Membela Marxisme dari Standar Media Sosial

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: pxhere


PERKEMBANGAN teknologi semakin tidak terbendung. Tidak hanya pada perkakas kasar yang sering kita jumpai di pabrik, tetapi juga pada perangkat yang setiap hari kita genggam dan semayamkan di dalam saku celana. Handphone yang dapat dianggap sebagai perkakas lunak memainkan peranan penting untuk mendatangkan pengetahuan dan seperangkat informasi yang dibutuhkan oleh seseorang dengan sangat beragam dan semakin dinamis.  Di dalam handphone saat ini, media sosial berkembang sesuai keinginan manusia untuk mengabadikan momen tertentu, berinteraksi dengan rekan-rekan, hingga hanya sekadar untuk mendapatkan informasi dari wilayah tertentu.

Keinginan tersebut diperkuat dengan perkembangan media menulis terbuka pada paruh pertama tahun 2000, yang dikenal dengan blog, khususnya di Indonesia (Demanda, 2022). Ketersediaan media terbuka untuk seseorang menulis dan dapat dibaca oleh banyak orang menjadi fase pertama sebelum akhirnya media sosial berkembang pesat hingga hari ini—tidak lagi hanya sekedar tulisan, namun juga memuat berbagai jenis gambar, foto, atau video. Dominasi dan perkembangan pesat media sosial di Indonesia tidak terlepas dari masyarakat yang merasa takut ketinggalan suatu update di kehidupannya (fear of missing out/FOMO). 

Ketakutan-ketakutan ini menimbulkan celah yang dimanfaatkan secara optimal oleh para kapitalis dan rentetan perkembangan kelas-kelas penguasa termasuk cloudalist yang saling memperebutkan dominasi terhadap masyarakat atau borjuis (Varoufakis, 2024). Kompetisi dominasi yang terjadi di dalam perkembangan media sosial menyebabkan perpecahan dan akselerasi berita yang menyesatkan semakin lebih intensif.

Di bidang akademik dan intelektual, informasi seputar marxisme cenderung tabu dan dianggap sebagai hal yang sangat sakral untuk dibicarakan. Kesakralan ini, dengan konteks negatif, adalah akibat sentimen anti-komunisme dan gerakan kiri yang lahir di Indonesia, yang semakin dipertajam sejak peristiwa di tahun 1965 (Triyana, 2020). Dengan stigmatisasi yang timbul dari sana, upaya klarifikasi definisi marxisme sebagai gerakan pembebasan dan revolusioner terhambat, bahkan tidak jarang menjadi bahan diskusi yang sudah usang di banyak media sosial.

Hari ini, marxisme sering dianggap sebagai hal yang hanya dapat hidup di masa lalu bagi sebagian orang. Beberapa di antaranya telah terbiasa dengan iklim relativitas yang bertebaran di media sosial, salah satunya dengan maraknya fenomena post-truth dan postmodernism

Postmodernism dan post-truth merupakan dua hal yang berbeda tetapi memiliki aliran yang sama, di mana posmodernism menjadi awal mula dari perkembangan post-truth. Perkembangan segmentasi masyarakat yang semakin beragam menimbulkan berbagai jenis narasi yang urgensinya sangat relatif. Dampaknya, upaya menciptakan narasi besar tidak dapat dilakukan dengan baik. Narasi besar atau metanarasi telah dibantah oleh para pemikir postmodernism yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang sifatnya objektif dan anggapan bahwa segala bentuk narasi besar, termasuk marxisme. Narasi besar, kata mereka, akan menimbulkan suatu kediktatorian—atau bersifat otoriter—sehingga perlu ditinggalkan (McMahon, 2025).

Marxisme yang merupakan salah satu metode, gerakan, filsafat, dan ideologi, berkembang dengan menganalisis masyarakat dari segala proses sejarahnya (materialisme dialektis dan materialisme historis). Hal ini dilakukan untuk menemukan basis utama penindasan dan kemiskinan, yaitu ekonomi dan politik. Dengan penguasaan yang baik pada bidang ekonomi dan politik, seseorang dapat dengan mudah menduduki jabatan tertinggi di dalam masyarakat, dimulai dari menjadi tuan dari para budak, menjadi pemilik perusahaan yang menghisap kerja-kerja yang dilakukan oleh buruhnya, atau menjadi penguasa lalim yang mengambil keuntungan dari penderitaan masyarakatnya. 


Postmodernism adalah Filsafat Kemunafikan

Penolakan terhadap narasi besar atau metanarasi yang dilakukan oleh postmodernism merupakan salah satu bentuk penipuan yang dilakukan oleh para pemikirnya. Manusia tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang membentuknya; mereka tidak dapat direduksi sebagai atom-atom kecil yang dianggap independen dan terlepas dari konteks di mana ia tumbuh dan berkembang, yakni masyarakat. Marx telah melihat ini sebagai konsep alienasi manusia, tidak hanya dari kerja yang mereka lakukan tetapi dari segala bentuk sejarah dan kebenaran objektif yang memosisikan seseorang ke suatu kondisi—kaya-miskin, tuan-budak, atau penguasa-tidak berkuasa.

Pemisahan di atas bertujuan menciptakan kedinamisan hidup serta menghindari sistem-sistem yang mungkin menjadi otoriter. Jika kita berangkat menggunakan analisis postmodernism, kedinamisan yang diakui oleh postmodernism tidak bersifat kolektif tetapi individualis dengan tafsiran yang bisa sangat berkontradiksi dengan konsep yang dilahirkan di era modernism

Kemunafikan postmodernism dapat dilacak sejak awal perkembangannya, dari Lyotard hingga Derrida. Masing-masing dari  mereka menciptakan analisis yang terlihat menarik bagi masyarakat hari ini, tetapi tidak lebih dari sekadar permainan kata yang sulit untuk dimengerti, dengan adanya pengaburan makna serta tidak mengungkapkan suatu tujuan yang bersifat problem solving. Meski mengambil corak dan pendekatan marxisme—yang sering dianggap sebagai neo-marxisme atau post-marxism—akan tetapi postmodernism tidak dekat dengan pemikiran Karl Marx itu sendiri.

Postmodernism cenderung lebih dekat dengan gaya dan filsafat Nietzsche yang berkutat dalam lingkup “perspektivisme”, yang sering kali meniadakan kebenaran objektif dengan dasar argumen “pengalaman manusia yang berbeda-beda” sehingga segala kebenaran tidak dapat dicapai. Nietzsche melihat bahwa segala entitas yang ada di dunia ini memiliki cara pandang berbeda dari manusia lain, sehingga pertanyaan tentang persepsi dan kebenaran akan sesuatu cenderung tidak berarti (Clark, 1991). 

Berpijak pada perspektif yang berkembang pesat seiring dengan ketenaran Nietzsche, para pemikir postmodernism mengambil langkah memutar untuk membungkus gagasan barunya tersebut ke dalam permainan bahasa dan sampul yang baru agar terlihat sebagai penemuan tersebut di abad 20.

Kenapa postmodernism dikatakan sebagai filsafat kemunafikan? Hal ini berangkat dengan penolakan radikal terhadap metanarasi. Tetapi postmodernism sendiri menggunakan metanarasi untuk membangun argumentasi penolakannya terhadap metanarasi. Hal ini terjadi dengan penelusuran kembali segala bentuk argumentasi dan teori di era modernism yang terjadi secara komprehensif. Postmodernism mengambil sejarah umat manusia sebagai objek yang digunakan untuk melakukan studi komparatif terhadap argumentasi yang mereka bangun, dengan dalih sebagai bahan kritik. Namun, postmodernism terjebak ke dalam sirkulasi sejarah manusia yang sesungguhnya tidak dapat ditolak oleh para pemikir postmodern.

Penyangkalan yang mereka lakukan sejatinya adalah penyangkalan terhadap diri mereka sendiri. Klaim “semua metanarasi adalah hal yang mencurigakan” menjadi gagasan yang absolut dan lebih nyata daripada realitas lainnya—yang mana hal ini juga dapat dianggap sebagai kebenaran objektif yang muncul dalam diri postmodernism—sehingga penolakan tersebut telah menjadi “metanarasi”.

Kemunafikan berikutnya terlihat dalam konsep dekonstruksi Derrida, yang merupakan “metanarasi implisit” dan mencoba membongkar sistem tradisional (modernism). Kerangka dekonstruksi yang mungkin dapat dibagi menjadi beberapa bagian—priority, reversal, dan interrelation (dalam bentuk paradoks, kontradiksi, atau aporia)—yang menjadi alat utama dan paling khas dalam postmodernism, sebenarnya mencerminkan struktur yang ia tolak dari banyaknya struktur di masa modernism.

Kegunaan analisis ini berfokus pada pembongkaran kontradiksi di dalam teks, namun justu memaksakan suatu kerangka kerja yang kaku (tidak seperti kedinamisan postmodernism), yang akhirnya bekerja sebagai kerangka berpikir universalis baru yang bertendensi membentuk metanarasi. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Media Sosial sebagai Alat Kuasa Postmodernism

Media sosial adalah senjata pembodohan di tangan postmodernist. Pernyataan tersebut merupakan representasi dari permasalahan yang timbul akibat hegemoni yang dilakukan oleh postmodernism untuk mempertahankan dominasi yang berkuasa (kapitalisme). Terdapat beberapa karakteristik yang dapat kita lihat dalam perkembangan media sosial yang terjebak dalam bayang-bayang postmodernism, yaitu skeptisisme, hiperrealitas, fragmentasi, dan komodifikasi budaya.

Penulis akan membatasi pembahasan ini pada beberapa karakteristik, yaitu fragmentasi dan hiperrealitas. Postmodernism sebagai filsafat kemunafikan memecah otoritas tradisional (modernism) dengan mengangkat “narasi kecil” atau wacana alternatif yang menantang dominasi narasi-narasi besar (sains, politik, dan agama). Perkembangan pesat teori konspirasi, misinformasi, dan ideologi pinggiran merupakan hasil dari kerja-kerja sistem algoritmik yang melibatkan dirinya atas akurasi faktual yang tidak jarang dirancang untuk merusak kepercayaan seseorang terhadap kebenaran universal dan metanarasi.

Sejauh perkembangannya, manusia tidak lagi berbagi satu alam semesta yang sama, yang terpadu dengan makna dan pemahaman (Little, 2023). Masing-masing orang tidak lagi berkelindan dengan kesadaran kolektif tunggal—seperti di era modernism—melainkan lebih bersifat lokal, heterogen, dan didistribusikan ke dalam seluruh lapisan masyarakat, khususnya ditujukan untuk menciptakan pasar yang semakin beragam untuk menyerap produksi komoditas di bawah sistem kapitalisme.

Kita mengenal adanya sistem “silo informasi” yang mengambil peran di dalam sistem manajemen informasi, di mana satu komponen tidak dapat bergerak bebas untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Kita dapat mengasumsikan bahwa internet dan media sosial merupakan manajemen informasi, yang di dalamnya terdapat algoritma untuk mengurutkan informasi dan membuat rekomendasi berdasarkan dengan relevansi pengguna.

Ia dibuat berdasarkan dengan keyword sehingga mampu untuk menghubungkan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Akibatnya, “silo informasi” ini menciptakan hiperrealitas, ketika individu tidak lagi dapat melihat keyakinan lainnya dan membuat keyakinannya sebagai suatu kebenaran absolut, sehingga berhasil membuat seseorang melawan “metanarasi” yang telah berkembang (Zignani dalam Little, 2023). 

Fragmentasi yang terjadi telah menyuburkan hiperrealitas dengan terbentuknya masyarakat algoritmik. Mereka hanya menyakini kebenaran yang disuguhkan oleh dirinya sendiri berdasarkan dengan asumsi yang mereka ajukan ke internet dan media sosial. Tujuan dari pengajuan kebenaran tersebut ke internet hanya sebatas legitimasi. Argumen tertentu hanya divalidasi oleh internet tanpa disuguhkan oleh narasi tandingan, karena internet merasa bahwa orang yang mencarinya sesuai dengan “silo informasi” yang telah ditentukan.

Hal ini selaras dengan tendensi postmodernism untuk membuat segmentasi sebanyak mungkin, karena menurut mereka hal ini adalah ciri khas kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan terjun ke jurang otoriter dari gagasan universalis. Faktor teknologi dalam proses penciptaan fragmentasi dan hiperrealitas disediakan dalam jutaan informasi, untuk memprovokasi seseorang untuk jatuh ke dalam “fatalisme atau skeptisisme” tentang pengetahuan dan partisipasi kolektif.

Keberadaan traffic di dalam “silo informasi” semakin memperkuat pembatasan akses informasi ke berbagai pengguna sehingga tidak terjadi cross-check informasi agar melanggengkan polarisasi dan isolasi yang membentuk keabadian perspektif hiperrealitas.


Membela Marxisme, Membela Kewarasan

Postmodernism sering mengklaim bahwa tidak ada kebenaran objektif, menganggap semua narasi besar (termasuk marxisme) sebagai otoriter. Namun, marxisme justru berakar pada analisis materialisme dialektis yang mengakui realitas objektif dalam sejarah dan struktur masyarakat. Keadilan sosial dalam marxisme didasarkan pada penghapusan eksploitasi kelas melalui pembebasan kolektif, bukan reduksi kebenaran menjadi “pilihan subjektif” seperti dalam postmodernism.

Kritik terhadap kapitalisme dalam marxisme tidak bermaksud menciptakan otoritarianisme, tetapi mengungkap struktur ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan—seperti eksploitasi buruh dan ketimpangan kelas—yang sering diabaikan dalam diskursus postmodernism karena terjebak dalam “silo informasi” dan hiperrealitas. Konsep emansipasi dalam marxisme bertujuan untuk membebaskan pikiran kita sehingga mampu mencari kebenaran dari kenyataan yang ada (Xiaoping, 1978). 

Perkembangan media sosial dalam era postmodernism memperparah fragmentasi masyarakat, di mana “silo informasi” memisahkan individu dalam kapsul naratif tertutup. Fenomena ini mengarah pada hiperrealitas, di mana kepercayaan pribadi dianggap kebenaran mutlak tanpa koreksi kolektif. Marxisme, sebaliknya, mendorong pemahaman kolektif tentang struktur ekonomi dan politik sebagai dasar perubahan sosial. Keadilan dalam marxisme tidak berasal dari “pilihan gaya hidup” individual, tetapi dari kesadaran kolektif tentang ketidakadilan sistemik.

Dengan demikian, marxisme menjadi alat kewarasan untuk melawan fatalisme postmodernism yang menganggap perubahan sosial mustahil dilakukan karena “kebenaran itu relatif”. Jika kita lihat lebih jauh, marxisme tidak mengklaim kebenaran mutlak, tetapi menggunakan metode analisis dialektis untuk memahami kontradiksi dalam masyarakat. Kritik terhadap kapitalisme dalam marxisme bersifat praktis dan berorientasi solusi, bukan sekadar “permainan kata” seperti dalam postmodernism. Kondisi ini membuat marxisme lebih dekat dengan kewarasan karena berfokus pada perubahan nyata, bukan pada dekonstruksi abstrak yang mengabaikan realitas ekonomi, sejarah, dan politik.

Di Indonesia, marxisme sering dianggap tabu karena sentimen anti-komunisme yang berasal dari sejarah 1965. Namun, marxisme sebagai analisis kritis terhadap kapitalisme dan struktur kelas tetap relevan dalam menghadapi ketimpangan sosial yang semakin parah. Postmodernism, dengan fokus pada relativitas dan dekonstruksi, justru memperparah ketidakadilan dengan menganggap perjuangan kelas sebagai “konsep lama” yang tidak relevan.

Marxisme menawarkan kerangka pemahaman yang konsisten tentang dinamika ekonomi dan politik sebagai sumber ketidakadilan, yang perlu diubah melalui aksi kolektif. Dalam konteks ini, mempertahankan marxisme adalah mempertahankan kewarasan terhadap manipulasi naratif oleh kapitalisme dan negara yang bekerja sama untuk mempertahankan dominasi kelas borjuis. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan media sosial dalam era postmodernism mengarah pada fatalisme, di mana individu merasa tak berdaya di tengah arus informasi yang tidak terkendali.

Melalui pemahaman kolektif tentang struktur ekonomi, marxisme mendorong partisipasi aktif dalam perubahan sosial, bukan pasrah pada “hiperrealitas” yang diciptakan oleh algoritma media sosial. Dengan demikian, marxisme menjadi benteng kewarasan di tengah kebingungan yang diciptakan oleh postmodernism.


Daftar Pustaka

Clark, M. (1991). Perspectivism. In Nietzsche on Truth and Philosophy (pp. 127–158). Cambridge: Cambridge University Press.

Demanda. (2022). Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Blog Pribadi. Diakses pada 24 Februari 2025, pada pukul 17.30 WIB. https://demanda.id/blog/blog-pribadi-adalah

Little, William. (2023). Introduction to Sociology – 3rd Canadian Edition. BC Campus

McMahon, Thomas. (2025). Postmodernism – a disaster for Marxism. Marxism Explained. Diakses pada 23 Februari 2025, pada pukul 19.30 WIB. https://marxismexplained.com/2025/01/11/postmodernism-a-disaster-for-marxism/

Triyana, Bonie. (2020). Asal-Usul Stigmatisasi Komunis di Indonesia. Historia. Diakses pada 24 Februari 2025, pada pukul 18.30 WIB. https://historia.id/politik/articles/asal-usul-stigmatisasi-komunis-di-indonesia-v297d

Varoufakis, Yanis. (2024). Technofeudalism: What Killed Capitalism. Melville House.

Xiaoping, Deng. (1978). Emancipate the Mind, Seek Truth From Facts and Unite As One In Looking to the Future. https://www.marxists.org/reference/archive/deng-xiaoping/1978/110.htm


Angga Pratama adalah seorang penulis, pendiri Ruangan Filsafat, dan terlibat di LSF Odyssey.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.