Ilustrasi: Illustruth
TIDAK ada orang waras yang tidak gelisah melihat kondisi Indonesia saat ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran secara vulgar menyatakan hendak mengakui eksistensi penjajah dan pelaku genosida Israel, supremasi sipil kian jauh panggang dari api, represi aparat semakin banal, eksploitasi-perampokan alam atas nama pembangunan, kian panjangnya barisan penganggur, dan seterusnya. Kita, sebagai warga yang sadar hak, tidak tinggal diam. Kita memprotes, berdemonstrasi, atau paling minimal bawel di media sosial. Tapi, mengapa seperti tidak ada yang berubah? Malah, yang lebih parah, mengapa yang kita temukan di depan seolah hanyalah kabut asap yang kian tebal? Apa yang kurang? Mengapa penindasan dan eksploitasi terlihat lebih langgeng daripada gerakan perlawanan?
Dalam situasi seperti ini, menurut kami, penting bagi kita untuk duduk sejenak memikirkan tentang gerakan sosial itu sendiri. Memang mudah menunjuk hidung aktor-aktor kekuasaan–pemerintah, kapitalis, oligarki, sebutlah mereka semua—sebagai penyebab dari apa yang terjadi saat ini. Tidak ada yang keliru dari itu; memang demikianlah adanya. Namun, itu tidak cukup. Kita harus melihat ke dalam; berefleksi mengenai bagaimana cara berlawan selama ini sehingga para penguasa lalim seperti tidak ada takut-takutnya untuk melakukan apa saja. Semua saling terhubung sehingga mengabaikan satu hal hanya berujung pada jalan buntu.
Artikel ini akan membicarakan tentang hal tersebut, dengan titik berangkat pada konsep yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir (dan kian sering muncul beberapa waktu belakangan): gerakan rizomatik atau rimpang. Posisi kami terhadap itu, sebelum dielaborasi lebih jauh, adalah: gerakan rimpang saja tidak cukup, ia perlu dilanjutkan dengan gerakan terorganisir yang terpimpin, terstruktur dan tidak cair. Jika tidak, gerakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke kekecewaan satu ke kekecewaan lainnya; kekalahan sekarang ke kekalahan berikutnya.
Apa itu Gerakan Rimpang?
Beberapa penulis menggambarkan gerakan sosial saat ini, terutama ketika variabel media sosial masuk sebagai alat memperbesar pengaruh dan gaung, mengambil ciri tumbuhan rizomatik atau rimpang. Salah satunya artikel di Tempo yang tayang awal bulan lalu, kemudian yang lebih elaboratif terbit di Palgrave Macmillan pada Juni 2024. Selain sekadar mendeskripsikan situasi kontemporer, penulis-penulis lain bergerak lebih jauh, menganggap hal ini sebagai ideal dan oleh karena itu semestinya “perlu terus didorong… agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi,” mengutip artikel di The Conversation. Pun dengan artikel terakhir di media ini, Indoprogress, yang menyatakan bahwa dalam situasi berbahaya seperti sekarang, perlawanan sehari-hari, kecil-kecilan, yang dilakukan kita semua “akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik” yang “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim.” Tiga tahun lalu, kanal ini juga membahas bahwa karakter rimpang dapat dipakai untuk “mengembangkan gerakan buruh.”
Jadi, apa itu gerakan rimpang? Karya pertama dan utama yang membahas tentang gerakan rimpang adalah A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, dari duo filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang terbit pertama kali pada 1980, kemudian versi bahasa Inggrisnya tujuh tahun kemudian. Kami kutip beberapa kalimat penting secara utuh. “…any point of a rhizome can be connected to anything other, and must be. This is very different from the tree or root, which plots a point, fixes an order” (hlm. 7). Kemudian, “…unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; … It is composed not of units but of dimensions, or rather directions in motion. It has neither beginning nor end, but always a middle (milieu) from which it grows and which it overspills” (hlm. 21). Lalu, yang terakhir agar tidak terlalu panjang, “The tree is filiation, but the rhizome is alliance, uniquely alliance. The tree imposes the verb ‘to be’, but the fabric of the rhizome is the conjunction, ‘and… and… and…’” (hlm. 25).
Perlu ditekankan bahwa mereka tidak membahas konsep rimpang sebagai biomimikri untuk gerakan sosial saja. Pembahasan tentang itu malah bukan yang utama dari buku tersebut. A Thousand Plateaus lebih menawarkan kerangka konseptual secara luas, bukan semacam panduan langsung; seperti buku “how-to”. Ia mencakup banyak hal lain termasuk politik pengetahuan, karya sastra (keduanya pertama kali mengetengahkan konsep “rimpang” ketika mengomentari novel dan cerita pendek Franz Kafka pada 1975), dan cara berpikir. Bahkan, A Thousand Plateaus juga ditulis dengan cara rimpang, tidak linier, sehingga dapat dibaca dari banyak titik. Namun, sampai sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang dimaksud gerakan rimpang adalah gerakan yang tidak hierarkis, cair, tidak terikat tapi terhubung satu sama lain alias otonom.
Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alih-alih sebagai sesuatu yang kontemporer—“model gerakan baru” kata penulis Tempo; “new youth movement” menurut judul bab buku terbitan Palgrave Macmillan; dan sejak “ramainya penggunaan media sosial” di The Conversation—pelabelan “rimpang” pada gerakan sosial sekarang justru menunjukkan bahwa kita tidak belajar dari sejarah, dan karena itu, sialnya, selalu kalah. Gerakan sosial yang tanpa hierarki, cair, tidak terikat, otonom, tidak dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, atau ketika media sosial mulai dipakai untuk aktivisme, melainkan sejak Orde Baru berdiri. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai sampai ke anak cucunya, gerakan di Indonesia secara umum selalu merupakan gerakan yang mengambil bentuk rimpang.
Buku Edward Aspinall, Opposing Suharto (2005), dengan baik menggambarkan bagaimana situasi perlawanan terhadap sang tiran medioker selama puluhan tahun dia berkuasa. Di sana tergambar kelompok oposisi (dengan derajat kekeraskepalaan masing-masing) yang berserakan dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ya, rimpang itu tadi, bedanya labelnya belum ada. Secara umum ada empat kategori oposisi di era Orde Baru (hlm 6-9). Pertama, mobilizational opposition, kelompok yang secara eksplisit mau mengganti rezim dan mengandalkan massa; kedua, semi opposition, mereka yang mencoba mengubah dari dalam dan paling umum di masa itu; ketiga, alegal opposition, diasosiasikan kepada individu berani dan vokal, para pembangkang, tapi biasanya sekadar memberikan khotbah moral kepada rezim agar berubah menjadi lebih baik; dan terakhir adalah proto opposition, yang nama lainnya adalah organisasi masyarakat sipil. Menurut Aspinall, semua aktivisme mereka menghasilkan “multi fronted battle”. Mereka pada akhirnya terhubung satu sama lain dengan cara “learn from, and compete with, one another” (hlm 11).
Mengatakan bahwa gerakan sosial yang ada sekarang sebagai sebuah hal yang baru berimplikasi pada munculnya harapan bahwa itu akan berbuah sesuatu, sebab ia dianggap tidak ada sebelumnya, atau minimal berbeda dari yang sudah-sudah. Ada rasa optimistis di dalamnya. Harap-harap cemas, kata judul televisi tempo dulu. Namun, harapan ini sebenarnya menyesatkan. Ia adalah hasil dari tidak adanya pemahaman historis yang utuh. Media sosial memang berperan besar, katakanlah, dalam 10-15 tahun terakhir. Tapi keberadaannya dalam gerakan hanya menandakan medium baru, satu variabel tambahan, bukan bentuk apalagi prinsip baru. Pola gerakan sosial yang cair, informal, dan terpisah-pisah sudah lama merupakan kenyataan sosial masyarakat kita dan justru karena itu semestinya kita melihatnya kembali lebih dalam. Memberi label “baru” pada sesuatu yang sudah ada lama sekali justru menandakan kita jalan di tempat, sementara musuh kian canggih belaka. Tidak heran kalau dari berbagai indikator Indonesia semakin mundur alih-alih kian demokratis.
Implikasi Gerakan Rimpang dan Lalu Apa?
Meski menganggap gerakan rimpang bukan hal baru, kami memahami mengapa itu seolah tampak menjadi harapan. Salah satunya karena apa yang kita lihat sekarang seperti kebuntuan, termasuk kian meningkatnya ignorance/ketidaksadaran sebagian besar masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Kami mengakui bahwa gerakan rimpang berdampak setidaknya pada peningkatan kesadaran mengenai masalah-masalah sosio-politik yang terjadi. Berbagai isu berkali-kali ramai dulu di media sosial, baru kemudian memicu gelombang protes dan perlawanan. Namun, perlu diakui pula bahwa peningkatan kesadaran ini masih terjadi di lingkup yang sangat terbatas, atau cenderung berada di seputar “bubble” para pegiat gerakan rimpang itu sendiri.
Ini dibuktikan, misalnya, melalui kemenangan Prabowo-Gibran sebesar 58% pada Pemilu 2024 lalu. Ketika salah satu dari kami melakukan riset di sebuah kabupaten di Jawa tengah, seorang buruh perempuan, masih sangat muda, dengan entengnya mengatakan bahwa dia memilih Prabowo hanya karena dari media sosial terlihat mantan Danjen Kopassus itu lucu—sebuah citra yang, kita semua tahu, difabrikasi oleh mesin kampanye yang duitnya tidak terbatas. Sang buruh perempuan mengonsumsi konten-konten seperti itu di kamar kost-nya yang sempit selepas seharian bekerja. Algoritma akun media sosialnya tidak membawanya pada “pencerahan-pencerahan” dari para influencer/pemengaruh gerakan. Prabowo-Gibran, menurut sejumlah riset, memang paling populer di media sosial. Gerakan rimpang tidak terbukti cukup ampuh mengalahkan gerakan terstruktur para politisi borjuis yang tergabung dalam gerbong Prabowo-Gibran.
Sebagai pihak yang pernah terlibat di organisasi terpimpin-terstruktur selama bertahun-tahun, kami juga sedikit banyak memahami mengapa bentuk gerakan rimpang tampaknya lebih dipilih sebagai saluran “aktivisme” banyak orang. Gerakan rimpang adalah antitesis dari gerakan yang lebih terorganisir dan lebih terpimpin. Selain cenderung lebih sederhana, tidak terikat tanggung jawab yang rigid, gerakan rimpang dapat dibentuk dengan kerja-kerja perawatan yang lebih minim dibandingkan dengan yang disebutkan pertama. Bergabung ke organisasi yang terstruktur dan terpimpin membutuhkan komitmen yang kadang lebih besar dari yang bisa ditanggung. Di masa sekarang ini, siapa yang mau capek, bertungkus lumus berorganisasi, tekun menghimpun dalam keseharian, sementara mengajak bergerak via media sosial sering kali dirasa cenderung efektif juga?
Belum lagi fakta bahwa organisasi terstruktur yang dibangun dari hasil pengorganisiran sehari-hari pun tak jarang memiliki banyak masalah. Mulai dari “ngabers” yang merupakan simtom dari minimnya nilai-nilai feminisme, tidak adanya pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. Setidaknya, dari pengalaman kami, organisasi punya cita-cita luhur mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, tetapi relasi sosial para anggotanya (atau kader) itu sendiri bermasalah. Dalam hal ini, artikel di Majalah Sedane menarik untuk disimak. Penulis menggambarkan bagaimana generasi muda kian tidak tertarik bergabung ke serikat buruh meski kian hari hidup mereka semakin rentan. Alasan yang dikemukakan di antaranya karena serikat buruh itu kaku, tidak menjalankan fungsi advokasi padahal itulah raison d’être mereka dan sekadar meminta iuran, bahkan oligarkis (pemimpinnya itu-itu saja, tidak ada kaderisasi, nondemokratis). Memang, idealnya masalah itu bukan malah dijauhi tapi diselesaikan secara internal. Tapi bicara jelas lebih mudah dibanding mempraktikannya. Terlebih, menyelesaikan berbagai masalah di organisasi tak jarang memerlukan “pertarungan internal” panjang dan membutuhkan ketahanan ekstra. Pada akhirnya, seperti yang sering kami dengar dan bahkan kadang saksikan sendiri, ada saja aktivis yang memutuskan keluar tak hanya dari organisasi tapi sekaligus dari “gerakan” karena demoralisasi.
Bukan berarti gerakan rimpang bebas dari masalah yang sama. Hanya saja, cairnya gerakan ini membuat masalah menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Para pegiat gerakan rimpang bisa keluar atau mundur kapan saja tanpa harus melewati proses atau mendapatkan konsekuensi yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di organisasi yang lebih terstruktur. Atau, dan ini cukup banyak contohnya beberapa tahun terakhir, jika subjek yang terlibat dalam gerakan ternyata membuat masalah, orang lain tinggal melakukan tekanan di media sosial, meng-cancel-nya, dan yang bersangkutan pun biasanya tidak punya pilihan lain selain mundur dan menghilang. Tidak ada konsekuensi lanjutan lagi.
Selain soal kapasitas subjektif (lelah, demoralisasi, merasa sia-sia, dan sejenisnya), ada juga faktor struktural yang membuat lebih banyak orang tertarik dengan gerakan rimpang alih-alih masuk ke dalam aktivisme pengorganisiran yang lebih terstruktur dan terpimpin. Neoliberalisme membuat kita, warga negara, kelas pekerja, semakin teratomisasi, memperparah keadaan depolitisasi yang merupakan warisan Orde Baru selama puluhan tahun. Kita memang terdisorganisasi. Itu tidak bisa dielakkan. Belum lagi legislasi seperti UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan peran serikat, misalnya, dalam hal penentuan upah dan perundingan dengan pengusaha. Di sisi lain, ada saluran “mudah” bernama media sosial. Kita, orang-orang yang frustrasi dengan keadaan, menyalurkan semua kemarahan ke sana. Jadi, sekali lagi, untuk apa bersusah melibatkan diri dalam pengorganisiran terpimpin yang terstruktur jika kita dapat sesuka hati mempersepsikan setiap apa yang kita anggap “perlawanan kecil-kecilan-keseharian” sebagai “tindakan revolusioner”?
Ketiadaan struktur dan pengorganisiran yang rapi akan menyebabkan gerakan rimpang harus terus mengulang membangun gerakannya. Oleh karena itu, pernyataan bahwa jaringan rizomatik “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim” sebetulnya kurang akurat. Bagaimanapun, bagi kami, membangun gerakan dengan struktur yang kuat yang ditopang oleh pengorganisiran tekun yang terpimpin sehari-hari adalah krusial. Perlawanan sehari-hari yang kita lakukan pada akhirnya perlu dipimpin oleh tujuan yang terukur. Tujuan-tujuan yang dibentuk melalui berbagai manifesto, misalnya, tentu hanya dapat diwujudkan melalui struktur perlawanan yang tidak cair, tidak leaderless.
Imajinasi tentang “tujuan” itu sendiri hanya mungkin lewat gerakan pengorganisiran yang terpimpin. Sulit membayangkan itu tercipta di luarnya (tentu “tujuan” itu sendiri perlu pendiskusian lebih lanjut, dan bukan di artikel ini tempatnya). Hal ini sekaligus mempertebal tesis kami sebelumnya, bahwa gerakan rimpang bukan baru muncul akhir-akhir ini. Selama ini, kalau kita mau terbuka mengakui, yang dilakukan oleh gerakan sosial lebih bersifat defensif, dalam arti sekadar mempertahankan apa yang sudah ada meski sebenarnya juga tidak selamanya baik (kita misalnya tidak bisa mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan lebih bagus dibanding UU Cipta Kerja, sebab dari sanalah sistem kerja kontrak dan alih daya dibenarkan). Akibatnya seperti sekarang: apa yang sering disebut sebagai “pencapaian” Reformasi pelan-pelan dikebiri satu per satu sampai tak tersisa, sebab apa yang kita lawan adalah sistem yang sangat terorganisir. Dalam beberapa kasus, kita tidak mengalami “kemenangan” tapi sekadar “menunda kekalahan”.
Sifat gerakan rimpang yang leaderless menurut kami juga berisiko pada terjerumusnya gerakan perlawanan ke dalam jurang individualisasi. Sifat leaderless dari gerakan rimpang akhirnya membuatnya bertopang kepada para pemengaruh di media sosial. Menjadi pemengaruh tentu bukanlah hal yang salah; kita telah melihat banyak kegunaannya. Namun, penting pula untuk mengakui keterbatasan dari tren ini. Tren pemengaruh yang tidak ditopang oleh struktur perlawanan dan pengorganisiran yang kuat, yang leaderless, bisa menjadi jebakan bagi gerakan perlawanan itu sendiri. Jebakan ini, dapat kita lihat, misalnya, ketika beberapa lalu warganet dengan heboh mempertanyakan “menghilangnya” seseorang yang dapat dikatakan sebagai pemengaruh besar di gerakan rimpang saat ini pada beberapa isu politik. Fenomena ini persis menunjukkan letak jebakan dari tren pemengaruh dalam gerakan perlawanan: ia membuat kita lupa bahwa tiap-tiap dari kita punya kemampuan agensi yang sama di dalam struktur politik yang menindas dan mengeksploitasi ini.
Bahkan sebagian dari kita memiliki kekuatan agensi yang lebih besar dari yang lain. Kelas buruh yang berada di jantung produksi kapitalisme, misalnya, memiliki structural power/kekuatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mengerjakan bullshit jobs di ruang-ruang kantor. Sejarah membuktikan bagaimana para pekerja dengan structural power yang sangat kuat terorganisir lalu bergerak dalam gerakan terstruktur dan terpimpin mampu mewujudkan berbagai tuntutan serta tujuan politik di seluruh dunia. Belum lagi soal associational power/kekuatan asosiasional. Kekuatan sebuah organisasi gerakan—seperti serikat pekerja atau organisasi komunitas—dapat benar-benar terlihat ketika ia memiliki struktur perlawanan yang kuat, tidak leaderless, apalagi cair.
Pada akhirnya memang harus diakui bahwa gerakan rimpang dapat membangun kultur perlawanan di tengah masyarakat meski cakupannya masih terbatas. Namun ia tidak bisa berhenti di sana saja. Gerakan tersebut semestinya menjadi langkah atau taktik awal untuk kemudian didorong maju ke gerakan yang lebih terstruktur, terpimpin, dan terorganisir. Dalam observasi kami yang terbatas, sering kali, gerakan rimpang ini terbentuk di tingkat aliansi dan bukan organisasi gerakan itu sendiri. Sehingga, sebetulnya, di sinilah letak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan: mengorganisir secara terpimpin dan tekun dalam keseharian, dengan tujuan perlawanan yang jelas, serta di berbagai tingkat/struktur perlawanan sembari menyelesaikan masalah-masalah di tubuh organisasi seperti, sekali lagi, “ngabers”, ketiadaan pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. ***
Fathimah Fildzah Izzati – PhD Candidate di SOAS University of London dan editor Indoprogress; Rio Apinino – editor Indoprogress.