Menyelamatkan Protestan

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Jawaban.com

 

PERNAHKAH Anda mendengar nama Peter Aloisson? Dialah pencipta salah satu telepon genggam termahal sedunia. Karyanya, Diamond Crypto SmartPhone, dibanderol dengan harga 1,3 juta USD. Kalau dirupiahkan, uang segitu, cukup untuk menenggelamkan gedung DPR dengan lautan cendol dan ribuan butir bakso.

Hape ini jadi mahal bukan karena menawarkan kecanggihan sebuah alat komunikasi. Bukan juga karena kemampuannya untuk menyadap telepon para koruptor, misalnya. Bukan juga karena dia bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan makhluk halus di dunia lain. Apalagi untuk mengharapkannya menerjemahkan sinyal-sinyal cinta dari si dia pujaan hati. Tidak, bukan itu. Secara kinerja, gadget ini tergolong biasa saja. Dengan hanya didukung jaringan GSM, ponsel ini paling banter hanya bisa menelepon dan mengirim SMS doang.

Gawai ini menjadi super mahal karena lima puluh berlian yang melapisi setiap sisinya. Apalagi, sepuluh diantaranya adalah berlian biru. Sebagian besar badannya terbuat dari platinum 950. Navigation key terbuat dari rose gold 18 karat. Ada banyak material khusus lain yang dipadupadankan untuk membuat ponsel mega eksklusif ini. Kebanyakan diantaranya, bahkan, tidak saya kenali. Namun, bayangkan saja deretan berliannya. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita mengerti mengapa harga telepon seluler itu bisa menjulang tinggi sampai puncak Gunung Everest.

Diamond Crypto SmartPhone bisa dilukiskan sebagai hape dengan “Baju superior; tapi performa inferior”. Kira-kira, begitu jugalah gambaran tentang gerakan Protestan teranyar zaman sekarang.

 

Protestan Sebagai Pilar Peradaban Kebudayaan Barat

Kristen Protestan lahir dari rahim Reformasi yang diprakarsai Martin Luther pada 1517 di Jerman. Sebuah peristiwa sejarah yang diyakini sebagai salah satu tonggak berdirinya kebudayaan Eropa. Bunyi palu yang memaku “Sembilan Puluh Lima Tesis” di pintu gereja Wittenberg, bak suara lonceng pertanda dimulainya pesta untuk merayakan kebebasan. Wajah murung yang ditawarkan Abad Kegelapan, seketika berubah menjadi ceria. Sebab pasung hukum agama telah patah karena keselamatan bukan lagi datang dari gereja, tapi pembenaran hanya oleh iman.

Sejak saat itu, Reformasi digambarkan secara bombastis. Protestanisme disebut-sebut sebagai bahan bakar yang memacu kemajuan Eropa. Tadinya, teknik arsitektur dipimpin oleh Mesir. Geometri, ilmu alam, dan obat-obatan dikuasi India. Keilmuan historis berkembang pesat di Cina. Musik bertumbuh cepat di Asia. Eropa nyaris ketinggalan disegala lini.

Lalu datanglah para Reformator. Mereka melahirkan etos kerja Protestan yang merangsang gejolak rasionalisme, sistematisasi, dan spesialisasi (RSS) kian membara. Dengan trisula ini, mereka menemukan sains modern. Mesir, Cina, dan India menghasilkan pengetahuan hanya dari pengalaman empiris belaka. Namun dengan RSS, Eropa berhasil menemukan metodologi. Dengan metodologi, alam tidak hanya untuk diamati, tapi bisa dimanipulasi. Inilah cikal bakal teknologi yang membuat Mesir, Cina, dan India terlewati. Artinya, peradaban Barat berganti persis ketika Protestanisme berdiri.

Ketika Luther mengumandangkan Sola Fide, maka percakapan tentang surga dan akhirat selesai. Fokus orang-orang yang dibenarkan karena iman, seratus persen, tertuju pada aktivitas dunia material. Legitimasi dari anugerah keselamatan itu dipentaskan lewat kerja untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10.31). Apalagi, ketika Calvin mendeklarasikan doktrin predestinasi. Sebuah konsep yang mengatakan bahwa Allah sudah memilih orang-orang yang diselamatkan. Maka bukti bahwa seseorang sah dipilih selamat diperlihatkan lewat tindakan konkret dalam keseharian. Mengurusi dunia menjadi sebuah tugas panggilan dari surga yang absolut. Itu dikerjakan bukan untuk mencari keselamatan, tapi efek dari anugerah keselamatan itu sendiri.

Protestanisme ujungnya menghasilkan orang-orang yang kreatif dan memiliki keterampilan. Jadi tak heran jika Max Weber melihat ada relasi antara etos kerja Protestanisme dengan semangat kapitalisme. Namun perlu diingat, Weber tidak pernah mengatakan bahwa etika Protestan sebagai biang kerok kapitalisme. Dia malah mengatakan bahwa tesis seperti itu adalah kesimpulan yang bodoh. “Kenyataan bahwa bentuk-bentuk penting yang khusus dari organisasi bisnis kapitalis yang dikenal secara luar,” kata Webber, “ternyata lebih tua jika dibandingkan dengan Reformasi merupakan suatu penyangkalan yang cukup dari pernyataan semacam itu.”[1]

 

Inferioritas Gereja Protestan

Namun, superioritas sejarah itu – dominasi Protestanisme dalam membentuk peradaban Barat – kini hanya tinggal kenangan. Apa yang ditunjukkan oleh gereja-gereja Protestan, dewasa ini, malah sangat memprihatinkan. Dia terjebak dalam pusaran arus minority complex dan inferioritas yang mendalam. Dulu, corak utama Protestanisme adalah berkarya di dunia dalam dimensi ekonomi politik. Sekarang, kita malah menarik diri darinya. Bahkan, gereja Protestan menganggap bahwa itu kotor. Gereja Protestan malah memilih untuk menarik diri dan bersembunyi.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Mark A. Noll, seorang sejarawan Kristen, mengungkap sebuah fenomena menarik dalam konteks Amerika Utara. Walau melihat dari perspektif Injili, setidaknya temuannya juga bisa mewakili kondisi Protestan secara keseluruhan.[2]

Dia melihat bahwa kekristenan di Amerika telah gagal. Itu terbukti secara luas karena mereka telah mengabaikan universitas, seni, dan bidang-bidang budaya “tinggi” yang lain.[3] Mereka yang paling mempercayai Alkitab, kata Noll, justru adalah orang-orang yang telah mengabaikan analisis yang tajam mengenai alam, masyarakat manusia, dan seni. Sehingga, tidak mungkin mengharapkan orang Kristen untuk memikirkan dunia ini. Misalnya, tentang teka-teki fisika nuklir modern, reformasi perawatan kesehatan yang begitu kompleks, atau mungkin tentang perdebatan mengenai buku apa yang ditetapkan sebagai norma sastra. Dulu, orang Protestan – Kant, Hegel, Kierkegaard – selalu jadi pengendali agenda intelektual Eropa dan Amerika. Sekarang, kendali wacana itu sudah berpindah pada Derrida, Foucault, Marx, dsb. Para pemikir Kristen sama sekali sudah tidak mengambil tempat didalamnya.

Gambaran di atas, bisa jadi sketsa Protestan juga, secara khusus di Indonesia. Entah kenapa, semangat untuk memprotes keadaan surut drastis. Apalagi menuntut sebuah solusi pembaharuan, jelas merupakan sesuatu yang mustahil. Wajah Protestan kita menjadi sesuatu yang membosankan, menjengkelkan, bahkan memuakkan. Kita begitu mencintai status quo sambil mengorientasikan seluruh daya pada kehidupan setelah kematian. Seolah, kehidupan “di sana” itu jauh lebih nyata daripada realitas di sini.

Sepertinya, kita menjadi sangat tidak Protestan. Kita seolah merasa sudah kehilangan keyakinan pada anugerah absolut pembenaran oleh iman itu. Kita, rasa-rasanya, terlalu mencemaskan status di surga “sana”. Sehingga, tidak mengherankan jika, di berbagai gereja, tema populer selama memperingati 500 tahun Reformasi, 31 Oktober silam, selalu berkutat pada wacana-wacana soteriologis: justification by faith yang terdistorsi pada dimensi surgawi belaka.

Padahal, topik ini seharusnya sudah selesai dipercakapkan setengah milenium yang lalu. Semestinya kini, kita harus beranjak pada topik yang lebih sentral, “What next after been saved?”

 

Bagaimana Peran Protestanisme dalam Ragam Permasalahan Bangsa?

Rentetan konflik agraria yang terjadi di Indonesia, misalnya, mengandung persoalan teologis tentang tanah. Sebagai orang yang sudah diselamatkan, bagaimana kita melihat perlawanan petani Kendeng terhadap usaha pendirian pabrik semen? Bagaimana seharusnya tanah dikelola? Dalam akar pemikiran Protestan, siapakah pemilik tanah sesungguhnya? Masalah ini sedang menanti jawaban dari gereja Protestan. Sebab respon itu sebagai pembuktian bahwa kita adalah rekan sekerja Allah yang memelihara alam semesta ini (Kejadian 1.28). Gereja Protestan sedang ditunggu perannya untuk bertanggung jawab menjaga dunia ini tetap dalam keadaan baik (Kejadian 1.31) sampai penggenapan pada kota Yerusalem baru (Wahyu 21).

Lihat juga tentang kondisi eksploitatif buruh dan tenaga kerja kita. Apakah dalam pengisapan itu Allah dimuliakan? Apakah di sana berlaku kesetaraan manusia di hadapan Allah yang dicipta segambar-rupa dengan Dia? Bagaimana akal budi Protestan merumuskan tentang makna kerja yang sebenarnya? Di tengah kekeringan ideologis gerakan pekerja, apakah gereja Protestan harus berpartisipasi dalam mendidik kesadaran kelas buruh? Atau kita hanya mencekoki mereka dengan banalitas “ucapan syukur” atas segala ketidakadilan itu?

Realitas perempuan sebagai makhluk tertindas di antara yang tertindas pun harus kita soroti. Patriarkisme, yang kita puja hari ini dan merasuk deras pada kebudayaan – bahkan kekristenan kita, jelas-jelas mencurangi mereka. Sialnya, banyak dari kita beranggapan bahwa merendahkan perempuan, dalam segala lini kehidupan, adalah sesuatu yang alamiah. Kita bahkan sering merasa tidak berdosa ketika memperlakukan perempuan sebagai “laki-laki yang tak sempurna”. Lebih parah lagi, kita bahkan kerap menyitir ayat Alkitab sebagai legitimasi teologis bahwa perempuan memang tak usah banyak bicara. Dalam sejarah panjang Protestan, yang memuja akal sehat, sehatkah situasi ini?

Semua kekacauan ini semakin diperparah dengan kondisi politik kita – yang malah mirip dagelan. Politik identitas dengan ujung tombak isu primordial menjadi primadona. Di Indonesia, memilih calon pemimpin tak perlu menggunakan rasionalitas. Kita hanya perlu mengusik sentimen religius. Selanjutnya, tunggu saja kantung-kantung suara itu akan penuh dengan sendirinya. Para calon yang mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah, misalnya, tak perlu repot menyediakan program yang masuk akal. Karena diskursus tak pernah ada. Itu hanya makanan para elite dan tukang tivi yang haus iklan. Apakah dalam pemikiran Protestan, politik (elektoral) memang selucu itu?

Di saat Anda membaca artikel ini, ada seseorang di seberang pulau sana, sedang lari menghindari kejaran tentara. Mungkin ada juga yang sedang menahan aliran darah yang mengucur dari lehernya akibat serempetan timah panas. Bahkan, mungkin ada juga yang sudah kembung mengambang di tengah lautan. Bukan, itu bukan adegan dalam film Dunkirk. Itu kejadian nyata di Papua.

Apa kabar kau Papua? Negeri kaya, tapi setiap hari menyetor nyawa. Populasi penduduk aslimu, kini tinggal hanya sepertiga. Emasmu diambil paksa, tapi hidupmu selalu dibiarkan merana. Semua kita menutup mata, katanya demi keutuhan nusantara.

Apa kabar kau Papua? Apakah Tuhan masih dengar jeritmu dalam doa? Apakah suaramu masih cukup keras untuk membelah angkasa? Apakah tanganmu masih bertenaga untuk menggapai asa? Atau jangan-jangan semua itu membentur langit-langit megah gedung gereja?

Di atas semua isu ini, apa yang Protestan tawarkan? Karena sudah diselamatkan, satu-satunya tugas Protestan adalah untuk memuliakan Allah. Kalau begitu, bagaimana Allah bisa dimuliakan di atas semua penindasan dan ketidakadilan struktural ini?

Sayangnya, wacana Protestan di Indonesia tidak/belum pernah memberikan jawaban yang memadai. Kita, mungkin, bahkan tidak pernah memikirkannya secara teologis. Dengan begitu, tak salahlah kalau dibilang bahwa kita sudah kehilangan semangat Protestanisme itu sendiri.

Semua permasalahan bangsa di atas akan coba dikupas – mungkin tidak tuntas – digelaran simposium peringatan 500 tahun Reformasi Protestan. Diskusi akan dimulai pada 12 November 2017, di Gedung Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Salemba, pukul 14.00 WIB. Dari perbincangan itu, diharapkan kita lebih memahami permasalahan bangsa dan menghayatinya dengan cara Protestan. Jika Tuhan berkehendak, semoga kita direstui untuk mengambil sikap dan aksi nyata “supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin. “ (1 Petrus 4.11).***

 

Penulis adalah pegiat diskusi selasaan Gereja Komunitas Anugerah-Reformed Baptist Salemba, anggota Comite Central simposium 500Tahun Reformasi Gereja

 

————

[1] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme ( Yogyakarta: Jejak, 2007), hlm. 97.

[2] Saya merasa Injili dan Protestan sebenarnya berakar pada tradisi yang sama. Keduanya adalah keturunan langsung dari peristiwa Reformasi. Jadi, menurut saya, secara garis besar kedua denominasi kekristenan ini tidak perlu dibedakan secara diametrik.

[3] Mark A. Noll, Skandal Pemikiran Injili (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 3.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.