Korupsi: Akibat Persekongkolan Kapitalisme dengan Demokrasi

Print Friendly, PDF & Email

Judul Buku      : Corruption, Capitalism, and Democracy
Penulis             : John Girling
Penerbit           : Routledge Studies in Social and Political Thought, 1997
Tebal                : xvi+176 halaman

 

 

‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.

 

BEGITULAH bunyi kutipan terkenal dari John Emerich Edward Dalberg Acton, first Baron Acton, atau yang terkenal dengan nama Lord Acton, yang diamini banyak orang. Menurut Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Pertanyaannya, benarkah sesederhana itu karakteristik kekuasaan? Atau kalau kita mengajukan pertanyaan dengan cara lain, kekuasaan seperti apa yang cocok dengan bunyi kutipan tersebut dan bagaimanakah analisis-analisis yang telah berkembang mengenai korupsi?

Pasca era otoritarianisme kapitalis Soeharto yang korup dan berlumuran darah, bergulir era demokrasi. Seruan-seruan anti-korupsi diteriakkan. Institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didirikan. Lembaga-lembaga pemantau korupsi juga bermunculan di mana-mana. Namun, korupsi tak juga kunjung berakhir. Korupsi masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari era demokrasi ini. Berbagai laporan lembaga riset pun menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi kian meningkat di negeri ini.

Akhir-akhir ini, beberapa kasus korupsi para pejabat negara terbongkar. Tentu kita masih ingat, kasus korupsi daging sapi impor anggota DPR yang juga Presiden PKS, Lutfhi Hasan; Pengemplangan pajak oleh keluarga Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono; hingga kasus Hambalang yang menjerat para petinggi Partai Demokrat, seperti mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, serta Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dalam lingkup yang lebih kecil dampak politisnya, pengungkapan kasus-kasus korupsi ini terus bermunculan. Masyarakat pun dibuat geram dan marah. Korupsi merupakan bentuk penghianatan atas kepercayaan yang diberikan rakyat kepada para penyelenggara negara tersebut.

Tapi, benarkah korupsi semata masalah kebobrokan moral orang per orang? Benarkah korupsi adalah skandal dan kasus yang tak ada kaitannya dengan sistem ekonomi politik yang berlaku? Kenapa di saat sudah demokrasi, masih terjadi korupsi? Bagaimana solusi penyelesaian korupsi? Cukupkah melalui lembaga-lembaga seperti KPK?

 
Korupsi, demokrasi, dan kapitalisme

Dalam buku Corruption, Capitalism, and Democracy, John Girling melakukan analisis terhadap korupsi berdasarkan konteks dimana korupsi berlaku, yakni dalam demokrasi a la kapitalisme. Ia menekankan analisisnya pada analisis ekonomi politik, dimana ia berusaha menunjukkan problem struktural dari korupsi. Dalam buku ini, Girling melakukan perbandingan atas berbagai teori mengenai korupsi yang telah berkembang sebelumnya serta menjadikan beberapa negara seperti Filipina, Indonesia, Thailand, Perancis, dan Inggris sebagai studi kasusnya.

Pada bagian awal buku ini, Girling menjelaskan bahwa korupsi lebih dari sekedar masalah kriminal. Girling membagi korupsi ke dalam tiga bagian besar, yakni korupsi fungsional, korupsi disfungsional, dan kekuatan normatif yang dapat mengalahkan korupsi. Menurut Girling, korupsi dimungkinkan oleh politik elektoral disamping perluasan pasar yang terjadi bersamaan. Hilangnya aspek demokrasi secara subtansial dapat menjadi faktor utama meningkatnya korupsi di berbagai negara, bahkan di negara yang secara prosedural menerapkan demokrasi. Menurut Girling, pertumbuhan ekonomi, kekuatan negara, dan kemunculan civil society, merupakan konteks yang paling dapat menjelaskan hubungan antara korupsi, kapitalisme, dan demokrasi.

Berdasarkan penelitiannya, Girling menemukan bahwa terdapat kemiripan dinamika korupsi di tiga wilayah yang ia teliti (Asia Tenggara, yang terdiri dari Filipina, Indonesia, Thailand; Perancis; dan Inggris). Kemiripan itu diantaranya mengenai pembangunan institusi demokratik sebagai solusi penyelesaian korupsi serta dipandangnya korupsi sebagai permasalahan hukum semata. Kedua hal tersebut, menurut Girling sangatlah tidak memadai: butuh sintesis dari ketiga dimensi, yakni ekonomi, politik, dan sosial, dalam melakukan analisis terhadap korupsi.

Pada bab 1, ‘Introduction,’ Girling menjelaskan posisi teoritisnya mengenai hubungan antara korupsi, kapitalisme, dan demokrasi. Dengan merujuk pada tesis Lord Acton, Girling menyatakan bahwa demokrasi sebenarnya dapat mengurangi kecenderungan terjadinya korupsi. Dalam kaitan dengan itu, korupsi terjadi karena juga didukung oleh prosedur-prosedur legal. Overlap yang terjadi antara kapitalisme dan demokrasi menyebabkan definisi mengenai apa yang publik dan privat menjadi kabur. Girling menekankan tesisnya bahwa korupsi dihasilkan oleh benturan antara demokrasi dan kapitalisme. ‘Power corruption’ atau ‘korupsi kekuasaan,’ misalnya, terjadi akibat disalahgunakannya kepentingan publik untuk keuntungan yang bersifat privat.

Hal tersebut hanya dimungkinkan manakala sistem ekonomi dan politik yang berlaku berjalin erat, tetapi juga saling berbenturan. Dalam hal ini, kapitalisme dan demokrasi memang memiliki raison de’etre yang berbeda satu sama lain. Raison d’être negara demokrasi adalah untuk melayani kepentingan publik, sementara basis dari kapitalisme adalah pengejaran keuntungan pribadi. Namun, keduanya harus bersekongkol untuk membuat sistem ini bekerja. Penetrasi kapitalisme, nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik demokrasi menjadi kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kondisi tersebut membuat praktik politik uang, pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan, dan tentu saja korupsi, menjadi tak bisa dihindari.

Girling mencontohkan, dalam pemilu misalnya, seseorang yang mengikuti pemilu dapat mengakumulasikan modal yang ia keluarkan ketika mengikuti pemilu, saat ia menduduki jabatan politik. Itulah yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan Filipina. Mahalnya biaya kontestasi elektoral sebagai salah satu penyebab potensial dari korupsi, juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Dalam buku ini, Girling menjelaskan, misalnya, pada tahun 1998, masing-masing calon Presiden AS menghabiskan sekitar 70 juta dollar AS dalam pemilu. Sementara, calon senator yang memenangkan pemilu rata-rata menghabiskan lebih dari 3 juta dollar AS.

Untuk menganalisis mengapa korupsi terjadi di banyak negara dalam skala besar, Girling menggunakan analisis sosial, yang mana analisis tersebut menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis merupakan kondisi yang kondusif bagi terciptanya korupsi secara sistemik. Di sini, Girling kembali menekankan pentingnya penyelesaian permasalahan korupsi secara sistemik, dan bukan institusional sebagaimana yang banyak diterapkan di berbagai negara dengan demokrasi prosedural, termasuk Indonesia. Argumentasinya, korupsi inheren dalam kekuasaan yang unchecked (p.22), sementara idea mengenai kekuasaan dalam demokrasi ditumpukan pada mekanisme check and balances. Namun, di banyak negara, mekanisme check and balances tersebut diterapkan secara prosedural, sebatas pembagian di tingkat institusi, baik legislatif maupun yudikatif. Demokrasi prosedural dengan demikian telah membuat demokrasi menjadi rombeng, karena mengabaikan pencipataan ruang politik yang sebesar mungkin bagi masyarakat dalam mekanisme check and balances, sebagaimana idea demokrasi mengenai kekuasaan. Kekuasaan rakyat, dalam makna rakyat secara independen membuat keputusan mengenai apa yang merupakan kebutuhannya, dalam demokrasi prosedural diwakilkan dan pada akhirnya dibajak oleh elite. Kesenjangan kekuasaan antara rakyat dan elite inilah yang memberi peluang pada elite untuk melakukan korupsi.

Proyek neo-institusionalisme[1] yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kapitalisme neoliberal memang menghendaki mekanisme institusional dalam menjawab berbagai permasalahan yang diciptakan oleh sistem ekonomi politik kapitalisme. Alih-alih menjawabnya secara substansial, jawaban prosedural dalam bentuk penataan institusi memang lebih dapat diakomodir oleh demokrasi ala kapitalisme. Terkait dengan hal itu, dalam tesisnya, Girling menekankan pentingnya formasi politik kelas dalam demokrasi, untuk menjamin keberlangungan check and balances secara substansial dalam demokrasi.

Girling memberikan ilustrasi terhadap berbagai tesisnya tersebut dalam bab 2 yang berjudul ‘Functional corruption: a developmental role’ dengan menggunakan Filipina, Thailand, dan Indonesia sebagai studi kasusnya. Di Filipina, kediktatoran Ferdinand Marcos yang tumbang pada tahun 1986 dan digantikan oleh demokrasi prosedural di bawah pemerintahan presiden Corazon Aquino, nyatanya tidak memberikan perubahan yang berarti. 85 persen anggota parlemen (House of Representative) Filipina pada saat itu merupakan mereka yang dulunya memiliki kedekatan dengan Marcos. Politik di Filipina dikuasai oleh para pemilik tanah, baik di tingkat lokal maupun provinsi. Pada pemilu tahun 1969, kandidat yang berasal dari kalangan kaya (dimana jumlahnya hanya 0,5 persen dari populasi) memenangkan pemilu dan dapat terus mengakumulasikan kekayaannya setelah menduduki jabatan publik. Demokrasi di Filipina, sejatinya dikuasai elit tuan tanah tradisional, dan pendukung Aquino (Ramos) disokong oleh kelas pebisnis. Kekuasaan di Filipina pun hanya berganti baju. Korupsi terus berlangsung dan demokrasi masih dikuasai para pemilik modal. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Thailand, dimana kelompok pebisnis menguasai parlemen (1986) (p. 53). Pada tahun 1960, terjadi boom ekonomi, dimana terjadi perluasan universitas dan populasi mahasiswa sehingga mengakibatkan terjadinya ‘blatant corruption’ (p.62). Dalam bab 2 ini, Girling kembali menegaskan kritiknya terhadap penyelesaian korupsi secara institusional yang diterapkan di ketiga negara tersebut. Korupsi terjadi akibat kolaborasi bisnis serta politik dan penyelesaian korupsi secara institusional tidak akan menyelesaikan permasalahan korupsi secara mendasar (p.71).

Pada bab 3 yang berjudul ‘Dysfunctional corruption and destabilised politics,’ Girling menceritakan perkembangan Perancis sejak era Revolusi (1789), Restorasi (1815-1848), Second Empire (1852-1870) hingga pembentukan Republik Ketiga/Third Republic setelah kejatuhan Second Empire. Pada Third Republic inilah, menurut Girling, dimulainya rezim korup dalam sejarah Perancis, dimana perkembangannya tidak terlepas dari kapitalisme yang sedang berkembang di Perancis pada saat itu. Kepentingan ekonomi dari petani dan kelas menengah bukanlah prioritas. Pengaruh dimensi kekayaan/wealth terhadap kekuatan politik menjadi penentu dari kondisi tersebut. Menurut Girling, apa yang terjadi di Perancis disebut juga dengan reberioux yakni aktivitas bisnis, apakah terkait dengan pertumbuhan industri atau investasi ke luar negeri atau di koloni-koloni, yang semakin mencari dukungan kepada kelompok-kelompok politik.

Dislokasi sosial yang semakin masif terjadi pada tahun 1930 dimana terjadi Great Slump di Perancis. Korupsi pun semakin meningkat dimana kekuatan-kekuatan politik membutuhkan uang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya dan kekuatan ekonomi (yang memiliki uang) membutuhkan politik dalam memperlancar akumulasi modal mereka. Kondisi tersebut diperparah ketika kepentingan privat direpresentasikan di dalam parlemen. Menurut Girling, kolusi bisnis dan politik merupakan salah satu karakteristik dari kapitalisme borjuis. Di sini, saya kurang setuju dengan istilah kapitalisme borjuis yang dimunculkan Girling. Menurut saya, kata borjuis tidak perlu ditambahkan di belakang kata kapitalisme, karena kapitalisme pada esensinya sebuah sistem masyarakat berkelas dimana kelas yang utama adalah kelas kapitalis dan kelas pekerja.

Pada bab 3 ini, Girling kembali menekankan tesisnya bahwa korupsi merupakan wajah yang tidak bisa diterima dari kapitalisme. Meskipun Girling memberikan tawaran solusi berupa demokrasi yang lebih substansial dan partisipastif dalam penyelesaian korupsi, saya pikir, titik tekan solusi seharusnya lebih ditekankan kepada kapitalisme sebagai parasit yang menghinggapi demokrasi. Korupsi dimungkinkan dalam situasi dimana kontrol efektif atas keberlangsungan demokrasi sangat kurang. Kondisi tersebut hanya dimungkinkan ketika demokrasi dikuasai oleh kelas kapitalis yang menjadikan politik sebagai alat untuk terus memperbesar akumulasi kapital mereka.

 
Korupsi dan demokrasi kapitalis di Indonesia

Di Indonesia, kemunculan korupsi pada masa Orde Baru terjadi karena politik dikuasai oleh militer dan disokong kalangan pebisnis, khususnya pebisnis keturunan Tionghoa atau biasa disebut dengan cukong.[2] Kapitalisme chronism yang menjadi pola pada masa Orde Baru juga memungkinkan terjadinya kolusi diantara kelompok pebisnis dan politisi dengan lebih kuat. Sayangnya, Soeharto berhasil mendapatkan apa yang disebut Girling dengan ‘legitimate performance’ dimana Soeharto ‘berhasil memberikan’ standar hidup yang layak untuk masyarakat. Ini merupakan penipuan yang dilakukan Soeharto dimana ‘standar hidup yang layak’ tersebut harus mengorbankan kebebasan berpikir, berkumpul, dan berpendapat, serta berpolitik masyarakat. Tapi, Girling tidak membahas pasca Soeharto, mengingat buku ini ditulis memang pada tahun 1997.

Pasca keruntuhan Orde Baru Soeharto oleh gerakan rakyat pada tahun 1998, agenda penyelesaian korupsi menjadi salah satu agenda utama yang diusung dalam reformasi. Berbagai perubahan politik (meski masih sebatas prosedural) pun terjadi. Manifestasi yang paling nyata diantaranya adalah didirikannya berbagai institusi baru termasuk institusi penganggulangan korupsi, yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun, korupsi masih terus terjadi dan bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya.

Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2012 mencapai 32.[3] Dengan menggunakan skala 0-100, dimana angka 0 berarti negara yang sangat korup, sementara 100 berarti negara yang sangat bersih, angka 32 berarti Indonesia merupakan negara yang cukup korup. Begitu pun dengan data yang ditunjukkan pada dua tahun sebelumnya dimana Indeks Persepsi Indonesia pada tahun 2011 mendapat nilai 3 dengan menggunakan skala 0-10, sementara pada tahun 2010, Indonesia mendapat nilai 2,8.

Selain itu, berdasarkan data yang didapat dari KPK, jumlah perkara korupsi di dalam institusi-institusi politik tidak memiliki kecenderungan menurun setiap tahunnya. Korupsi yang masih selalu dianggap semata-mata sebagai permasalahan kriminal, kebanyakan dilakukan oleh mereka yang berada di kementerian. Dari tahun 2004 hingga 2011, terdapat 91 perkara korupsi yang terjadi di kementerian, disusul dengan 49 perkara di pemkab/pemkot, 27 di pemerintah provinsi dan DPR, serta 22 di BUMN dan BUMD.

Selain itu, data Barometer Korupsi Global Transparency International yang mensurvei 11 macam institusi pada tahun 2010/2011 menunjukkan bahwa parlemen/lembaga legislatif merupakan institusi terkorup di Indonesia dengan nilai 3,6, disusul oleh partai politik (borjuis) dan kepolisian, masing-masing dengan nilai 3,5. Sementara itu, institusi peradilan mendapat nilai 3,3; pejabat publik/pegawai negeri dengan nilai 3,2; sistem pendidikan dengan nilai 3,0; serta sektor swasta/bisnis, militer dan media, masing-masing dengan nilai 2,8. Terakhir, organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga keagamaan, masing-masing dengan nilai 2,5.[4]

Kemudian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi.[5] Lalu, catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menemukan sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota DPRD provinsi dan 998 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota yang tersangkut berbagai status hukum, dan yang paling banyak adalah kasus korupsi. Terkait korupsi partai politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa di tahun 2012, Partai Golkar merupakan partai politik yang kadernya paling banyak terlibat tindak pidana korupsi. Sekitar 14 kader Partai Golkar terjerat kasus korupsi.[6] Selain Golkar, 10 kader Partai Demokrat pun terjerat kasus korupsi. Disusul PAN dan PDIP masing-masing 8 orang; PKB 4 orang, Gerindra 3 orang, serta PKS dan PPP 2 orang. Kader yang terlibat adalah mereka yang duduk di eksekutif dan legislatif. Selain itu, ICW juga mencatat bahwa terdapat 24 orang kepala daerah dari berbagai partai politik yang tengah ditangani KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Sedangkan untuk legislatif, terdapat 25 orang dari DPR dan DPRD.

Mural Anti Korupsi oleh Robo Wobo
Mural Anti Korupsi oleh Robo Wobo

 
KPK tak akan bisa menghentikan korupsi

Berbagai data di atas menunjukkan bahwa korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi kapitalis yang berlaku di Indonesia saat ini. Tidak adanya kontrol politik di tangan rakyat membuat korupsi menjadi keniscayaan. Tesis Girling yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena biaya demokrasi yang tinggi dalam sistem ekonomi politik kapitalisme juga menjadi benar. Dari data di atas, terlihat bahwa partai-partai politik (yang berkuasa saat ini) menjadi salah satu pelaku utama korupsi.

Biaya Pemilu di Indonesia memang mahal. Pada Pemilu 2009 lalu, biaya kampanye seorang calon presiden (capres) bisa mencapai Rp 1,5 triliun, dan hampir setengah dari anggaran itu hanya digunakan untuk publikasi dan promosi. Sementara itu, calon legislatif (caleg) harus mengeluarkan biaya yang juga tidak sedikit. Dalam disertasinya yang berjudul Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen, Pramono Anung, anggota DPR dari PDIP,[7] menunjukkan bahwa caleg yang sudah populer masih membutuhkan dana minimal Rp600 juta, sementara calon dari kalangan pengusaha biasanya menghabiskan dana sebesar Rp6 miliar. Selain itu, ada kemungkinan biaya yang harus dikeluarkan caleg untuk Pemilu 2014 akan naik. Hal ini terkait dengan perbandingan biaya yang harus dikeluarkan oleh caleg pada Pemilu 2004 dan 2009 dimana biaya yang dikeluarkan seorang caleg untuk Pemilu 2009 ternyata lebih besar 3,5 kali lipat dari Pemilu 2004.

Dalam riset yang berjudul ‘Korupsi Dalam Pemilihan Kepala Daerah,’[8] ICW menunjukkan data korupsi elektoral yang terjadi di empat daerah, yakni Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, Kota Jayapura dan Kabupaten Kampar, pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 2010/11. Dalam riset tersebut dijelaskana bahwa para calon melakukan manipulasi dana kampanye dengan menerima sumbangan dari perseorangan atau badan usaha yang alamatnya palsu. Mereka juga menerima sumbangan dari perusahaan/badan usaha yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Disamping itu, banyak calon yang memasukkan ‘orang palsu’ sebagai penyumbang. Misalnya, salah satu penyumbang pasangan incumbent di Provinsi Banten ternyata adalah supir pribadi salah satu pejabat di Dinas Kesehatan Provinsi Banten.[9]

Selain itu, para calon, terutama calon incumbent, juga menggunakan dana APBN dan APBD Provinsi serta kota untuk modal pemenangan Pemilukada. Dana yang paling banyak dikorup adalah dana program hibah dan bantuan sosial. Di Banten, misalnya, gubernur memberikan dana hibah kepada lembaga-lembaga milik keluarga atau penerima fiktif. Sementara di Pandeglang, bupati mengeluarkan surat edaran yang meminta semua kepala sekolah dasar menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membuat baliho bergambar bupati dengan pesan mirip kampanye bupati.[10]

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh CHR. MICHELSEN INSTITUTE (CMI)  pun menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah yang paling umum di negara-negara demokrasi.[11] Terkait dengan itu, masih berlakunya demokrasi yang bersifat prosedural dalam sistem ekonomi politik kapitalisme menempatkan demokrasi bukan lagi sebagai ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,’ melainkan ‘dari rakyat, oleh pejabat korup, untuk kepentingan bisnis.’ Saya setuju dengan Girling bahwa korupsi bukanlah semata persoalan skandal hukum. Kian meningkatnya kasus-kasus korupsi, misalnya di Indonesia, jelas mengindikasikan bahwa korupsi merupakan masalah yang lebih bersifat struktural.

Dalam penutupnya, saya setuju dengan Girling yang mengajukan solusi ‘no more neoliberal, but more democracy.’ Kontrol atas demokrasi yang benar-benar berada di tangan rakyat, menurut saya, sangat tidak dimungkinkan dalam bentuk demokrasi yang berjalin kuat dengan kapitalisme seperti yang berlaku di Indonesia saat ini. Hubungan antara kelompok pebisnis dan politisi yang saling menguntungkan seperti ditunjukkan dalam data-data di atas, menjadi kondisi paling kuat yang memungkinkan semakin hilangnya kontrol atas demokrasi di tangan rakyat. Kekuasaan rakyat yang dikehendaki dalam demokrasi akan sangat sulit diwujudkan ketika demokrasi masih berkawin erat dengan kapitalisme. Terkait dengan itu, menurut saya, korupsi dapat ditekan dan perlahan dihilangkan dengan mewujudkan demokrasi ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,’ dan mengakhiri hubungan dengan kapitalisme. Demokrasi yang bersifat sosialis mesti terus diusahakan, dimana rakyat bangkit, dan dapat membangun kekuatannya secara politik, lepas dari belenggu demokrasi kapitalisme yang menyengsarakan.¶

 

Fathimah Fildzah Izzati, Anggota Redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS. Penulis beredar di twitterland dengan id @ffildzahizz

 

Daftar Referensi

Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London : Routledge.1997.

Hadiz, Vedi. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia. 2005.

Robison, Richard. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia. Trans. Harsutejo. Jakarta : Komunitas Bambu. 2012. Trans. of  Indonesia : The Rise of Capital, 1986.

‘Pelemahan Lembaga AntiKorupsi Pengaruhi IPK Indonesia;’ data didapat dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c0562c84058/pelemahan-lembaga-antikorupsi-pengaruhi-ipk-indonesia ; internet; diakses 1 Maret 2013.

Anwar Siswadi, Pramono : Kuliah untuk Ubah Citra Politikus; data didapat dari http://www.tempo.co/read/news/2013/01/11/078453773/Pramono-Kuliah-untuk-Ubah-Citra-Politikus; internet; diakses 1 Maret 2013.

Elvan Dany Sutrisno, PPATK Sebut 69,7% Anggota DPR terindikasi Korupsi, FPPP Protes; data didapat dari http://news.detik.com/read/2013/01/04/163851/2133463/10/ppatk-sebut-697-anggota-dpr-terindikasi-korupsi-fppp-protes; internet; diakses 1 Maret 2013.

ICW  “Korupsi dalam Pemilihan Kepala Daerah”, data didapat dari www.antikorupsi.org  hlm. 4

ICW, Riset Korupsi dalam Pemilihan Kepala Daerah; data didapat dari http://antikorupsi.org/new/index.php?option=com_content&view=article&id=20479&Itemid=123&lang=id; internet; diakses 1 Maret 2013.

Si ‘DPP Golkar Tak Keberatan Disebut ICW sebagai Partai Terkorup;’ data didapat dari http://www.batamtoday.com/berita23289-DPP-Golkar-Tak-Keberatan-Disebut-ICW-sebagai-Partai-Terkorup.html; internet; diakses 1 Maret 2013.

Zaki dan Ari ‘Korupsi dan Mahalnya Demokrasi dalam Kapitalisme;’ data didapat dari http://www.perspektifnews.com/116/korupsi-dan-mahalnya-demokrasi-dalam-kapitalisme/; internet; diakses 1 Maret 2013.

Ivar Kolstad & Arne Wiig. Does democracy reduce corruption? WP 2011: 4 CHR. MICHELSEN INSTITUTE (CMI) Working Paper.

 

 


[1]Vedi Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2005.

[2]Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia. Trans. Harsutejo. Jakarta : Komunitas Bambu. 2012. Trans. of  Indonesia : The Rise of Capital, 1986.

 

[3]Pelemahan Lembaga AntiKorupsi Pengaruhi IPK Indonesia; data didapat dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c0562c84058/pelemahan-lembaga-antikorupsi-pengaruhi-ipk-indonesia; internet; diakses 1 Maret 2013.

[4]Zaki dan Ari, Korupsi dan Mahalnya Demokrasi dalam Kapitalisme; data didapat dari http://www.perspektifnews.com/116/korupsi-dan-mahalnya-demokrasi-dalam-kapitalisme/; internet; diakses 1 Maret 2013.

[5]Elvan Dany Sutrisno. PPATK Sebut 69,7% Anggota DPR terindikasi Korupsi, FPPP Protes; data didapat dari http://news.detik.com/read/2013/01/04/163851/2133463/10/ppatk-sebut-697-anggota-dpr-terindikasi-korupsi-fppp-protes; internet; diakses 1 Maret 2013.

[6]Si DPP Golkar Tak Keberatan Disebut ICW sebagai Partai Terkorup; data didapat dari http://www.batamtoday.com/berita23289-DPP-Golkar-Tak-Keberatan-Disebut-ICW-sebagai-Partai-Terkorup.html; internet; diakses 1 Maret 2013.

[7]Anwar Siswadi, Pramono: Kuliah untuk Ubah Citra Politikus; data didapat dari http://www.tempo.co/read/news/2013/01/11/078453773/Pramono-Kuliah-untuk-Ubah-Citra-Politikus; internet; diakses 1 Maret 2013.

[8]ICW, Riset Korupsi dalam Pemilihan Kepala Daerah; data didapat dari http://antikorupsi.org/new/index.php?option=com_content&view=article&id=20479&Itemid=123&lang=id; internet; diakses 1 Maret 2013.

[9]ICW,  Korupsi dalam Pemilihan Kepala Daerah, data didapat dari www.antikorupsi.org  hlm. 4

[10]Ibid., hlm. 5

[11]Ivar Kolstad & Arne Wiig. Does democracy reduce corruption? WP 2011: 4 CHR. MICHELSEN INSTITUTE (CMI) Working Paper.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.