1. Beranda
  2. /
  3. Left Book Review
  4. /
  5. Page 14

Left Book Review

Prof. Vedi R. Hadiz: Gerakan buruh mesti menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas

PASCA runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, Indonesia memasuki satu tahapan baru dari perkembangan kapitalisme, yakni tahap kapitalisme-neoliberal. Tahapan ini mensyaratkan pergeseran peran negara ke arah yang lebih melayani kepentingan produksi dan reproduksi kapital, ketimbang beperan sebagai pelayan kepentingan publik.

Dalam pergeseran fungsi negara itu, demokrasi lantas hanya menjadi kendaraan bagi elite untuk mengukuhkan kekuasaan oligarkisnya, dan membendung bangkitnya kekuatan rakyat yang independen, dengan memainkan isu-isu berlatar etnis dan keagamaan. Melalui isu-isu berbasis identitas ini, keresahan rakyat akibat penerapan kebijakan neoliberal yang dikemudikan oleh oligarki dikanalisasi ke jurusan sektarianisme sekaligus dibonsai perkembangan kesadaran kelasnya. Konflik yang berkembang lantas menjadi konflik horisontal.

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’ ‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari istilah-istilah tersebut.

Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.

Kontradiksi Kerja-Upahan dan Kapital

WAGE-Labour and Capital pertama kali terbit dalam bentuk artikel berseri di surat kabar Neue Rheinische Zeitung, dimulai sejak 4 April 1849. Artikel berseri ini berisikan kumpulan ceramah Marx di Klub Pekerja Jerman (German Workingmen’s Club) di Brussels pada 1847. Seperti yang dikatakan Marx dalam Bab Pendahuluan, tulisan ini bertujuan untuk ’memeriksa secara lebih dekat kondisi ekonomi di atas mana berdiri keberadaan kelas kapitalis serta kekuasaan kelasnya, dan juga perbudakan para pekerja.’ Dalam pamflet ini, juga dibahas basis ekonomi dari kontradiksi yang tak terdamaikan antara kelas kapitalis dengan pekerja.

Edisi VII/2013

LENIN ketika meringkas sejarah pemikiran Karl Marx, mengatakan bahwa ada tiga sumber pemikiran Marx: filsafat Jerman, ekonomi politik Inggris, dan sosialisme Prancis. Dari ringkasan Lenin ini, tak terhitung gunungan buku yang mengulas bagaimana ketiga sumber pemikiran itu memberi basis bagi pemikiran Marx.

Di sini, kami ingin mengutip sepenggal pengaruh ekonom Inggris terkemuka David Ricardo kepada Marx. Ia bahkan meluangkan waktu lebih panjang untuk karya Ricardo ketimbang karya Adam Smith. Menurut Ricardo masyarakat kapitalis dalam perkembangan yang penuh terdiri atas tiga struktur kelas: pemilik tanah, kapitalis, dan buruh. Yang menarik, Ricardo melihat bahwa masyarakat kapitalis ini memiliki ciri-ciri: tingkat keuntungan yang cenderung menurun (the declining tendency of the rate of profit), antagonisme kelas (class antagonism), dan hubungan antara pengangguran dan teknologi (the relation between technology and unemployment). Tetapi pada saat yang sama, Ricardo juga percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah sebuah masyarakat yang kekal, sehingga ketika ia melihat hukum kerja Malthusian, ia meratapi bahwa kelas buruh akan tetap miskin, walaupun mereka membanting tulang dengan sangat keras setiap harinya.

Metode Membaca Capital

Karl Marx tentu saja tidak membiarkan pembacanya terpelanting ke sana-sini dalam membaca karyanya itu. Dalam Capital, ia secara tidak langsung memberikan petunjuk pada pembacanya, bagaimana harusnya membaca Capital dan apa perangkat ilmu yang tepat untuknya. Petunjuk itu ia sisipkan dalam catatan kaki untuk mengomentari filsuf Inggris Jeremy Bentham. Di sana Marx mengatakan, ‘untuk mengetahui apa yang berguna buat seekor anjing, maka seseorang mesti menginvestigasi terlebih dahulu asal-usul anjing tersebut.‘ (1990:758).

Bagi yang menggeluti persoalan metodologi Marxis, pernyataan Marx ini memberikan pesan yang sangat jelas bahwa untuk bisa mengerti karya-karya Marx secara utuh, maka kita pertama-tama mesti mengetahui bagaimana metodologi pemikiran Marx itu sendiri. Dalam suratnya kepada Maurice Lachâtre, editor dari edisi I Capital berbahasa Prancis, Marx mengatakan bahwa ia memang menerapkan metode dialektika materialis ini dalam studi masalah-masalah ekonomi. Dengan demikian, jika kita ingin mengerti Capital dengan benar, maka tak ada cara lain, kita mesti mengerti dulu apa itu metode dialektika Marx. ‘Tetapi, untuk bisa mengerti metode dialektika Marx,’ demikian Harvey (2010), ‘maka kita mesti membaca Capital keseluruhan karena di situlah sumber-sumber aktual praktis berada.’

Menemukan Indonesia Dalam Karya Marx

APA BEDANYA hasil dari mesin fotokopi dan pemikir? Kebaruan, kata Martin Suryajaya. Yang baru hanya muncul dari pemikiran. Menjadi pemikir berarti harus dapat melampaui kemampuan mesin fotokopi dalam sekadar mereproduksi. Menurut Martin, menjadi Marxis berarti berani menjadi pemikir. Tantangan yang diajukan Martin bukan perkara sepele. Sebagai pemikir, para Marxis harus mampu memunculkan hal-hal baru karena apabila tidak; apabila kita hanya mengulang-ulang apa yang sudah dikatakan Marx, maka mesin fotokopi jelas lebih Marxis ketimbang siapa pun karena kesanggupannya mengulang-ulang secara sempurna.

Edisi VI/2013

TAHUN 1637, seorang matematikawan cum pengacara Perancis, Pierre de Fermat, mengajukan satu teorema tersulit dalam sejarah perkembangan teori angka. Teorema ini dikenal sebagai teorema terakhir Fermat (Fermat’slasttheorem). Teorema ini menyatakan bahwa tidak ada tiga integer positif a, b, dan c yang dapat memberikan solusi pada persamaan an+bn=cn bagi setiap nilai integer n yang lebih besar dari dua. Teorema ini sendiri merupakan perluasan dari teorema segitiga Phytagoras dengan derajat problematisasi yang lebih tinggi. Banyak matematikawan tersohor dunia seperti Carl Frederich Gauss, Leopold Kronecker, Sophie Germain, Georg Cantor, berupaya membuktikan teorema ini. Sayangnya, para matematikawan tersohor ini tidak mampu untuk memecahkan teorema terakhir Fermat. Bahkan seorang filsuf empirisis seperti Karl Popper, sempat berujar bahwa teorema ini lebih tepat dikatakan sebagai konjektur, suatu proposisi yang keliatan logis namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Walau begitu, situasi itu berubah ketika teorema ini berhasil dipecahkan pada tahun 1995 oleh Andrew Wiles, seorang matematikawan Inggris yang mengajar di Universitas Princeton, AS. Wiles membuktikan teorema terakhir Fermat dengan menggunakan perhitungan representasi Galois terhadap konjektur Taniyama-Shimura, yang kemudian memberikan ekuasi logis terhadap teorema Fermat itu sendiri.

Women’s Question dalam Perjuangan Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki

MASIH segar dalam ingatan kita, 16 Desember 2012 yang lalu, seorang perempuan India, Jyoti Singh Pandey, diperkosa dengan sadis oleh sekelompok laki-laki biadab dalam sebuah bus di jalanan New Delhi. Jyoti yang kesakitan meninggal 13 hari kemudian setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. Beberapa waktu sebelumnya, di belahan dunia yang lain, buruh migran perempuan Indonesia diperkosa oleh tiga polisi di Malaysia. Tidak berhenti sampai di situ, perempuan pun kemudian dilarang duduk mengangkang di atas motor oleh pemerintah kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, terhitung sejak Januari 2013.

Imperialisme dan Akumulasi Kapital

BUKU ini tergolong klasik dalam kepustakaan ekonomi Marxis. Die Akkumulation des Kapitals ditulis Rosa Luxemburg dengan agak tergesa-gesa pada akhir 1912 hingga awal 1913. Edisi terjemahan Inggrisnya baru muncul pada 1951 berkat kerja keras Agnes Schwarzschild. Edisi terbitan ulang tahun 2003 ini mengikuti edisi 1951. Selain masih tetap mencatumkan pengantar dari ekonom Inggris Joan Robinson yang ada di edisi 1951, edisi 2003 ini ditambah dengan kata pengantar dari ekonom Polandia Tadeusz Kowalik.

Bentuk Nilai (Value Form atau Form of Value): Bagian 1

TOPIK ini, didedikasikan Marx untuk mendiskusikan tentang asal-usul munculnya uang (money). Tetapi, di sini ia tidak berbicara sejarah kemunculan uang, misalnya dari sistem barter, uang metal atau koin, emas, uang kertas, hingga uang elektronik seperti yang kita kenal sekarang ini. Apa yang ingin dijelaskannya adalah sejarah perkembangan dalam kaitannya dengan perkembangan hubungan konseptual dalam sistem kapitalisme. Misalnya, hubungan antara ‘bentuk sederhana dari nilai/simple form of value’ dan ‘bentuk uang/money form’ yang dominan dalam sistem kapitalisme (Heinrich, 2012:56). Karena itu, ia tidak memaksudkan penjabarannya ini untuk meyakinkan kita bahwa uang merupakan alat yang paling mumpuni untuk mengatasi keterbatasan dari pertukaran dalam bentuk barter, sebagaimana yang diajarkan kepada kita selama ini.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.