Awalnya adalah Lelucon, Selanjutnya menjadi Tragedi

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Putu Deoris

 

TIDAK ada satupun orang waras di Indonesia yang menyangkal bahwa apa yang dilakukan oleh Setya Novanto (SN) sekarang ini adalah lelucon yang amat buruk. Berbagai cara manipulatif SN untuk lepas dari jerat hukum kasus korupsi telah menjadikannya sebagai objek lelucon politik Indonesia nomor wahid. Dengan adanya preseden ini, SN yang notabenenya adalah seorang pimpinan lembaga tinggi negara serta salah satu ketua umum partai terbesar di negeri ini, hadir di depan publik tidak lebih sebagai seorang pesakitan; figur yang layak untuk dilecehkan secara massal; manusia yang setiap tindak-tanduknya diperkenankan untuk dijadikan karikatur oleh masyarakat.

Tidak heran dengan meluasnya pemberitaan tentang SN, kita menemukan suatu produksi satir politis dalam skalanya yang sangat luas. Setiap orang Indonesia yang masih memiliki akal sehat, justru akan merasa tersinggung jika tidak menertawakan tindakan SN. Di setiap relung-relung informasi kita, lelucon atas SN seakan menjadi bahan tertawaan yang dominan. Setiap orang seakan berlomba untuk memproduksi leluconnya sendiri terkait SN. Dalam pembicaraan politik kita pun, lelucon terhadap SN selalu menjadi warna yang popular.

Ketika dihadapkan pada kekuasaan, kita tahu bahwa lelucon memiliki potensi untuk menciptakan subversi. Berapa banyak inspirasi cerita, dari yang fiksi seperti novel Umberto Eco The Name of the Rose, sampai dengan cerita nyata nan anekdotal semisal humor dari negeri represif Uni Soviet, mengungkapkan bahwa penguasa tidak pernah nyaman di hadapan warganya yang tertawa. Bagi para penguasa, aktivitas tertawa di depan muka mereka hanya akan memunculkan kelemahan-kelemahan mereka. Dengan kelemahan, legitimasi lalu dipertanyakan. Adanya pertanyaan atas legitimasi selalu berujung pembenaran akan perlawanan atas kekuasan.

Kerangka ini setidaknya dapat pula diterapkan pada lelucon terhadap SN sekarang ini. Dengan menertawakan SN, kita menertawakan kekuasan yang telah berlaku tidak adil terhadap kita. Dengan lelucon, masyarakat seakan hendak memunculkan kuasanya sendiri. SN sang elite, bukan seseorang yang benar-benar tanpa cela. Pelecehan melalui lelucon terhadap SN seakan menjadi simbol bahwa kelas berkuasa tengah digerogoti kekuasaannya oleh perlawanan yang penuh humor. Bahwasanya rakyat tengah menunjukkan rupa kuasanya.

Walau terdengar meyakinkan, narasi ini tidak sepenuhnya tepat. Masih segar dalam ingatan kita ketika SN berhasil memenangkan kasusnya pada proses pra-peradilan, ia melakukan serangan balik terhadap mereka yang melakukan olok-olok melalui meme. Tragisnya, para produsen meme tersebut diadukan ke pihak kepolisian untuk diproses secara hukum. Dengan kata lain, pelecehan yang satir atas SN tidak benar-benar membuatnya lumpuh. Bahkan ia masih memiliki kuasa untuk menentukan arah politik hukum.

Di sini kita menemukan keterbatasan fundamental dari penggerogotan kekuasaan melalui lelucon. Sayangnya, dalam kesadaran kolektif kita, pelecehan politik tengah menjadi satu-satunya sarana untuk melawan struktur kekuasaan yang ada. Disinilah kemudian lelucon atas kekuasaan justru memistifikasi kekuasan itu sendiri. Penertawaan kita terhadap SN justru menunjukan ketidakberdayaan kita. SN yang sudah secara jelas bertindak melanggar nalar publik, tidak dapat dihukum secara nyata oleh kekuasan rakyat yang berdaulat. Jikapun SN berhasil digeladang ke ranah hukum, tidak ada jaminan bahwa proses hukum yang berlaku akan memenuhi dahaga keadilan rakyat.

Mungkin banyak yang kemudian menganggap bahwa kita hanya perlu bersikap afirmatif atas situasi yang ada. Terbongkarnya kemunafikan SN harus dikapitalisasi sebesar-besarnya untuk mempermalukan elit politik. Namun kita jangan berharap apa-apa atas kapitalisasi tersebut karena memang dunia yang sedang kita diami sekarang pada kenyataannya memang kacau. Naiknya figur absurd seperti Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), naiknya populisme kanan di berbagai belahan dunia, perang yang tidak ada habisnya, sampai dengan kerusakan iklim yang massif telah membuat mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa dunia memang dilanda kekaucauan. Berupaya untuk mengharapkan perbaikan di tengah kekacauan sekarang adalah suatu sikap yang tidak realistis sekaligus naif. Nikmati saja pertunjukan yang penuh kekacauan ini tanpa ada pretensi apapun.

Terdengar persuasif memang, namun posisi ini justru memiliki bias kelas yang nyata. Afirmasi atas kekacauan hanya berlaku bagi mereka yang sudah memiliki previlese tertentu. Mereka yang memiliki keamanan dan stabilitas penghidupan mungkin akan menganggap bahwa kita harus menerima situasi sekarang. Tapi bagi kaum buruh yang bahkan upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, afirmasi atas kekacauan sekarang adalah suatu omong kosong. Laparnya perut mereka adalah konsekuensi logis dari operasi kekuasaan yang ada. Mengharapkan perbaikan pada akhirnya menjadi sefundamental hidup atau mati.

Oleh karena itu, ekspresi politik yang lebih kuat dari sekadar penertawan atas figur munafik seperti SN menjadi sangat diperlukan. Keberhasilan SN untuk mengangkangi logika publik adalah buah dari struktur kekuasaan yang berlaku. Penguasaan elite politik yang terorganisir dalam sistem negara menyokong keberadaan figur-figur sontoloyo seperti SN. Olok-olok terhadap pribadi karenanya harus ditransormasikan menjadi pelecehan terhadap sistem, terhadap struktur kekuasaan.

Ada baiknya kita belajar dari negara yang katanya tengah mengalami pengalaman madesu (masa depan suram), yang dianggap warganya sudah sangat tidak terperi, yakni Amerika Serikat (AS). Sebagai negara, mereka seakan tengah bergerak ke belakang, ke zaman kuno, dimana mereka harus menghadapi kenyataan bahwa Trump adalah Presiden mereka sekarang. Serupa dengan SN, Trump adalah samsak bagi setiap lelucon politik di AS. Tidak ada satupun cerita yang terkait dengan Trump yang tidak dapat ditertawakan. Namun di balik tawa mereka terhadap Trump, mereka harus menghadapi situasi yang mengerikan dimana kaum fasis kanan alternatif (alt-right) muncul dimana-mana, penembakan massal hampir tak terbendung, dan kelas pekerja AS semakin miskin hidupnya.

Disinilah kemudian berhenti pada sebatas olok-olok atas Trump menjadi sangat berbahaya. Lelucon politik tidak dengan sendirinya dapat mengubah relasi kuasa itu sendiri. Muncul kesadaran untuk memastikan bahwa olok-olok bisa menjadi pukulan politik nyata bagi Trump. Mereka sadar bahwa Trump adalah produk dari sistem politik AS yang korup. Masalah-masalah lain yang muncul adalah konsekuensi dari sistem tersebut. Disinilah muncul inisiatif rakyat AS untuk membangun kekuatan politik yang independen yang terbebas dari pengaruh Partai Demokrat dan Republik yang elitis. Inisiatif kekuasaan independen ini telah berbuah sejauh ini. Dalam pemilu lokal yang diadakan di beberapa negara bagian pada awal November 2017, banyak kandidat dari organisasi sosialis akar rumput seperti Democratic Socialist of America, berhasil memenangkan kontestasi lokal di beberapa wilayah. Mereka menang karena membawa platform politik yang sama sekali berbeda dengan konsensus penguasa. Tentu ini adalah kemenangan kecil, namun kemenangan kecil ini memiliki signifikansi bahwasanya rakyat AS tengah berlawan secara sistematis dan besar potensi untuk menjadi alternatif terhadap kekuasaan presidensial Trump.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa kita harus melakukan copy paste atas pengalaman AS. Tapi, setidaknya, dinamika di sana menunjukkan bahwa mengolok-olok elite saja tidak mencukupi. Penguasaan politik negara oleh elite selalu bersifat sistematis dan terorganisir. Untuk menghasilkan perlawanan yang berarti ia menyaratkan karakteristik kekuasan yang sama. Organisasi politik yang independen, yang dibangun oleh rakyat itu sendiri, menjadi kunci untuk menghancurkan struktur kekuasaan korup yang memungkinkan keberadaan figur seperti SN ini berkuasa sewenang-wenang. Hal ini penting agar sejarah politik kita tidak melakukan pembalikan dialektis atas pernyataan Karl Marx (first tragedy, then as farce); awalnya adalah lelucon, selanjutnya menjadi tragedi.***

 

Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.