Panggil Aku Wartawan

Print Friendly, PDF & Email

Bagaimana wartawan TV era Reformasi
memaknai profesionalismenya?

RAYMOND Arian Rondonuwu sudah 12 tahun bekerja di RCTI. Ia adalah produser Seputar Indonesia Malam (SIM) yang menggarap segmen politik. Tugasnya mengontrol penayangan SIM, mulai dari memilah peristiwa yang layak dijadikan berita, hingga memastikan alur dan segmen tayangan sesuai dengan perencanaan yang disepakati. Beberapa hari menjelang Ramadhan tahun ini, kegiatannya terhenti. Ia dipanggil pemimpin redaksi RCTI. Arya Sinulingga.

Arya semestinya sudah tak aktif sebagai pemimpin redaksi RCTI. Sebab, ia merupakan anggota tim sukses pasangan calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa. Sebelum ini, Arya adalah Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura. Sesuai ‘Seruan Dewan Pers No. 02/Seruan-DP/II/2014 tentang Pilihan Non-Aktif atau Mengundurkan Diri Bagi Wartawan yang Memutuskan Menjadi Caleg, Calon DPD, atau Tim Sukses’, Arya tidak boleh terlibat lagi dalam kerja redaksi. Dalam sebuah debat terbuka antara Arya dengan Dandhy Dwi Laksono dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang diadakan Dewan Pers pada 2 April 2014, Arya mengatakan sudah melaksanakannya. Ia sudah tak aktif mengatur konten tayangan. Tapi masih merasa harus bertanggung jawab dengan urusan manajemen.

Karena itu, ia memanggil Raymond ke ruangannya, memberi Raymond Surat Peringatan Tiga (SP3), dan mengancam akan melaporkannya ke polisi. Ia tak suka dengan kerja Raymond.

Apa pasal?

Beberapa hari sebelumnya, Raymond mendapat sebuah instruksi lisan dari produser eksekutifnya. Ia diminta menayangkan ulang sebuah berita yang sebelumnya sudah ditayangkan di Seputar Indonesia Sore. Berita ini terkait dugaan bocornya soal debat capres-cawapres pada 9 Juni 2014 kepada kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menurut Raymond, berita tersebut tak layak siar karena tidak memiliki sumber yang jelas. Asal mula berita itu, katanya, adalah kicauan akun Twitter anonim @TrioMacan2000, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ia menolak menayangkannya. Ia merasa kaidah jurnalistik tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Raymond pun menulis sebuah surat protes pada rundown SIM. Begini isi suratnya:

AKUN TWITTER @TRIOMACAN2000 SEPERTINYA UDAH JADI ACUAN TETAP RCTI NEWS/ YANG JUGA BAGIAN DARI JARINGAN TELEVISI TERBESAR SE-ASIA TENGGARA ///

KENAPA:

    1. KARENA PANIK/ NGGA TAU CARANYA MOJOKIN LAWAN ///
    2. KARENA NGGA PUNYA SUMBER YANG KREDIBEL ///
    3. KARENA PIMPINANNYA TIDAK PUNYA INTEGRITAS DAN KOMPETEN/// TIDAK PERNAH BERKARYA DI JURNALISTIK/ JADI TIDAK TAHU/ ATAU TIDAK PEDULI DENGAN KODE ETIK JURNALISTIK/ UU PERS/ ATAU UU PENYIARAN ///

Raymond Arian Rondonuwu

Surat inilah yang membuat Arya geram. ‘Berita fitnah inilah yang dibuat wartawan saya di lingkungan news saya,’ ujar Arya sembari menunjukkan surat tersebut dalam debat di Dewan Pers. Menurutnya, bukan kebenaran isi berita yang diperjuangkan Raymond. Surat itu hanyalah bukti fitnah seorang karyawan yang menggosipkan berita dan pimpinan. “Kalau mau protes, ya di rapat evaluasi. Tapi dia nggak pernah datang,” kata Arya.

Ini bukan kali pertama Raymond melayangkan keberatannya. Ia sering mengritik kebijakan redaksi dalam hal memilah peristiwa mana yang bisa tampil di tayangannya. Sebab katanya, ada beberapa hal yang dilakukan tak sesuai dengan prinsip jurnalistik. “Banyaklah, nggak usah diceritain,” ujar Raymond. Walau begitu, selama ini ia berusaha bekerja sebagai produser yang profesional. ‘Kasus ini sudah kelewatan. Biasanya profesional aja saya. Selama ini saya manut kok kalau media saya ke sana (berpihak pada kubu Prabowo-Hatta),’ jelas Raymond.

Menurut Raymond, RCTI menetapkan sebuah peraturan tak tertulis menjelang Pemilu. Peraturan itu mengatakan bahwa pemberitaan mengenai kedua pasangan capres-cawapres harus ditampilkan dengan perbandingan frekuensi tayang 80:20. Delapan puluh untuk Prabowo-Hatta, yang didukung oleh pemilik MNC Group Hary Tanoesudibjo. Dua puluh untuk Jokowi-Kalla. Namun, peraturan ini hanya berlaku untuk siaran berita pagi dan malam. Bagi para produser berita siang, mereka harus memastikan perbandingan frekuensi tayang kedua pasang kandidat 100:0. Ya, tak satu pun berita mengenai Jokowi-Kalla ditayangkan pada siang hari. Minimnya frekuensi pemberitaan Jokowi-Kalla di RCTI juga ditemukan Remotivi dalam penelitiannya: 68% dari seluruh tayangan Seputar Indonesia pada 1-7 Juni 2014 adalah berita soal Prabowo dan Hatta.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai adanya aturan ini, Arya Sinulingga balik bertanya, ‘Faktanya, dia (Raymond) bohong nggak?’ Setelah itu, percakapan Remotivi dengan Arya di telepon hanya berkisar mengenai pertanyaan soal status Remotivi sebagai lembaga pers. ‘Kalau bukan lembaga pers, maka kami punya hak untuk tidak menjawab. Saya nggak tau Anda siapa,’ ujarnya beberapa saat sebelum mengakhiri perbincangan.

Sebelumnya, Remotivi juga sudah menghubungi Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Eddy Suprapto, namun yang bersangkutan menolak diwawancarai. ‘Maaf, Remotivi kan membenci RCTI dan MNC. Kalian lebih hebat dari kami. Meski kami kerja dan praktik 25 tahun, tapi Seputar Indonesia di mata kalian tidak ada apa-apanya. Terima kasih,’ ujar mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen ini.

Soal pembagian jatah pemberitaan bagi tiap capres-cawapres, Raymond menyadari bahwa hal itu juga termasuk pelanggaran. Namun, ia tetap mengikuti aturan ini demi alasan profesionalisme. Tak ada yang tak mematuhinya. Bahkan, ‘kami sampai harus tanya ke manajer, apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan,’ jelasnya. Bagi Raymond, tidak ada media yang netral. Pasti memihak. Tapi, harus tetap berpijak pada Kode Etik Jurnalistik dan prinsip kemanusiaan. Raymond memberi contoh. Saat meliput seorang ibu yang mencuri singkong karena kelaparan, media harus berpihak kepada sang ibu, menempatkannya sebagai korban yang harus diperhatikan negara. ‘Tapi cover both sides harus tetap dilaksanakan,’ tambah Raymond.

Kali ini, protes Raymond tak diindahkan. Ia sudah menandatangani surat SP3 yang disodorkan HRD RCTI, walau belum sepenuhnya berhenti bekerja. Saat Remotivi mewawancarainya tengah Juni 2014 lalu, ia sudah dipindahkan ke bagian news researcher. Namun sejak 14 Juli lalu hingga sekarang, ia diskors tanpa adanya alasan tertulis apapun.

***

Menjelang Pemilu 2014, dinamika pemberitaan beberapa stasiun televisi Indonesia mengikuti riuh rendah dinamika politik. Tepatnya: arah politik pemiliknya. Ada 6 stasiun TV yang sangat kentara menunjukkan sebuah arah politik, ke mana pemiliknya berjalan. Misalnya Metro TV. Berdasarkan penelitian Remotivi, frekuensi kemunculan Jokowi dalam berita hanya 12% sebelum Partai NasDem menyatakan berkoalisi dengan PDIP. Angka ini melonjak menjadi 74,4% saat Surya Paloh berlabuh mendukung Jokowi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mengeluarkan teguran kepada Metro TV. Dalam surat teguran 24 Juni 2014 itu, KPI menjelaskan bahwa Metro TV melakukan pelanggaran ‘perlindungan kepentingan publik dan netralisasi isi program siaran jurnalistik atas penayangan pemberitaan tentang pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla’.

TV One juga mendapat teguran serupa. Stasiun TV ini malah mendapat lebih banyak perhatian masyarakat. Misalnya, muncul sebuah petisi di Change.org yang menuntut Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencabut izin siaran TV One. Hingga Agustus 2014, petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 30 ribu orang.

Teuku Kemal Fasya, pembuat petisi ini menyebutkan, bahwa TV One sudah melanggar ketentuan penyiaran. Ia menulis bahwa stasiun TV kepunyaan Aburizal Bakrie ini telah melanggar prinsip jurnalisme dalam Pemilu. Misalnya: menyebarkan kabar bohong soal survei Gallup, menyiarkan iklan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta di luar masa kampanye, dan meresahkan masyarakat dengan membangun opini yang mengaitkan Jokowi dengan komunisme. Karena beritanya yang terakhir ini, kantor TV One diserbu. Diberitakan dalam sejumlah media, massa PDIP menyerang kantor mereka karena sakit hati atas kampanye hitam yang diberitakan TV One. Namun, setelah ditengahi Dewan Pers yang menanggapi aduan PDIP, TV One bersedia meminta maaf dan memuat hak jawab PDIP di dalam tayangannya.

Cerita lain datang dari Kebon Sirih, Jakarta Pusat, daerah tempat MNC Group mengomandoi bisnisnya. Hingga pertengahan Mei 2014 lalu, pemilik MNC Group, Hary Tanoesudibjo (HT), masih bergabung bersama Partai Hanura. Ia menjadi cawapres untuk Wiranto yang diusung partainya menjadi capres. RCTI, Global TV, dan MNC TV memuat banyak berita dan iklan tentang mereka. Kira-kira begini narasi beritanya: WIN-HT menghibur pengungsi Sinabung, WIN-HT menyerahkan pinjaman usaha kecil menengah kepada ratusan warga di wilayah Jabodetabek, WIN-HT membagikan sembako dan asuransi kepada ratusan warga tidak mampu, dan berbagai berita senada lainnya.

Kuis interaktif juga dibuat. Salah satunya berjudul Kuis Kebangsaan (RCTI). Ia tayang dua kali per hari selama hanya beberapa menit. Seorang pembawa acara akan menerima telepon masuk dengan lebih dulu menyebutkan “Win-HT?”, yang mesti dijawab ‘Bersih, Peduli, Tegas’ sebagai password bagi para penelepon yang ingin menjawab pertanyaan. Yang membacakan pertanyaan kuis adalah calon legislatif Partai Hanura. Kalau pertanyaan berhasil dijawab, penelpon akan mendapat blender, penanak nasi, panci, dan barang sejenis lainnya.

Tak lama, Wiranto dan HT ikutan main sinetron Tukang Bubur Naik Haji (RCTI). Lantas muncul juga di tayangan reality show Mewujudkan Mimpi Indonesia (RCTI). Di sini Wiranto berakting dengan menyamar menjadi, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, hingga kernet bis.

Pertengahan Mei 2014, HT mengundurkan diri dari Hanura yang mendukung Jokowi-Kalla. Ia berubah haluan mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta. Sejak saat itu, berita, iklan, kuis, ataupun reality show terkait Wiranto maupun Hanura lenyap. Tanpa sisa.

Seperti cerita Raymond, mayoritas muatan tayangan diperuntukkan bagi Prabowo-Hatta. Begini beberapa isi berita yang muncul: Warga keturunan India di Medan dukung Prabowo-Hatta, Pensiunan dukung Prabowo-Hatta, Doa di Mekkah untuk Prabowo-Hatta, dan sebagainya. Ketika HT pindah perahu politik, pindah pula isi tayangan TV nya.

Peneliti media Ignatius Haryanto mendapati temuan yang sama. Koran Harian Sindo yang ia amati semenjak April 2014 hingga pertengahan Juni 2014 menunjukkan bahwa isi beritanya mendadak berubah ketika HT memutuskan bergabung dengan kubu Prabowo-Hatta. “Program Prabowo Realistis”, ‘Prabowo Strategis, Jokowi Teknis’, ‘Prabowo Paling Disuka’, ‘HT-Hatta Bahas Solusi Bangsa’, dan ‘HT yakin Prabowo-Hatta menang’ adalah contoh headline dari koran yang masih merupakan bagian dari kelompok bisnis MNC Group ini. Haryanto menilai bahwa media seperti ini tidak memiliki identitas yang jelas. “Mereka hanya melacurkan diri kepada kepentingan pemilik,” katanya.

Sebuah video yang diunggah akun YouTube KIDPIndonesia pada Mei 2013 menjelaskan hal yang sama. Saat itu, HT baru berpindah dari NasDem ke Hanura. Perbincangan di video tersebut menunjukkan adanya permintaan kepada RCTI Jawa Timur untuk menayangkan kampanye Hanura dan permintaan agar kantor Hanura dan Perindo (organisasi masyarakat bentukan Hary Tanoe) di seluruh Jawa Timur diberikan slot gratis di Indovision, saluran kabel kepunyaan MNC Group. ‘Dan itu sudah kita programkan… di partai lama. Mudah-mudahan hari ini bersama dengan Hanura, hal itu dilakukan kembali, Pak Arya,’ kata seseorang dalam video itu. Partai lama yang dimaksud adalah NasDem, yang ketika itu masih menjadi wadah politik Hary Tanoe.

‘Nggak ada media massa yang tidak memihak. Kalau pun ada, adanya di surga,’ kata Agus Mundzir, seorang produser berita malam Global TV. Ia mengatakan bahwa Global TV juga meliput kegiatan pemiliknya. Yang penting, katanya, ada unsur news-nya. Apa saja unsur news itu? ‘Mengerjakan sesuatu untuk publik; punya agenda politik yang sama dengan politisi lain,’ jawab Mundzir.

Seringnya isi pemberitaan yang dikontrol oleh pemilik media juga pernah dialami Dandhy Dwi Laksono saat ia masih berkerja di RCTI. Ia adalah mantan Kepala Peliputan RCTI. Kini, Dandhy mendirikan sebuah rumah produksi bernama Watchdoc, yang bergerak dalam pembuatan dokumenter untuk film dan televisi.

Tugas Dandhy saat itu adalah memilah peristiwa mana saja yang pantas diliput dan ditayangkan di RCTI. Namun, ada kalanya ia tak bisa berkutik. Berita pesanan HT, misalnya, dengan mudahnya disampaikan manajer dan produser kepada reporter. Tak pernah didiskusikan, apalagi masuk rapat redaksi. Permintaan ini hanya disampaikan lewat pesan singkat atau Blackberry Messenger.

Dalam sidang uji materi UU Penyiaran No. 32 di Mahkamah Konstitusi pada 2012 lalu, Dandhy hadir sebagai saksi dari para pemohon. Ia menceritakan apa yang ia alami di tempat kerjanya dulu.

Pada 2007, pesawat Adam Air hilang. Awalnya, RCTI secara intensif memberitakan kasus ini, mengulik setiap perkembangan yang terjadi. Hingga suatu saat, Hary Tanoe membeli saham Adam Air. Sejak hari itu, jajaran pimpinan redaksi mengadakan rapat redaksi untuk mendiskusikan hal-hal yang boleh dan tidak boleh disiarkan terkait kasus Adam Air. Dandhy menolak.

Tak disepakati redaksi, ia meminta jajarannya bertemu Hary Tanoe agar intervensi macam itu tak terjadi. Gagal juga. Pada akhirnya tim redaksi diminta memoderasi berita Adam Air: tidak mencari liputan tentang Adam Air, namun hanya menunggu perkembangan bergulirnya kasus ini. Redaksi melaksanakannya.

Dandhy memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Prinsip jurnalisme, apalagi Kode Etik Jurnalistik sudah tak mendapat tempat di RCTI, katanya. Rapat redaksi sudah tercemar oleh berita-berita pesanan. Reporter hanya melaksanakan apa yang disuruh atasan. “Saya nggak ngerti (bagaimana bisa) mereka masih mengaku wartawan; bekerja dengan keadaan seperti itu,” kata Dandhy.

 

 

Di tempat dan waktu yang berbeda, Yarnes Foni sedang bersantai bersama ibu dan keponakannya di kediamannya di daerah Pondok Gede, Bekasi. Hari itu adalah hari liburnya bekerja sebagai wartawan di Metro TV. Tiba-tiba telepon genggamnya memanggil-manggil. Suara koordinator lapangannya terdengar di ujung sana. Yarnes diminta ke Papua bulan depan, meliput hari-hari menjelang pemilihan presiden di sana.

Yarnes harus siap ketika diminta pergi ke sana ke mari oleh atasannya. Baginya, melaksanakan perintah atasan adalah sebuah syarat menuju profesionalisme. “Kami kan kerja dibayar sama kantor, ya harus ikutin apa maunya kantor,” kata Yarnes. Ia pun merasa tak berhak ikut campur urusan atasan yang menentukan apa-apa saja yang tayang di TV. Seberapapun tayangan itu bermasalah. “Walau KPI negur, kalau atasan suruh kami liput, ya kami tetap liput,” ujarnya.

Yarnes paham bahwa berita harus cover both sides, berimbang, dan kerjanya harus berdasar pada Kode Etik Jurnalistik. Namun baginya, aturan-aturan itu tak akan pernah ada artinya kalau berita yang dihasilkannya tidak dimuat di Metro TV.

Selama tiga tahun Yarnes bekerja di Metro TV, ia belum pernah mendengar ada yang membantah tak mau memuat berita pesanan pemilik. Tapi, kepada sesama teman, mereka banyak menceritakan kegerahan mereka. Misalnya jika berita pesanan Surya Paloh datang lagi. Ada yang menyampaikan secara personal kepada kepada desk, HRD, atau bahkan pemimpin redaksi. Ada juga reporter-reporter yang mengeluh soal banyaknya berita pesanan. Tapi keluhan-keluhan ini tak diorganisir oleh perusahaan. “Di Metro TV, semua orang kayak temen. Jadi bisa cerita ke mereka,” kata Yarnes. Respon mereka: “Ya sudahlah, sabar ya…,” lanjut Yarnes menirukan mereka.

Dalam kerjanya meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pemilu ini, Yarnes mengantongi banyak cerita menarik. Salah satunya ia dapatkan dari temannya, sesama wartawan Metro TV.

Suatu hari, kru Metro TV mendatangi kampanye Prabowo-Hatta. Dengan mobil satelitnya, mereka sudah bersiap memasuki area kampanye untuk meliput pidato Prabowo. Namun, mereka dihadang oleh massa pendukung Prabowo serta warga sekitar dan tak diizinkan masuk ke dalam. Katanya, Metro TV adalah stasiun TV yang membenci Prabowo. Begitu pun dengan kru Kompas TV dan Trans TV yang ada bersama mereka. Alhasil, mereka hanya meliput peristiwa setelah acara selesai.

TV One juga pernah mengalami hal serupa. Kata Yarnes, mereka kadang merasa sungkan kalau mau meliput Jokowi-Kalla. “Wah, TV Alfamart tuh!” TV Alfamart ini adalah sebutan bagi TV merah, TV One. Sementara Metro TV, disebut sebagai TV Indomaret. “Ini candaan antarwartawan kalau di lapangan,” jelas Yarnes.

Yarnes tidak pernah mengalami penolakan dalam meliput kubu Prabowo-Hatta karena ia ditugaskan untuk menempel Jokowi, calon presiden yang didukung oleh Surya Paloh, pemilik Metro TV. Selama masa penugasannya, ia hanya meliput hal yang berkenaan dengan Jokowi. Katanya, ada juga wartawan yang ditugaskan untuk menempel Prabowo. “Walau jumlah kru yang diturunkan lebih sedikit (dari jumlah wartawan yang menempel pada Jokowi),” terangnya.

Saat Yarnes menjamu Remotivi di rumahnya, ia baru pulang dari penugasannya selama seminggu di Solo. Ia meliput hasil kerja Jokowi saat menjadi walikota. Ia mendatangi Taman Surakarta hasil perencanaan Jokowi; mewawancarai pengunjung taman yang memuja kerja Jokowi. Ia mendatangi kampung-kampung pendukung pasangan Jokowi-Kalla; bertanya pada mereka mengapa memilih Jokowi-Kalla. Ia mendatangi posko pemenangan Jokowi; meliput proses pengumpulan sumbangan dana kampanye untuk capres idaman. “Wartawan itu diperas habis-habisan di lapangan untuk menghasilkan berita. Memang begitu tugasnya,” ujar Yarnes, yang pada awalnya melamar untuk menjadi sales di Metro TV ini.

***

Cambridge, Amerika, musim salju tahun 2000. Andreas Harsono sedang berbincang dengan Bill Kovach tentang hubungan antara wartawan dan narasumber. Andreas adalah seorang wartawan, pendiri Yayasan Pantau, dan peraih Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 2000. Selama satu tahun di Harvard, ia berguru pada Bill Kovach, mantan wartawan The New York Times, yang bersama Rosenstiel menulis buku The Elements of Journalism: What Newspeople should Know and the Public should Expect. “Seorang wartawan adalah makhluk asosial,” tulis Kovach di buku tersebut.

Asosial tidak sama dengan antisosial, jelas Andreas. Ia menceritakan hal ini dan pengalamannya di Amerika dalam sebuah artikelnya “Sembilan Elemen Jurnalisme”. Artikel ini dimasukkan dalam buku kumpulan tulisannya ’A9ama’ Saya adalah Jurnalisme. Seperti dikutip Andreas, Kovach dan Rosenstiel berpendapat bahwa seorang wartawan boleh mengemukakan pendapatnya. Tentu tidak dalam sebuah berita, tapi dalam kolom opini. Lalu bagaimana dengan persoalan netralitas?

“Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas,” tulis Andreas. Yang paling penting adalah setiap wartawan harus bersikap independen terhadap narasumber yang mereka liput atau wawancarai. Akurasi dari setiap data harus terjaga, dan senantiasa rajin melakukan verifikasi atas hasil temuannya. Tapi tentu, tulisnya, wartawan yang beropini tidak diharapkan menulis sesuatu yang melibatkan dirinya. Sebab, ia akan mendapatkan keraguan dari masyarakat; apakah ia menulis untuk kepentingan masyarakat, atau sekadar untuk diri dan kelompoknya sendiri?

Seorang wartawan senior di New York, Walter Lippmann, mengatakan bahwa objektivitas bukanlah tujuan dari sebuah liputan jurnalistik, melainkan sebuah metode “disiplin dalam melakukan verifikasi”. Maka, kata Andreas, adalah sebuah kesalahan jika dikatakan bahwa wartawan harus bersikap objektif. Banyak dari mereka mendefinisikan objektif sebagai liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness), dan akurat.

Ini letak kesalahannya. Baik balance maupun fairness bukanlah sebuah tujuan. Tapi metode. Liputan yang balance malah bisa mengeruhkan kebenaran. Begitu pula dengan fairness. “Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?,” tulis Andreas.

Saat ditanya soal profesionalisme wartawan, ada dua hal yang dirujuk Andreas. Yang pertama, seperti kata Kovach, adalah sikap independensi wartawan dari setiap narasumbernya.

Andreas tidak melihat hal itu dimiliki oleh wartawan yang meliput Pemilu 2014 ini. Mereka, katanya, terlalu dekat dengan kandidat capres-cawapres gacoannya. Sehingga yang terjadi adalah tidak bisa melihat sisi buruk kandidat tersebut.

Andreas menyebut Arya Sinulingga, misalnya, yang menjadi pemimpin redaksi RCTI sekaligus anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta. Ia disebut sebagai salah satu contoh yang bukan hanya tidak independen, tetapi juga merusak reputasi individu dan media tempatnya bekerja. “Saya nggak tau bagaimana MNC TV dan juga TV One harus memperbaiki kerusakan image mereka,” katanya.

Prinsip profesionalisme kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen. Ketiga unsur ini, menurut Andreas, harus dilayani. Namun, jika terjadi sebuah konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah citizen. “TV One tidak melayani citizen. Ia hanya melayani pemilik. TV One melanggar prinsip loyalitas kepada warga,” katanya.

Dalam bukunya, Andreas menuliskan sebuah hasil survei di Amerika, yang mengatakan bahwa lebih dari 50% wartawan Amerika “menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme”. Ini artinya, mereka mendahulukan kepentingan perusahaan dibandingkan tanggungjawab profesinya sebagai wartawan. Padahal, menurut pria kelahiran Jember ini, jurnalisme itu berarti memprioritaskan warga, bukan pemilik. Maka, profesionalisme wartawan semestinya ditujukan kepada publik, bukan perusahaan tempatnya bekerja.

Andreas mengatakan bahwa salah satu profesi yang sulit dikatakan sebagai buruh adalah wartawan. Mereka harus independen, tapi harus ikuti aturan. Mereka adalah profesi yang sekaligus juga merupakah buruh di sebuah perusahaan. Namun, hal ini seharusnya bukan menjadi alasan bagi wartawan untuk tidak menjalankan tugasnya secara profesional.

Jika diperintahkan suatu hal yang melanggar profesionalisme mereka? “Ya mereka harus protes. Profesi mereka dilindungi, beda dengan profesi lain,” kata Andreas. Ia menyebut UU Pers dan Dewan Pers sebagai perisai bagi para wartawan. Belum lagi, katanya, ada AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang bisa menjadi tempat mengadu. “Bodoh sekali wartawan yang bilang harus ikutin (perintah) perusahaan mereka,” ujarnya.

***

“Nggak kebayang (bagi) gue, kerja di media yang sangat partisan kayak Metro TV dan TV One,” katanya sambil menunggu jadwal syuting berita sore. Namanya Djati Darma. Ia adalah reporter sekaligus presenter SCTV.

Ia tak pernah menyesal melamar di SCTV. Stasiun TV yang cukup ideal, katanya. Dalam meliput Pemilu, ia tak sesemrawut Metro TV dan TV One yang dinilai begitu partisan membela capres-cawapres masing-masing. Di SCTV, kata Darma, porsi pemberitaan bagi kedua pasangan masih dalam taraf yang wajar. Reporternya pun punya andil menentukan bentuk berita yang ia liput di lapangan. Kata Darma, setiap reporter harus mengawal beritanya hingga proses editing. “Kami ditekankan, bahwa liputan sebuah peristiwa adalah sebuah karya yang tanggung jawabnya terletak pada tiap individu reporter yang meliput,” ujarnya. Maka, ia boleh memberikan masukan, kritik, “nggak mau pake angle itu”, atau “lebih baik ditambahkan ini” saat produser mengedit beritanya.

Sayang, optimisme itu pudar dengan pengakuan Darma selanjutnya: berita pesanan pemilik juga banyak disiarkan. Pernah suatu kali, Darma diminta meliput peluncuran sebuah produk baru milik sister company SCTV. Ia pun pergi meliput. “Namanya juga kerja di industri. Harus profesional,” katanya. Maka, perusahaan tetap menempati posisi paling atas di benak Darma.

 

 

Mundzir punya pendapat serupa. “Sebagai jurnalis, kami independen. Menulis naskah adalah wilayah merdeka kami. Tak boleh dipengaruhi oleh siapapun…kecuali atasannya,” katanya. Bagi mantan kontributor Trans TV ini, tak bisa tidak, setiap jurnalis harus profesional dalam posisinya sebagai karyawan yang harus tunduk pada aturan perusahaan. Bahkan, ketika tak ada berita pesanan pun, tiap reporter Global TV akan pergi meliput jika ada acara yang melibatkan pemiliknya. Tanpa perintah dan pesan apapun, mereka tahu, liputan mereka  tak akan ditolak untuk ditayangkan, kata Mundzir.

Tengah Juni 2014 lalu, Remotivi sempat berkeliling melihat news room RCTI, Global TV, dan MNC. Semuanya berada pada lantai yang sama, lantai 2 gedung pemberitaan MNC Tower. Jika Anda sudah memasuki pintu masuknya, ruang redaksi RCTI berada di sebelah kanan, sementara Global TV dan MNC TV berada di sebelah kiri. Keduanya dipisahkan oleh ruang tunggu dan beberapa ruang rapat. Lalu, kami bertanya kepada seorang pegawai yang melintas di depan kami: apa yang memisahkan redaksi Global TV dan MNC TV? Ia menjawab, “Itu, lampu itu.” Ia menunjuk sebuah sinar lampu yang berasal dari lokasi syuting tayangan berita. Diameter lampu itu tak sampai satu meter.

 

Penulis adalah redaktur remotivi.or.id. Serabutannya menjadi peniup trompet di beberapa kelompok musik. Tiap saat bisa dihubungi di indahwulandari [at] remotivi.or.id.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Remotivi. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.