Berto Tukan

7-ELEVEN

Jadi begini. 7-Eleven yang akan saya bicarakan ini memang baru ada di Jakarta. Kota-kota besar yang lain barangkali masih menunggu giliran untuk dikunjunginya. Di Jakarta, bisa dikatakan, 7-Eleven masuk ke sebuah kota yang sesungguhnya sudah punya hampir semua hal. Yang saya maksudkan bukan semata perihal fasilitas, tetapi juga strata sosial. Sebuah ilustrasi mungkin bisa menggambarkan hal itu. Cobalah sesekali, di malam minggu, Anda jalan-jalan di sekitaran Jalan Sudirman, Jakarta. Jika Anda beruntung, Anda akan melihat mobil Ferrari, sepeda motor butut, sepeda kayuh, bahkan vespa yang dimodifikasi berbentuk pondok-pondokan di sawah, ada di atas satu ruas jalan yang sama di dalam radius sepenangkapan mata Anda. Dan Jakarta pun memungkinkan, seorang penulis yang saya lupa siapa, pernah menuliskan perihal ini dengan menarik: seseorang menyeruput kopi di sebuah gedung bertingkat dan ketika ia memandang ke bawah ia akan melihat seseorang yang lain sedang menyeruput kopi pula. Perbedaan antara keduanya adalah kopi yang ada di lantai ke sekian itu seharga setengah gaji orang yang sedang menyeruput kopi di bawah sana.

Timnas U-19

DALAM sepakbola kita akan menemukan gerombolan manusia dengan animo menonton dan solidaritas yang kuat terhadap tim pujaannya. Bahkan, barangkali, demi menonton tim kesayangannya berlaga, beberapa hal yang lain terasa perlu ditunda. Bolehlah beberapa pemikir melabeli sepakbola sebagai agama modern atau, dan ini memang benar, pada sepakbola-lah perdagangan manusia yang kasat mata masih terlihat. Namun terlepas dari itu, pada sepak bola barangkali mereka yang menontonnya membagikan kepenatan hidup.

Sine Qua Non

TANPA bersentuhan dengan gerakan kiri atau orang kiri seperti saya, Si Mahasiswa A itu sudah berhasil membuat sebuah karya ilmiah yang kiri dengan baik. Bahkan, ketika membaca dan menuliskan tentang Revolusi Oktober, di dalam kepalanya sama sekali tak ada terpikirkan tentang demonstrasi buruh atau bahkan perkara penulisan kreatif untuk sebuah jurnal online progresif seperti ini. Menghadapi kasus demikian, apakah yang harus saya, atau Anda, lakukan? Membiarkan karya ilmiahnya tentang Revolusi Oktober yang cukup bagus itu teronggok tak berdaya di perpustakaan kampusnya ataukah kita minta saja padanya satu eksemplar dan kita bawa pulang untuk dibaca?

Fiksi Ilmiah dan Fiksi Indonesia

Sastra kerap dianggap sebagai salah satu agen perubahan zaman. Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi informasi sekarang ini, sastra terkadang dibebani pula harapan untuk mampu memberi nilai-nilai bagi masyarakat dalam menghadapi perubahan tersebut. Harapannya, dengan nilai-nilai yang dikandung sastra, masyarakat tidak gagap menghadapi kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dewasa ini.
Tentu pendapat-pendapat di atas masuk akal. Kita bisa tambahkan lebih jauh lagi: dalam konjungtur-konjungtur sejarah tertentu, sastra bahkan mendahului atau menyumbangkan imajinasi untuk kemajuan teknologi dan sains. Jauh sebelum kapal selam dibuat, Jules Verne sudah berimajinasi tentang petualangan ribuan kaki di bawah permukaan laut. Jauh sebelum manusia menemukan pesawat, Ikarus sudah mengalami kecelakaan penerbangan yang pertama kali.

Keperawanan

SAYA termasuk orang yang selalu menganggap bahwa manusia tidaklah bodoh. Jika pun seseorang terlihat bodoh, barangkali dia sekadar berpura-pura atau mungkin sedang lupa. Kepercayaan ini sedikit banyak mendapat tantangan yang hebat pada seminggu belakangan. Penyebabnya ini: berita tentang tes keperawanan untuk siswi SMA.

Malam Lebaran

JIKA benar agama adalah budaya pop tertua di dunia, maka Mudik dan Lebaran adalah konser para mega bintangnya. Demikian umpat saya di dalam hati ketika beberapa hari sebelum dan sesudah Lebaran ini warung makan dengan harga ‘terjangkau’ amat sulit ditemukan. Saya paham, umpatan itu terlalu sederhana.

Kejadian ini sesungguhnya bukan hal baru. Kampung tempat saya berdomisili di Jakarta pun senyap beberapa hari ini. Saya harus berjalan sedikit jauh bahkan hanya untuk sebatang dua batang rokok. Wajar. Kita di Indonesia, hidup dalam budaya Islam. Dari kedatangannya jauh sebelum kapal Spanyol dan Portugis membuang sauh di perairan Nusantara hingga detik ini, bunyi beduk hampir sulit tak ditemukan di seantero negeri. Sinkretismenya dengan budaya Nusantara melahirkan salah satunya, barangkali, Mudik ini.

Lapak Gratis

DALAM sejarah, penguasaan terhadap sekeping tanah ada lebih dahulu sebelum tanah dimanfaatkan sebagai ‘lapak.’ Dan tanah sebagai suatu hal yang gratis, letaknya lebih jauh lagi dari itu, ketika manusia baru sedikit berbeda dari kera. ‘Lapak Gratis’ tadi, misalnya, dilaksanakan di atas sekeping tanah yang sudah dimodifikasi menjadi trotoar nan permai pemanja mata dan kaki para turis mancanegara dan domestik di depan Benteng Vredeburg. Dengan demikian, sudah ada sebuah kerja tertentu yang dilakukan di atas sekeping tanah yang dijadikan ‘lapak.’ Nilai dari kerja atas sekeping tanah tersebutlah yang memungkinkan sang tanah bisa menjadi ‘lapak.’ Nah, ketika lapak yang digelar di atas sebuah tanah yang punya nilai tertentu lantaran kerja tertentu diberi embel-embel ‘gratis,’ kita bisa melihatnya sebagai sebuah ketakhormatan terhadap nilai kerja tertentu tadi.

‘Srooot’

Mengantri membuat kita punya waktu menatap lekat kepiawaian Penjual Nasi Goreng. Bau enak semakin menusuk hidung setelah lima atau enam pembeli beres dilayaninya. Sebuah payung yang diikatkan pada gerobaknya berfungsi menangkis gerimis. Saya memperhatikannya. Pipinya cekung petanda hidup yang keras. Lengannya kurus ringkih. Di atas kepala kecil kurusnya bertenggerlah topi berwarna kuning kumal. Tulisan partai berlambang pohon beringin menghiasinya. Tangannya yang kurus sigap membolak-balik nasi di wajan, menghancurkan bawang, mencacah daun sawi, menyendok garam dan penyedap masakan. Dengan cekatan ia memecahkan dan mengaduk telor mentah, dan sejurus kemudian kulitnya dilempar ke plastik sampah yang menggantung pada stang gerobaknya.

Esai Foto: Produksi Arak

PENGANTAR: Minuman beralkohol yang memabukan hampir dapat kita temui dalam setiap masyarakat di tempat yang berbeda-beda. Tentu perlu sebuah penelitian khusus, atau sebuah bacaan tertentu,

Percetakan

Di percetakan, isi buku juga tak bermakna. Sang doktor luar negeri yang harus membaca puluhan buku teori politik dan menulisnya banting-tulang, tak akan mendapat ‘belas kasihan’ atau ‘salut hormat’ dari percetakan. Kedoktorannya tak membuat harga cetak bukunya lebih murah atau lebih mahal atau lebih diprioritaskan waktu cetaknya dari buku resep masakan tulisan sarjana Google. Jika perkara teknisnya sama, maka sebuah majalah berisi ide-ide progresif nan heroik pun pasti setara posisinya dengan selebaran harga barang-barang Alfamart.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.