Ilustrasi: Illustruth
APARAT kekerasan sudah menyusup ke dunia yang seharusnya bebas dari rantai komando jauh sebelum UU TNI direvisi: sepak bola. Ya, sepak bola telah lama dikotori oleh militerisme. Meski lahir dari semangat kolektif kelas pekerja dan masyarakat lokal, di Indonesia justru sepak bola terasa menjijikkan karena dijadikan mainan institusi berseragam.
PS TNI yang berubah menjadi Persikabo adalah bukti yang paling nyata. Para pemain di klub ini merupakan anggota aktif TNI. Ada pula klub yang secara terang-terangan dikelola oleh kepolisian, Bhayangkara FC, yang sialnya di musim depan akan kembali bermain di kasta tertinggi Liga 1. “Klub siluman” ini terkenal dengan pola kepatuhan ala barak militer; menerapkan sistem yang membuat pemainnya harus siap diperintah apa pun dan kapan pun. Ambil kasus Putu Gede yang merupakan polisi. Dia dipaksa, dengan surat tugas, kembali ke Bhayangkara FC dari Persib Bandung musim lalu dengan harapan dapat membantu tim keluar dari zona degradasi.
Tapi saya bukan hendak membahas PS TNI dan Bhayangkara FC. Saya ingin membahas bagaimana sepak bola dapat menjadi wadah kolektif untuk melawan kekerasan negara dan kesewenang-wenangannya. Mungkin sepak bola adalah candu yang mengalihkan perhatian kelas buruh dari masalah yang lebih mendesak dan dari kesadaran kelas mereka. Namun, seperti agama, sepak bola pun punya dua wajah. Pada gairah dan euforia dalam sepak bola selalu tersisip kesadaran politis dan perlawanan.
Melampaui sepak bola
Pada tahun 1992, di Bristol, Inggris, kelompok punk, anarkis, dan hippie mendirikan klub bernama Easton Cowboys. Lewat tim itu mereka bukan hanya bermain sepak bola, tapi juga memobilisasi masa. Mereka melawan semua bentuk ketidakadilan dengan nilai-nilai yang tentu saja berbeda dengan klub-klub konvensional, yaitu anti-kapitalisme, anti-rasisme, dan anti-fasisme. Aktivisme mereka pun melampaui sekat negara. Mereka misalnya pernah melakukan tur ke Zapatista di Meksiko untuk bertanding dengan komunitas lokal yang tengah berjuang melawan neoliberalisme. Bagi Easton Cowboys, sepak bola adalah sarana untuk membangun perlawanan kolektif; tempat lahirnya solidaritas.
Tahun 1993, di Jerman, muncul cerita yang mirip. Para suporter sepak bola mendirikan Bündnis Antifaschistischer Fußballfans (BAFF) atau yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan secara bebas sebagai Aliansi Suporter Sepak Bola Aktif demi melawan fanatisme di lapangan dan komersialisasi sepak bola yang terus meningkat. BAFF berusaha mengembalikan sepak bola ke akarnya, sebagai ruang inklusif bagi semua orang. Mereka menentang rasisme, homofobia, dan segala bentuk diskriminasi.
Gerakan ini sekali lagi menunjukkan bagaimana sepak bola dapat menjadi lebih dari sekadar olahraga, tetapi ruang perlawanan, ruang solidaritas, dan ruang perjuangan melawan ketidakadilan. Seperti halnya gerakan anti-fasis lainnya di dunia, BAFF juga menggunakan sepak bola sebagai medium untuk membangun kesadaran politik dan mengorganisir perlawanan kolektif di dalam maupun di luar stadion.
Cerita berikutnya mungkin sudah lebih banyak diketahui dibanding dua kisah awal. Banyak dari kita sudah mengenal tim sepak bola St. Pauli yang dikapteni oleh Jackson Irvine, pemain tim nasional Australia yang beberapa waktu lalu sukses membuat brace ke gawang tim nasional Indonesia. Mungkin St. Pauli sudah sampai level legenda; simbol perlawanan terhadap rasisme, kapitalisme, dan represifitas aparatur negara dalam dunia sepak bola. Suporter St. Pauli dikenal sebagai ultras kiri, selalu berdiri di barisan paling depan untuk melawan fasisme dan otoritarianisme. Stadion mereka, Millerntor Stadion, adalah tempat berkumpulnya simbol solidaritas dan slogan antifa. Ini menunjukkan bahwa stadion bukan hanya tempat untuk mendukung tim kebanggaan, melainkan juga ruang untuk membangun gerakan sosial.
Semua cerita dari tempat yang jauh itu kemudian jadi inspirasi banyak orang, tidak terkecuali pencinta sepak bola di Indonesia. Banyak dari mereka akhirnya membuat tim sendiri sebagai bentuk perlawanannya terhadap kapitalisme dalam sepak bola. Di Bandung, misalnya, ada Riverside Forest yang sudah eksis dari tahun 2021. Tim-tim lokal lain dengan semangat kolektif yang sama di antaranya Rainfall FC, Fortress Voetball Bond, Port City Wanderers, Southside Market SC, Urbanside FC, Kalibrug FC, Port Gank Collective, Eastside City FC. Itu belum semua. Masih banyak klub yang lahir dari suporter dan untuk suporter dengan slogan football-friendship-forever.
Bahkan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) itu sendiri, yang didirikan persis hari ini 95 tahun lalu, 19 April 1930, adalah bentuk protes. PSSI dibuat karena rasisme para penjajah. Ketika itu kompetisi resmi hanya bagi orang-orang Belanda. Dengan mendirikan PSSI, para pribumi menciptakan ruang tanding sendiri yang tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme tetapi juga wadah bagi identitas nasional yang mulai tumbuh. Sejak awal, sepak bola di Indonesia memang bukan sekadar permainan.
Pada 1990-an, tatkala rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya dan pengekangan kebebasan berpendapat terjadi di mana-mana, stadion menjadi sedikit tempat masyarakat mampu menyalurkan ekspresi mereka meski tidak secara langsung mengkritik pemerintah. Komunitas suporter mulai terbentuk dan mengorganisir diri, misalnya Bobotoh dan Viking Persib Bandung yang didirikan pada 1993. Kemudian di tahun-tahun berikutnya lahir Jakmania dan Aremania. Mereka bukan hanya menghidupkan atmosfer pertandingan tapi juga rasa kolektivitas dan solidaritas dari orang-orang biasa.
Menjelang Soeharto lengser, perlawanan pun muncul di dalam stadion. Suara-suara kritis kian nyaring terdengar, terutama dalam bentuk koreografi, spanduk, dan yel-yel yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap situasi politik saat itu.
Suporter sebagai kelompok perlawanan
Di Argentina baru-baru ini ada demonstrasi besar-besaran memprotes krisis ekonomi yang menghancurkan standar hidup. Salah satu yang turun ke jalan adalah Barra Bravas, kelompok suporter fanatik dari berbagai klub. Mereka semua menolak kebijakan efisiensi yang hanya menguntungkan elite dan pemilik modal.
Menariknya lagi itu bukanlah aksi spontan mereka. Kelompok yang di media dicap brutal, keras, dan militan itu punya sejarah panjang. Di rentang tahun 1980-1990-an, sepak bola memungkinkan terciptanya perjumpaan antara berbagai kelompok masyarakat yang sama-sama berkepentingan melawan rezim militer yang menindas. Stadion menjadi ruang sosial. Mereka berkumpul bukan hanya untuk mendukung klub kesayangan tetapi juga memobilisasi massa. Stadion bertransformasi menjadi tempat membangun solidaritas dan mempertahankan ingatan kolektif atas ketidakadilan, dan kemudian massa tumpah ruah ke jalanan.
Di Turki, UltrAslan dari Galatasaray, Genc Fenerbahceliler dari Fenerbahçe, dan Carsi dari Beşiktaş pernah mengesampingkan rivalitas mereka demi menghadapi brutalitas aparat yang menyerang demonstran secara membabi buta. Carsi memang dikenal dengan semangat anti-otorianisme; menjadi garda terdepan dalam perlawanan rakyat Turki melawan pemerintahan Erdogan pada 2013 lalu. Carsi juga adalah kelompok yang selalu menentang bentuk-bentuk penindasan seperti rasisme, fasisme, homofobia, dan gentrifikasi. Kebanyakan anggota Carsi adalah penganut sayap kiri, baik komunis atau anarkis.
Contoh lainnya ada di Mesir pada 2011. Ultras Ahlawy dari Al-Ahly dan Ultras White Knights dari Zamalek menjadi motor penggerak dalam revolusi yang menumbangkan diktator Hosni Mubarak. Ketika itu para aktivis muda menemukan keberanian tambahan ketika suporter turun ke jalan. Saat revolusi di Mesir meletus, merekalah yang ada di barisan depan di Tahrir Square. Setahun setelah revolusi, 2012, terjadi tragedi di Stadion Port Said saat pertandingan antara Al Masry dan Al Ahly. Lebih dari 70 suporter Al Ahly tewas dalam serangan yang diduga disengaja dan dibiarkan oleh aparat sebagai bentuk balas dendam atas peran mereka dalam revolusi.
Di banyak sekali tempat memang terbukti suporter merupakan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Mereka bukan sekadar pencinta sepak bola, tetapi juga kelompok massa yang terorganisir, terbiasa dengan disiplin kolektif, dan memiliki jaringan luas. Mereka dekat dengan dinamika pertarungan, baik dalam konteks rivalitas antarkelompok maupun dalam menghadapi represi kepolisian. Ketika hak-hak rakyat diinjak oleh sistem yang represif, suporter sering kali menjadi garda terdepan dalam melawan. Dan ini jelas jadi masalah bagi kekuasaan. Logika sederhananya, aparat bukan berhadapan dengan demonstran biasa, melainkan pasukan jalanan yang terbiasa “berperang”, terbiasa dengan aksi perkelahian, terbiasa dengan kegaduhan.
Bagaimana di Indonesia? Masih ingatkah dengan Tragedi Kanjuruhan? Aparat membunuh 135 nyawa dengan gas air mata. Tragedi Kanjuruhan bukan hanya menjadi duka bagi sepak bola Indonesia, tetapi juga potret nyata budaya impunitas masih mengakar. Keadilan bagi korban terasa jauh. Hukuman ringan bagi para pelaku hanya mempertegas bahwa nyawa masyarakat tidak lebih dari angka.
Namun, dari tragedi ini lahir kesadaran baru di kalangan suporter. Rivalitas yang selama ini berdiri di atas kebencian mulai luntur dan digantikan oleh solidaritas. Suporter dari berbagai daerah turun ke jalan, bersatu dalam satu suara untuk menuntut keadilan. Dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, hingga Makassar, semua menyuarakan hal yang sama, bahwa polisi adalah pembunuh. Rivalitas klasik antara PSS Sleman, PSIM Yogyakarta, dan Persis Solo yang sebelumnya sering memakan korban kini berubah menjadi persatuan. “Mataram is Love” kini menjadi slogan baru mereka. Mereka menyadari bahwa musuh sesungguhnya bukanlah suporter tim lain, tetapi sistem yang terus-menerus membiarkan kekerasan terjadi tanpa konsekuensi yang setimpal.
Tragedi Kanjuruhan pun menjadi titik balik untuk membuktikan bahwa sebenarnya suporter bukan sekadar penonton, melainkan dapat menjadi kekuatan sosial. Mungkin sebelumnya hanya jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan hidup sehari-hari yang pahit, namun kini sepak bola menjadi arena perjuangan yang nyata. Buktinya spanduk-spanduk protes seperti perampasan lahan di Taman Sari, Dago Elos, Pakel, Kulon Progo, Bara-baraya Makassar dan lain sebagainya sering dibentangkan. Isu sosial lain telah banyak diangkat di bangku tribun.
Kesadaran suporter terhadap gurita bisnis dalam sepak bola juga semakin meningkat, dan hal ini berdampak langsung pada menurunnya jumlah penonton di stadion tim mana pun, dari Bali, Bandung, Semarang, Kediri, Tangerang, dan lainnya. Mereka kian sadar bahwa sepak bola kian dikendalikan oleh segelintir pemilik modal yang lebih mementingkan keuntungan. Banyak klub yang berubah dari entitas komunitas menjadi korporasi murni, misalnya RANS Nusantara FC klub yang dimiliki oleh Raffi Ahmad, FC Bekasi yang sempat bernama AHHA PS Pati FC yang dimiliki Atta Halilintar, Dewa United, dan masih banyak klub siluman lainnya. Tiket semakin mahal, akses ke stadion kian sulit, dan kebijakan lain dari klub kerap mengabaikan kepentingan suporter. Para pemilik klub lebih fokus pada sponsor, hak siar, dan keuntungan komersial lainnya.
Ini belum termasuk kemuakan para suporter terhadap para politikus yang memanfaatkan sepak bola untuk mendulang suara. Sebut saja Yoyok manajemen PSIS Semarang yang kalah di Pilkada Wali Kota Semarang lalu, Kaesang Pangarep dengan Persis Solo, Andre Rosiade dengan Semen Padang FC, bahkan dulu Edy Rahmayadi menjual nama PSMS Medan untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara. Lalu tentu kita tak bakal lupa bagaimana Ridwan Kamil mengikuti jejak Anies Baswedan yang menyasar suporter Persija untuk mendulang suara di Pilkada DKI Jakarta.
Maka, jika stadion semakin sepi, itu bukan karena kecintaan suporter yang memudar, melainkan karena mereka sadar bahwa sepak bola yang mereka sayang telah direnggut oleh kepentingan kapital dan politik.
Membangun barikade perlawanan
Sepak bola, dalam bentuknya yang paling murni, adalah cerminan dari perjuangan rakyat. Suporter dapat menumbuhkan resistansi kolektif. Suporter hadir bukan hanya untuk mendukung tim kesayangan mereka, tetapi juga untuk menantang sistem yang menindas, menolak kesewenang-wenangan, dan membangun solidaritas dari bawah. Itu yang semakin tampak terlihat akhir-akhir ini.
Perlawanan suporter di Indonesia mulai menyasar ke ranah yang lebih luas dan diluapkan di jalanan. Di kasus revisi UU TNI kemarin, beberapa aliansi suporter melakukan aksi, dari Serang Football Resistance, Leftyouth di Gresik, Aliansi Suporter Surabaya, Makassar Supporter Collective, Aliansi Suporter Surakarta, Malang Supporter Collective, Jakarta Grassroots Movement, hingga Bandung Supporter Alliance dan Northernwall. Mereka bertarung hingga larut malam bahkan waktu sahur dengan aparat serta ormas yang dipersenjatai, baik dengan senjata api dan senjata tajam. Para suporter tak gentar. Hanya dua keyakinan mereka, bahwa all cops are bastard dan tak perlu ditakuti. Perlawanan terhadap revisi UU TNI bukan hanya demonstrasi. Ini perang kelas dan aliansi suporter di Bandung sudah memulai nyala apinya.
Ketika sistem semakin represif, perlawanan memang harus menemukan bentuk yang lebih berani. Sistem yang represif kadang tidak bisa dilawan dengan sekadar orasi. Kita mungkin sudah bosan dengan demonstrasi damai yang ujungnya si pembuat kebijakan tetap dengan mudah meloloskan aturan janggal dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar tidak datang dari kompromi, tetapi dari perlawanan yang nyata. Lihatlah perlawanan di berbagai belahan dunia, apakah ada yang damai? Apakah ada yang hanya sampai sore hari lalu pulang karena lelah? Kita harus banyak belajar dari aksi di Thailand, Hongkong, Cile, Myanmar, Kongo, Turki, Mesir. Kita harus membakar simbol-simbol penindasan, kita harus memenuhi jalanan dengan barikade, kita harus melawan alat negara hingga mereka takut menghadapi massa yang marah.
Membicarakan strategi yang lebih militan sudah seharusnya menjadi kebutuhan. Negara terus menggunakan kekerasan terhadap rakyatnya selama ini. Mengapa kita harus terus tunduk? Kita harus bisa menyerang balik. Kita membutuhkan lebih dari sekadar aksi damai. Kita butuh sebuah gerakan kolektif yang siap menyalakan api perlawanan, baik secara taktis maupun fisik. Jika ingin menghancurkan sistem yang menindas, maka kita tidak bisa terus bermain dalam aturan mereka. Taktik perlawanan harus berkembang, dari sabotase ekonomi hingga konfrontasi di jalanan. Tidak ada perubahan tanpa guncangan, dan tidak ada kebebasan tanpa perlawanan yang nyata. Revolusi Prancis, revolusi Amerika, revolusi Bolshevik, revolusi Tiongkok, Reformasi 1998, membuktikan itu.
Akhirnya, harus disadari bahwa suporter adalah kekuatan sosial yang punya peluang mengguncang sistem. Jika selama ini sepak bola kerap digunakan sebagai alat pengalihan isu atau komoditas politik, maka sudah saatnya suporter merebut kembali maknanya. Jika hari ini suporter diam, maka besok kita yang akan menjadi korban berikutnya.
Hery Prasetyo Laoli, warga sipil biasa