Agenda Arsitektur Partisipatoris: Tanggapan untuk Martin Suryajaya

Print Friendly, PDF & Email

 

Bahasa Arsitektural Rumah Contoh Kampung Tongkol (Foto oleh Andrea Fitrianto)

 

“AKU selalu impikan sebuah pena yang juga adalah jarum suntik.”― Jacques Derrida

PADA sebuah pembahasan mengenai Rumah Contoh Kampung Tongkol, yang diselenggarakan oleh sebuah kelompok diskusi arsitektur di pinggiran Jakarta Barat, seorang peserta diskusi melontarkan pertanyaan yang nyaris eksistensial bagi seorang arsitek; jika pensil diserahkan kepada warga, apakah dengan demikian arsitek melepaskan segenap otoritasnya terhadap karya? Dalam kesempatan lain di Bandung, setelah diketahui bahwa penggunaan ruang pada lantai-3 Rumah Contoh tidak sesuai dengan tujuan sosial arsitek-pegiatnya, Martin Suryajaya melontarkan sebuah pertanyaan yang serupa; seolah-olah ada tarikan di antara partisipasi versus kompetensi sehingga menjadi hambatan utama bagi tujuan arsitektur partisipatoris, yang bahkan bermuara pada petanyaan filosofis seputar sumber kebenaran dalam praktek (arsitektur) yang demokratis; apakah rakyat/warga bisa salah?

Kedua bentuk penalaran/pertanyaan tersebut di atas tidak lain menjelaskan status dan privilese arsitek dalam kerangka budaya yang menghidupinya, yakni bahwa arsitek adalah profesi yang dipercaya oleh klien atau konstituennya dalam rangka mewujudkan suatu kebutuhan akan ruang, wujud, estetika, beserta seperangkat nilai-nilai. Maka, proses arsitektural berurusan dengan agensi dalam sebuah upaya perwujudan mimpi agar menjadi kenyataan. Sesuai relevansi perbincangan saat ini terkait sebuah proses arsitektur partisipatoris di Kampung Tongkol, Kerapu, dan Lodan, mimpi siapakah yang arsitek-pegiat coba wujudkan?

Seperti sudah dipahami bersama, arsitektur partisipatoris adalah bentuk kontribusi arsitek bekerja bersama warga dalam rangka membidani lahirnya perubahan sosial. Pada arsitektur partisipatoris juga dicermati posisi khusus klien yang bersifat non-profit dan non-privat. Dalam hal ini, klien adalah kampung, komunitas, akarrumput, atau kelas. Yang demikian ini seringkali dalam posisi marjinal, miskin, atau tertindas di dalam tatanan sosio-ekonomi yang ada atau status quo. Kategori klien ini dengan serta-merta menjadikan kerja arsitektur partisipatoris sebagai suatu bentuk kerja politik di tengah relasi kuasa yang asimetris. Demikian, tulisan ini tidak mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah disebut di atas, namun menundanya sembari berusaha menilik kembali seperti apa mimpi atau agenda arsitektur partisipatoris.

Seperti halnya seni, arsitektur membutuhkan patronase. Dahulu kala, patronase tersebut merupakan pancaran kekuasaan kaum ningrat kerajaan beserta segenap sistim kepercayaan mereka. Satu masa kemudian patronase diberikan oleh negara bangsa yang baru saja berdiri, sehingga dibutuhkan sebentuk identitas keindonesiaan. Pada masa berikutnya fasisme militeristik menjadi patron arsitektur nasional, misalnya lewat jogloisasi. Saat ini patronase tersebut didapat dari korporasi multinasional yang memiliki kantor regional di kota-kota besar.

Arsitektur dominan masa kini adalah pancaran modal kapital. Pelembagaan arsitektur Indonesia oleh komunitasnya dengan susah payah dibangun di atas iklan komoditas bahan bangunan dari semen hingga kosmetika cat tembok. Kesetiaan terhadap bahasa estetika dilestarikan lewat wahana pendidikan tinggi yang begitu saja menerima keyakinan estetik yang dominan, tanpa pertanyaan, tanpa syarat, layaknya selera borjuis kecil yang diproyeksikan kepada khalayak sehingga seolah-olah menjadi sesuatu yang universal (Barthes, 1972). Demikian halnya konstruksi budaya populer seperti yang dijelaskan oleh budayawan Roland Barthes.

Arsitektur punya beban sejarahnya sendiri. Namun, jika pandangan konvensional yang menempatkan posisi diametral arsitek vis-à-vis klien menjadi rujukan, maka dikotomi di antara keduanya menjadi tidak terelakkan dan pada gilirannya menjadi justifikasi mengapa etika, moralitas, atau ‘sumber kebenaran’ pada akhirnya menjadi fokus bahasan dan membuat segala sesuatunya tampak hitam-putih; jika tidak bersaing maka setidaknya bertolak-belakang, dan sudah tentu bernalar pada asas pembedaan. Sikap konservatisme ini menjadi penyebab kegagalan subyek dalam memahami posisinya dalam konteks kerja yang penting dan genting saat ini, menjauhkan segala potensi seputar kemungkinan perubahan sosial yang ada. Arsitek, pegiat, pengamat, maupun kritikus yang mengambil perspektif berjarak di atas langit yang transendental bertangung-jawab terhadap persepsi yang terbentuk terkait kampung atau komunitas kontra entitas lain di luar itu, misalnya saja negara.

Jika saja jalan kebenaran sungguh merupakan sebuah boulevard lebar yang berhiaskan barisan pohon palem dan lampu jalan, lalu kedua sisinya dibatasi oleh perdu yang selalu dipangkas rapih, maka sudah pasti jalan tersebut tidak pernah tersedia dan tidak akan pernah diperlukan oleh rakyat di republik ini.  Jalan yang ada dan selalu hadir bagi mereka adalah lorong-lorong sempit berliku dengan ratusan simpangan seperti yang terbentuk di kampung-kampung di kota-kota besar. Struktur yang demikian ini sungguh omnipresen. Demikian pula jalan perjumpaan bagi arsitek dan warga dalam menjalani sebuah proses partisipatoris menuju sebuah impian bersama, jika impian yang dimaksud memang ada. Namun demikian, perjumpaan arsitek dengan warga saat bergotong-royong mengerjakan komponen rangka atap, misalnya, menjadi sebuah momen yang membuka kesempatan bagi arsitek sebagai anggota kelas tengah untuk berempati lewat drama kehidupan sehari-hari warga.

Demikian pula jika ruang pada lantai ketiga Rumah Contoh yang dirancang sebagai ruang kolektif dan setelah dihuni justru menjadi gudang untuk menaruh berbagai barang tetek-bengek. Di sana tidak ada tataran moral maupun etis yang menjadikan dua fakta ini harus bertentangan. Keduanya baik dan benar bagi subyek yang terlibat pada masing-masing waktu. Dengan kata lain, kebenaran arsitektural adalah aktual dan sementara, dan tidak pernah ada kebenaran yang hakiki. Perkara ini mudah dipahami jika arsitektur dipandang sebagai sebentuk teks yang menyampaikan pesan, namun juga menandakan jejak (Derrida, 1976). Seperti sebuah narasi dengan kesimpulan yang selalu tertunda dan bahwa tidak ada apapun di luar teks. Karena angin yang bertiup di gurun pasir, maka bukit dan lembah selalu bertukar tempat. Sebagai konsekuensi, apapun tindakan yang telah diputuskan dan ditempuh bersama oleh warga kampung untuk bertahan di tengah kehidupan kota yang keras, sebentuk gurun lain, adalah rangkaian keputusan-keputusan rasional dan dengan demikan dapat dibenarkan.

Lewat dekonstruksi, Jacques Derrida sebagai salah satu filsuf terkemuka abad-20 mengutuk logosentrisme sebagai biang dari segala masalah bagi umat manusia, yang secara filosofis menjadi sentral dalam alam pikir Barat sejak Plato. Logosentrisme atau kegandrungan akan konsep oposisi biner yang asimetris kemudian menjadi esensi bagi setiap kecenderungan pada kuasa yang otoriter. Ia bermula dari sekadar privilese bagi yang satu terhadap yang lain, namun juga memberi jalan kepada berbagai hal, dari perebutan pasar hingga konflik dan perang. Jika kita sepakati bahwa bahasa adalah medium utama bagi gagasan dan pikiran, sudah saatnya kita beri perhatian pada teks daripada bahasa itu sendiri sebagai sebuah sistem. Dalam hal ini, kepada estetika Rumah Tongkol daripada segala macam konvensi estetis-arsitektural yang mendahuluinya.

Susunan bata ekspos dengan spasi bercat putih yang digoreskan sendiri oleh penghuninya, dibingkai oleh tiang-kolom beton berbalur cat merah. Pada bata ekspos tersusun kusen-kusen kayu yang ramping menyesuaikan dengan ruang yang tersedia dari jarak trafe minimal 1.80 cm. Demikian ini adalah keping bata ekspos yang sama seperti digunakan misalnya oleh Adi Purnomo, bidang beton yang sama direkatkan oleh Andra Matin. Elemen-elemen tersebut tidak hanya sama secara elementer sebagai keping bata dan bidang beton, tetapi juga sama sebagai tanda yang ditautkan secara arbitrer, konvensional, namun juga labil. Sehingga, yang menjadi penting adalah menilik bagaimana pertautan makna ini terjadi dan bagaimana mereka diupayakan.

Estetika Rumah Contoh tidak pernah diangkat lewat ajang promosi properti di televisi setiap Sabtu pagi dengan kredo tautologisnya; Senin harga naik! Ia tidak pernah dikupas lewat kata-kata manis, kalimat berbunga-bunga, bahasa surgawi para kurator di museum dan galeri. Tidak juga ia sempat tampil dalam tabloid dan majalah arsitektur dengan kertas glossy. Namun, sudah direproduksi secara viral lewat jejaring jagat maya melintasi ruang sosial batasan bahasa. Seperti ungkapan Marshall McLuhan, Rumah Contoh adalah medium sekaligus pesan.

 

Asal-usul arsitektur partisipatoris

Mari kita selami sejenak genealogi arsitektur partisipatoris. Di dunia Barat pendekatan arsitektur partisipatoris lahir pada akhir 1960an di tengah berbagai kritik terhadap ideologi pembangunan yang top-down dan deterministik dalam memandang permasalahan dan pengelolaan kota serta permukiman warganya sehingga berulang-kali terjadi penggusuran terhadap kaum miskin. Yang monumental misalnya peruntuhan rumah susun Pruitt-Igoe di Amerika Serikat, dikenal di kalangan arsitek sebagai nisan kematian arsitektur Modern (Jencks, 1977).

Di Inggris, konsep awal arsitektur komunitas tidak terpisahkan dari proyek politik welfare state yang dimajukan sebagai model relasi antara negara dengan rakyat sekitar tahun 1960an. Salah satu respon awal dimulai oleh Ralph Erskine di Newcastle upon Tyne pada tahun 1968 saat 46 keluarga dilibatkan untuk mendesain bersama rumah susun. Pembangunan rumah susun Byker Wall dimulai pada tahun 1969 hingga 1982. Namun, sebuah penelitian di tahun 1976 menunjukan bahwa kurang dari 20% penghuni Byker Wall adalah warga asli. Dengan kata lain, sebagian besar penghuni adalah para pendatang yang mengambil keuntungan dari skema subsidi perumahan.

Di tahun 1973, Bryan Anson bekerja dengan warga Covent Garden di London untuk menentang penggusuran. Setahun kemudian ia mendirikan Architects’ Revolutionary Council (ARC) dan memulai sebuah gerakan arsitektur komunitas. Lewat sebuah konfrensi pers yang nyelenéh, ARC menerbitkan manifesto dan menuntut pembubaran Royal Institute of British Architecst (RIBA) sebagai protes atas minimnya respon lembaga profesi terhadap persoalan yang ada. Sesaat berselang RIBA memulai program Community Architecture Group di tahun 1977, namun justru menjadi sebentuk deradikalisasi terhadap arsitektur komunitas. Pelembagaan semacam itu menjadikan arsitektur komunitas sebagai bagian inheren dari otoritas dan sistim kekuasan, suatu hal yang sejak awal ditentangnya. Akhirnya, isu arsitektur komunitas menguap mengikuti gagalnya konsep welfare state ditelan ideologi neoliberal Thatcherisme yang menikmati masa puncaknya di tahun 1984.

 

Architects Revolutionary Council, London, circa 1975 (sumber: Spatial Agency)

 

Di dalam negeri, nama yang sering menjadi rujukan untuk perkara arsitektur partisipatoris tentunya adalah arsitek-cum-pastor Y.B. Mangunwijaya yang secara akrab dipanggil Romo Mangun. Romo bekerja dengan kampung marjinal di bantaran Kali Code, Yogyakarta mulai tahun 1980 di tengah sistim represif masyarakat Orde Baru. Romo menerapkan kerja arsitektur dan perencanaan untuk berpihak kepada rakyat dalam mempertahakan hak atas tempat di kota. Meski tidak gemar bergaul dan menjaga jarak dengan komunitas arsitektur nasional, kiprahnya dihargai oleh komunitas internasional lewat Aga Khan Award di tahun 1992 dan Ruth and Ralph Erskine Award di tahun 1995. 

Di Bandung, istilah arsitek komunitas (arkom) digunakan di tahun 1980an di antara para mahasiswa dan peneliti di bawah bimbingan Hasan Poerbo. Salah satu wujud peran utama gerakan arkom adalah menjadi relawan fasilitator dalam penyelenggaraan program pembangunan kerjasama internasional yang dibiayai hutang maupun hibah asing. Arkom merupakan bentuk pijakan para mahasiswa dan peneliti muda idealis untuk mendaki tangga karir menjadi konsultan pada lembaga kerjasama pembangunan internasional maupun antar pemerintah.

Lama tenggelam, istilah arkom muncul kembali pada masa rekonstruksi pasca tsunami di Aceh sekitar awal 2005. Pada sebuah kesempatan diskusi lintas lembaga yang diikuti sekelompok arsitek muda, konsep arkom dipaparkan kembali oleh seorang konsultan Bank Dunia. Di antara sekitar duaratus lembaga lokal dan internasional yang membangun rumah bagi para penyintas, Urban Poor Linkage (UPLINK) menjadi salah satu lembaga yang menjalankan pendekatan partisipatoris. Hampir sepanjang waktu UPLINK membuka pintu lebar-lebar agar mudah diakses oleh para penyintas yang memerlukan bantuan dan arahan dalam merencana dan membangun kembali rumah dan kampung mereka (Fitrianto, 2011). Di tengah kebijakan relokasi yang dipaksakan oleh Jakarta, UPLINK memilih untuk berpihak pada rakyat dengan mendukung gerakan kembali ke kampung pesisir woe u gampong merentang jarak kritis dengan dengan otoritas.

Kini arkom kembali menjadi jargon, sebagai magnet bagi kalangan muda agar mau terlibat dalam peran remeh-temeh sembari memoles sepatu citra publik penguasa kota. Pertama diselenggarakan di Bandung tahun 2015 lalu dicoba juga oleh Solo dan Semarang pada tahun-tahun berikutnya, arkom adalah stempel dalam birokratisasi partisipasi perencanaan kota. Demikian, di Indonesia maupun di Inggris arkom hanya bertahan hidup satu dekade untuk kembali terlindas oleh realitas politik populisme. Sebuah keniscayaan nasib arsitek komunitas seperti juga telah terjadi di Kuba, Afrika Selatan, Uruguay, Argentina, dan Peru pada dekade 90an.

Dua tahun berjalan sejak tanda bahaya dibunyikan, warga Tongkol, Kerapu, dan Lodan masih menyuarakan solidaritas demi tegaknya masyarakat sipil dan demokrasi. Dari kertas kerja yang diolah organisasi warga Komunitas Anak Kali Ciliwung bersama relawan jurusan arsitektur Universitas Indonesia tercatat rumah-rumah warga yang telah menjalani proses facelift, perbaikan fasad atau muka bangunan yang terpotong konsensus baru jalur inspeksi. Dari keseluruhan 133 rumah, 127 rumah sudah melakukan renovasi fasad. Lalu, 24 rumah sudah memiliki tangki septik sendiri, dan 60 keluarga sudah tergabung dalam kegiatan pengolahan sampah bersama.

Rantai solidaritas tidak hanya menyambungkan warga dengan para arsitek namun juga dengan organisasi advokasi, pegiat lingkungan, pendidik, fotografer, peminat sejarah, serta seniman. Kemandirian pendanaan juga diupayakan lewat pendirian kelompok tabungan warga, menyisakan satu peran yang belum hadir di kampung, yakni pemprov DKI. Meskipun proses pemilihan kepala daerah akrab dengan kampung ini, pemerintah dan kebijakan masih irelevan dan terasing bagi kampung Tongkol, Kerapu, dan Lodan. Situasi ini seolah-olah menegaskan kembali tesis John Turner, seorang arsitek Inggris yang mendapat pencerahan setelah bekerja di Peru; bahwa hunian yang sesungguhnya hanya mungkin diadakan oleh penghuninya dan bukan oleh negara (Turner & Fichter, 1972). Suatu ungkapan yang cukup familier bagi masyarakat di belahan bumi Selatan namun tentu rancu bagi negara birokratis (Ward, 1987).

Kampung Tongkol, Kerapu, dan Lodan adalah sebuah narasi kecil mewakili perjuangan kampung bantaran kali Ciliwung di ibukota Jakarta dalam merebut hak atas kota (Harvey, 2008) di tengah pergulatan politik penguasaan ruang kota yang dibuat sedemikian sengit sehingga lahan kota lekat dengan atribut semu tentang kelangkaan, sebagai sebuah komoditas untuk ditukar dengan uang dalam skema neoliberalisasi pasar lahan. Sementara itu dalam narasi estetik, Rumah Contoh sudah menjadi pengecualian. Ia menjadi sebentuk dekonstruksi di tengah banalitas dan kejumudan terhadap bahasa arsitektur arus utama yang mapan.

Demikian, cukup alasan mengapa kerja kolektif semacam ini harus terus dilakukan, menjawab agenda arsitektur partisipatoris lewat aksi dan terus bermanuver agar tidak terjebak kooptasi, komersialisasi, dan birokratisasi yang menjadikan arsitek-pegiat menjadi sekadar antek pembangunan atau makelar dalam proses komodifikasi budaya. Mungkinkah?***

 

Andrea Fitrianto, merencana dan merancang arsitektur dengan warga, membangun dengan bambu

 

Kepustakaan:

Barthes, R. (1972). Mythologies. New York,: Hill and Wang.

Derrida, J. (1976). Of grammatology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Fitrianto, A. (2011). Learning from Aceh. In M. J. Aquilino (Ed.), Beyond shelter : architecture and human dignity (pp. 26-39). New York: Metropolis Books.

Harvey, D. (2008). The Right to The City. New Left Review, 53.

Jencks, C. (1977). The language of post-modern architecture. London: Academy Editions.

Turner, J. F. C., & Fichter, R. (Eds.). (1972). Freedom to build : Dweller-control of the housing process. [S.l.]: Collier-MacMillan.

Ward, C. (1987). Community Architecture: What a Time it Took for the Penny to Drop! Built Environment 13(1), 7-14.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.