Masalah Warga dan Tantangan DPRD DKI Jakarta 2014-2019

Print Friendly, PDF & Email

BELUM lama ini, pada 25 Agustus 2014, anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 dilantik. Sebagai pembawa mandat warga Jakarta, mereka tentu harus diingatkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini mendera warga DKI Jakarta. Ada banyak masalah di Jakarta yang perlu diperhatikan oleh anggota DPRD DKI Jakarta terpilih. Diantaranya adalah penggusuran, pendidikan, kesehatan, dan masalah air.

 

Penggusuran

Penggusuran merupakan masalah klasik di Jakarta. Menurut catatan LBH Jakarta, anggaran penggusuran yang akan dikeluarkan pada 2014 oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) serta Dinas Perumahan dan Pemukiman berjumlah sekitar Rp 4 trilyun untuk 88 lokasi penggusuran. Sementara, anggaran Dinas Pertamanan dan Pemakaman kurang lebih Rp 1,8 triliun untuk 43 lokasi penggusuran. Total anggaran penggusuran ketiga Dinas itu berkisar di Rp 5-6 triliun untuk 131 lokasi penggusuran.

Dibandingkan dengan tahun 2013, anggaran yang dialokasikan untuk penggusuran pada 2014 meningkat tajam. Pada 2013, Dinas PU menghabiskan Rp 79,4 miliar dengan anggaran awal Rp 695,6 miliar. Sementara pada 2014, anggaran Dinas PU untuk penggusuran adalah Rp 3,9 triliun. Jumlah lokasi penggusuran oleh Dinas PU pun bertambah dari 71 lokasi pada 2013 menjadi 80 lokasi pada 2014.

Solusi penggusuran Pemprov DKI Jakarta berupa relokasi korban ke rumah susun pun dirasa belum memadai. Pasalnya, rumah-rumah susun tersebut berada di pinggiran Jakarta, sehingga sekalipun korban mendapat tempat tinggal baru, tetapi mereka tetap kehilangan akses atas penghidupan mereka. Seharusnya tempat tujuan relokasi, selain memiliki standar kelayakan sebagai tempat tinggal, juga memperhatikan akses korban atas penghidupan mereka.

Kemudian, yang juga penting untuk dicatat, masih terdapat peraturan-peraturan daerah (Perda) DKI Jakarta yang berpotensi melegitimasi penggusuran. Salah satunya yang mencolok adalah Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Peraturan-peraturan seperti ini tentu perlu dicabut dan diganti dengan peraturan-peraturan daerah yang justru menghalangi terjadinya penggusuran.

 

Pendidikan

Berdasarkan catatan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), ada setidaknya dua masalah penting terkait pendidikan di DKI Jakarta. Masalah yang pertama adalah banyaknya penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dobel. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun telah menemukan sebanyak 9006 nama penerima KJP dobel yang berpotensi merugikan Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 13,34 miliar. Diperlukan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD untuk menindaklanjuti temuan BPK ini.

Masalah lain terkait pendidikan di DKI Jakarta adalah rendahnya Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk sekolah swasta. Padahal, banyak siswa kurang mampu yang juga bersekolah di sekolah swasta. Anggaran BOS/BOP untuk siswa kurang mampu perlu ditingkatkan, dan mungkin sebagian dana KJP bisa dialihkan untuk mensubsidi siswa kurang mampu yang bersekolah di sekolah swasta.

 

Kesehatan

Masih berdasarkan catatan SPRI, salah satu masalah kesehatan yang cukup mencolok di DKI Jakarta adalah tidak memadainya ketersediaan kamar perawatan kelas III yang ditanggung oleh Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan BPJS Kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, RS swasta perlu ‘dipaksa’ memperbanyak dan memperluas kamar kelas III. Informasi ketersediaan kamar kelas III juga perlu dipublikasikan secara online oleh setiap rumah sakit. Sebagai program jangka panjang, jumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta juga perlu diperbanyak dan sistem kelas dalam Rumah Sakit harus dihapuskan.

Kemudian, terdapat pula masalah tenaga medis yang kurang memadai di Jakarta. Saat ini Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki 3000 tenaga medis, yang terdiri dari 1000 PNS di bawah Dinas Kesehatan dan 2000 pegawai honorer. Diperlukan penambahan tenaga medis di Puskesmas-Puskesmas di Jakarta. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) juga perlu membatasi orang-orang di bidang kesehatan yang menjadi camat atau lurah, agar tenaga mereka tidak terserap ke sana.

Masalah kesehatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah sistem tarif INA-CBG (Indonesia Case Base Groups) dari BPJS Kesehatan. INA-CBG merupakan sistem pembayaran ‘paket’ oleh pemerintah ke RS berdasarkan penyakit pasien. Sistem ini memberi tekanan pada rumah sakit, sehingga pemberian layanan kepada pasien pun menjadi buruk. Untuk mengganti sistem ini, DPRD harus membentuk payung hukum untuk menanggung selisih biaya yang tidak ditanggung BPJS bagi mereka yang ber-KTP DKI Jakarta dan termasuk dalam kategori miskin atau kurang mampu.

 

Privatisasi Air

Masalah di DKI Jakarta yang mungkin tidak begitu tampil ke permukaan adalah masalah air. Menurut catatan LBH Jakarta, sejak pengelolaan air DKI Jakarta diserahkan ke pihak swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra, hanya 62 persen wilayah Jakarta yang terjangkau layanan air PAM. Dari total pelanggan air di Jakarta sebanyak 806.153 pelanggan, masih ada 184.273 pelanggan yang tidak mendapatkan air. Padahal seluruh pelanggan harus tetap membayar biaya abodemen tiap bulannya.

Privatisasi air di DKI Jakarta juga telah menyebabkan harga air naik dari Rp700 menjadi Rp1000 per meter kubik selama 2005-2007. Kenaikan harga air ini pada gilirannya meminggirkan warga miskin yang tidak mampu membeli air. Selain itu, ketidakadilan dalam kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan pihak swasta, telah menyebabkan adanya biaya short fall—kekurangan bayar karena nilai tarif yang dibayar pelanggan berada di bawah imbalan bagi swasta—yang terakumulasi hingga Rp583 milyar dan harus ditanggung oleh Negara.

 

Catatan Penutup

Keempat masalah di atas tentu hanya sebagian kecil saja dari masalah-masalah yang ada di Jakarta. Masih banyak masalah lain yang mendera warga DKI Jakarta. Misalnya, kurangnya lapangan kerja berbanding dengan banyaknya pengangguran yang membuat DKI Jakarta menjadi rawan akan kriminalitas. Anggota DPRD DKI Jakarta yang baru dilantik beberapa waktu lalu wajib mengawal Pemprov DKI Jakarta dalam menyelesaikan berbagai persoalan ini. Mereka yang layak mewakili warga DKI Jakarta haruslah mereka yang peduli dengan penyelesaian masalah-masalah warganya.***

 

Penulis adalah Ketua DPW Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) DKI Jakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.