Coen Husain Pontoh

Lagi, Soal Kebebasan Akademik

KEMBALI ke kasus Ulil, maka kita bisa melihat bahwa kasusnya ini hanyalah puncak gunung es dari sebuah persoalan maha serius dalam dunia pendidikan di Indonesia: tidak adanya demokratisasi pendidikan. Kebiasaan mencekal ini, tidak bisa secara sederhana kita anggap sebagai refleksi dari ketakutan pihak universitas terhadap tekanan kelompok anti kebebasan berpikir, tetapi sesungguhnya telah berakar dan tertanam dalam jantung sanubari kalangan akademis Indonesia. Dan semua itu memiliki legitimasi hukum.

Menakar Peran Gerakan Kiri dalam Kejatuhan Morsi

ARTIKEL saya sebenarnya bertujuan untuk menjelaskan kenapa Morsi jatuh dari kekuasaannya yang terpilih secara demokratis di sebuah negara yang demam revolusinya tengah berkobar. Tetapi rupanya Waluyo menganggap bahwa dengan menjelaskan sebab-sebab kejatuhan Morsi, yang kemudian ditelikung oleh kudeta militer itu, tak lain merupakan pembenaran atau pembiaran atas kudeta militer tersebut. Waluyo rupanya ingin agar saya tak perlu memberi penjelasan, tak usah mencari tahu sebab-sebab kenapa Morsi yang kekuasaannya baru seumur jagung itu didemonstrasi oleh puluhan juta rakyat Mesir. Usaha seperti itu, menurut Waluyo, adalah sia-sia, toh Morsi jatuh oleh kudeta militer. Yang paling penting bagi Waluyo adalah bagaimana sikap saya terhadap kudeta militer itu sendiri. Mendukung atau menolak? Berdiri di barisan pemerintahan yang sah (legitimate) atau berdiam serta berpihak pada kudeta militer?

Masa Depan Demokrasi Mesir

PASCA jatuhnya Hosni Mubarak, terdapat empat kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Mesir. Pertama, adalah kalangan militer yang terselamatkan dari keruntuhan Mubarak; kedua, pejabat-pejabat tinggi birokrasi pemerintahan Mesir serta kroni-kroni Mubarak yang disebut Feloul yang menggunakan Partai National Democratic (NDP) sebagai kendaraan politiknya; dan ketiga, kelompok Ikhwanul Muslimin, yang memiliki struktur dan jaringan organisasi yang luas, serta kepemimpinan politik dan idelogi yang jelas; serta keempat, adalah massa rakyat yang berasal dari berbagai aliran politik, organisasi, dan ideologi yang tumpah-ruah di Tahrir Square.

Menguak Mitos Negara Lemah Di Hadapan Pasar

Dekade 80an memang merupakan dekade dimana paham ekonomi neoliberal sedang mengalami pasang naiknya. Bangkrutnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 60an, dan proses deindustrialisasi yang menimpa negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang berpuncak pada krisis fiskal pada pertengahan 1970an, telah membuat para intelektual, teknokrat, dan politisi berpaling dari jalan Keynesianisme dan Sosial-demokrasi mengikuti jalan Kapitalisme-neoliberal. Di negara-negara berkembang, proyek industrialisasi berorientasi impor (Industrialisasi substitusi impor/ISI) mulai kehilangan popularitasnya sebagai solusi untuk memodernisasi keterbelakangan dan ketertinggalan ekonomi. Ketika terjadi krisis hutang luar negeri dari negara-negara Dunia Ketiga ini pada dekade 1908an, maka proyek ISI bangkrut dan diganti dengan proyek industrialisasi berorientasi ekspor (Industrialisasi Orientasi Ekspor/IOE).

PERBINCANGAN: UU Ormas Dan Implikasinya

Pada hari Selasa 2 Juli 2013, Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan UU Organisasi Masyarakat (ORMAS). 311 Anggota DPR menyatakan setuju dan 50 anggota lainnya menolak. Dengan telah disahkannya UU Ormas ini, bagaimana dampaknya bagi kehidupan demokrasi, yang saat ini hanya mengambil bentuk procedural? Berikut ini perbincangan Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS dengan Indri D. Saptaningrum, Direktur Eksekutif Institute for Policy Research and Advocacy; Ted Spraque, Editor Militan Indonesia; dan Justinus Prastowo, research associate Perkumpulan Prakarsa. Berikut petikannya:

Neoliberalisme dan Kekerasan Sektarian

DALAM sistem neoliberalisme, Politik (dalam pengertian P besar) sebagai sebuah ikhtiar publik untuk melayani kepentingannya sendiri telah bangkrut. Apa yang terjadi, politik semata-mata diorientasikan untuk melayani dan tunduk pada mekanisme pasar. Segala sesuatu yang menghambat hukum pasar, baik yang datang dari negara, kelas, dan komunitas harus disingkirkan. Politik disapu bersih oleh, meminjam Walter Benjamin, ‘angin puyuh kemajuan/storm of progress. Jika pada masa Benjamin ‘kemajuan’ itu adalah ‘modernisasi,’ maka pada kita, ‘kemajuan’ itu adalah ‘neoliberalisme.’ Pasar bebas adalah dasar dan tujuan bermasyarakat.

Kesehatan Buat Semua

Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, meluncurkan kebijakan Kartu Jakarta Sehat (KJS), bersamaan dengannya, keraguan, sinisme, dan kritik segera muncul. ‘Mana mungkin kebijakan ini sanggup direalisasikan? Jakarta yang besar dan kompleks bukan Solo yang kecil dan kurang kompleks.’ ‘Ah, ini kebijakan untuk pencitraan, sekadar untuk menunjukkan pada pemilihnya bahwa Jokowi-Ahok sanggup merealisasikan janji-janji masa kampanyenya.’ ‘Ini kebijakan yang terburu-buru karena segala fasilitas infrastruktur dan sumberdaya manusianya sangat terbatas.’ ‘Aturan mainnya seperti apa, dari mana dananya, kok asal bikin kebijakan populis?’

Mengapa Turki Bergolak?

Dengan penerapan kebijakan neoliberal yang pesat, dalam waktu singkat ekonomi Turki bertumbuh pesat. Kelompok-kelompok seperti MUSIAD dan TUSIAD merupakan penerima terbesar dari berkah ekonomi ini. Sementara mayoritas rakyat masih berkutat dalam kemiskinan. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2007, tingkat pengangguran di Turki mencapai 20 persen, dan sejak 2003, 3,5 juta petani dan keluarganya jatuh bangkrut dan kemudian memutuskan untuk migrasi ke kota kecil dan kota besar. Di lain pihak, untuk menjaga basis dukungan dari kelompok masyarakat bawah dan serikat buruh, pemerintahan AKP memberlakukan kebijakan sosial yang bertujuan mendistribusikan berkah kemakmuran tersebut. Untuk waktu tertentu, kebijakan ini berlangsung sukses yang dibuktikan dengan hasil pemilu yang menempatkan AKP sebagai juara dengan perolehan suara mayoritas.

Urbanisasi, HAM, dan Kerjasama Politik

Apa yang ingin saya kemukakan di sini, baik Jokowi-Ahok dan Komnas HAM harus sama-sama menyadari bahwa ada persoalan struktural dan kultural yang begitu besar dan rumit yang mereka hadapi ketika hendak memperbaiki Jakarta dan penduduknya saat ini. Dalam kasus bantaran Waduk Pluit ini, mereka harus menempatkan HAM dalam konteks ini, bukan dengan merapal teks-teks HAM dari buku atau hukum-hukum positif yang ada. Hambatan struktural dan kultural ini merupakan warisan dari sistem pembangunan kapitalistik yang dilakukan oleh rezim Orba. Dalam model ini, Jakarta hanya merupakan salah satu bab darinya. Dengan demikian, jika keduanya, khususnya Jokowi-Ahok, tetap mengunakan model pembangunan lama yang ingin meniru ‘jalan menuju kemakmuran’ yang telah dicapai oleh negara-negara maju sekarang, maka keduanya pasti akan gagal. Atau, paling tidak, program Jakarta Baru mereka akan menelan ‘korban manusia’ yang sangat mahal.

Ahok dan Komunis

Di zaman Orde Baru, tuduhan komunis jelas bukan perkara main-main, karena itu bisa berarti kematian hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya bagi si terduduh. Karena itu, setelah kejatuhan rezim orba, seluruh elemen pro-demokrasi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan kata komunis sebagai alat untuk memojokkan lawan-lawan politiknya. Pertama, karena faktor kesejarahannya yang berdarah dan brutal tersebut; dan kedua, karena memang telah terjadi pemutarbalikkan dan penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap sejarah gerakan dan pemikiran komunis itu sendiri.

Tentu saja tetap ada yang getol menggunakan kata komunis untuk menyerang atau menyingkirkan lawan politiknya. Siapa mereka? Tidak lain adalah tentara dan kalangan Islam Politik. Tapi, sejauh ini tuduhan-tuduhan komunis itu sudah dianggap sebagai lelucon belaka, sebuah cara berpolitik yang tak beradab. Mereka yang menuduh lawan politiknya sebagai komunis, pasti si penuduh dianggap sebagai politisi yang goblok dan tukang konspirasi.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.