Edisi VII/2013

Print Friendly, PDF & Email

Daftar Isi Edisi Ini:

  1. Metode Membaca Capital
  2. Ken Budha Kusumandaru: Bertutur tentang Perjuangan Lewat Fiksi Fantasi!
  3. Menemukan Indonesia Dalam Karya Marx

LENIN ketika meringkas sejarah pemikiran Karl Marx, mengatakan bahwa ada tiga sumber pemikiran Marx: filsafat Jerman, ekonomi politik Inggris, dan sosialisme Prancis. Dari ringkasan Lenin ini, tak terhitung gunungan buku yang mengulas bagaimana ketiga sumber pemikiran itu memberi basis bagi pemikiran Marx.

Di sini, kami ingin mengutip sepenggal pengaruh ekonom Inggris terkemuka David Ricardo kepada Marx. Ia bahkan meluangkan waktu lebih panjang untuk karya Ricardo ketimbang karya Adam Smith. Menurut Ricardo masyarakat kapitalis dalam perkembangan yang penuh terdiri atas tiga struktur kelas: pemilik tanah, kapitalis, dan buruh. Yang menarik, Ricardo melihat bahwa masyarakat kapitalis ini memiliki ciri-ciri: tingkat keuntungan yang cenderung menurun (the declining tendency of the rate of profit), antagonisme kelas (class antagonism), dan hubungan antara pengangguran dan teknologi (the relation between technology and unemployment). Tetapi pada saat yang sama, Ricardo juga percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah sebuah masyarakat yang kekal, sehingga ketika ia melihat hukum kerja Malthusian, ia meratapi bahwa kelas buruh akan tetap miskin, walaupun mereka membanting tulang dengan sangat keras setiap harinya.

Lalu apa pentingnya mencuplik Ricardo di sini? Tidak lain karena pandangan Ricardo atas masyarakat kapitalis itu, kini dengan mudah ditemui di kalangan para aktivis dan intelektual yang memaklumatkan dirinya anti-kapitalis. Mereka bisa menjelaskan dengan baik ‘binatang’ kapitalisme ini beserta dampak buruk yang dihasilkannya: upah buruh yang stagnan dan cenderung merosot, perdagangan manusia atas nama Pahlawan Devisa, kesenjangan kaya miskin yang akut, lingkungan yang semakin tercemar, kota-kota yang ganas bagi penduduknya, desa-desa yang semakin terbelakang dan miskin, dsb., dst. Dan menariknya, mereka pun marah dengan kondisi-kondisi tersebut: menyebarkan kabar perlawanan, membangun organisasi, tak henti-hentinya mencari peluang-peluang untuk melawan dampak buruk kapitalisme tersebut, merumuskan strategi dan taktik yang dipandang jitu dan efektif.

Tapi itu tadi, seperti Ricardo, mereka tidak terlalu yakin bahwa kapitalisme ini bisa dihancurkan. Pada titik ini, Marxisme menyodorkan sebuah pernyataan penting: Kapitalisme adalah produk sejarah, ia memiliki awal dan karena itu pasti akan berakhir. Premis inilah yang digenggam erat banyak pejuang penentang kapitalisme dari dulu hingga sekarang. Keberhasilan mencapai revolusi pada tahun 1917 di Rusia, menjadi titik awal dari bukti bahwa kapitalisme dimungkinkan untuk dilawan dan diakhiri.

Ekperimen sosialisme di Rusia itu memang berujung gagal. Tetapi perjuangan mengakhiri kapitalisme tak pernah berhenti. Eksperimen-eksperimen sosial anti-kapitalisme terus dibangun, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ilmuwan-ilmuwan Marxis terus lahir dan hidup. Sementara kapitalisme terus memperbarui diri, berbagai teori perlawanan atasnya pun terus maju dan mengalami kebaruan.

Apa yang penting dan mendesak saat ini, adalah memperkuat posisi teoritis dan ideologis kita di hadapan kapitalisme yang kini tengah mengalami krisis. Dengan kekuatan teori dan ideologi ini, maka kita mesti membuang segala keraguan bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang kekal, yang mustahil untuk dihancurkan. Hanya dengan keyakinan seperti ini, maka kita akan kembali melihat munculnya gerakan yang solid, yang tidak mudah dikalahkan oleh hantaman represi serta kepentingan-kepentingan subyektif, sektoral, dan temporer kita.

Dalam semangat itu, Left Book Review (LBR), kembali hadir menjumpai pembaca yang setia. Dalam edisi kali ini, kami menghadirkan review dari  Coen Husain Pontoh terhadap buku karya Michael A. Lebowitz,  Following Marx Method, Critique, and Crisis; wawancara Muhammad Ridha dengan Ken Budha Kusumandaru, seorang penulis novel fantasi, serta review  Dede Mulyanto atas bukunya Kevin Anderson,  Marx at the Margins: on nationalism, ethnicity, and non-western societies.

Selamat Membaca!

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.