Paulus, Kabar Baik, dan Agitasi: Racauan Singkat Mengenai Kekristenan

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: deniseludwig.blogspot.com

 

GEREJA dan politik? Dua kata ini, setidaknya di Indonesia, nampaknya adalah entitas yang selalu bercerai di dalam satu kalimat. Gereja memaknai politik sebagai sesuatu yang najis. Sehingga ia selalu ditempatkan jauh dari gereja. Tangan gereja dianggap terlalu suci untuk mengurusi persoalan politik. Terlebih di negara, dimana kekristenan adalah minoritas, wacana politik menjadi sesuatu yang asing. Jadi tidak mengherankan jika politik jarang mendapat ruang dalam percakapan orang Kristen. Apalagi khotbah lewat mimbar setiap hari Minggu.

Berbagai seruan dari mimbar gereja kerap sebatas nasihat generik mengenai spiritualitas. Misalnya pentingnya rasa bersyukur, bersabar, dan menghormati orang tua. Bagaimana perihal “keterlibatan” gereja dengan urusan kemasyarakatan? Paling jauh, gereja hanya menganjurkan berbuat amal dan kepatuhan absolut pada pemerintah. Sementara, persoalan politik cuma bicara seputar Ahok. Dia yang diklaim sebagai perwakilan politikus Kristen nan adiluhung.

Jangan salah, saya tidak menafikan berbagai ceramah dan percakapan tersebut. Itu pun aspek penting dalam kehidupan Kristen. Tapi, apakah betul mutu pembicaraan politik Kristen hanya sebatas itu? Mengapa pula situasi ini menjadi persoalan? Gereja, faktanya, sangat rentan terbawa arus ke wacana politik mainstream. Kekristenan gampang disetir pada wacana lesser-evilism ataupun politik pluralisme-sekularisme. Situasi ini membuat gereja tidak punya identitas politik yang kuat. Dampaknya, dia mudah ditunggangi oleh kepentingan para elit dengan segudang jargon-jargon surgawi.

Untuk menyikapi situasi ini, kita bisa belajar dari Paulus. Rasul yang sering disangka sebagai pencetus pasifisme Kristen. Percakapan kita tentang dia sering tidak mumpuni dalam menangkap visi politik alternatif tawarannya. Padahal, gerakan politik gereja perdana banyak belajar dari dia, sang agitator Kristus.

 

Paulus Dalam Percakapan Hari ini

Ada beberapa posisi populer mengenai Paulus dalam diskursus kekristenan kontemporer. Paling umum, Paulus adalah seorang warga negara yang taat pada negara dan pemerintahan. Dalam narasi ini, ia seringkali dilihat sebagai sosok spiritualis saleh. Tarikan ajarannya dituding hanya mengenai moralitas, etika, dan panduan kepatuhan pada negara. Narasi ini biasanya berpijak dari suratnya kepada jemaat Roma. Di situ, Paulus berbicara mengenai ketundukan pada pemerintah dan petuah unyu agar membayar pajak (Roma 13:1-7). Belum lagi berbagai tulisan Paulus tentang keluarga, semakin mengentalkan cap “konservatisme” padanya.

Lalu seperti apakah kelompok progresif dalam menarasikan Paulus? Sayangnya, dia seringkali dibaca secara tidak adil. Nama-nama besar seperti Leo Tolstoy cenderung melihat Paulus sebagai sosok yang menyimpangkan ajaran Kristus yang sesungguhnya.[1] Terlebih kita bisa menemukan banyak seksisme, homofobia, dan berbagai hal sensitif dalam banyak tulisannya. Sehingga, tidaklah mengagetkan kalau istilah Pauline Christianity atau kekristenan Paulus muncul. Sebuah sebutan peyoratif untuk memisahkannya dari “ajaran Kristus” yang “asli”.[2]

Kedua narasi di atas cukup bermasalah. Mereka tidak membahas Paulus secara adil. Di dalam kedua narasi tersebut, Paulus dinilai sebagai seorang pendukung status quo. Dia dilabel sebatas pemikir keagamaan tradisional. Dia dianggap sebagai vanguard bagi nilai-nilai dominan. Bagi pemegang narasi pertama, inilah letak kemuliaan Paulus sebagai tokoh Kristen yang berpengaruh. Sementara, bagi pengikut narasi kedua, Paulus adalah seorang tokoh kolot, kontrev, atau calon penghuni Gulag. Padahal pada kenyataannya, Paulus bisa dipahami sebagai tokoh yang sangat subversif dan provokatif pada masanya.

 

Paulus dan Injil yang Lain

Untuk memahami Paulus secara serius, penting untuk berangkat dari tema sentralnya yaitu Injil (kabar baik). Paulus sering menekankan perannya sebagai pewarta kabar baik (Roma 1:1;9). Hal ini diulang lagi dalam Roma 1:15-17 yang diakhiri dengan kalimat “Sebab didalamnya (Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman,..”. Injil sangat sentral dalam pemikiran Paulus. Namun, apa maksud “kabar baik” itu? Menurut N.T. Wright kabar baik (euanggelion) yang dimaksud Paulus adalah pesan bahwa “Yesus, juru selamat yang disalib dan dibangkitkan, adalah Tuhan”.[3]

Dalam 2 Korintus 11:4, Paulus mengungkapkan semacam kecemasan bahwa jemaat Korintus akan jatuh kepada “Injil yang lain” (εὐαγγέλιον ἕτερος/euanggelion heteros/different gospel). Pernyataan tentang kabar baik yang lain ini juga muncul lagi di dalam Gal 1:6-9. Paulus mengingatkan agar jemaat di Galatia tidak menerima kabar baik palsu yang lain dari ajarannya. Artinya, ada narasi lain tentang kabar baik yang dibenci oleh Paulus.

Lantas apa yang dimaksudnya tentang Injil lain ini? Apakah hanya sekedar kebidatan biasa? Untuk itu perlu bagi kita untuk memahami makna kata euangelion bagi orang-orang yang hidup di bawah kekuasaan imperium Romawi.

 

Injil sebagai Sebuah Pernyataan Subversif

Kata euanggelion atau Injil adalah terma yang telah digunakan jauh sebelum kelahiran Yesus. Dalam konteks imperium Roma, berita baik/euanggelion adalah sebuah istilah yang akrab ditemui di dalam seruan dan pamflet propaganda.

Salah satu contoh yang terkenal adalah tulisan yang ditemukan pada inskripsi kalender Priene (bukan Inskripsi Priene yang berkaitan dengan Iskandar Agung)[4][5]. Dalam konteks masyarakat Roma pasca berakhirnya Republik, kata “kabar baik” seringkali merujuk kepada naiknya kaisar baru. Ini dimulai sejak naiknya Agustus menjadi princip lewat pertarungannya dengan Marcus Antonius. Dalam inskripsi Priene terjelaskan bahwa kaisar adalah seseorang yang menggenapi harapan-harapan subjeknya. Artinya, Caesar mampu mempertahankan perdamaian di imperium Roma.

Bentuk-bentuk propaganda ini berhubungan dengan dimulainya era perdamaian. Juga pada masa ekspansi minimal imperium Romawi di masa Kaisar Agustus[6], Kaisar pertama imperium Romawi, yang dinamakan pax romana atau pax augusta. Setelah 200 tahun terus-menerus berperang dengan kekuatan besar yang diakhiri dengan penaklukan legendaris Julius Caesar atas Galia, Agustus mengalami kesulitan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian.[7] Untuk itu, Agustus melakukan propaganda lewat koin-koin, karya seni, dan berbagai literatur yang mendukung berdirinya pax romana.

Selain itu di daerah jajahan, termasuk di dalamnya adalah Palestina, Asia Kecil, dan Yunani, para propagandis selalu meneriakkan seruan-seruan bahwa Kaisar adalah anak tuhan. Raja adalah sang penyelamat penjaga perdamaian dan kemakmuran di wilayah kekuasaan Imperium.

Propaganda-propaganda ini juga tidak lupa menggunakan kata euanggelion. Propaganda kabar baik ini juga terus digunakan di dalam konteks lainnya, misalnya dalam konteksnya naiknya penerus Agustus seperti Tiberius (14-37 M), Caligula (37-41 M), hingga kaisar terakhir di era pax romana yaitu Marcus Aurelius.

Menurut N.T. Wright, euanggelion seringkali muncul di masa-masa yang penuh kegelisahan. Misalnya, ketika Kaisar meninggal atau terjadi pemberontakan.[8] Singkatnya, “kabar baik” adalah jawaban pemerintah Roma atas suasana harap-harap cemas rakyatnya. Injil berarti keselamatan telah hadir melalui Kaisar baru. Pemberontakan dan sumber kekacauan akan ditumpas oleh pemimpin, sang anak allah. Di dalam konteks ini lah, Paulus mendaku sebagai seorang pewarta kabar baik.

Jika kita letakkan penggunaan kata Injil oleh Paulus dalam konteks ini, maka itu adalah sebuah pernyataan politik subversif. Proklamasi Injil bahwa Yesus adalah Tuhan merupakan kerja agitasi dan propaganda.

Dengan pernyataan tersebut, secara tidak langsung dia ingin menyatakan bahwa “Kaisar bukanlah penyelamat!”, “Kaisar bukanlah tuhan!”, dan “Kaisar bukanlah Raja!” Bukan kaisar yang akan memberikan segala jawaban atas ketidakpastian dan kegelisahan tapi Yesus Kristus, Sang Juru Selamat. Kaisar, dengan pax romana sebagai selubungnya, hanya akan melanggengkan penghisapan dan imperialisme. Dengan misinya melakukan pewartaan atas injil, Paulus melakukan kerja-kerja agitasi dan propaganda melawan imperium.

 

Gereja sebagai Alternatif Perlawanan Politik

Selaras dengan propaganda-propaganda di atas, Paulus, bersama gereja-gereja perdana nampaknya memang berusaha membangun sebuah gerakan yang bertentangan dengan imperium Romawi. Hal ini nampak dalam 1 Korintus 6:1-11:

“Apakah ada seorang di antara kamu, yang jika berselisih dengan orang lain, berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar (ἄδικος/adikos), dan bukan pada orang-orang kudus? Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia?”

Terlihat bahwa Paulus menyarankan agar ekklesia atau gereja (perdana) memiliki hakim bagi mereka sendiri. Sebuah tatanan kemasyarakatan sendiri. Ia malah menekankan bahwa tidak ada tempat bagi para adikos. Sebuah istilah yang ditujukan pada hakim-hakim yang lain[9] atau hakim resmi imperium Romawi. Seolah-olah, Paulus ingin agar sang tubuh Kristus[10] meninggalkan klaim-klaim dan janji-janji imperium. Kelihatannya, dia malah menuntut untuk mengorganisir diri dan membenturkannya dengan tubuh kaisar.

Konflik serupa juga dimunculkan dalam Filipi 3.20 yang menyatakan bahwa orang Kristen adalah “Warga Negara Surga”, dengan kata lain bukan Warga Negara imperium Romawi. Orang-orang Kristen tidak punya hutang dan kewajiban bagi Imperium! Paulus, yang sering ditampilkan sebagai warga negara teladan lewat Roma 13:1-7, justru menyerukan ajakan kepada pengikut Kristus yang setia untuk menentang imperium Romawi lewat ekklesia. Dengan kata lain, Paulus mengarahkan gereja perdana untuk melawan segala bentuk penindasan imperium.

Kenyataan historis ini, menurut hemat saya, adalah satu aspek yang jarang sekali diberikan ruang di dalam konteks gereja-gereja Indonesia. Gereja dan kekristenan, yang berfondasikan Injil, tidak seharusnya menafikan semangat perlawanan dan politik alternatif yang ada di dalam genealoginya. Gereja, secara historis, adalah entitas yang turut berkubang di medan pertempuran memperebutkan kekuasaan. Tentu saja di dalam konteks abad ke-21, potensi politik ini tidak diwujudkan dengan semata menjadikan gereja sebagai semacam partai vanguard.

Momen 500 tahun Reformasi Protestan, juga mulai populernya percakapan mengenai teologi politik dan politik teologis oleh berbagai tokoh seperti Carl Schmitt, Eric Peterson, Giorgio Agamben, dan N.T Wright, adalah sebuah momen yang cukup tepat untuk mulai membuka percakapan yang lebih jujur mengenai aspek politis dari gereja dan kekristenan. Tentu gereja dan kekristenan bukan berarti menyingkirkan tema-tema yang lebih spiritual, teologis, dan yang ngawang-ngawang. Cukup dengan mulai agak lebih santai menyikapi politik (dalam artian dengan tidak memperlakukannya sebagai najis yang perlu dijauhi). Menemukan dan membicarakan yang politis dari gereja adalah satu langkah awal untuk membangun pondasi yang kuat. Dan dengan pondasi yang kuat tersebut, gereja bisa terhindar dari godaan-godaan untuk menunggang tokoh-tokoh elit politik atau terbawa arus oleh dinamika politik Indonesia.***

 

Penulis adalah pengasuh diskusi Rabuan Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist, Salemba

 

————

[1] Tolstoy dalam Church and State (1880) menulis: “This deviation begins from the times of the Apostles and especially from that hankerer after mastership Paul”. Paulus, bagi Tolstoy, adalah sosok yang menjadikan kekristenan sebagai alat penguasa untuk mengontrol masyarakat.

[2] Ide, Arthur Frederick. 1993. Battered & Bruised: All the Women of the Old Testament. London: Monument Press. hal. 25.

[3] Wright, N.T. 1997. What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity?. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company. Hal: 46

[4] Stanton, Graham. 2004. Jesus and Gospel. Cambridge; New York: Cambridge University Press. Hal. 31

[5] Di dalam dokumen tersebut tertulis: “…. surpassing all previous benefactors, and not even leaving to posterity any hope of surpassing what he has done, and since the birthday of the god [τοῦ θεοῦ] Augustus was the beginning of the good tidings [εὐαγγέλιον/euangelion] for the world that came by reason of him…”

[6] Dalam bahasa latin sering dirujuk sebagai Imperator Caesar Divius Filius Augustus. Istilah Divius Filius berarti anak Tuhan. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa Agustus adalah anak adopsi dari Julius Caesar yang secara post-humous disebut sebagai divius iulius atau Julius yang ilahiah.

[7] Stern, Gaius (2010). Women, children, and senators on the Ara Pacis Augustae: A study of Augustus’ vision of a new world order in 13 BCE. Mencatat bahwa orang-orang Roma memahami bahwa perdamaian adalah situasi dimana sudah tidak ada lagi daerah yang bisa ditaklukkan.

[8] N.T. Wright dalam wawancara dengan thegospelcoalition.org: “The reason that’s good news… In the Roman Empire, when a new emperor came to the throne, there’d obviously been a time of uncertainty. Somebody’s just died. Is there going to be chaos? Is society going to collapse? Are we going to have pirates ruling the seas? Are we going to have no food to eat? And the good news is, we have an emperor and his name is such and such. So, we’re going to have justice and peace and prosperity, and isn’t that great?!”. https://blogs.thegospelcoalition.org/trevinwax/2007/11/18/wright-on-the-gospel/ diakses pada 15 Mei 2017 pukul 18:09

[9] Menurut terjemahan berdasarkan Mounce Reverse-Interlinear New Testament (MOUNCE)

[10] Merujuk ke 2 Korintus 12:27 “kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.