Kekerasan Pasca 1965 dan Proyek Pengaburan Sejarah ‘Formal’

Print Friendly, PDF & Email

SEBELUM memasuki perbincangan inti tulisan ini, saya ingin sedikit membahas salah satu novel yang telah saya baca beberapa kali tanpa bosan, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, penulis asal Banyumas (Jawa Tengah). Bagi saya, novel percintaan yang berlatarbelakang sejarah, dan dibungkus dengan gaya tutur yang ‘analitis’ ini adalah salah satu novel yang memiliki kekuatan untuk membuka mata kita atas apa yang terjadi pada sejarah bangsa Indonesia, terutama pada era tahun 1960-an.

Keberanian Tohari menceritakan kisah yang berpijak pada kejadian nyata sangat menarik. Walaupun identitas sejumlah orang dan tempat disamarkan,  penamaan tempat dan manusia dalam karya ini tidak terlalu berbeda dengan kondisi aslinya. Pada tahun-tahun ini, banyak karya sastra yang dinilai sebagai hasil pikiran kiri memosisikan dirinya sebagai kritik atas kondisi sosio-kultural dan kekerasan rezim yang berkuasa. Fenomena ini memang sering terjadi dalam sebuah rezim tangan besi, di mana penyebutan nama asli pihak terlibat seringkali berbahaya bagi penulis. Namun demikian, hampir seperti dalam novel Spionnage-Dienst (Pacar Merah Indonesia) yang ditulis Hasbullah Parindurie (dengan nama pena Matu Mona) dan diterbitkan pertama pada 1934, penamaan tokoh dilakukan hanya dengan menyamarkan saja, dengan nama yang mirip, sehingga pembaca umum pun akan langsung paham pihak mana yang sebenarnya dimaksud oleh penulis.

Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Tohari pada tahun 1982 ini diterbitkan dalam tiga buku terpisah: Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1984), dan Jantera Bianglala (1985). Ketika terbit untuk pertama kalinya, novel ini kontroversial dan segera mengundang ketakutan pemerintahan Soeharto saat itu, sehingga beberapa bagiannya disensor otoritas dengan alasan menyebabkan keresahan sosial dan kesalahpahaman sejarah. Setelah Reformasi bergulir, edisi lengkap novel ini pun diterbitkan kembali. Banyak nasib penulis yang mengisahkan keadaan zamannya dan karyanya dilarang terbit, misalnya Mochtar Loebis, yang menulis beberapa novel dalam penjara. Karyanya sempat dilarang, namun sebuah penerbit luar negeri meminta naskahnya untuk segera diterbitkan di luar Indonesia.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk—yang oleh rezim pada saat itu disebut sebagai karya yang ‘tidak baik,’—menampilkan kisah percintaan dua orang muda dengan latar sebuah kampung di wilayah Banyumas, Dukuh Paruk. Persahabatan Rasus dan Srintil sejak kecil kemudian berbuah cinta. Srintil, yang tumbuh sebagai gadis paling cantik sekampung, kelak diyakini mendapat titisan indang (roh peronggeng), sehingga ia berkesempatan menjadi ronggeng. Pada saat itu, menjadi ronggeng adalah sebuah kebanggaan dan simbol kesenangan. Ronggeng adalah bagian dari kehidupan masyarakat, sehingga wajar jika ia segera larut dalam politik, sebagai simbol dari kebudayan rakyat.

Konflik mulai terjadi pada tahun 1964. PKI (yang pada bagian awal novelnya digambarkan sebagai kelompok bercaping merah) mengundang ronggeng dan kelompok-kelompok seni lain untuk pentas. Oleh PKI, ronggeng diasosiasikan sebagai bagian dari kesenian rakyat dan simbol perlawanan terhadap pemerintah. Di sinilah ditampilkan sisi ganas sebuah rezim, baik pemerintah maupun oposisi, yang menggunakan rakyat hanya sebagai alat. Selama beberapa tahun, Srintil ditahan pemerintah. Malangnya, setelah bebas, lingkunganlah yang menjadi ruang tahanan bagi Srintil, lengkap dengan segala stigma dan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya.

Membaca novel Ahmad Tohari yang ditulis pada 1984, tampak bahwa peristiwa 1965 membawa pengaruh yang sangat luas. Banyak orang yang tak tahu apa-apa terseret dalam konflik ini, mirip dengan tokoh Srintil dan tetangga-tetangga sekampungnya. Ketidakpahaman mereka di satu sisi, dan kerasnya politik di sisi lain, menimbulkan banyak korban, yang hingga kini tidak kunjung jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Pembasmian

Terdapat banyak kasus pembuangan  terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi 1965. Mereka dicap sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan karenanya harus ditindak. Dalam hal ini, berbagai tindakan dilakukan, dan yang paling ‘ringan’ adalah penahanan (yang hampir semua dilakukan dengan tanpa adanya peradilan). Implikasinya, cap ‘komunis,’ yang ditakuti dan gampang meneror mental khalayak,  digunakan sebagai alat politik Misalnya saja, orang yang mengkritisi kebijakan atau pejabat (atau pihak yang dekat dengan negara) bisa semena-mena kena label komunis.  Banyak permasalahan pribadi yang berakhir dengan pencekalan salah satu pihak yang kemudian berkembang menjadi tuduhan  komunis. Tentunya, ini belum termasuk pembuangan dan pembasmian orang-orang yang dianggap komunis.

Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang lumrahnya dimiliki warga negara sebagai pengenal, dijadikan tanda dengan kode-kode tertentu untuk menunjukkan bahwa si pemilik kartu telah dicurigai sebagai komunis. Dengan adanya stigma tersebut, dan kondisi masyarakat yang sudah ‘sakit’ oleh trauma, ekses-ekses ekonomi-politik berkembang. Hingga kini, pada kenyataannya, masih terdapat banyak kasus di mana keluarga dari orang yang dulu dicap sebagai PKI sulit mendapatkan pekerjaan terutama untuk posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Salah satu yang mulai diperbincangkan di era reformasi adalah tuntutan pelurusan sejarah yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh rezim. Sejarah adalah pengetahuan, di mana pengetahuan adalah kuasa. Maka, dalam konteks ini, sejarah yang dituliskan dan tersebar sebagai sebuah imajinasi sosial bangsa menjadi aspek yang sangat determinan dalam kehidupan bernegara. Dalam ‘sejarah umum’ di Indonesia, insiden politik pada tanggal 1 Oktober 1965 sendiri selalu diasosiasikan dengan gerakan orang-orang dari komunis yang melakukan kudeta dengan membunuh sejumlah jenderal. Maka, ‘G30S/PKI’ pun diperlakukan sebagai istilah yang tak bermasalah dalam penulisan sejarah. Di ujian-ujian sekolah, jawaban dari murid akan disalahkan jika ia menulis ‘G30S’ tanpa disambung kata ‘PKI.’ Dalam hal ini, posisi saya bukan menolak dan mengatakan bahwa PKI tidak terlibat dengan mempersoalkan perihal istilah yang ‘formal’ dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia. Namun, sementara ada beragam versi sejarah peristiwa 1965, pemerintah pun kelihatan naif (jika bukan tendensius) ketika langsung menunjuk PKI sebagai aktor tunggal pada peristiwa tersebut.

Tak perlu dikatakan lagi jika penulisan sejarah ini seiring dengan tindakan kekerasan negara yang  menimbulkan korban yang luar biasa banyaknya. Pasca-1965, walaupun konstelasi politik mulai menuju pada satu polar dan relatif menjadi berangsur-angsur ‘stabil,’ kestabilan ini dipaksakan. Peraturan-peraturan dikeluarkan, meregulasi gerak-gerik warga, dan akhirnya turut memelihara stigma dan diskriminasi terhadap siapapun yang dianggap ‘kiri.’ Beberapa peraturan yang memiliki dampak langsung tersebut adalah:

  1. Tap MPRS No. XXV/1966
    • Pembubaran PKI, pernyataan organisasi terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan/ mengembangkan paham atau ajaran komunise/marxisme, leninisme. (Masih berlaku).
  2. UU No. 3/1967
    • Dewan Pertimbangan Agung;
    • Pasal 4-e untuk menjadi anggota DPA, tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang.
  3. UU No. 15/1969
    • Pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat;
    • Pasal 2, WNI bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih.
  4. UU No. 5/1985
    • Referendum;
    • Pasal 11 ayat 2-a untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung.
  5. UU No. 14/1985
    • Mahkamah Agung;
    • Pasal 7 ayat 1d untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya.
  6. UU No. 2/1986
    • Peradilan Umum;
    • Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pengadilan negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/ bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  7. UU No. 5/1986
    • Peradilan Tata Usaha Negara;
    • Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi Hakim pada pengadilan TUN, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  8. UU No. 7/1989
    • Peradilan Agama;
    • Pasal 13 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang Hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  9. UU No. 17/1997
    • Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;
    • Pasal 8d untuk dapat menjadi anggota setiap calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/ tidak langsung dalam G30S/ PKI.
  10. UU No.5/1991
    • Kejaksaan Negeri;
    • Pasal 9d syarat untuk diangkat menjadi jaksa tidak boleh bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  11. UU No. 3/1999
    • Pemilihan Umum;
    • Pasal 43 ayat 1f seorang calon anggota DPP, DPRD I, DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  12. UU No. 4/1999
    • Susunan, Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD;
    • Pasal 3 ayat 1d bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
  13. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981: Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, guru, pendeta, dan sebagainya bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/1965 dan mereka yang tidak ‘bersih lingkungan’.
  14. Keputusan Presiden No.16 Tahun 1990: Penelitian khusus (Litsus) bagi calon pegawai negeri sipil, anggota DPR dan notaris.
  15. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 1991: KTP seumur hidup tak berlaku bagi WNI yang berusia 60 tahun tapi pernah terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan organisasi terlarang (OT).
  16. UU No. 43/1999 tentang Perubahan Azas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian: Pegawai negeri sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Ideologi negara, Pancasila, UU Dasar 1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah (Pasal 23 Ayat 5 b).
  17. UU no. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah: Syarat kepala daerah tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang dinyatakan dengan surat keterangan ketua pengadilan negeri (Pasal 33 c).
  18. UU No. 31/2002 tentang Partai Politik: Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme (Pasal 19 Ayat 5).
  19. UU No. 12/2003 tentang Pemilu: Syarat caIon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya (Pasal 60 g).
  20. UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden: Syarat calon presiden dan wakil presiden bukan bekas anggota terlarang PKI termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI (Pasal 6 s).

Pelurusan Sejarah

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara terbuka mengatakan bahwa dirinya prihatin dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dinyatakan komunis. Dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden, ia mengucapkan permintaan maaf. Banyak pihak menanggapi dengan respon beragam. Di satu sisi, pihak yang setuju menyambut baik tindakan Gus Dur, yang menawarkan kemungkinan diadakannya peradilan secara terbuka untuk menentukan pihak mana yang terlibat dan bersalah. Dengan tindakan seperti itu, diharapkan dapat terjadi sebuah rekonsiliasi dan pelurusan sejarah 1965. Adapun pihak yang berseberangan menanggapi dingin pernyataan Gus Dur dengan alasan perbedaan prinsip. Tahun 2002, Gus Dur kembali mengucapkan pernyataan maaf. Kali ini mewakili Nahdlatul Ulama (NU) yang diakuinya turut terlibat dalam peristiwa-peristiwa 1965 dan setelahnya, kendati di bawah setting penguasa Suharto pada masa itu.

Pasca reformasi, terlebih setelah sikap terbuka Gus Dur, beberapa kali diserukan rehabilitasi hak-hak korban  1965. Pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri yang menjabat presiden diminta mengeluarkan keputusan terkait hal tersebut. Diskriminasi masih menjadi hal yang sangat menyulitkan—dan dirasakan sebagai kekerasan dalam bentuk yang samar—bagi para keluarga korban 1965 yang dilabeli komunis. Namun, seruan ini layu sebelum berkembang. Ada banyak pihak yang menentang. Salah satunya Amien Rais, yang menolak rencana tersebut dengan pernyataan yang sangat emosional. 24 Juli 2003, di Gedung Nusantara III saat menerima Gerakan Nasional Patriot Indonesia, Amien mengatakan bahwa sungguh bodoh bangsa Indonesia apabila kembali mengizinkan disebarluaskannya ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme, setelah terbukti dua kali terjadi pengkhianatan: pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan pengkhianatan ‘G30S/PKI’. ‘Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali. Kalau kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut ya kita lebih bodoh dari kambing,’ ujarnya pada saat itu (Rakyat Merdeka, 25 Juli 2003).

Di sisi lain, perkembangan yang juga menarik adalah kemunculan organisasi-organisasi yang mempublikasikan kisah para korban 1965 dalam bentuk buku-buku yang sebelumnya dilarang. Mereka aktif juga dalam penelitian guna menyokong rekonsiliasi pihak-pihak yang saling berselisih. Sejak 1998, banyak film bertema seputar 1965 telah diproduksi oleh komunitas-komunitas. Mereka berupaya melakukan pelurusan sejarah resmi yang tidak adil, diskriminatif,  dan mempersulit proses rekonsiliasi. Dalam tulisannya ‘The Battle for History After Soeharto,’ Gerry van Klinken  menyebutnya sebagai bagian sebuah eforia kebebasan dari rezim. Ia membandingkan kondisi Indonesia saat ini dengan yang terjadi di Thailand setelah protes anti-militer yang dilakukan para mahasiswa pada tahun 1973. Tercatat selepas 1998, terdapat dua judul film fiksi dan enam film dokumenter yang diproduksi di Indonesia. Film-filmdokumenter berkaitan dengan tema 1965 lebih banyak dalam hal jumlah, namun kurang terpublikasi secara serius. Beberapa di antaranya adalah Puisi Tak Terkuburkan (1999), Mass Grave (2003), Gie (2005), Menyemai Terang dalam Kelam (2006), Tumbuh dalam Badai (2008), dan Tjidurian 19 (2009).

Pada Juni 2012 lalu, puluhan keluarga korban mendatangi Komisi Nasional HAM, pengakuan maaf dari pemerintah dan pelurusan sejarah. Upaya semacam ini telah dilakukan sebelum-sebelumnya dan tetap tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah. Aksi Juni 2012 itu dilakukan bertepatan dengan diadakannya Sidang Paripurna untuk membahas hasil penelusuran yang dilakukan Tim Penyelidik Kasus 1965. Pada aksi hari itu pula, sempat terjadi ketegangan saat beberapa orang dari Front Anti Komunis (FAKI) mendatangi Komnas HAM untuk menolak permintaan dari korban 1965. Eksistensi FAKI yang memosisikan diri sebagai penolak ideologi tertentu (komunis), seraya menolak saat diberi kesempatan oleh Komnas HAM untuk berdialog dengan para korban 1965 (YPKP 65/66, Juni 2012), adalah ganjil dalam sebuah negara demokratis.

Hal yang kemudian menjadi disesalkan adalah penundaan keputusan dari Komnas HAM mengenai nasib korban 1965. Secara resmi, Sidang Paripurna Komnas HAM tersebut tidak memutuskan apapun selain penundaan dan menunggu sampai terbentuknya komisioner yang baru. Tim Penyelidik Kasus 1965 ini sendiri telah dibentuk sejak 2008, dan belum bisa memutuskan apapun. Seharusnya, Komnas HAM dengan kekuatannya bisa melihat betapa berbahayanya sebuah rezim sejarah yang ada sekarang. Dengan adanya kenyataan bahwa tragedi pembantaian tahun 1965 tersebut menghilangkan sangat banyak nyawa, dan memiliki implikasi pada keluarganya hingga kini, agak aneh melihat langkah Komnas HAM yang terkesan ragu-ragu.

Tidak perlu memberikan solusi dalam hal ini berkaitan dengan Komnas HAM, karena pada dasarnya sudah jelas apa yang seharusnya mereka lakukan.***

Sayfa Auliya Achidsti, mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM dan jurnalis

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.