Malam Lebaran

Print Friendly, PDF & Email

MALAM Lebaran: Bulan di atas kuburan. Demikian puisi tersohor Sitor Situmorang. Kabarnya, puisi ini ditulis Sitor pada sebuah malam Lebaran, ketika ia hendak bertandang ke rumah kawannya sesama penulis. Kalau tak salah, ke rumah Pram. Ia melewati sebuah kuburan dan dilihatnya bulan bulat bundar di langit. Barangkali suasana itu terlampau mistis, terlampau indah, terlampau menyejukkan, atau terlampau menyedihkan. Lahirlah puisi tersebut; Malam Lebaran: Bulan di atas kuburan.

Maman Mahayana pernah membuat saya paham kedalaman puisi ini. Kabarnya, fenomena Mudik pada Lebaran di Indonesia ini tidak ada di negara berpenduduk mayoritas Islam mana pun juga. Dan ‘si aku puisi’ tersebut tak sempat pulang ke rumah. Ia tetap di rantau, sebut saja Jakarta. Maka Lebaran, barangkali, kurang berarti baginya. Terbit bulan penyayat hatinya di langit, sedang kakinya berpijak pada kuburan. Karena Lebaran akan lebih berarti bagi ‘si aku puisi’ jika dan hanya jika ia berada di kampung bersama sanak famili.

II

Jika benar agama adalah budaya pop tertua di dunia, maka Mudik dan Lebaran adalah konser para mega bintangnya. Demikian umpat saya di dalam hati ketika beberapa hari sebelum dan sesudah Lebaran ini warung makan dengan harga ‘terjangkau’ amat sulit ditemukan. Saya paham, umpatan itu terlalu sederhana.

Kejadian ini sesungguhnya bukan hal baru. Kampung tempat saya berdomisili di Jakarta pun senyap beberapa hari ini. Saya harus berjalan sedikit jauh bahkan hanya untuk sebatang dua batang rokok. Wajar. Kita di Indonesia, hidup dalam budaya Islam. Dari kedatangannya jauh sebelum kapal Spanyol dan Portugis membuang sauh di perairan Nusantara hingga detik ini, bunyi beduk hampir sulit tak ditemukan di seantero negeri. Sinkretismenya dengan budaya Nusantara melahirkan salah satunya, barangkali, Mudik ini.

Mudik adalah arus manusia. Bersamaan dengan itu tentu saja arus ekonomi. Disinyalir, tidak kurang dari tiga miliar rupiah akan berpindah dari kota ke desa pada Mudik tahun ini. Selain dari kota ke desa, tentu saja jalur perjalanan pun kebagian rezeki.  Pemerintah tentu tahu itu. Kementerian Perhubungan dan Kementerian ESDM adalah dua di antara instansi pemerintah yang mengadakan Mudik Gratis. Kepolisian bahkan sejak awal Juni sudah menyiapkan Operasi Ketupat. Tim Liputan Mudik Layanan Publik dibentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara untuk memantau praktek pelayanan publik selama kegiatan mudik. Namun demikian, jalur mudik masih saja macet dan tidak sedikit orang bernasib serupa ‘si aku puisi’ dalam Malam Lebaran.

Jangan kira partai politik berpangku tangan. PKB, Golkar, Hanura, dan Demokrat contohnya. Tidak kurang dari 1.000-an orang mengikuti program Mudik Gratis selenggaraan mereka. Belum lagi spot-spot peristirahatan yang dibangun di sepanjang perjalanan. Kita mungkin mencibir kegiatan ini. Tetapi bayangkan Si Fulan yang sudah tiga Lebaran tak pulang lantas ikut dalam program ini. Bagaimana bisa lambang partai itu tidak nempel di kepalanya?

Mudik juga momen yang sayang dilewatkan sebagai sebuah iklan; atau sebuah cara brand management. Hampir semua perusahaan jasa ataupun barang yang cukup besar di Indonesia mengadakan Mudik Gratis. Sebut saja Sido Muncul, Astra, Yamaha dan masih banyak lagi. Bahkan, sebuah pasar swalayan menawarkan paket Mudik Gratis yang unik; belanja Rp 1 juta dan langsung dapat tempat dalam bus. Tawaran ini tidak sedikit diterima. Seakan beramal, tetapi ini barangkali cara untuk mendekatkan merk pada konsumen, untuk membangun citra merk yang diinginkan pada konsumen. Yang terakhir ini tentu mengandaikan daya beli tertenu. Lantas bagaimana dengan mereka yang tak berdaya beli; ikut program Mudik Gratis pemerintah, program partai politik, atau duduk saja di kontrakan kumuh?

III

Malam Lebaran kemarin saya berjalan cukup jauh untuk mencari rokok. Pencaharian itu membukakan mata saya. Jika warteg (warung tegal), warung-warung tenda tutup, dan terlihat bagaikan bangunan mati yang siap digusur, maka Alfamart, Sevel, KFC tetap buka dan bergairah penuh warna menyambut Lebaran.

Saya coba masuk ke Alfamart. Suasananya Islami. Lagu-lagu bernuansa padang pasir berdendang dari loud-speaker-nya. Seorang ibu tua dengan tekstur kulit tangan yang mengindikasikan dirinya pekerja kasar, berbelanja sirup dua botol beda rasa dan sekaleng besar biskuit Khong Guan. Barangkali, ia baru saja mendapat ‘sedekah’ dari majikannya; sebut saja seorang wanita karier kelas menengah, tempat  si ibu bekerja sebagai ‘tukang cuci-gosok.’ Ibu ini barangkali berharap pulang ke kampungnya tetapi keadaan tak memungkinkan. Ia juga barangkali tak kebagian program Mudik Gratis. Ibu itu lantas pergi setelah membayar dengan lembaran merah yang masih baru.

Iseng, saya bertanya pada salah satu pegawai Alfamart.

‘Nggak libur Bang? Nggak Lebaran?’

‘Lebaran, Mas. Tapi kebetulan ini shift saya. Dan kami harus tetap melayani konsumen.’

Jawabannya sungguh diplomatis dengan senyum terkembang. Ini mengecewakan! Saya berharap mendapatkan sedikit umpatan, wajah berkerudung murka darinya. Sehingga saya pun bisa pula turut mencak-mencak, ‘anjing, kapitalisme biadab! Bahkan beribadah pun digerusnya.’ Tapi, itu tak terlihat. Barangkali memang ‘budaya organisasi’ Alfamart lebih oke tinimbang wajah kelam kapitalisme. Melalui ‘budaya organisasi’-lah pihak manajemen membuat si karyawan itu merasa ‘bertugas suci’ melayani ibu tak beruntung tadi di Malam Lebaran.

Lantas di twitterland, sebuah account memparafrasekan ulang puisi yang kita kutip di atas, ‘malam lebaran: banjir pada beberapa rumah.’ Yah, langit Jakarta tak cerah pada Malam Lebaran kemarin. Jakarta malah diguyur hujan cukup lebat. Beberapa wilayah langganan banjir pun terendam. Begitulah. Ketika ramai-ramai kita berkicau tentang Lebaran, Mudik, dan ketika begitu banyak pihak berkonsentrasi pada Mudik, banjir yang datang barangkali tak dipedulikan. Maka, Malam Lebaran saya adalah kecelakaan di arus mudik dan banjir di Jakarta yang tenggelam dalam gempita petasan.***

Berto Tukan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.