Membaca “Bullshit Jobs” di Tengah Pandemi COVID-19

Print Friendly, PDF & Email

Judul buku : Bullshit Jobs: A Theory
Penulis : David Graeber
Penerbit : Penguin Allen Lane
Tempat terbit : Britania Raya
Tahun terbit : 2018
Jumlah halaman : 333 + xxv halaman


PADA 2013, seorang antropolog bernama David Graeber menulis esai berjudul On the Phenomenon of Bullshit Jobs di sebuah majalah progresif Strike!. Ketika itu ia mendapat respons dari banyak orang mengenai kerja mereka yang bullshit: mendapatkan upah yang baik tetapi tidak melakukan pekerjaan yang jelas dan punya arti sehingga menimbulkan rasa frustrasi. Narasi yang datang dari para pekerja tersebut lantas ia kembangkan menjadi sebuah buku 7 bab berjudul Bullshit Jobs: A Theory yang terbit pada 2018.

Graeber mengawali bukunya dengan menampilkan kontradiksi antara tesis yang diajukan oleh seorang ekonom terkenal, John Maynard Keynes, di tahun 1930 dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Keynes memprediksi bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi pada abad ke-21, negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris akan memberlakukan 15 jam kerja saja dalam seminggu. Namun, kenyataan saat ini justru membuktikan hal sebaliknya. Sebuah laporan bahkan menyebut rata-rata buruh AS menghabiskan 1.739 jam kerja pada 2017, lebih panjang dari buruh di banyak negara Eropa, juga Jepang dan Australia. 

Menurut Graeber, teknologi justru telah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya (hal. xv).

Meski demikian, tugas tersebut tidak selalu penting apalagi berarti bagi para pekerjanya.Graeber memberikan ilustrasi dengan menampilkan sebuah survei di AS tahun 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut menyebutkan bahwa hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama. 10 persen dihabiskan untuk pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang hanya membuang-buang waktu; 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting; dan seterusnya. Artinya, pekerja kantoran dalam survei tersebut justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak penting.

Pekerjaan-pekerjaan semacam itulah yang disebut oleh Graeber, dan diidentifikasi oleh para pekerja sendiri, sebagai bullshit jobs. Graeber mengatakan laki-laki lebih banyak melakukan bullshit jobs ketimbang perempuan (hal. 19).

Dalam mendefinisikan bullshit jobs, Graeber membangun sejumlah definisi berdasarkan tuturan dari para pekerja yang berkorespondensi dengannya, sebab “tidak ada yang dapat mengerti sebuah pekerjaan daripada pekerja itu sendiri” (hal.11).

Pekerjaan-pekerjaan yang dikategorikan sebagai bullshit jobs ini berproliferasi atau berlipat ganda. Inilah yang menjadi salah satu sorotan utama Graeber.

Selain bullshit jobs, Graeber juga menyebutkan soal shit jobs: pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat, akan tetapi para pekerjanya dibayar dengan upah yang kecil dan memiliki kondisi kerja yang buruk (hal. 14). Shit jobs pun dicirikan dengan rendahnya kepercayaan diri (self-esteem) mereka yang mengerjakannya. Graeber mencontohkan salah satu shit jobs adalah petugas kebersihan di universitas. Mereka digaji kecil dan kebanyakan merupakan pekerja alih daya (outsourcing).

Di samping itu, Graeber juga menyinggung adanya pekerjaan-pekerjaan yang merupakan bullshit jobs dan shit jobs sekaligus (hal. 15).

Pada tinjauan buku ini, saya akan fokus membahas apa itu bullshit jobs, shit jobs serta kaitannya dengan politik kerja yang lebih luas. Tesis Graeber bahwa munculnya bullshit jobs tak dapat dilepaskan dari adanya persinggungan antara kapitalisme dengan logika dari feodalisme mengantarkan saya pada tesis-tesis lain terkait kerja dan politik kerja, yang juga akan dibahas di bagian selanjutnya.

Selain itu, tulisan ini juga akan menyoroti narasi tentang penciptaan lebih banyak lapangan kerja (“create more jobs”) dan logika kapitalisme dalam bullshit jobs dengan menggarisbawahi persoalan “race to the bottom” yang, bisa dibilang, luput dibahas di buku ini. Terakhir, tinjauan buku ini akan ditutup dengan refleksi ringkas.


Bullshit Jobs dan Perenungan tentang Kerja di Tengah Pandemi

Graeber mendefinisikan bullshit jobs pertama-tama sebagai pekerjaan yang kalau dihilangkan tidak akan memberikan perbedaan apa pun pada dunia. Kemudian, ia menambahkan bahwa para pekerja dengan bullshit jobs bahkan tidak dapat menjustifikasi keberadaan dari pekerjaan-pekerjaan tersebut. Selanjutnya, Graeber mendefinisikan bullshit jobs sebagai beragam jenis pekerjaan yang sebetulnya tidak dibutuhkan dan tidak penting. Graeber juga menekankan bahwa mereka yang bekerja dengan bullshit jobs biasanya adalah para pekerja kerah putih (white collar), bukan pekerja kerah biru (blue collar).

Intinya, Graeber menekankan bahwa bullshit jobs ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada gunanya dan sesungguhnya tidak dibutuhkan. Namun, ia menekankan bahwa ada perbedaan antara bullshit jobs dengan tindakan-tindakan yang masih diragukan apakah itu sebuah pekerjaan atau bukan (hal. 9).

Pada bab 2, Graeber menjelaskan lima kategori bullshit jobs yang ia buat berdasarkan penuturan langsung dari para pekerja.

Kategori pertama, flunkies. Flunkies adalah mereka yang mengerjakan berbagai pekerjaan yang dapat membuat orang yang mempekerjakan para flunkies ini merasa atau terlihat penting. Menurut Graeber, mereka yang termasuk ke dalam kategori flunkies ini adalah para pekerja yang melakukan pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan sendiri oleh bos mereka. Selain itu, pekerjaan-pekerjaan flunkies ini hanya berfungsi sebagai pelengkap yang tidak perlu tapi seringkali dibutuhkan untuk syarat keberadaan sebuah perusahaan. Contoh flunkies ini misalnya pekerjaan membuka pintu dengan menggunakan seragam atau pekerjaan resepsionis. Meski demikian, menurut saya, pekerjaan para pembuka pintu atau para resepsionis lebih merupakan gabungan antara bullshit jobs dan shit jobs sekaligus.

Kedua, goonsGoons adalah mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan elemen agresif, deceptive, dan manipulatif. Selain itu, pekerjaan goons ini tidak jarang menimbulkan efek negatif, misalnya mereka yang bekerja sebagai humas/public relations atau pegawai call centers yang harus menjawab pertanyaan konsumen/pelanggan dengan jawaban-jawaban yang deceptive.

Kategori ketiga, duct tapers, hanya ada karena munculnya bermacam kesalahan yang terjadi di organisasi tempat kerja. Ia menggunakan istilah “housewife neurosis” dari Freud untuk menjelaskan kondisi kerja dari para duct tapers: mereka dipaksa untuk mengorganisasi kehidupan kerja di seputar kerja-kerja yang bersifat caring.  Misalnya menyalin tugas-tugas ke dalam file excel yang berbeda, atau menjaga alur ritme kerja di kantor.Menurut Graeber, tugas-tugas dari para duct tapers yang diidentik dengan pekerjaan perempuan ini sebetulnya tidak begitu diperlukan dan bisa diotomatisasi.

Selanjutnya box tickers. Para box tickers adalah mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat administratif, yang sebetulnya tidak begitu diperlukan. Satu contohnya adalah paperwork–pekerjaan klerikal atau pencatatan rutin yang kerap berhubungan dengan tugas yang lebih penting–yang banyak dilakukan para akademisi di kampus (hal. 47). Ironisnya, menurut Graeber, tugas paperwork ini seringkali menutupi tugas-tugas utama. Banyak akademisi dianggap tidak memiliki keahlian hanya karena tidak dapat menyelesaikan paperwork yang diberikan. Padahal, menurut Graeber–dan saya juga sangat setuju—tidak dapat mengurusi paperwork dengan baik tidaklah sama dengan tidak memiliki kapasitas di dunia akademik.

Terakhir, kategori kelima, ialah taskmasters. Graeber menggolongkan taskmasters ke dalam dua tipe. Tipe pertama adalah mereka yang menugaskan pekerjaan kepada pekerja lain. Mereka adalah para superior yang sebetulnya tidak dibutuhkan dan para taskmasters ini merupakan kebalikan dari para flunkies. Sementara itu, tipe kedua dari taskmasters adalah mereka yang menciptakan bullshit jobs bagi orang lain.

Selain bullshit jobs, Graeber juga membahas soal shit jobs dan bullshit society (hal. 23; hal. 14). Jika para pekerja bullshit jobs mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna namun mendapatkan upah yang baik, maka para pekerja shit jobs melakukan kerja yang dibutuhkan untuk diselesaikan dan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi bekerja di bawah kondisi kerja yang buruk (hal. 14).

Graeber juga membahas contoh-contoh pekerjaan yang beririsan satu sama lain. Misalnya, antara flunkies dan duct tapers serta pekerjaan-pekerjaan yang merupakan pertautan antara bullshit jobs dan shit jobs sekaligus seperti misalnya para PNS rendahan (hal. 15).

Di bab 3, Graeber membahas persoalan bullshit jobs dan dampaknya pada kesehatan para pekerja yang ada di dalamnya. Bagaimana para pekerja, misalnya, merasa tidak berharga meski dibayar dengan baik karena tidak melakukan pekerjaan yang berarti. Kemudian, pada bab 4, Graeber juga membahas bagaimana para pekerja dengan bullshit jobs menghadapi dilema: di satu sisi pekerjaan mereka adalah bagian dari bullshit jobs, akan tetapi di sisi lain pekerjaan mereka dapat memberikan penghidupan bagi mereka dan keluarga (hal. 124).

Apa yang diungkapkan Graeber membuat saya merenungi lebih jauh soal kerja, maknanya dan politik yang ada di dalamnya, terutama saat dunia tengah dilanda pandemi COVID-19 seperti saat ini.

Adanya kebijakan kerja dari rumah (work from home) untuk mengantisipasi penyebaran virus ini menunjukkan bahwa sebetulnya banyak sekali bullshit jobs di sekeliling kita (mungkinkah kita sendiri yang melakoni salah satu pekerjaan ini?). Pekerjaan-pekerjaan yang bahkan jika tidak dikerjakan pun tidak akan memberikan pengaruh apa-apa pada kehidupan masyarakat. Sementara itu, pada sama juga terlibat banyak shit jobs yang jika tidak dikerjakan akan memberikan pengaruh yang besar untuk kehidupan masyarakat.

Para tenaga medis, pekerja kebersihan, buruh media, buruh supermarket, buruh pabrik dan para kurir perusahaan berbasis aplikasi digital di bawah gig economy dapat dengan tegas dikategorikan sebagaishit jobs(Jones, 2020) karena pekerjaannya esensial bagi kehidupan banyak orang tapi seringkali bekerja dalam kondisi kerja yang buruk. Sulit membayangkan bagaimana masyarakat bisa bertahan tanpa orang-orang yang bekerja di sektor ini. Di sisi lain, ada pekerjaan dengan bayaran dan kondisi kerja yang cenderung baik tapi mengerjakan tugas-tugas yang jika dihilangkan pun tidak akan berpengaruh pada kehidupan manusia seperti misalnya para PNS yang pada keadaan normal dapat menghabiskan banyak waktu hanya untuk bermain Candy Crush.

Lantas, muncul pertanyaan: bagaimana semestinya? Apakah pekerjaan-pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori bullshit jobs harus dihilangkan? Lalu, jika demikian, bagaimana dengan para pekerjanya?

Dalam buku ini Graeber mengatakan yang sebetulnya menjadi sumber masalah adalah bullshit society, yaitu kondisi sosial politik yang menyebabkan terciptanya bullshit jobs. Jadi perkaranya bukan pada apakah bullshit jobs ada atau tidak, tapi bagaimana mengintervensi kondisi yang memungkinkan keadaanitu muncul. Saya juga melihat bahwa keberadaan bullshit jobs ini mungkin juga berkaitan erat dengan para pekerja yang tidak mengenali diri dan kolektif mereka sebagai sumber kekuatan (workers’ sources of power). Menurut saya, bukan tidak mungkin ketika para pekerja di dalam bullshit jobs berserikat, misalnya, mereka dapat mulai mengidentifikasi lebih jauh kekuatan kolektifmereka (Silver, 2003).


Logika Kapitalisme dalam Bullshit Jobs, Race to the Bottom” dan Wacana soal Universal Basic Income (UBI)

Di bab 5, Graeber mengungkapkan analisisnya mengapa bullshit jobs bisa marak. Temuan Graeber, bullshit jobs terutama menjamur di sektor pelayanan (service sector), terutama dalam pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan informasi dan pelayanan jenis baru, kecuali mereka yang bekerja sebagai IT providers, telemarketers dan pekerja seks.

Saya tidak sepenuhnya sependapat. Menurut saya, pekerja di sektor informasi apalagi mereka yang termasuk ke dalam proletariat digital—sebagaimana diungkap Graeber—bukanlah termasuk bullshit jobs. Ini karena keberadaan mereka justru sangat menentukan di era platform capitalism seperti sekarang. Bahkan, dalam konteks Indonesia, banyak dari para digital proletariat ini juga merupakan freelancer/pekerja lepas, yang kondisi kerjanya jauh dari kata layak  (SINDIKASI, Kerja Keras Menukar Waras, 2018; SINDIKASI, Hasil Survey Work Life Balance Festival SINDIKASI 2019, 2019;  SINDIKASI, Hasil Survey Work Life Balance Festival SINDIKASI 2020, 2020).

Graeber mengungkapkan bahwa menjamurnya bullshit jobs berkaitan erat dengan wacana ‘more jobs’ atau penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya (hal.  156). Penciptaan lapangan kerja adalah segalanya (hal. 157). Di Indonesia, wacana mengenai penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya telah mendorong dibuatnya sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditolak secara luas oleh masyarakat, termasuk kaum buruh, bernama RUU Cipta Kerja. RUU ini berisi penggerusan hak-hak dasar buruh, yang orientasinya diasumsikan akan mendatangkan investasi dan kemudian akan membuka banyak lapangan kerja baru. Dengan kata lain, sukses dalam soal menciptakan ‘more jobs’.

Graeber juga menyatakan bahwa perkembangan bullshit jobs terkait dengan dua hal. Pertama, bullshit jobs semakin meluas seiring dengan meningkatnya service economy dan menurunnya sektor agrikultur. Graeber menduga ada hubungan antara finansialisasi ekonomi, meningkatnya industri informasi dan berkembangnya bullshit jobs. Saya sepakat dengan pernyataan Graeber, namun dengan tambahan kalau menurunnya sektor agrikultur juga berhubungan erat dengan berkembangnya shit jobsLand grabbing atau perampasan tanah serta gentrifikasi yang terjadi secara masif, khususnya di negara-negara global south, telah menyebabkan banyak orang di pedesaan tersingkir dan bermigrasi ke perkotaan (Akram-Lodhi, Kay, dan Borras, 2012). Hal ini menyebabkan kondisi kelangkaan kerja dan menyebabkan banyak orang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan yang dikategorikan sebagai shit jobs (Rizzo, 2017).

Kedua, berkembangnya bullshit jobs disebabkan oleh adanya persinggungan yang erat antara penciptaan kerja di dalam kapitalisme dengan unsur-unsur di dalam feodalisme. Mengikuti logika dari kapitalisme, sebetulnya keberadaan dari bullshit jobs ini kurang masuk akal karena sebetulnya banyak pekerjaan inefisien hanya akan menurunkan tingkat profit (untuk apa terus-menerus membayar buruh hanya untuk membuka pintu hotel dan memberi salam ke tamu, misalnya?). Namun, logika feodalisme membuat itu menjadi mungkin. Ketidakbergunaan tugas-tugas dalam bullshit jobs tetap langgeng karena, menurut Graeber, kapitalis membutuhkannya untuk menunjukkan status sosial mereka di kalangan kapitalis lain serta untuk menjadikan diri mereka lebih penting.

Tesis Graeber bagi saya sangat masuk akal. Namun, menurut saya, berkembangnya bullshit jobs juga berkaitan dengan meningkatnya keberadaan shit jobs, terutama di negara-negara global south atau yang dikenal juga dengan sebutan “bukan negara maju”. Dalam hal ini, bullshit jobs menjamur seiring dengan semakin intensifnya “race to the bottom” yang akhirnya membuat shit jobs ini marak.

Race to the bottom merupakan sebuah istilah yang menjelaskan kolaborasi antara kelas kapitalis dan negara—yang selalu ada bersama kepentingan kelas kapitalis—yang berlomba-lomba untuk meningkatkan tingkat keuntungan/profit dengan menciptakan iklim yang baik bagi dunia investasi. Bentuknya biasanya berupa deregulasi yang memangkas pajak, menghilangkan hak-hak buruh, serta menegosiasikan kondisi keselamatan lingkungan hidup. Race to the bottom banyak terjadi terutama di negara-negara yang pemerintahnya tidak segan untuk menurunkan standar upah dan kondisi kerja demi menarik minat investasi. Konsekuensinya, race to the bottom menyebabkan terciptanya pekerjaan yang berupah rendah dengan kondisi kerja yang buruk/shit jobs. Namun, dalam hal ini, para buruh yang berada di bawah race to the bottom bukan berarti tidak berdaya sama sekali (Silver, 2003). Sebagaimana dikatakan Pratap (2014), para buruh di bawah race to the bottom justru telah banyak mengorganisasikan diri melalui serikat.

Di Indonesia, dengan tradisi gerakan buruh yang diberangus sejak Orde Baru, kita dapat melihat wujud dari race to the bottom melalui berbagai regulasi yang ditujukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi. Dari mulai Undang-Undang 13 Tahun 2003 yang hendak diganti oleh RUU Cipta Kerja.

Agaknya Graeber luput mendiskusikan faktor race to the bottom karena yang ia jadikan dasar menulis buku ini adalah respons dari para pekerja yang berada di global north: tinggal di AS, Eropa, dan paling jauh Jepang. Ini menarik karena situasi ini juga mencerminkan adanya gap antara mereka yang bekerja di global north dan mereka yang bekerja di global south. Sebagian pekerja dan calon tenaga kerja di Eropa dan AS (global north) berada dalam dan siap-siap menghadapi bullshit jobs. Sementara para pekerja dan calon tenaga kerja di sebagian besar Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (global south) berada dalam dan siap-siap menghadapi shit jobs: bekerja di pabrik-pabrik dengan kondisi kerja yang buruk, menjadi pengemudi di perusahaan gig economy, atau berada dalam berbagai pekerjaan informal yang bahkan seringkali tidak dikategorikan sebagai sebuah pekerjaan. Meskipun, tentu saja kedua jenis pekerjaan ini membludak baik di negara global north maupun global south.

Di bab 6 dan 7, Graeber banyak membahas soal nilai (value) dari kerja, termasuk di dalamnya persoalan otomatisasi kerja dan dilema mengenai ‘caring labour’ yang cenderung tak dapat digantikan oleh robot/mesin. Di sisi lain, banyak dari bullshit jobs sebetulnya dapat dihilangkan melalui otomatisasi atau robotisasi. Terkait itu, Graeber mengajukan gagasan mengenai “de-bullshitization” dengan melepaskan keterikatan antara pekerjaan dengan uang (penghasilan) melalui Universal Basic Income (UBI). Ia memang tidak secara khusus menjadikan UBI sebagai rekomendasi kebijakan karena ia menyatakan secara eksplisit bahwa sebagai antropolog, ia sebetulnya tidak terlalu gemar memberikan “resep kebijakan”. Kendati demikian, Graeber menjelaskan bahwa dengan adanya UBI, de-bullshitization atas kerja-kerja yang rill dapat dicapai daripada memecat pekerja dari posisi tidak penting (hal. 271).

Namun, menurut saya, alih-alih de-bullshitization, mengapa tidak dengan cara seperti ini saja: beban kerja buruh dikurangi sehingga pekerjaannya tidak menjadi shit job lagi? Selain itu, dengan didistribusikannya beban kerja yang berat, maka lebih banyak orang dapat terakomodasi, termasuk mereka yang meninggalkan bullshit jobs. Saya berpikir, mungkin kapitalis membutuhkan pride dengan menciptakan bullshit jobs dan menutupi penurunan tingkat profit yang dihasilkan dari inefisiensi dalam bullshit jobs dengan menciptakan shit jobs.

Buku ini memang membuat saya ingin bertanya lebih jauh soal banyak hal, termasuk mengenai UBI. UBI merupakan ide mengenai terjaminnya pendapatan bagi setiap warga, termasuk bagi mereka yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, saya pikir keberadaan UBI menjadi penting dan dibutuhkan, terlebih bila memperhatikan situasi dimana banyak pekerja dengan shit jobs: pekerja informal, freelancer, supir perusahaan gig economy, dan pekerja dengan zero-hours contract lainnya mengalami kesulitan finansial akibat pekerjaan yang batal atau jumlah pemesanan penumpang yang menurun. Namun, pertanyaan yang seketika muncul di kepala saya adalah, dari manakah sumber dana untuk UBI? Apakah dari negara, ataukah dari para pekerja shit jobs itu sendiri?

Dalam situasi di tengah pandemic seperti saat ini, menurut saya, penting untuk mendorong adanya UBI dengan menekankan dan memastikan bahwa negaralah yang harus menanggung pendanaannya, bukan kelas pekerja.

Terlepas dari beberapa kritik tadi, menurut saya Bullshit Jobs: A Theory dapat mengantarkan kita, para pembaca, merenungi lebih jauh hal-hal yang berhubungan dengan kerja, makna kerja dan politik kerja. Menurut saya, di sinilah letak utama keunggulan buku ini. Secara spesifik, buku ini membuat saya ingin membuka lagi beragam teori dan tesis lain yang berkaitan dengan kerja dan politik yang ada di dalamnya.

Saya teringat kata-kata Marx yang banyak dikutip: “From each according to their ability and to each according to their needs” (cat: modifikasi pada pronounce gender). Menurut saya, kata-kata Marx itu sangat relevan untuk diimplementasikan agar menjadi solusi atas kondisi-kondisi kerja seperti bullshit jobs, shit jobs, yang dipaparkan Graeber dalam buku ini. Namun, tentu saja itu implementasi atas kata-kata Marx tersebut sulit dicapai di era kapitalisme yang dipenuhi dengan race to the bottom seperti sekarang ini.***


Pustaka Acuan

Akram-Lodhi, A. H., Kay, C., & Borras, S. (2012). “The Political Economy of Land and the Agrarian Question in the Era of Neoliberal Globalization”. In A. H.-L. Kay (Ed.), Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge.

Pratap, S. (2014). Emerging Trends in Factory Asia: International Capital Mobility, Global Value Chains and the Labour Movement. Hongkong: Asia Monitor Resource Centre.

Rizzo, M. (2017). Taken for a Ride: Grounding Neoliberalism, Precarious Labour and Public Transport in an African Metropolis. Oxford: Oxford University Press.

Silver, B. J. (2003). Forces of Labour: Workers Movements and Globalization Since 1870. Cambridge University Press.

SINDIKASI. (2018). Kerja Keras Menukar Waras. Kertas Posisi, SINDIKASI, Jakarta.

SINDIKASI. (2019). Hasil Survey Work Life Balance Festival SINDIKASI 2019. Rilis Hasil Survey, SINDIKASI.

SINDIKASI. (2020). Hasil Survey Work Life Balance Festival SINDIKASI 2020. Rilis Hasil Survey, SINDIKASI.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.