Ilustrasi: The Communist
“TARIF adalah hal yang indah untuk dilihat,” kata Donald Trump di akun Truth Social-nya. Namun, sebagaimana pepatah mengatakan, keindahan ada di mata yang memandang. Jika dilihat dari reaksi global, hanya segelintir orang dalam lingkaran dekat Trump yang tampaknya berbagi sentimen estetis tersebut. Sejak tanggal 2 April, yang dinobatkannya sebagai “Hari Kemerdekaan,” kebijakan tarif baru yang diberlakukannya telah mengguncang tatanan ekonomi global.
Tarif universal 10% untuk seluruh barang impor mulai diberlakukan pada 5 April, disusul oleh bea masuk tambahan untuk negara-negara tertentu—34% untuk produk asal China dan 20% untuk barang dari Uni Eropa—yang mulai berlaku pada 9 April. Ketika China menanggapi dengan mengenakan tarif balasan atas barang-barang AS, Washington membalas dengan menaikkan tarif produk China hingga mencapai 104%, memperuncingkan ketegangan perdagangan.
Serbia bahkan tak luput dari imbasnya; dikenai tarif sebesar 37% untuk ekspornya ke AS, ini sebuah langkah yang membingungkan simpatisan pro-Trump di negara tersebut, dan mendorong para pejabat di Beograd untuk meminta klarifikasi dari Washington.
Metode di balik penetapan tarif ini tidak ada hubungannya dengan subsidi, kebijakan pajak, atau hambatan non-tarif. Sebaliknya, metode ini mengikuti logika mekanis: defisit perdagangan AS dengan suatu negara dibagi dengan total nilai impornya. Hasilnya lalu dibagi dua. Meskipun metode ini mungkin tampak logis untuk negara-negara dengan surplus perdagangan yang besar dan konsisten terhadap AS, penerapannya pada negara lain menjadi tidak masuk akal.
Contohnya adalah Serbia. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Serbia, pada tahun 2023, negara ini mengekspor $556,9 juta ke AS dan mengimpor $588 juta—defisit perdagangan yang tergolong kecil. Pola serupa juga terjadi pada tahun 2022. Namun, Serbia tetap dikenakan tarif sebesar 37%, seolah-olah negara ini memiliki surplus perdagangan yang besar. Ketidaksesuaian ini menunjukkan sifat kesewenang-wenangan dan koersif dari kebijakan tarif yang baru diterapkan.
Dari perspektif Marxis, kebijakan tarif ini tidak dimaksudkan untuk menyeimbangkan perdagangan, tetapi untuk memperkuat struktur hierarki imperialisme. Kebijakan ini mencerminkan kekuasaan, bukan data. Serbia, meskipun mengalami defisit, dijadikan alat untuk dalam narasi krisis yang lebih besar dalam kapitalis AS.
Di balik tampilan proteksionisme, tersembunyi manuver geopolitik, di mana tarif diterapkan bukan untuk melindungi industri nasional, tetapi sebagai sarana untuk mempertahakan dominasi dalam ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi.
Tarif dan logika akumulasi kapitalis
Dukungan Trump terhadap kebijakan tarif bukan sekadar retorika populis, melainkan respons politik terhadap kontradiksi dalam akumulasi kapitalis global. Argumennya bekerja pada dua tingkat. Di permukaan, ia menyerukan keadilan dan kedaulatan. Di bawahnya, ia mengekspresikan kecemasan atas sistem yang semakin tergantung pada rantai produksi global dan dominasi sektor keuangan yang abstrak.
Trump mengklaim bahwa AS sedang “dimanfaatkan” oleh negara-negara yang memiliki surplus perdagangan—seperti China, Jerman, dan Meksiko—yang dituduh telah mendistorsi sistem perdagangan melalui subsidi, manipulasi mata uang, dan tarif tinggi. Ia mengklaim bahwa praktik-praktik ini merugikan para pekerja dan industri AS, yang mengakibatkan defisit perdagangan yang kronis.
Namun, pandangan ini mengabaikan fungsi struktural dari dolar AS dalam sistem global. Sebagai mata uang cadangan utama dunia, dolar menempatkan AS pada posisi yang unik. AS bisa terus-menerus mengalami defisit perdagangan tanpa terancam krisis neraca pembayaran. Negara-negara lain mengekspor barang ke AS bukan karena kalah bernegosiasi, melainkan karena membutuhkan dolar—untuk membayar utang luar negeri, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengakumulasi cadangan devisa.
Para ahli Teori Moneter Modern (MMT) dengan tepat menunjukkan (bahkan jika resep mereka yang lebih luas masih bisa diperdebatkan) bahwa AS adalah penguasa moneter. AS menerbitkan mata uang global, tidak menghadapi kendala eksternal pada pasokannya, dan menyelesaikan kewajiban internasional dengan mata uangnya sendiri.
Dengan demikian, perdagangan global bukanlah pertukaran barang baru dengan barang yang lain, tetapi antara barang dengan klaim keuangan—seperti utang surat pemerintah AS dan cadangan dolar. Para pengkritik dari tradisi Marxis dan pasca-Keynesian menyoroti bahwa hal ini adalah bentuk pertukaran strutural: negara-negara menyerahkan hasil produksi riil mereka untuk menerima uang fiat yang dicetak oleh AS, yang berhiaskan orang-orang suci kelas penguasa AS seperti presiden, Menteri Keuangan pertama (Alexander Hamilton), dan seorang polimatik yang tidak pernah memerintah tetapi membantu membangun sistem (Benjamin Franklin).
Skema di atas memungkinkan AS untuk mengonsumsi lebih dari yang diproduksinya dan membiayai hegemoninya melalui mata uang yang harus disimpan oleh negara lain. Bukannya menjadi korban eksploitasi, AS justru menikmati apa yang disebut oleh mantan Presiden Prancis Valéry Giscard d’Estaing sebagai “hak istimewa yang luar biasa.”
Ketika menuntut negara lain untuk membeli lebih banyak produk AS sambil mengancam sanksi terhadap mereka yang mendevaluasi mata uangnya, seperti yang dilakukan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), Trump justru memperlihatkan kontradiksi mendasar dalam sistem.
Untuk mempertahankan status dolar sebagai mata uang dominan dunia, negara-negara lain harus menjual lebih banyak ke AS daripada membeli, agar dapat mengumpulkan cadangan dolar. Namun, visi Trump membalikkan logika ini. Kontradiksi ini tidak bersifat pribadi, tetapi sistemik: cerminan dari ekonomi global yang terbentang di antara keharusan untuk mengendalikan imperialisme dan nasionalisme ekonomi.
Kontradiksi ini menghasilkan dua dampak utama. Pertama, memperdalam finansialisasi di AS, di mana modal lebih memilih aktivitas spekulatif ketimbang investasi produktif—didorong oleh permintaan global terhadap aset-aset berbasis dolar. Kedua, beban penyesuaian justru jatuh ke negara-negara di pinggiran sistem ekonomi global, yang tidak memiliki kemewahan mencetak mata uang cadangan dunia.
Dalam konteks ini, narasi Trump soal ketidakadilan perdagangan justru memutarbalikkan kenyataan. Bukan AS yang paling dirugikan oleh sistem ini, melainkan negara-negara yang secara struktural terikat pada sistem yang tidak dapat mereka kendalikan.
Namun, retorika Trump tetap mendapat sambutan karena Sebagian wilayah di AS, terutama kawasan industri Midwest, benar-benar mengalami keterpurukan ekonomi. Seperti yang ditunjukkan oleh Amy Goldstein dalam bukunya Janesville: an American Story, penutupan satu pabrik GM bisa menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi sebuah kota. Boris Kagarlitsky dalam The Long Retreat juga mencatat bahwa bahkan kota-kota metropolitan kapitalisme telah menjadi korban dari desain neoliberal mereka sendiri.
Namun, situasi ini bukanlah akibat dari kelemahan AS, melainkan dari struktur ekonomi yang lebih memperioritaskan sektor keuangan dan konsumsi, dengan mengorbankan tenaga kerja dan produksi. Dalam hal ini, tarif bukanlah sebuah solusi melainkan pertunjukan politik yang menutupi akar masalah struktural dan mengalihkan perhatian dari penyebab utamanya.
Argumen kedua Trump, bahwa ketergantungan pada impor melemahkan industri domestik, patut mendapat perhatian lebih. Pernyataan ini mencerminkan perubahan struktural yang lebih dalam: proses deindustrialisasi yang berlangsung selama beberapa dekade dan erosi lapangan kerja manufaktur berupah tinggi. Namun, kebijakan tarif yang diterapkan secara menyeluruh ini tidak memiliki landasan historis atau koherensi strategis.
Dari perspektif Marxis, proteksionisme secara historis telah memainkan peran dalam pembangunan kapitalisme. Samir Amin dan para ahli teori ketergantungan lainnya berpendapat bahwa tarif telah digunakan sebagai alat untuk akumulasi primer dan mendorong industrialisasi.
Namun, tarif bersifat selektif dan sementara, dirancang untuk melindungi industri dalam negeri yang baru lahir sampai mereka menjadi kompetitif secara global. Tujuannya bukan untuk menciptakan isolasi ekonomi (autarki), melainkan untuk memasuki pasar global secara terkendali, dengan posisi tawar yang lebih menguntungkan.
Lebih dari seabad yang lalu, ekonom Marxis Rudolf Hilferding mencatat bahwa promosi perdagangan bebas biasanya muncul setelah sebuah negara berhasil melakukan industrialisasi. Inggris adalah contoh utamanya: negara ini membangun kekuatannya melalui tarif tinggi, lalu mendorong sistem pasar bebas hanya setelah posisi ekonominya dominan—suatu strategi klasik “menendang tangga” setelah naik.
Sebaliknya, kebijakan tarif yang diterapkan Trump tidak memiliki dasar pemikiran untuk pembangunan. Tarif tersebut tidak diarahkan pada sektor-sektor strategis, juga tidak diringi dengan investasi di bidang inovasi atau infrastruktur.
Banyak dari barang yang dikenakan tarif itu sudah bukan bagian dari kapasitas atau minat produksi industri AS. Akibatnya, tarif ini kecil kemungkinannya untuk membangkitkan kembali sektor industri atau menciptakan lapangan kerja yang stabil. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai sandiwara politik; sebuah reaksi dari jantung kapitalisme yang sedang bergulat menghadapi keterbatasan globalisasi.
Sebagaimana dicatat oleh Michael Roberts dalam tulisan terbarunya, anggapan bahwa tarif akan menghidupkan kembali industri AS dan menciptakan lapangan kerja baru tidak berdasar. Menurunnya jumlah lapangan kerja di sektor manufaktur sejak tahun 1960-an disebabkan terutama oleh turunnya profitabilitas dan pergeseran tenaga kerja ke teknologi, bukan karena liberalisasi perdagangan. Bahkan jika ekspor meningkat cukup untuk menutup defisit perdagangan, yang sangat tidak mungkin terjadi, pangsa pekerja industri hanya akan meningkat dari 8% menjadi 9%.
Jika Trump benar-benar ingin memulihkan kembali sektor industri, maka yang dibutuhkan adalah investasi besar-besaran. Namun, sebagian besar perusahaan AS di luar kelompok raksasa teknologi “Magnificent Seven” ternyata sedang mengalami penurunan keuntungan, sehingga kecil kemungkinan mereka akan melakukan investasi besar—kecuali dalam produksi militer yang didanai oleh kontrak pemerintah. Dalam konteks ini, tarif bukanlah sarana pemulihan, melainkan gejala dari impotensi sistemik.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Proteksionisme strategis sebagai manajemen krisis kapitalis
Jika tarif yang diberlakukan Trump tampak tidak rasional dari sudut pandang ekonomi konvensional, kebijakan ini menjadi lebih masuk akal bila dilihat sebagai respons terhadap kontradiksi mendasar dalam kapitalisme global. Dari perspektif Marxis, proteksionisme saat ini tidak hanya mencerminkan populisme yang kacau, tetapi juga merupakan upaya sistematis untuk mengelola tatanan global yang tidak lagi mampu menjamin keuntungan yang stabil bagi kapital.
Akar dari krisis ini terletak pada apa yang disebut Karl Marx sebagai kecenderungan menurunnya tingkat keuntungan. Ketika para kapitalis berinvestasi lebih banyak pada mesin dan teknologi (kapital konstan) dan relatif lebih sedikit pada tenaga kerja (kapital variabel), maka tingkat keuntungan secara keseluruhan akan menurun—meskipun jumlah keuntungan terus tumbuh untuk sementara waktu.
Studi empiris yang dilakukan Michael Roberts mengonfirmasi tren di atas dalam perekonomian AS: tingkat keuntungan untuk perusahaan non-keuangan turun sebesar 27% dari tahun 1945 hingga 2021, dengan penurunan paling tajam terjadi di masa lonjakan investasi pada kapital konstan. Temuan ini memvalidasi pandangan Marx bahwa dorongan kapitalis untuk meningkatkan produktivitas justru pada akhirnya menggerogoti profitabilitas.
Untuk menangkal kecenderungan ini, kapital menggunakan berbagai strategi: mengintensifkan eksploitasi tenaga kerja, merelokasi produksi ke pasar tenaga kerja yang lebih murah, berinvestasi dalam inovasi teknologi, menciptakan gelembung aset, dan—saat tekanan memuncak—berlindung di balik kebijakan proteksionis. Tarif yang diberlakukan Trump adalah contoh dari langkah mundur tersebut.
Dengan menaikkan biaya barang impor, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi kapital AS dari kompetisi dengan pesaing yang lebih produktif atau berbiaya lebih rendah. Selain itu, tarif juga berfungsi untuk mengalihkan beban krisis ke rival utama seperti China dan Uni Eropa, dengan harapan produsen AS bisa mendapatkan kembali beberapa keunggulan kompetitif yang hilang di era hiperglobalisasi. Tujuan akhirnya bukanlah nasionalisme ekonomi semata, tetapi pemulihan sementara atas profitabilitas yang menurun.
Namun, kebijakan-kebijakan ini tidak menyelesaikan kontradiksi fundamental dalam proses akumulasi kapital; yang terjadi hanyanya pergeseran dampak krisis ke tempat lain. Masalah struktural seperti akumulasi berlebih dan krisis profitabilitas tetap belum tersentuh. Tanpa kebijakan industri yang komprehensif, ruang perlindungan yang dibuka oleh tarif tidak digunakan untuk merevitalisasi produksi, melainkan digunakan untuk mempertahankan sirkulasi kapital fiktif.
Dalam konteks ini, praktik pembelian kembali saham (stock buyback) menjadi sangat relevan. Dalam fase kapitalisme finansial saat ini, jatuhnya harga saham tidak selalu merupakan ancaman; melainkan justru dilihat sebagai peluang. Ketika pasar bereaksi negatif terhadap kebijakan tarif atau ketidakpastian ekonomi dengan menurunkan valuasi saham, banyak perusahaan memilih untuk menggunakan kelebihan uang tunai—atau memanfaatkan pinjaman berbunga rendah—untuk membeli kembali saham mereka.
Langkah di atas secara artifisial meningkatkan laba per saham (EPS), menjaga harga saham tetap tinggi, dan memastikan bonus eksekutif tetap aman, meskipun kinerja produktif perusahaan sebenarnya tetap stagnan.
Setelah Trump memutuskan menunda penerapan tarif selama 90 hari (kecuali terhadap China, di mana tarif telah mencapai 125%), sebagian pihak yang skeptis dan condong pada teori konspirasi menyatakan bahwa langkah ini memiliki tujuan yang tersembunyi: memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan AS dan spekulan-spekulan dengan akses informasi untuk membeli saham dengan harga rendah sebelum pasar saham AS naik 10% pada 9 April. Angka ini merupakan kenaikan harian terbesar sejak tahun 2008.
Dampak lain dari dinamika ini dapat dilihat dalam cara koreksi pasar modal—selama laba nominal perusahaan tidak berubah—dapat justru mendorong kenaikan tingkat keuntungan. Ketika harga saham dan nilai aset lainnya turun, nilai pasar dari total modal juga ikut turun, yang berarti penyebut dalam perhitungan tingkat keuntungan menyusut. Jika jumlah keuntungan tetap, maka secara matematis hal ini menghasilkan tingkat laba yang lebih tinggi.
Demikian pula, dari perspektif Marxis, penurunan nilai pasar dari kapital konstan juga memperbesar peran relatif dari kapital variabel (tenaga kerja) dalam proses produksi, sehingga meningkatkan potensi untuk mengekstraksi nilai lebih. Dengan kata lain, penyusutan nilai kapital secara nominal bisa berfungsi sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan kembali secara internal, memungkinkan pemulihan profitabilitas meskipun tidak ada pertumbuhan produksi riil.
Dalam konteks ini, akumulasi kapital semakin menjauh dari sektor produksi. Alih-alih digunakan untuk mendanai pengembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, atau Pembangunan infrastruktur, surplus justru mengalir ke pasar aset dan mendorong inflasi nilai aset. Kebijakan tarif dan pembelian kembali saham saling melengkapi: tarif berfungsi melindungi kapital domestik dari tekanan persaingan global, sementara buyback saham menjaga nilai kepemilikan dari kapital fiktif—yakni harga aset yang terlepas dari nilai produksi riil di baliknya.
Pergeseran ini juga mencerminkan transisi yang lebih mendalam dalam sistem ekonomi global. Model akumulasi global yang mendominasi akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kini mulai kehilangan efektivitasnya. Mekanisme dasar, di mana modal dari pusat mengeksploitasi tenaga kerja murah di daerah pinggiran, tidak lagi berfungsi seperti dulu.
Upah di China dan negara-negara berkembang lainnya telah meningkat, rantai logistik menjadi lebih rapuh dan semakin dipengaruhi oleh dinamika politik, dan dukungan politik di negara-negara inti telah terkikis. Publik pun semakin kehilangan kesabaran terhadap deindustrialisasi, stagnasi upah, dan ketergantungan pada rantai pasokan luar negeri.
Kemajuan teknologi dalam bidang robotika, kecerdasan buatan (AI), dan manufaktur 3D memang membuat pemindahan kembali produksi ke dalam negeri (reshoring) secara teknis memungkinkan, tetapi belum menciptakan banyak lapangan kerja.
Yang muncul bukanlah kebangkitan kapitalisme industri gaya lama abad ke-20, melainkan tatanan baru yang lebih distopia, di mana robot di AS bersaing langsung dengan pekerja di Bangladesh untuk memperebutkan sepotong nilai global yang sama. Tarif Trump tidak bisa dilihat sebagai cetak biru untuk pembaruan industri, melainkan pendahuluan dari tatanan tekno-nasionalis baru yang diorganisir di sekitar kontrol kapital, dominasi teknologi, dan blok-blok ekonomi regional.
Logika manajemen krisis yang sama juga terlihat jelas di pasar keuangan. Saat pandemi Covid-19 melanda, Federal Reserve menyuntikkan likuiditas yang sangat besar ke pasar keuangan. Meskipun langkah ini berhasil menstabilkan pasar dalam jangka pendek, ia juga menciptakan distorsi yang besar.
Pada awal 2025, total kapitalisasi pasar saham AS diperkirakan melebihi “nilai wajarnya” sebesar $25 hingga $30 triliun—sebuah kesenjangan yang luar biasa antara harga pasar dan output ekonomi riil. Ini bukan tanda pemulihan ekonomi yang nyata, melainkan inflasi modal fiktif ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kini, koreksi pasar tengah berlangsung. Sekitar $11 triliun kapitalisasi pasar telah menguap, dan diperkirakan $15 hingga $20 triliun lainnya bisa hilang. Namun, proses ini tidak hanya bersifat destruktif: ia juga memiliki fungsi struktural. Ketika investor menarik modal dari aset-aset berisiko dan mengalihkannya ke ke obligasi pemerintah AS yang relatif lebih aman, imbal hasil dari utang negara turun.
Ini secara tidak langsung menurunkan biaya pinjaman pemerintah dan mengurangi penyebab utama defisit federal. Akibatnya, krisis di pasar justru menjadi jalur tak langsung untuk memulihkan ruang fiskal—bukan melalui pajak atau penghematan anggaran, tetapi melalui pendisiplinan kapital itu sendiri. Negara mendapatkan ruang untuk bermanuver bukan meskipun ada krisis, tetapi justru karena adanya krisis.
Seperti yang ditekankan oleh Adam Tooze dalam bukunya, Chartbook 369, pasar obligasi pemerintah senilai sekitar $28 triliun merupakan pasar yang benar-benar sistemik. Dalam situasi koreksi pasar saham yang normal, harga obligasi biasanya naik dan imbal hasilnya turun, yang pada gilirannya menurunkan suku bunga dan meringankan beban finansial perusahaan. Ini mencerminkan mekanisme saling penyeimbang dalam sistem keuangan, di mana obligasi Treasury berfungsi sebagai tempat berlindung yang aman di tengah ketidakpastian pasar.
Krisis sebagai transisi, bukan kehancuran
Secara keseluruhan, tarif Trump, kembalinya proteksionisme, kegigihan kapital fiktif, dan koreksi di pasar saham saat ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Semua ini saling terkait sebagai respons terhadap kontradiksi sistemik kapitalisme—terutama kecenderungan jangka panjang dari menurunnnya tingkat keuntungan.
Fenomena-fenomena ini mencerminkan upaya semakin panik dari kelas penguasa untuk menjaga profitabilitas dan mempertahankan hegemoninya di tengah stagnasi ekonomi, akumulasi berlebih, dan ketegangan politik yang semakin meningkat.
Apa yang kita saksikan bukanlah akhir dari kapitalisme, melainkan mutasinya. Globalisasi neoliberal dalam empat dekade terakhir sedang dibongkar, bukan untuk membuka jalan bagi sosialisme atau perencanaan demokratis, tetapi untuk membangun rezim akumulasi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan kapital saat ini.
Rezim ini kemungkinan besar akan ditandai dengan intervensi negara yang semakin intensif, zona produksi yang teregionalisasi, dan ketergantungan yang semakin dalam pada manipulasi keuangan untuk mempertahankan nilai kapital. Namun, ini bukan solusi terhadap kontradiksi yang ada di jantung sistem, melainkan sekadar pemindahan masalah ke wilayah, teknologi, dan krisis baru.
Dalam konfigurasi ulang ini, negara-negara pinggiran seperti Serbia atau Indonesia, bukan hanya menjadi penonton, tetapi menjadi korban sampingan. Penerapan tarif 37% yang dikenakan pada ekspor Serbia—meskipun negara ini mengalami defisit perdagangan dengan AS—memperlihatkan logika koersif dan sewenang-wenang dari transisi ini. Hal ini menandakan bahwa rezim akumulasi baru tidak akan dijalankan melalui aturan atau institusi multilateral, tetapi oleh kekuasaan dan intimidasi geoekonomi.
Ketika kapital merombak prioritasnya dan blok-blok mengeras menjadi zona proteksionis, negara-negara seperti Serbia mendapati diri mereka terjebak dalam baku tembak. Ia seakan dihukum bukan karena pelanggaran ekonomi apa pun, tetapi karena posisi strukturalnya yang bergantung pada sistem global.
Dalam konteks ini, krisis bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menjadi sarana seleksi geopolitik yang memperkuat kembali hierarki imperial, bahkan ketika tatanan liberal yang lama bubar.
Dmitry Pozhidaev adalah Penasihat Keuangan Pembangunan Daerah dan Profesor di Universitas Makerere, Uganda. Artikel ini sebelumnya terbit di Links International Journal of Socialist Renewal, lalu diterjemahkan dan diterbikan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.