Kampung impian (Architecture Sans Frontières Indonesia). Kredit foto: Fiveprime
DALAM tulisan sebelumnya di media ini, perkara partisipasi dalam konteks profesi arsitektur sudah dibicarakan oleh Martin Suryajaya dan Andrea Fitrianto. Tidak cukup ruang dan waktu untuk menanggapi kedua tulisan ini secara detil dan juga menyeluruh, saya bermaksud untuk mengembangkan sekaligus mengkritik beberapa argumen kedua kawan ini. Intinya, saya rasa perkara partisipasi ini harus dibedakan dengan eksplisit, untuk mudahnya menjadi dua ranah kunci, yaitu partisipasi dalam praktik profesi atau partisipasi dalam sistem produksi ekonomi dan sosial. Keduanya saling berkaitan, tapi, sekali lagi, berbeda. Pembedaan ini menjadi penting ketika kita sadar bahwa, ngapain kita repot partisipasi kalau sistemnya bikin kita sengsara? Tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pemaknaan diskusi Martin dan Cakcak – sapaan akrab Andrea, perspektif radikal partisipasi, soal kategori negara dan rakyat. Saya memberikan beberapa tautan bacaan lain dalam pemaparan berikut, yang kebanyakan adalah tulisan saya sendiri. Sumpah mati, ini bukan glorifikasi pemikiran diri sendiri. Alasannya, saya agak malas berpanjang-panjang.
Bagaimana ceritanya Martin dan Cak-cak bisa bertemu?
Pertemuan Martin dan Cak-cak tidak akan terjadi tanpa aktivitas Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID). Martin diundang oleh Cak-cak untuk mengisi diskusi dalam pertemuan kolektif anggota ASF-ID. ASF-ID adalah, harus diakui, salah satu bentuk kristalisasi pemikiran anti-teknokrasi di Indonesia yang gaungnya bergema besar pada gerakan-gerakan lingkungan hidup, mulai dari kasus Kedung Ombo dan kasus perampasan tanah lain, serta represi dan kekerasan terhadap petani. Salah satu tokoh yang kritis pada masa itu adalah Y.B. Mangunwijaya, yang juga adalah seorang teknokrat lulusan sekolah yang teknokratik banget di Aachen, Jerman. Lalu apa artinya?
Artinya, pertama, diskusi soal partisipasi ini berangkat dari praktik yang konkrit, praktik berorganisasi orang-orang muda yang mencoba melawan praktik profesi arsitektur yang mumpuni di perkotaan Nusantara dan kota-kota dunia – mumpuni namun tidak emansipatif melawan ketidakadilan dan kemiskinan. Cak-cak mengundang Martin bukan karena ia juga seorang arsitek atau teman nongkrongnya di Bandung, tetapi karena Martin keren – sudah menulis buku soal sejarah uang dan mata uang, serta pemikiran-pemikiran filosofis kiri lainnya. Artinya, kedua, proses dalam praktik berkarya kawan-kawan ASF-ID melampaui praktik keteknisan material belaka, yaitu dengan melibatkan praktik berfikir, konseptual, mencoba berdialog dengan praktisi lain di luar disiplin ilmunya. Pesan moralnya adalah, jangan musuhi kaum teknokrat, tapi dukunglah upaya mangunan, yang mengembalikan perkara teknokrasi pada keharusan material-sosial lingkungan tempat kita hidup. Refleksi saya yang lebih panjang untuk persoalan etika profesi dapat dibaca pada tautan berikut, sebagai dukungan untuk kongres ASF-ID dan surat dukungan untuk kawan-kawan Kristen Hijau.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Cak-cak, yang sudah bekerja bersama beberapa kolektif arsitek komunitas di Indonesia, Philipina dan Thailand, melibatkan warga dalam proses merencanakan dan mendesain lingkungan hidupnya adalah proses yang kunci. Alasan dasarnya sederhana, yaitu para teknokrat ini berasal dari kelas sosial kaum beruntung, jika bukan beruang, sehingga untuk memahami persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi sosial yang ada, mereka harus menjalani proses pedagogi yang berbeda dari proses belajar dalam sekolah yang teknokratik banget, seperti UGM, UI, dan ITB maupun Universitas Cendrawasih. Proses pedagogi alternatif ini ada pada interaksi dengan warga, seperti warga kampung tempat kawan-kawan ASF-ID berkarya. Ini bukan proses karitatif, tetapi proses membongkar struktur pendidikan itu sendiri, serta struktur nilai (upah) para teknokrat. Sedikit catatan saya soal ini dapat dibaca di di sini. Proses pedagogi alternatif ini tentunya tidak mudah, karena struktur-struktur besar yang melemahkan bahkan menghancurkannya. Karena itulah, upaya-upaya kolektif kaum teknokrat untuk berorganisasi, seperti ASF-ID, perlu didukung dan diperkuat.
Tradisi mangunan dalam praktif arsitektur di Indonesia tetap hidup, tetapi seperti yang Martin katakan, ‘kecil ya kecil’. Cak-cak menanggapi kurang lebih bahwa yang kecil itu pun, upayanya tidak kecil dan jejaringnya luas. Lalu bagaimana ini dapat didiskusikan, dan dipraktikkan, lebih lanjut?
Radikalisasi proses partisipasi
Bagi saya partisipasi dalam arti melibatkan warga dalam proses profesi disiplin ilmu tertentu adalah satu hal, tapi bagaimana ini dapat memberi ruang bagi warga untuk berpartisipasi ekonomi-politik adalah hal lain lagi. Sebelum masuk kepada hal yang kedua, ada beberapa hal yang harus diluruskan dalam perkara yang pertama.
Partisipasi dalam praktik berarsitektur bukan berarti membebankan tugas pemecahan masalah teknis kepada warga. Kalau setiap menit waktu keluarga miskin berarti untuk meningkatkan ekonomi keluarga, apa tega meminta mereka berkomitmen membuat peta lingkungan hidupnya. Batasnya tipis memang, antara mengeksploitasi tenaga orang miskin dengan transfer pengetahuan, antar-komunitas dan antara warga dan para teknokrat, dan dengan meningkatkan rasa kepemilikan. Dalam banyak kasus, ’serahkan pada ahlinya’ sudah tepat, karena si ahli biasanya sudah digaji. Sudah sekolah, tentu harus bisa berfikir, merumuskan masalah dan mencari solusi. Tapi tentu cara teknokrat menerapkan keahliannya ini harus menjadi persoalan publik, minimal ada kontestasi ide. Ini paling minimal. Singkatnya, makna partisipasi masih harus diterjemahkan secara hati-hati dalam berbagai konteks.
Dalam artikelnya, Martin mengajukan pertanyaan, apakah benar adanya jika dalam proses partisipasi, tumpuan sepenuhnya ada pada kehendak rakyat? Bukankah rakyat bisa salah, ujarnya. Dalam konteks partisipasi dalam profesi arsitektur, jawabannya rakyat sangat bisa ’salah’ dalam merumuskan preferensi atas ruang fisik tempatnya merajut kehidupan. Ivana Lee pernah bercerita pada saya, pengalamannya bekerja dengan Ciliwung Merdeka dalam memfasilitasi rumah panggung untuk menghindar dari banjir serta membuat ruang baru untuk parkir gerobak dagangan. Warga sulit merumuskan apa yang mereka inginkan, karena potret rumah yang keren adalah yang seperti dalam kebanyakan acara televisi, rumah bata pada lantai dasar. Namun setelah dibangunkan rumah contoh, barulah warga dapat menilai kelebihan rumah panggung.
Dengan kata lain, proses interaksi teknokrat dengan warga yang saya sebut sebelumnya sebagai bentuk pedagogi alternatif, adalah proses belajar dua arah. Warga juga perlu belajar. Sayangnya dalam diskusi antara Martin dan Cak-cak, contoh yang digunakan kurang tepat, yaitu mengenai lantai tiga yang didedikasikan untuk ruang publik ternyata diubah menjadi kamar keluarga. Saya pikir kurang tepat jika ini dilihat sebagai nilai individualitas yang meninggalkan nilai kolektif. Jangan-jangan memang kebutuhan unit hunian memang kurang dibandingkan jumlah keluarga komunitas terkait. Tentu makna kebutuhan individu vis a vis kebutuhan kolektif adalah kontestasi konstruksi sosial. Ini adalah sebagian substansi yang harus dirumuskan dalam proses pedagogi alternatif.
Lalu sekarang pertanyaannya, jika semua keluarga di sebuah komunitas sudah ikut gotong royong berarsitektur, apakah semuanya akan bahagia dan sejahtera? Kemungkinan besar jawabannya tidak. Ada keterbatasan proses partisipasi pada ranah ini. Persoalan partisipasi ekonomi-politik (ekopol) tidak teratasi. Hanya melalui partisipasi politik, hak-hak yang politis-material dapat diperjuangkan, seperti akses terhadap lahan dan pelayanan infrastruktur dasar. Dan tentunya menuju kualitas hidup yang lebih baik secara kolektif. Untuk ini, dalam kesempatan lain saya pernah menulis, pentingnya kepemimpinan kolektif urban melampaui partisipasi dalam politik elektoral.
Kepemimpinan kolektif adalah bentuk partisipasi yang lain, yang adalah tugas besar melampaui koalisi teknokrat dan warga, tapi bukan berarti koalisi yang terakhir ini tidak penting. Contoh di Brazil, untuk mencapai ide yang lebih berkesejahteraan dan demokratis, prosesnya harus dikawal sampai ke tingkatan yang paling teknis. Ide hunian rakyat harus bisa diwujudkan dalam tataran operasional, sebagaimana yang telah saya ulas di sini. Marcelo Lopes de Souza seorang akademisi dalam ilmu perencanaan kota di Brazil pernah menulis bahwa gerakan hak atas kota tidak bisa anarkis, melainkan harus mengakui peran negara, negara yang berfungsi dengan dikawal oleh gerakan sosial rakyat.
Soal negara dan rakyat
Terakhir, saya ingin menaggapi istilah rakyat dan warga dalam tulisan Martin. Saya rasa ide rakyat versus negara tidak bisa disamakan dengan warga versus teknokrat. Perkara koalisi antara warga dan teknokrat adalah lingkup yang parsial, sementara rakyat dan negara adalah himpunan yang lebih universal. Teknokrat yang tercerahkan, bagaimanapun akan cenderung hanya mengadvokasi persoalan warga yang didampinginya. Lalu bagaimana warga miskin lain di luar koalisi teknokrat-warga tertentu? Menjawab pertanyaan inilah kemudian, partisipasi dalam kepemimpinan kolektif menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari partisipasi untuk menyelesaikan persoalan sosial-fisik jangka ’pendek’. Saya sendiri tidak bisa menuliskan lebih konkret, setidaknya sampai saat ini, apa itu dan bagaimana bentuknya kepemimpinan kolektif dalam konteks kota-kota Indonesia. Yang jelas ia adalah sebuah demokrasi yang inklusif dan mampu masuk dalam sistem saat ini yang terus menerus menciptakan kemiskinan, mere-produksi proses perampasan lahan, dan menjauhkan rakyat dari pemenuhan kebutuhan dasar serta aspirasi kehidupannya. Masuk dalam sistem dan mengubahnya tentunya. Dan tentunya secara kolektif, sama sekali bukan membangun karir politik elite.***
Penulis adalah pekerja kreatif di salah satu universitas di Denmark, saat ini tinggal di Copenhagen