Memasarkan Tuhan, Menuhankan Pasar
Judul buku: The GOD MARKET How Globalization Is Making India More Hindu Penulis : Meera Nanda Penerbit : Monthly Review Press, NY, 2011 Tebal : xxxix+237
HomeLeft Book Review
Judul buku: The GOD MARKET How Globalization Is Making India More Hindu Penulis : Meera Nanda Penerbit : Monthly Review Press, NY, 2011 Tebal : xxxix+237
PADA tanggal 8 Maret lalu, Perempuan di seluruh dunia merayakan hari kemerdekaannya. Tidak terkecuali di Indonesia. 8 Maret adalah hari yang menandakan dimana perempuan adalah juga kelompok yang sangat revolusioner, yang tidak hanya terkungkung di bawah tempurung rumah tangga, yang sekadar berkutat dengan urusan dapur, sumur, dan kasur. 8 Maret adalah sebuah proklamasi bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki, memiliki hak yang sama di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
BEBERAPA bulan lalu, saya dan kawan-kawan terlibat dalam advokasi penggusuran pegiat usaha stasiun di Jabodetabek. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, Merebut Hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri[1], sedikit banyak disampaikan bagaimana pegiat usaha yang ada di Stasiun se-Jabodetabek digusur tanpa adanya kompensasi maupun relokasi oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dari tempat usaha mereka yang telah sah dibeli secara hukum. Tak adanya tawaran solusi dari PT. KAI itu membuat pegiat usaha membentuk barisan untuk melawan bentuk peminggiran dan pemiskinan atas kehidupan mereka. Dalam perjuangannya tersebut, pegiat usaha melakukan berbagai metode perlawanan, baik diplomasi ke pihak pemerintah hingga aksi demonstrasi di lapangan. Meskipun akhirnya tergusur, tetapi pengalaman bersama para pegiat usaha dalam usaha melawan penggusuran tersebut, membuka tabir bagaimana kehidupan kota saat ini sebenarnya ditata. Bahwa kehidupan kota menjadi titik sentral dari akumulasi kapital yang mengondisikan usaha pengelolaannya.
‘MENGAPA manusia menghancurkan buku?’ Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalu hadir dalam setiap zaman, dalam setiap konteks sosial historis yang pernah ada, semenjak manusia mengenal cara merekam pengetahuan yang dimilikinya dalam media tertentu. Kini pertanyaan ini kembali mengemuka ketika beberapa waktu lalu terjadi peristiwa yang merupakan repetisi dari segala jaman yang merasa terganggu dengan lahirnya pengetahuan tertentu: pelarangan mendiskusikan buku tentang Tan Malaka oleh sekelompok ormas yang mengatasnamakan Pancasila dan Islam. Meskipun pelarangan mendiskusikan buku tersebut tidak diikuti dengan penghancuran buku dimaksud, tetapi pada akhirnya peristiwa tersebut adalah suatu contoh bagaimana buku menjadi arena kontestasi antara arus utama dan the others, antara kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, antara keperluan untuk melanggengkan hegemoni dan upaya untuk menggugat status quo.
Judul buku: Marx on Gender and The Family, A Critical Study Penulis: Heather A. Brown Penerbit: Brill, Leiden-Boston, 2012 Tebal: 229 halaman termasuk index “I
POGROM ’65 bukan hanya sekedar menghancurkan gerakan massa yang kuat, lebih dari itu adalah dihancurkannya karakter kebangsaan yang penuh dengan harga diri. Suatu karakter kebangsaan
Judul Buku: The Problem with Work :Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries Penulis: Kathi Weeks Penerbit: Duke University Press, 2011 Tebal: 287 halaman ‘Alangkah
Judul buku: The Communist Manifesto Penulis: Karl Marxdan Friedrich Engels Penerbit: Pluto Press, London, 2008 Tebal: 115 halaman PADA Februari 1848, terbit dokumen politik Marxis
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya sudah melakukan abstraksi secara spontan. Sedari anak-anak, kita sudah belajar melakukan abstraksi. Bilangan 2, misalnya adalah abstraksi dari pola kuantitas bermacam hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti dua batu, dua kursi, dua daun, dan seterusnya. Untuk mendapatkan konsep dua, pikiran kita mengesampingkan benda-benda material dimana pola kuantitas itu melekat, sehingga didapatkan suatu konsep kuantitas murni tertentu yang kemudian kita beri nama ‘dua’ atau lambang bilangan Hindu-Arab ‘2.’ Tentu saja proses pemahaman atas bilangan 2 tidak sesederhana di atas. Ada juga misalnya proses komparasi dengan pola kuantitas lain yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti 1, 3, 4, dan seterusnya, yang berjalan dalam pikiran kita, sehingga kita mendapatkan sense of position dari bilangan 2 dalam urutan bilangan yang ada. Tapi, ada proses abstraksi di situ. Dan tanpa kita sadari, kita sudah melakukan hal ini sejak kanak-kanak.
Tentu tidak cukup menjawab persoalan kebenaran marxisme hanya dengan pernyataan jargonistik saja. Karena, dengan berhenti pada jargon-jargon itulah marxisme menjadi sebatas mitos dan kehilangan keilmiahan serta daya emansipatorisnya. Dalam konteks inilah buku Martin Suryajaya berjudul Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi Dari Aristoteles Sampai Amartya Sen menjadi penting. Buku ini secara garis besar menjelaskan fenomena kapitalisme yang berkaitan erat dengan persoalan nilai, yaitu bagaimana melandasi keseukuran sebuah komoditas agar bisa dipertukarkan dengan komoditas yang lain. Karena kapitalisme pada dasarnya adalah akumulasi keuntungan melalui komoditas yang diciptakan, maka nilai adalah prasyarat bagi relasi ekonomi tersebut, atau dengan kata lain menjadi batu fondasi dari kapitalisme itu sendiri. Dengan analisisnya, Martin membuktikan bahwa dari berbagai macam teori nilai yang ada, teori nilai Marx lah yang paling eksplanatoris dalam menjelaskan persoalan nilai, dan dengan demikian, kapitalisme itu sendiri. Maka, alih-alih menjadi teori yang usang, marxisme adalah teori yang paling mumpuni dalam menjelaskan fenomena ekonomi yang saat ini terjadi.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.