum diisi, bolehkah pendukung Jokowi optimis bahwa ancaman masih jauh?

Optimis boleh saja. Seperti yang tampak sekarang. Pendukung Jokowi sangat yakin akan menang. Saya sendiri, tidak terlalu yakin. Untuk saya, tergantung pada siapa yang akan dicalonkan pihak oposisi. Yang kedua, tergantung apakah kandidat dari oposisi bisa menyatukan koalisi anti-Jokowi ini.

Jika Prabowo Subianto berhasil menyatukan koalisi anti-Jokowi, seperti tahun 2016 dia berhasil menyatukan koalisi anti-Ahok, maka jalan dia ke kursi kepresidenan terbuka lebar. Orang mungkin beargumen bahwa partai-partai pendukung Jokowi itu solid. Gubernur-gubernur yang baru terpilih sebagian besar menyatakan kesetiaan pada Jokowi. Apakah itu sebuah jaminan? Sama sekali tidak. Koalisi yang saat ini mendukung kekuasaan Jokowi adalah koalisi yang sangat rapuh. Begitu mereka melihat bangunan koalisi Jokowi ini sedikit saja retak, mereka akan segera melompat keluar.

Karenanya gerakan #2019GantiPresiden perlu segera merapatkan barisan. Bila perlu mencari kandidat yang muda, dianggap inspiratif, dan diterima semua golongan koalisi. Calon yang ideal untuk itu sebenarnya, tidak lain dan tidak bukan, adalah Anies Baswedan. Hanya saja, hampir sepuluh bulan Anies berkuasa sebagai gubernur DKI, dia tidak tampak melakukan apa-apa.

Satu-satunya prestasi terbesar Anies-Sandi adalah menyalahkan semua ketidakberesan pada administrasi Ahok-Jarot. Tidak ada terobosan. Tidak ada pembaruan. Tidak ada gebrakan. Sama sekali tidak inspiratif dan keluar dengan ide-ide baru. Saya berjalan ke banyak daerah sewaktu Ahok menjadi gubernur. Kentara sekali, administrasinya menjadi inspirasi bagi daerah-daerah. Hal yang tidak saya dapati di bawah administrasi ini.

Seandainya saja, argumen yang dipakai dulu untuk menaikkan Anies-Sandi “pemerintahan yang bersih dan baik tanpa mulut kotor’ itu benar-benar bisa dijalankan, saya kira Anies Baswedan akan dengan gampang menyandang mantel koalisi oposisi Islam-Nasionalis.

Namun kekuatan gerakan #2019GantiPresiden tidak bisa diremehkan. Ini adalah gerakan yang menjadi bagian dari strategi mobilisasi massa. Akan ada banyak jalan sehat-jalan sehat yang akan digelar di seluruh Indonesia. Juga pengajian dan tabligh-tabligh akbar. Nantikanlah kehadirannya di kota Anda!***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.