1. Beranda
  2. /
  3. Lembar Kebudayaan Indoprogress
  4. /
  5. Page 14

Lembar Kebudayaan Indoprogress

Catastrophe – Elegi Untuk Pramudya Ananta Toer

Hari itu, udara bagaikan tungku.
Sementara berhala kekuasaan
telah lama menggantikan Tuhan.
Mesin jagal bak taring srigala,
siap mengerkah siapa yang beda warna
siap menggilas lagi yang lain ideologi.

Edisi LKIP08

Sesungguhnya, kami ingin mengawali pengantar ini dengan ucapan Dirgahayu RI yang Ke-68. Namun, berita tentang pemboman di Wihara Ekayana yang berseliweran di timeline twitter serta jejaring sosial lainnya, membatalkan hal itu. Kami pun lantas hendak menundukkan kepala sejenak, mengheningkan cipta, berdoa. Tapi ah, sudah terlalu banyak doa didaraskan dari Sabang hingga Merauke, Sangirtalaut hingga Sabu, toh beberapa saat lagi kedukaan demikian berulang jua kita dengar.

Menjadi Eksil, Puisi Eksil, dan Indonesia: Wawancara dengan Agam Wispi

“Setelah tragedi 1965, ratusan orang yang sedang ditugaskan pemerintah Sukarno untuk sekolah, bekerja maupun melakukan lawatan dinas di luar negeri terhalang pulang. Paspor mereka dicabut dan akses komunikasi ke dalam negeri, bahkan untuk berhubungan dengan keluarga pun, diputus. Melalui wawancara dengan Agam Wispi, seorang penyair terkemuka, para pembaca diajak menelusuri sejarah tragedi ’65, bukan dari angka dan fakta-fakta besar, tetapi dari pengalaman pribadi yang sarat rasa dan asa. Bagaimana bentuk pencarian identitas sebagai “eksil” setelah tercerabut dari ‘akar’? Bagaimana pengalaman ini dituangkan dalam karya sastra, terutama “karya sastra eksil”, dan apa pengaruhnya dalam eksperimen bentuk dan isi? Juga, bagaimana imajinasi, frustrasi, dan harapan seorang eksil tentang “Indonesia”, “tanah air”, “masa lalu”, dan “kekinian”?”

D. N. Aidit, Sastra dan Geliat Zamannya [i]

Dalam produksi sejarah resmi (official history), Dipa Nusantara Aidit atau D. N. Aidit (1923—1965) lebih dikenal dan dikenang sebagai seorang “penjahat” dan “pengkhianat bangsa” yang mendalangi peristiwa di malam jahanam Gerakan 30 September (G30S). Melalui film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer (1984), sosok Aidit benar-benar buram, “lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok” (Zulkifli, 2010: 2). Bayangan orang tentang D.N. Aidit banyak dipengaruhi oleh film yang sangat populer di Indonesia tahun 1984—1998 itu. Dalam film ini, digambarkan sosok Aidit sebagai orang yang paling jahat, penuh daya tipu muslihat, yang terus-menerus merokok, dan merupakan orang yang memerintahkan pembunuhan terhadap tujuh jenderal pada operasi G30S.

Rumah Tusuk Sate

MENELUSURI kotaku dengan kacamata orang lain: itulah yang hari ini kulakukan bersama Irwan. Aneh rasanya. Seolah aku menjadi asing di kota kelahiran sendiri, pun pula kota tempat kudibesarkan. Irwan punya cara sendiri untuk menjelajahi Amsterdam; sebuah cara yang pastinya tak akan aku pilih jika sendirian. Namun, sekarang memang boleh jadi aku tak bisa dengan leluasa melewati jalan-jalan kesukaanku. Setahun setelah Rotterdam hancur, Amsterdam yang sebenarnya tidak sebegitu parah menjelma kota mati. Di balik warna warni musim rontok, hawa yang makin dingin seolah menghalangi warganya untuk keluar. Sepi terasa mencekam. Belanda makin tak berkutik dalam cengkeraman Nazi.

Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon

Bagi masyarakat pesisir Cirebon, khususnya para nelayan, ritual Nadran adalah bagian dari siklus hidup mereka yang kehidupannya bergantung pada lautan. Ritual ini merupakan kesatuan dari suatu rangkaian kegiatan: melarung sesajen ke tengah laut, pementasan wayang purwa disertai ruwatan, dan makan-makan bersama. Selain ritual, kegiatan lainnya berupa pertunjukan berbagai kesenian siang dan malam. Namun, dalam konteks ritual komunitas nelayan tersebut, perhatian kami tertuju pada pementasan wayang purwa dengan lakon Budug Basu.

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 1)

Siapakah Oscar Wilde? Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian dan flamboyan terutama hubungannya dengan Lord Alfres Douglas yang juga membuat dia dipenjara seringkali mengalihkan perhatian khalayak dan menimbulkan kesalahpahaman atas karya-karyanya. Namun, tentu saja ada beberapa hal menarik yang dapat kita kaji dari karya-karya salah satu penulis Anglo-Irlandia paling terkemuka yang juga salah satu seniman aliran estetik-dekaden paling terdepan ini.

Esai Foto: Produksi Arak

PENGANTAR: Minuman beralkohol yang memabukan hampir dapat kita temui dalam setiap masyarakat di tempat yang berbeda-beda. Tentu perlu sebuah penelitian khusus, atau sebuah bacaan tertentu,

Edisi LKIP06

“Sastra Indonesia miskin tradisi kritik”, mungkin ini salah satu ratapan yang kerap kita dengar dalam dunia sastra Indonesia. Kalau pun ada, dewasa ini produksi kritik sastra sering kali tampak hanya beberapa kali pasang, tapi banyak surutnya. Padahal pada gelombang lain, karya-karya sastra banyak ditawarkan secara online mau pun offline: di toko buku. Beberapa judul berhasil merayu. Sebagian membuat kita ragu. Di antara perasaan itu penilaian atas isi sebuah karya terasa perlu.

Namun, apa benar tuduhan di atas? Dalam ‘rubrik teori’ edisi ini, Yovantra Arief ingin membuka diskusi tentang masa depan tradisi kritik sastra Indonesia dengan memaparkan secara ringkas sejarah kritik sastra di Indonesia sejak masa Balai Pustaka hingga era H. B. Jassin dalam tulisannya bertajuk Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965. Tidak lupa kami juga hadirkan sebuah tulisan lama dari A. S. Dharta yang bertajuk Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini dalam ‘rubrik kliping’.

Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965

Kritik sastra adalah produk budaya modern; bukan sesuatu yang lahir dari kebudayaan-kebudayan lokal atau nasional Indonesia. Namun kebudayaan Indonesia memiliki semacam ‘basis material’ yang memungkinkan kritik sastra modern itu bisa tumbuh. Kritik sastra di Indonesia tidak bekerkembang dari ruang kosong; bukan tiba-tiba saja orang-orang bule datang dan ‘menghadiahkan’ kritik sastra pada pribumi, melainkan juga karena dalam kultur pribumi sendiri, ada lahan yang memungkinkan bibit-bibit kritik sastra untuk bersemai.

‘Basis material’ dari kritik sastra Indonesia modern adalah, pertama-tama, bahwasanya kritik adalah sesuatu yang internal dalam sastra itu sendiri. Tentu hal ini tidak berlaku secara general; tidak semua karya sastra merupakan kritik. Rumusan ini setidaknya menunjukkan bahwa sastra pada dirinya sendiri memiliki kemungkinan untuk menjadi kritik dan, dalam berbagai karya, ia menjelmakan kemungkinan itu. Imanensi kritik dalam sastra ini mengemuka dalam dua modalitas; pertama, ia adalah kritik atas realitas, dan kedua, ia adalah kritik atas karya yang lain. Dalam modalitas pertama, sastra tampil dalam relasinya dengan realitas sosial yang melatari sekaligus memungkinkannya, mengenali kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya, untuk kemudian memformulasikannya dalam bentuk sastrawi. Dalam modalitas kedua, kritik (yang internal) dalam sastra merupakan rentetan relasi internal dalam semesta sastra itu sendiri; dicirikan oleh oposisi suatu karya dengan karya yang lain. Karena aktivitas sastrawi menyangkut produksi dan reproduksi makna, maka konfigurasi oposisi itu tidak sepenuhnya bergantung pada kontradiksi spesifik yang melahirkan mereka, melainkan terutama dipengaruhi oleh situasi sosial tertentu yang menuntut pemaknaan tertentu pula.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.