Debt Collector

Print Friendly, PDF & Email

”Jim, ingat ya. Kau cukup menagih hutangnya. Bila tidak membayar, ancamlah. Bila tidak mempan juga, pakai tanganmu. Yah, dengan cara apa pun, engkau harus bawa kemari uang itu. Oke, Jim?”

Sebuah alamat disodorkan ke wajahnya oleh Pak Jef. Melebar dengan guratan-guratan merah, mata Jim memelototi kertas itu. Jef kesal. Ini bawahan paling goblok dan yang paling menghabiskan energinya. Namun ia maklum saja. Jef pun mengeja alamat itu untuk Jim.

Sepeda motor menjadi senjata Jim membelah jalanan Jakarta siang itu. Tak seperti membelah kelapa di kampungnya, membelah jalanan Jakarta menguras segala yang dimiliki Jim. Dari kantornya, ia menuju ke selatan. Lantas membelok ke timur. Ia menuju daerah Kramat Jati kini. Jarak yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit itu, dihabisi Jimi satu setengah jam. Maklum saja, pengemudi baru di jalanan Jakarta. Setelah berputar-putar sejam di gang-gang untuk bertanya sana sini—di tambah Jimi hanya menggunakan ingatan tanpa bisa membaca—sampailah ia di alamat tujuan.

***

Yanti membuka pintu. Ia sudah tahu, penagih hutang yang biasanya rese dan tak tahu aturan akan datang hari ini. Serese-resenya dan se-taktahu-aturannya mereka, Yanti sudah terbukti mampu mengatasi orang jenis ini. Tadi ketika sang debt collector menelepon ke kantor, Yanti membuat janji untuk bertemu di rumah saja. Yanti tak mau teman-teman sekantornya tahu kalau dia punya begitu banyak hutang. Bagaimana nanti penilaian mereka? Up to date perkembangan fesyen, film, buku, restoran, rumah makan, make up tapi dengan menghutang? Ia tahu, teman-temannya selalu bertanya-tanya, dari mana ia bisa begitu royal berbelanja ini itu. Namun semua pertanyaan terselubung itu lenyap, ketika Yanti memberitakan pertunangannya dengan seorang kapten kapal muda lulusan sekolah tinggi pelayaran di Semarang. Tunangannya baru setahun ini bekerja pada sebuah kapal tanker yang jarang merapat di Jakarta. Paling-paling hanya berlabuh  di daerah Sumatera, Bangka, lantas ke luar negeri; Dubai, Brunai dan negara-negara Arab lainnya. Alhasil, Yanti dan tunangannya jarang bertemu semenjak laksamana muda itu naik kapal. Maklum, baru masuk dinas, belum bisa mengambil cuti banyak-banyak.

Yanti sudah mempersiapkan diri. Mengenakan pakaian seseksi mungkin, semenarik mungkin yang mampu membuat lelaki dari golongan apa pun berdecak kagum, terpelotot matanya atau setidak-tidaknya sedikit curi pandang. Seperti beberapa bulan yang lalu, debt collector dari bank lainnya, pengeluar kartu kredit Yanti yang satunya lagi, akhirnya pulang dengan sumringah tanpa perlu membawa sepersen pun uang Yanti. Bahkan, lelaki bertubuh atletis dengan wajah halus namun bersuara seram dibuat-buat itu jadi begitu manja dan sangat penurutnya di bawah selimut. Sebelum pergi, debt collector itu berjanji semuanya akan baik-baik saja. Ah, saling bertukar nomor hp, beberapa kali bertemu, putus hubungan, gampanglah, pikir Yanti.

Jimi sudah menyiapkan semuanya. Bicara baik-baik, langsung ambil uangnya, tanda tangan, lalu pulang. Bicara baik-baik, tak dapat uangnya, mengancam, ambil uang, tanda tangan, pulang. Bicara baik-baik, tak dapat uangnya, mengancam tak dapat uangnya, tinju mendarat di meja atau pintu atau lemari, ambil uangnya, pulang. Bicara baik-baik, tinju melayang di meja, tak dapat uang, menggertak, tak dapat uang, lantas? Telepon Jef dan …..

Jimi terkesima, Yanti kiut kecut! Jimi tak menyangka akan menghadapi perempuan cantik semolek bintang film. Jimi tentu tak akan tega dengan makhluk serupawan itu, bahkan untuk menggertak dengan kata-kata sekali pun. Yanti kiut kecut gemetaran. Tak diprediksinya, sore itu ia harus berhadapan dengan manusia serupa monster, serupa gangster negro di film-film Hollywood, serupa preman di jalanan New York, serupa lelaki penyiksa di situs-situs porno sadomasokis.

Jimi kuasai diri. Ia kini ada dalam tugas kerja, tugas besar untuk melancarkan roda banknya, berarti menyangkut kelangsungan hidupnya jua. Ia harus betul-betul mengabdi pada tempat di mana ia bekerja. Sedangkan Yanti yang masih berpikir bahwa mungkin seperti pria di depannya inilah Goliath itu, belum juga mempersilahkan Jimi masuk.

”Ibu Dwi Rahmayanti?”, suara parau keras Jimi makin menakutkan Yanti.

”Ia saya. Silahkan masuk dulu…, Mas?” Yanti berusaha menenangkan diri dengan senyum hambarnya.

”Ibu tahu punya hutang’kan?” Jimi langsung menyerang, menutup gugup dan kagum, mempersingkat tugas dinas.

”Ia…. Be be rapa yah, Mas?”

Jimi coba mengingat-ingat sejumlah angka yang tadi diucapkan Pak Jef. Semakin ia berusaha mengingat, semakin lupa pulalah ia. Tak mau ambil pusing, Jimi langsung mengeluarkan kertas dari tasnya. Dengan membanting tumpukkan kertas itu di meja, Jimi menghardik, ”Ini baca! Berapa??”

Dwi mengambil kertas itu, mebolak-balik dari halaman satu sampai sepuluh, memandang sedikit heran ke wajah sangar Jimi, lantas memberanikan diri

”Mas, maaf. Ini daftar alamat…?”

”Oh iya. Sini. Ini. Baca.” Sigap! Tak mau ketahuan kurang akrab dengan huruf-huruf dan angka-angka tertulis, Jimi langsung mengambil kertas yang lain.

”Ayooo baca. Berapa utang Ibu..??” Jimi semakin menghardik, ketika melihat senyum kecut di bibir Yanti yang ditafsirkannya sebagai ejekan.

”Ia Mas, lima jutah.”

”Ya sudah! Ibu, tunggu apa lagi? Bayar sekarang!!!”

”Ia Mas. Bi.. bisa tunda Mas?”

Yanti semakin takut, cemas. Bagai mana pun juga, ia manusia biasa. Tentu takut akan kekerasan diluar batas, apalagi berhadapan dengan orang semenyeramkan Jimi. Bibirnya mulai gemetar, keringat mulai membasahi jidatnya.

Jimi makin tak sabar… “Pokoknya bagaimana pun juga Jim, uang itu harus kau bawa ke sini”, terngiang-ngiang lagi kata Pak Jef. Itu tugasnya! Membawa uang lima juta ke kantor!

”Tunda? Maksud ibu, tidak bayar sekarang? Tidak bisa, Bu. Ayo, baca lagi! Berapa lama hutang?”

Yanti mencari-cari. Karena takut dan cemas, matanya tak sigap membaca.

”Ayo cepat baca..” Jimi menghardik dengan gebrakan di meja.

”E..e… enam bulan.”

”Nah kan? Lama kan?”

”Cek..cek..cek… Ibu…..” Jimi kehabisan kata-kata untuk menggertak atau berbicara lagi. Utang, baca, berapa lama nunggak, harus sekarang, apalagi ya? Pikirnya. Dengan selidik, dipandanginya Yanti. Sap…..! Bagaikan ditiup angin sepoi yang tiba-tiba datang, ia kembali sadar akan betapa cantik dan menariknya perempuan di depannya itu.

”Cek..cek..cek…. Ibu,. Masa cantik kayak pemain film, kok masih ngutang…” terlontar tanpa sadar dari mulut Jimi.

”Tapi sekarang  belum bisa lima juta….  Be…be…besok, saya janji lunasin Mas..”

Jimi memandang perempuan bidadari itu dengan saksama. Tak tega rasanya ia menghardik lagi. Mau bicara halus membujuk, ia tak punya perbendaharaan kata sehebat itu. Pakai tanganmu, Jim, begitu kata Pa Jef pagi tadi. Tapi, untuk perempuan secantik ini? Untuk wajah bersih tanpa noda bagaikan tak bercela ini? Agh, Jimi tak tega. Kata orang tua dulu, surga ada di telapak kaki ibu. Ibu itu perempuan. Dan di depannya kini ada seorang perempuan. Bagaimana mungkin dia, Jimi, menggertak, memaki-maki, apalagi melayangkan tangan pada perempuan? Secantik dan setakbercela ini pula. Ah, tak mungkin.

Jeda lama tanpa ada yang berkata. Hanya mata mereka saling bersitatap. Jimi merenung sambil terus memandangi Yanti. Wajah ibunya, adiknya, mantan pacarnya di kampung, silih berganti mengunjunginya. Yanti dengan takut-takut mencuri pandang ke arah Jimi. Lelaki mengerikan itu masih saja menatap tajam padanya. Ah, apa yang dilihatnya? Wajahku? Leherku? Pakaian menantangku? Bagian atas dadaku? Ah, bukan lelaki seperti ini yang ingin diajaknya bermain-main. Ia terlampau ngeri dengan wajah dan tubuh semonster itu. Oh, Yanti makin khawatir.

”Tit..tit..tit…..” bunyi telepon Jimi berdering. Diambilnya benda kecil itu dari saku jaket hitamnya. Ditekannya, diarahkan ke telinga lantas. ”halo….. halo…..halo….” dijauhkan lagi dari telinga. Dilihat sejenak layar monitornya sambil mengernyitkan dahi. Ah, benda baru ini. Memusingkan juga.

”Tit..tit..tit….”

”Halo.??”

”Oh.. ya. Pa Jef.”

”Sebentar Bu” Jimi beranjak keluar….

”Apa…?”

”Sudah……,… Tak…. duit….. ”

”Sudah….sudah……sudah….”

”Tidak bisa…,… tega Pak.”

”Besok…….. katanya….. oke pak.”

Jimi mematikan hp-nya dan masuk lagi…..

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.