1. Beranda
  2. /
  3. Topik
  4. /
  5. Page 85

Topik

Sebuah Percakapan dengan Titarubi

Apa yang disebut Titarubi sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memeras otak itu sebetulnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan proses berkarya Titarubi dan juga zaman otoritarian Soeharto. Titarubi memang berkarya pada zaman itu pula dan ia pun pernah aktif dalam gerakan pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis Orde Baru. Tak hanya itu, ia pun akrab dengan beberapa aktivis kala itu. Selain itu, ada juga beberapa pertanyaan yang menyentuh isu-isu yang menarik perhatiannya dalam berkarya dan posisi perempuan dalam seni rupa. Selang sebulan surel itu saya terima, pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya dalam tatap muka kami.

Debt Collector

Sepeda motor menjadi senjata Jim membelah jalanan Jakarta siang itu. Tak seperti membelah kelapa di kampungnya, membelah jalanan Jakarta menguras segala yang dimiliki Jim. Dari kantornya, ia menuju ke selatan. Lantas membelok ke timur. Ia menuju daerah Kramat Jati kini. Jarak yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit itu, dihabisi Jimi satu setengah jam. Maklum saja, pengemudi baru di jalanan Jakarta. Setelah berputar-putar sejam di gang-gang untuk bertanya sana sini—di tambah Jimi hanya menggunakan ingatan tanpa bisa membaca—sampailah ia di alamat tujuan.

Kontemplasi Tato

Tidak satu pun orang yang pernah kutemui memiliki kegemaran yang sama denganku. Aku merasa perlu menularkan minat agar aku tak kesepian, itu saja motifku sebenarnya. Ya, aku seorang dari ratusan juta ras Mongoloid yang telah bercampur dengan Deutro-Melayu. Tinggi sedang, kulit kuning kecokelatan, hidung pesek, dan rambut lurus hitam. Namun, yang menjadi identitas kuat di sini adalah… justru aku tidak bertato.

Ahok dan Komunis

Di zaman Orde Baru, tuduhan komunis jelas bukan perkara main-main, karena itu bisa berarti kematian hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya bagi si terduduh. Karena itu, setelah kejatuhan rezim orba, seluruh elemen pro-demokrasi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan kata komunis sebagai alat untuk memojokkan lawan-lawan politiknya. Pertama, karena faktor kesejarahannya yang berdarah dan brutal tersebut; dan kedua, karena memang telah terjadi pemutarbalikkan dan penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap sejarah gerakan dan pemikiran komunis itu sendiri.

Tentu saja tetap ada yang getol menggunakan kata komunis untuk menyerang atau menyingkirkan lawan politiknya. Siapa mereka? Tidak lain adalah tentara dan kalangan Islam Politik. Tapi, sejauh ini tuduhan-tuduhan komunis itu sudah dianggap sebagai lelucon belaka, sebuah cara berpolitik yang tak beradab. Mereka yang menuduh lawan politiknya sebagai komunis, pasti si penuduh dianggap sebagai politisi yang goblok dan tukang konspirasi.

Korupsi: Akibat Persekongkolan Kapitalisme dengan Demokrasi

Tapi, benarkah korupsi semata masalah kebobrokan moral orang per orang? Benarkah korupsi adalah skandal dan kasus yang tak ada kaitannya dengan sistem ekonomi politik yang berlaku? Kenapa di saat sudah demokrasi, masih terjadi korupsi? Bagaimana solusi penyelesaian korupsi? Cukupkah melalui lembaga-lembaga seperti KPK?

DR. Max R. Lane: Sistem Yang Berlaku Ini Tidak Waras

Sistem yang berlaku ini tidak waras. Memiskinkan milyaran manusia di seluruh dunia, sekaligus jaminan keadilan sosial di negeri imperialis sendiri tidak bisa direalisasikan. Ditambah lagi pemercepatan kerusakan alam sebagai habitat manusia makin tak terkendali.

Ekologi Marx sebagai Hubungan Metabolik antara Manusia dan Alam

PENJELASAN mengenai hubungan manusia dengan alam dari pendekatan Marxisme, boleh dibilang sebagai wilayah teoritis yang kurang berkembang. Dalam tradisi Marxisme klasik, misalnya, kita hanya menemukan beberapa karya ternama seperti Dialectics of Nature dan Anti Duhring yang ditulis Friedrich Engels, yang berupaya menjelaskan fenomena alam dan hubungannya dengan manusia. Namun selain dua karya tersebut, sulit untuk menemukan penjelasan yang lebih elaboratif mengenai hubungan antara manusia dengan alam.

Edisi LKIP04

Phytagoras pernah berujar dahulu sekali, “musik adalah penyembuh jiwa.” Tentu ada sesuatu yang lain dan pemikiran tertentu yang melatarbelakangi apa yang dikatakannya itu. Tetapi cukuplah untuk pengantar ini kita mengutip sepenggal kalimatnya tersebut dan membiarkan ide lain di baliknya diam dulu. Dengan demikian, kita tentu bisa dengan mudah setuju dengan hal itu. Hampir setiap kita di zaman ini punya lagu-lagu favorit, punya musisi kesayangan, dan juga mendengarkan musik dengan cara apa pun dan melalui media mana pun. Apalagi dengan teknologi informasi yang memudahkan begitu rupa, kita lantas bebas dan terbuka untuk memilih dan memiliki musik-musik seperti apa pun juga. Di sisi lain, teknologi rekaman dan produksi musik yang dibantu komputer yang semakin maju memungkinkan musik diciptakan bahkan dengan seorang diri di kamar; hanya bersenjatakan sebuah gitar dan program fruity loop.

Makin Terbatas, Makin Luhung: Surat untuk Samin tentang Musik Non-Arus-Utama di Jakarta

Gimana kabarmu, Min? Sudah jadi PNS, Min? Kaupasti sudah punya sepeda motor seperti layaknya pemuda desa, ‘kan? Kredit motor ‘kan murah, belilah satu biar kausama dengan mereka. Sumber, kampung kita, pastinya sudah maju ‘kan?

Namun, tampaknya semaju apa pun Sumber[1], aku belum mau pulang. Jakarta belum memberikan apa yang kuharapkan. Gajiku masih digerogoti sewa kostan yang mencekik. Dan jangan tanya masalah kelas sosial; konon pekerja kantoran level manajer rendahan sepertiku ini sudah masuk kelas menengah, tapi aku tak percaya. Wong, rasanya sama saja. Hidup cuma habis di bus kota dan kostan, atau khusus untuk aku, di pagelaran musik.

Banyak Orang Menebang Hutan

Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di sebuah kota kecil di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tapi ia dibesarkan sebagai “anak kolong” di Asrama Kodam I/Bukit Barisan, Medan Sunggal, Medan. Pendidikan S1 (Sastra Inggris, Film, dan Creative Writing) dan S2 (Sastra Indonesia yang tidak selesai) dilakukannya di Selandia Baru yang menjadi tempat ia hidup merantau sebagai imigran selama 11 tahun. Saut mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia selama beberapa tahun di almamaternya, Victoria University of Wellington dan University of Auckland, Selandia Baru.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.