Ilustrasi: Wikimedia Commons
PADA tahun-tahun belakangan ini, kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang kuat dan stabil. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2024 sebesar 5,1%, meningkat 1% dibanding PDB di tahun 2023 yang hanya mencapai 5,0%. Peningkatan ini juga dibarengi dengan penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia yaitu 24,06 juta jiwa pada September 2024, menurun 1,16 juta jiwa terhadap Maret 2024 dan menurun 1,84 juta jiwa terhadap Maret 2023. Namun, data yang sekilas menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi negara di atas harus dikritisi lagi.
Global Wealth Report 2023 menunjukkan masifnya pertumbuhan dan kuasa crazy rich di Indonesia. Sementara itu, Oxfam, lembaga independen asal Inggris, menyebut di tahun yang sama 40% penduduk miskin di Indonesia menguasai hanya 3,5% total kekayaan nasional. Majalah Forbes, di akhir tahun 2023, juga menunjukkan hal yang sama dengan merilis daftar 50 orang paling kaya Indonesia dengan total kekayaan mereka di tahun 2023 sebanyak USD252 miliar atau setara Rp3.904,25 triliun yang hampir sama dengan APBN tahun 2023 (Rp1.869,23 triliun) atau setara 18,6% dari Produk Domestik Bruto (Rp20.892,4 triliun).
Perbandingan data-data ini menunjukkan pembangunan ekonomi, disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat, hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Kondisi ini menandakan ketimpangan kesejahteraan yang masih sangat tinggi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi meningkat terus tetapi kesenjangan pendapatan kian lebar.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan pendapatan mengindikasikan adanya akumulasi kapital di dalam pembangunan. Pendapatan suatu negara diakumulasi oleh segelintir pemodal yang kuat dalam kontestasi pasar, sedangkan mereka yang tidak punya posisi kuat di dalamnya terus dimanipulasi, dihisap habis-habisan, dan ditekan terus dalam kemelaratan yang sama. Meskipun demikian, situasi ini nyatanya lebih dianggap sebagai suatu “peristiwa harian” yang wajar ketimbang sebagai suatu ketidakadilan. Di sini, swatata pasar tidak hanya mengendalikan peredaran di dalam pasar tetapi juga memaksakan suatu dogma tertentu untuk dianut setiap pihak yang hendak masuk ke dalamnya. Tentu saja para pemodal kecil, masyarakat subsisten, para petani kecil, para buruh selalu dirugikan di dalamnya.
Sadar akan hal tersebut, tulisan ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana akumulasi itu dapat terjadi agar dinamika akumulasi disadari sebagai suatu anomali yang seharusnya dikritisi, bukan diterima begitu saja sebagai suatu “peristiwa harian” yang harus diimani dengan penuh kepasrahan.
Titik Tolak Akumulasi Modal
Pembahasan mengenai akumulasi modal harus dimulai dengan pembahasan mengenai peredaran komoditi yang menjadi titik tolak kapital. Pembahasan mengenai peredaran komoditi didahulukan sebelum pembahasan akumulasi kapital dengan maksud untuk menjelaskan asal mula perubahan uang menjadi kapital yang kemudian menjadi elemen yang menentukan terjadinya akumulasi modal. Secara garis besar, titik tolak akumulasi modal dimulai ketika peredaran komoditi dipraktikkan menggunakan dua sistem yang saling bertentangan dalam hal intensi, cara kerja, maupun orientasinya.
Pertama, Peredaran Sederhana Komoditi (Rumus: B-U-B). Aristoteles, dalam karyanya Politics, menganalisis perbedaan antara ekonomi rumah tangga dan ekonomi penumpukan harta. Dalam pembahasannya mengenai ekonomi rumah tangga, oikonomia, Aristoteles menganggap ekonomi ini sebagai sesuatu yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan (koinonia, polis).
Sebelum uang digunakan, ekonomi rumah tangga mengusung perdagangan barter sebagai model transaksi pasar yang ideal (wajar dalam pencapaiannya, ktetiké kata physin). Dalam perdagangan barter, bahan-bahan alami dan barang-barang yang dibuat darinya dapat dikumpulkan, diproses, dan ditukarkan di mana saja (untuk perdagangan jarak jauh, uangnya dapat digunakan sebagai alat tukar). Perdagangan barter inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai metabletiké.
Perdagangan barter menyediakan situasi yang ideal bagi usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai koinonia, karena setiap pihak yang terlibat di dalamnya dapat memperoleh kebutuhan mereka tanpa adanya indikasi untung rugi. Dengan demikian, ekonomi menjadi seni pendapatan untuk hidup; ia dibatasi pada pendapatan barang-barang yang diperlukan untuk hidup atau berguna bagi keluarga dan negara.
Aristoteles menulis:
Kekayaan yang sebenarnya (ο αληθινοζ πλουτοζ) terdiri atas nilai-nilai pakai seperti itu; karena jumlah pemilikan seperti ini, yang dapat membuat hidup itu menyenangkan, tidaklah tanpa batas… Perdagangan (η χαπηλιπη) menurut sifatnya tidak termasuk Khrematistika, karena di sini pertukaran hanya merujuk pada yang diharukan bagi (pembeli atau penjual) mereka sendiri… Ekonomi, tidak seperti Khrematistika, mempunyai suatu batas… karena sasaran-sasaran yang disebut terdahulu adalah sesuatu yang berbeda dari uang, dari yang tersebut belakangan peningkatan/pertambahan uang….
Menurut Aristoteles, keadaan ini seharusnya mendasari setiap aktivitas pasar ketika uang diperkenalkan di dalamnya. Untuk hal ini, Karl Polanyi menjelaskan posisi Aristoteles yang bersikeras bahwa inti dari kewajaran (ekonomi) berumah tangga adalah “produksi untuk digunakan”, bukan “produksi untuk mencapai keuntungan”. Produksi tambahan untuk pasar tidak perlu merusak pemenuhan kebutuhan rumah tangga selama hasil bumi dan ternak diperbanyak untuk bertahan hidup. Uang hanya memberi unsur baru dalam situasi ini.
Selama pasar dan uang tetap digunakan hanya sebagai pelengkap untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, prinsip “produksi untuk digunakan” akan tetap berjalan. Situasi ini merupakan situasi pasar lokal dalam ekonomi subsistensi (penyambung hidup). Anggota keluarga bekerja di ladang dan membuat barang-barang kerajinan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, dan menukarkan sebagian dari hasil produksinya dengan barang lain atau dengan uang sebagai media sirkulasi untuk memperbaiki dan mempertahankan persediaan barang bagi kebutuhan mereka sendiri.
Bagi Karl Marx, ekonomi rumah tangga sebagaimana yang dibahas oleh Aristoteles di atas merupakan skema peredaran komoditi sederhana yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan sebagai tujuannya ketimbang perkara untung rugi. Bentuk langsung peredaran ini adalah C-M-C (Commodities-Money-Commodities, B-U-B: Barang-Uang-Barang), perubahan komoditi menjadi uang, dan perubahan uang menjadi komoditi; penjualan demi pembelian. Dalam skema B-U-B, peredaran dimulai dengan penjualan dan berakhir dengan suatu pembelian. Di sini, seluruh proses dimediasi oleh uang sehingga prinsip “uang sebagai uang” pun terpenuhi (uang bukan tujuan, melainkan sarana untuk mendapatkan komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan).
Uang hasil penjualan komoditi akan diubah kembali (dalam pembelian) menjadi komoditi yang berlaku sebagai suatu nilai pakai (memenuhi kebutuhan) yang membuatnya sepenuhnya dihabiskan. Uang yang sama akan bertukar tempat dua kali yaitu ketika penjual mendapatkannya dari pembeli dan membayarkannya kepada penjual yang lain demi memperoleh komoditi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Uang hanya dipakai sebagai sarana untuk mengubah komoditi milik penjual menjadi komoditi baru yang diperolehnya dari penjual lain; uang diterima sebagai ganti komoditi, dan berakhir ketika uang diserahkan untuk (diganti dengan/mendapatkan) komoditi.
Karena dalam skema B-U-B seluruh proses transaksi sepenuhnya dihabiskan, maka uang akan mengalir kembali ke titik-tolaknya (ke tangan penjual yang akan membelanjakan uang itu untuk memperoleh komoditi yang dia butuhkan), sehingga yang terjadi adalah suatu pembaruan atau pengulangan seluruh skema B-U-B itu. Marx menjelaskan hal ini dengan berandai-andai:
Jika saya menjual satu kwartet gandum untuk ₤3 dan dengan ₤3 itu membeli pakaian, maka bagi saya ₤3 ini telah betul-betul dibelanjakan. Saya tidak mempunyai urusan apa pun lagi dengannya. Uang itu telah menjadi milik penjual pakaian. Jika saya menjual kwartet gandum yang kedua, uang memang mengalir kepada saya, tetapi bukan sebagai kelanjutan dari transaksi pertama itu, melainkan dari/karena pengulangannya. Uang sekali lagi menjauhkan diri dari saya, segera setelah saya menyelesaikan transaksi kedua ini dengan suatu pembelian baru. Jadi, dalam siklus/perputaran B-U-B, pengeluaran uang tidak ada sangkut paut dengan mengalirnya kembali.
Dengan demikian, peredaran sederhana komoditi mengisyaratkan konsumsi sebagai tujuan akhir dari semua proses yang berlangsung. Konsumsi yang dimaksudkan di sini yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan bentuk konkret dari nilai pakai yang sejak awal telah ditekankan oleh Aristoteles inti dari aktivitas pasar yang ideal. Peredaran ini tidak untuk semata menghasilkan uang tetapi memenuhi kebutuhan. Uang hanya dipandang sebagai sarana yang memperlancar seluruh proses transaksi sehingga tidak ada konsep untung rugi di dalamnya yang pada gilirannya akan menciptakan tindakan akumulasi kekayaan. Dalam peredaran sederhana komoditi, pemenuhan kebutuhan masyarakat (sebagai kelompok, koinonia) merupakan tujuan utama yang harus dituju, bukan uang.
Kedua, Peredaran Uang sebagai Kapital (Rumus: U-B-U). Dalam penjelasasannya, Aristoteles mengkonfrontasikan sistem barter rumah tangga (metabletiké) dengan sistem barter yang digunakan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dalam bentuk uang demi uang itu sendiri (chrematistiké). Aristoteles menamakan cara pencapaian dengan pengumpulan uang ini “berdagang” (kapeliké, dari kapelos yang artinya pedagang). Menurut Aristoteles, pengumpulan harta ini ditimbulkan oleh nafsu dan ketamakan untuk senantiasa memiliki lebih sebagai akibat dari penggunaan uang yang sebelumnya tidak dikenal dalam transaksi pasar.
Orang percaya bahwa dengan memiliki lebih banyak uang maka kesejahteraan hidup mereka akan terjamin dan di dalam situasi itu, mereka akan mendapatkan persediaan yang tidak terbatas. Orang mulai menjadikan uang sebagai tujuan dalam setiap transaksi pasar yang mereka lakukan. Dengan demikian, uang yang tadinya berfungsi sebagai sarana alat tukar praktis mulai mengambil alih nilai guna komoditi dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai bisnis, demi memperoleh keuntungan (yang mengisyaratkan diperolehnya lebih banyak uang, bukan untuk memenuhi kebutuhan).
Aristoteles melihat dua bentuk ekonomi penimbunan uang, yaitu “berdagang demi keuntungan” yang merupakan lawan dari barter yang juga dapat menggunakan uang, tetapi tidak untuk mendapatkan keuntungan melainkan menambah persediaan kebutuhan pokok (peredaran sederhana komoditi); dan “berbisnis demi mendapatkan keuntungan” sebagai uang yang menghasilkan uang (kata Yunani tokos berarti “keuntungan” dan “kelahiran baru”). “Berdagang demi keuntungan” bertujuan untuk menciptakan monopoli dan spekulasi harga sedangkan “berbisnis demi mendapatkan keuntungan” bertujuan untuk menjalankan riba.
Kedua bentuk ekonomi penimbunan uang ini dianggap berbahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan hidup mereka (masyarakat subsisten) karena pada dasarnya kesempatan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan dirampas oleh tindakan orang lain yang menginginkan keuntungan lebih (uang yang lebih banyak). Penimbunan uang mementingkan individu, bukan masyarakat sebagai koinonia sehingga konsep “keluarga” dalam seni ekonomi yang diidealkan oleh Aristoteles dengan sendirinya tidak terjangkau. Aristoteles menunjuk kisah Raja Midas, yang berharap segala benda yang disentuhnya akan berubah menjadi emas, sebagai representasi dari manusia yang selalu bernafsu untuk memiliki lebih dan memilih penimbunan uang sebagai caranya untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian, dimengerti bahwa kehancuran situasi pasar yang diidealkan oleh Aristoteles diakibatkan oleh perluasan barter menjadi perdagangan yang akhirnya melahirkan kebutuhan akan uang. Kebutuhan akan uang ini mengubah batas tujuan orang dalam bertransaksi yang seharusnya terbatas pada pemenuhan kebutuhan malah berubah menjadi tujuan yang lebih luas yaitu memperoleh kepuasan yang tidak terbatas (hasil yang ditawarkan oleh keuntungan besar yang diperoleh dari penimbunan uang). Untuk hal ini, Marx mengutip Aristoteles:
…bentuk asal perdagangan adalah barter, tetapi dengan perluasan yang tersebut terakhir itu, timbullah keperluan akan uang. Dengan penemuan uang, barter tidak bisa tidak berkembang menjadi χαπηλιπη, menjadi perdagangan komoditi, dan yang terakhir ini, bertentangan dengan kecenderungan aslinya, bertumbuh menjadi Khrematistika, menjadi seni membuat uang. Khrematistika kini dapat dibedaka dari Ekonomi karena “dalam kasus Khrematistika, peredaran merupakan sumber kekayaan harta-benda (ποιητιχη χρηματων… δια χρηματων μεταβοληζ) dan nampaknya ia berputar di sekeliling uang, karena uang adalah awal dan akhir dari jenis pertukaran ini (το γαρ νομισμα στοιχειον χαι περαζ τηζ αλλαγηζ εστιν). Karena itu juga kekayaan, seperti yang dihasratkan oleh Khrematistika, adalah tanpa batas. Seperti juga setiap seni yang bukan alat untuk sesuatu tujuan, tetapi merupakan tujuan itu sendiri, tiada mempunyai batas-batas bagi tujuan-tujuannya, karena ia terus-menerus berusaha mendekati dan semakin mendekati tujuan itu, sedangkan seni-seni yang mengejar cara-cara untuk suatu tujuan, tidaklah tanpa batas karena tujuan itu sendiri memaksakan suatu batas kepadanya, demikianlah dengan Khrematistika, tidak terdapat batas-batas pada tujuan-tujuannya, tujuan-tujuan ini adalah kekayaan mutlak… ada orang yang telah dibuat memandang pelestarian dan peningkatan uang ad infinitum sebagai tujuan terakhir Ekonomi.
Di sini, tampak jelas bagaimana kebutuhan akan uang itu akhirnya melahirkan keinginan untuk menikmati kesenangan tanpa batas yang dijanjikan oleh penumpukan uang secara pribadi.
Dalam penjelasannya, Marx kemudian menunjukkan transaksi pasar yang menjadikan uang sebagai tujuan utamanya ini sebagai suatu bentuk peredaran komoditi yang dia sebut sebagai Peredaran Uang sebagai Kapital. Skema yang terjadi dalam peredaran ini adalah M-C-M (Money-Commodities-More Money, U-B-U: Uang-Barang-[lebih banyak] Uang), perubahan uang menjadi komoditi dan perubahan kembali komoditi menjadi uang; atau pembelian demi penjualan. Uang yang beredar dalam skema ini diubah menjadi kapital, bahkan dari sudut pandang fungsinya, uang itu sudah kapital.
Peredaran uang sebagai kapital dimulai dengan pembelian dan berakhir pada penjualan yang kemudian jika dijabarkan akan menunjuk uang sebagai awal dan akhir dari peredaran ini. Oleh karena itu, jika seluruh proses formal (pembelian dan penjualan) dihilangkan, maka skema yang terbentuk adalah M-M (Money-Money, U-U: Uang-Uang), pertukaran uang dengan uang.
Skema ini menegaskan uang sebagai motivasi yang mendorong terjadinya transaksi dalam peredaran ini (berbeda dengan transaksi dalam peredaran sederhana komoditi yang didorong oleh pemenuhan kebutuhan). Pembeli mengeluarkan uang agar dapat memeroleh kembali uang; ia melempar uang ke dalam peredaran melalui pembelian komoditi agar ia dapat menarik kembali uang melalui penjualan komoditi yang sama. Dengan demikian, uang yang dilemparkan ke dalam peredaran tidak habis dibelanjakan karena uang itu akan diterima di akhir peredaran; uang yang dilemparkan ke dalam peredaran itu hanyalah uang muka.
Meskipun demikian, menurut Marx, skema ini tidak masuk akal. Marx menulis demikian:
Lain sekali dengan perputaran U-B-U, yang pada penglihatan pertama nampak tidak mempunyai tujuan tertentu, karena sifatnya tautologis (pengulangan kata-kata tanpa menambah suatu kejelasan). Kedua ujung mempunyai bentuk ekonomi yang sama. Kedua-duanya adalah uang, dan karenanya bukan nilai-nilai pakai yang berbeda secara kualitatif, karena uang adalah justru bentuk komoditi yang telah berubah, di mana nilai-nilai pakai khususnya telah lenyap. Untuk menukarkan ₤100 dengan kapas; dan kemudian menukarkan lagi kapas yang sama dengan ₤100, adalah semata-mata suatu jalan yang melingkar dalam menukarkan uang dengan uang, yang sama dengan yang sama, dan nampak sebagai suatu operasi yang sama-sama tiada berguna dan tak-masuk akal.
Di sini, Marx menegaskan bahwa tidak mungkin orang menukarkan uang dengan jumlah uang yang sama. Keinginan untuk memperoleh uang yang sama dengan yang dilemparkan ke dalam peredaran merupakan motivasi yang tidak mungkin menggerakkan aktivitas pasar. Skema U-B-U yang memliki karakteristik U-U seharusnya dimengerti sebagai proses yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbedaan kualitatif U dengan U (karena keduanya adalah sama-sama uang), melainkan perbedaan (perubahan, penambahan) kuantitatif. Uang dilemparkan ke dalam peredaran untuk menghasilkan lebih banyak uang.
Keinginan untuk memperoleh jumlah uang yang lebih besar adalah motivasi yang masuk akal bagi Marx. Oleh karena itu, skema lengkap dari peredaran uang sebagai kapital adalah U-B-U’ (Uang-Barang-Uang’ [lebih banyak uang]) atau U-U’ (Uang-Uang’ [lebih banyak uang]) dengan catatan U’=U+∆U (U’ merupakan uang muka yang ditambah dengan suatu kenaikan dalam peredaran). Untuk hal ini, Marx menjelaskannya demikian:
Lebih banyak uang akhirnya ditarik dari peredaran daripada yang dilemparkannya ke dalamnya pada awalnya. Kapas yang aslinya dibeli dengan ₤100, dijual kembali – misalnya – untuk ₤100 + ₤10, yaitu ₤110. Oleh karena itu, bentuk lengkap proses ini adalah U-B-U’, di mana U’=U+∆U, yaitu jumlah uang muka aslinya, ditambah suatu kenaikan.
Skema lengkap dari peredaran uang sebagai kapital akhirnya menghasilkan hal yang disebut Marx sebagai “nilai lebih” (surplus value), yaitu suatu kenaikan atau lebihan di atas nilai aslinya. Nilai uang muka tidak berakhir dengan besaran yang sama (secara kuantitas) selagi ia berada dalam peredaran. Uang itu akan meningkatkan besarannya, menambahkan pada dirinya suatu “nilai lebih” atau menaikkan/menstabilkan nilainya (verwertet sich). Nilai lebih inilah yang mengubah uang itu menjadi kapital.
Dengan demikian, uang yang tadinya digunakan sebagai sarana yang memperlancar transaksi dalam peredaran sederhana komoditi telah menjadi kapital; mengandung suatu nilai lebih bukan nilai pakai akibat. Nilai lebih inilah yang menjadi titik tolak terjadinya akumulasi modal.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Kemunculan Akumulasi Modal
Ketika uang mulai diperkenalkan dalam dunia pasar, peredaran komoditi sederhana yang berpusat pada pemenuhan kebutuhan semata mulai digantikan dengan peredaran uang sebagai kapital yang menjadikan uang sebagai tujuan utama transaksi pasar. Dengan adanya nilai lebih (surplus value) di akhir seluruh proses peredaran, keingingan orang untuk memperoleh keuntungan pun terjamin. Meskipun demikian, nilai lebih bukanlah akhir dari keseluruhan proses ini. Marx menulis:
Jelas U menjadi U + ∆U, ₤100 menjadi ₤110 (100+10). Tetapi dari aspek kualitatifnya saja, ₤100 adalah sama dengan ₤100, yakni uang; sedangkan, dari sudut-pandangan secara kuantitatif, ₤110 adalah seper ₤100, suatu jumlah nilai yang tertentu dan terbatas. Jika kini, ₤110 ini dihabiskan sebagai uang, maka ia berhenti memainkan peranannya. Ia bukan kapital. Ditarik dari peredaran, ia membatu menjadi suatu penimbunan, dan ia dapat tetap dalam keadaan itu hingga hari kiamat tanpa setunggal kepeng bertambah padanya. Maka, apabila kita berurusan dengan valorisasi (verwertung: kenaikan/stabilisasi) nilai, maka nilai ₤110 mempunyai kebutuhan yang sama akan kenaikan (valorisasi) nilai seperti nilai ₤100 itu, karena keduanya adalah pernyataan-pernyataan yang terbatas dari nilai tukar, oleh karenanya kedua-duanya mempunyai panggilan yang sama, untuk mendekati, dengan peningkatan kuantitatif sedekat mungkin kekayaan mutlak.
Marx di sini menegaskan perlunya proses yang berkelanjutan dalam peredaran uang sebagai kapital demi “memperbaharui” nilai lebih yang dihasilkan oleh suatu skema U-B-U. Tanpa proses yang berkelanjutan, nilai lebih yang dihasilkan tidak akan menjadi kapital yang mengisyaratkan tidak ada lagi penambahan keuntungan, suatu situasi yang pada hakikatnya bukan tujuan manusia ketika melempar modalnya ke dalam peredaran. Oleh karena itu, karena motivasi manusia masuk dalam peredaran uang sebagai kapital adalah untuk memperoleh lebih banyak uang (keuntungan), manusia harus terus mengulang proses yang sama demi mencapai tujuannya itu.
Uang yang didapatkannya sebagai hasil dari peredaran yang pertama akan disisihkan modal baru yang dilemparkan lagi ke dalam peredaran kedua untuk kemudian mengalami penambahan nilai. Peredaran pertama akan menjadi peredaran yang kedua, lalu peredaran kedua akan menjadi peredaran ketiga, dan seterusnya. Proses ini akan berlanjut terus-menerus tanpa batas demi memenuhi nafsu manusia akan keuntungan yang juga tanpa batas.
Marx menjelaskan proses pengulangan di atas sebagai suatu tindakan produksi yang pada dirinya sudah tersirat akan adanya tindakan reproduksi. Jika tindakan produksi itu mempunyai bentuk kapitalis (valorisasi nilai terjadi di dalamnya), maka demikian pula dengan tindakan reproduksi. Proses ini harus berulang terus menerus demi valorisasi nilai yang dikeluarkan sebagai kapital di akhir setiap proses. Untuk hal ini, Marx menulis demikian:
Bila, misalnya, sejumlah ₤100 tahun ini telah diubah menjadi kapital, dan memproduksi suatu nilai-lebih sebesar ₤20, ia mesti berlanjut selama tahun berikutnya, dan tahun-tahun berikutnya lagi, mengulangi proses yang sama itu. Sebagai suatu pertambahan berkala yang dilahirkan oleh kapital-dalam-proses, nilai-lebih memperoleh bentuk suatu pendapatan yang lahir dari kapital… dan sekalipun reproduksi ini sekedar pengulangan proses produksi, pada skala yang sama seperti sebelumnya, sekedar pengulangan ini, atau kesinambungan ini, menentukan sifat-sifat baru pada proses itu, atau lebih tepatnya, menyebabkan hilangnya beberapa sifat nyata yang dimiliki oleh proses itu dalam isolasi.
Kondisi konkret yang diciptakan oleh proses yang berkelanjutan ini adalah akumulasi modal. Semakin orang mengulang proses yang sama dalam skema U-B-U, dalam situasi normal, maka valorisasi nilai akan lebih banyak terjadi dan hasilnya akan semakin memenuhi perbendaharaan orang tersebut. Valorisasi nilai yang telah diperoleh dari satu peredaran akan dipakai sebagai modal untuk memulai peredaran baru yang juga akan menghasilkan valorisasi nilai yang baru. Hasilnya, modal terakumulasi dengan sangat baik pada diri si pemodal yang mengulang proses produksi (reproduksi) yang berisi skema U-B-U di dalamnya.
Pertama-tama, valorisasi nilai dikaitkan tindakan pihak lain yang tidak bisa masuk ke dalam peredaran uang sebagai kapital, karena ketiadaan modal yang mencukupi. Pihak ini mungkin akan menjadi pekerja bagi si pemodal yang melemparkan modalnya ke dalam peredaran untuk suatu proses produksi (juga reproduksi) demi memperoleh keuntungan. Pihak yang menjadi pekerja ini membantu si pemodal untuk memperoleh keuntungan.
Meskipun si pekerja memperoleh upah, upah tersebut merupakan satu bagian dari produk yang ia sendiri terus-menerus memproduksinya. Upahnya tersebut semata-mata merupakan bentuk yang berubah dari produk kerjanya. Nilai lebih (bentuk kapital) yang telah dia produksi bukan menjadi miliknya sebab hal tersebut telah digantikan oleh dengan upah yang dia terima. Nilai lebih yang dihasilkan dalam proses produksi itu terakumulasi semuanya pada si pemodal.
Seluruh nilai lebih tersebut akan mengambil bentuk kapital yang sekali lagi menjadi milik si pemodal. Marx menulis dengan jelas:
…sekadar kesinambungan proses produksi itu, dalam kata-kata lain produksi sederhana, cepat atau lambat, dan tidak bisa tidak, mengubah semua kapital menjadi kapital terakumulasi, atau nilai-lebih yang dikapitalisasikan. Bahkan, jika kapital itu adalah, pada waktu masukinya ke dalam proses produksi, milik pribadi dari orang yang menggunakannya, dan yang asalnya diperoleh dengan kerja dirinya sendiri, ia lambat atau cepat menjadi nilai yang dikuasai tanpa suatu kesetaraan, kerja orang-orang lain yang tidak dibayar yang diwujudkan dalam bentuk-uang ataupun dalam sesuatu cara lain.
Karena proses ini tidak berkesudahan, maka akumulasi modal juga tidak berkesudahan. Setiap kali tindakan pasar untuk memperoleh keuntungan dibuat, maka akumulasi modal akan tercipta dan ketika tindakan itu semakin sering diulang, maka akumulasi modal pun akan semakin banyak terjadi. Sebagaimana valorisasi nilai akan terus berlanjut dalam peredaran uang sebagai kapital, akumulasi modal sebagai akhir dari satu proses transaksi pun akan terus terjadi. Alhasil, kekayaan menumpuk pada pemodal saja, ketimpangan pendapatan tercipta dan perbedaan kesejahteraan antara pemodal dan buruh pun menjadi semakin diperjelas.
Akumulasi dan Konsentrasi Modal
Kemungkinan untuk memperoleh keuntungan melalui transaksi pasar dalam peredaran uang sebagai kapital telah disadari oleh banyak pihak. Para pemodal berlomba-lomba untuk masuk ke dalam mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan melemparkan modal mereka ke dalam peredaran. Meskipun demikian, akumulasi modal tetap menjadi proses yang individual; tidak semua pemodal dapat serentak mencapai keuntungan yang besar dalam peredaran uang sebagai kapital.
Hukum pasar yang memaksa setiap pihak yang berpartisipasi di dalamnya untuk saling bersaing akan mengeliminasi setiap pesaing yang hanya memiliki sedikit modal. Hal ini diakibatkan oleh persaingan laba yang lambat laun tidak ramah terhadap pesaing-pesaing yang bermodal kecil. Setiap pesaing berjuang untuk memenangkan pembeli di pasar sekaligus mempertahankan laba. Jika laba menurun maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan harga produk tetapi jumlah komoditi yang dijual ditingkatkan (labanya sama jika ia menjual 100 mobil dengan laba 10% atau 1000 mobil dengan laba 1%).
Dalam persaingan model ini, alat-alat produksi harus terus diperbaharui demi melipatkangandakan tenaga kerja buruh. Akibatnya, pesaing yang bermodal kecil akan bangkrut dan karenanya aliran kapital di pasar akan mulai terpusat pada pesaing-pesaing dengan modal besar yang tetap bertahan dalam pasar.
Oleh karena itu, meskipun para pengusaha, pengrajin, montir, petani, dan pedagang kecil juga turut melemparkan modal mereka ke dalam peredaran, tetapi kapital yang mereka hasilkan tak akan pernah menyaingi kapital yang dihasilkan pemodal besar dalam peredaran. Karena itu, sejak awal akumulasi modal hanya berpusat pada pihak yang bermodal besar dan bahkan peredaran uang sebegai kapital pun sejak awal hanya menjadi sarana untuk melipatgandakan kekayaan bagi mereka.
Kesimpulan
Dinamika akumulasi kapital merupakan kenyataan yang terjadi dalam sistem pasar dewasa ini. Disebut “dinamika” karena menunjukkan proses penciptaan kapital yang terjadi dalam bingkai proses yang panjang dan berkesinambungan, dalamnya tindakan produksi mengandung juga arti reproduksi, yang kemudian menyediakan obyek akumulasi seturut tuntutan swatata pasar dalam pasar-pasar yang ada.
Proses panjang penciptaan kapital ini juga turut memberikan gambaran yang memadai mengenai dirinya sendiri sebagai hasil dari suatu kenyataan historis manusia dalam setiap sistem ekonomi yang ada; ia (kapital) jelas merupakan hasil dari suatu perkembangan historis di masa lampau, produk dari banyak revolusi ekonomi, dari kemusnahan sederetan penuh bentukan-bentukan produksi sosial yang lebih tua yang berkesinambungan itu.
Dalam skema penjelasan yang paling sederhana, segala aktivitas pasar dalam bingkai proses yang berkesinambungan dan memiliki sejarah panjang itu akhirnya akan berarak perlahan menuju perubahan sistem peredaran pasar, di mana peredaran komoditi sederhana diubah menjadi peredaran uang sebagai kapital yang pada gilirannya menjadi titik tolak penciptaan kapital sebagai puncak segala kenyataan historis ekonomi politik manusia. Ini yang kemudian diakumulasi berkat keserakahan dan ketamakan manusia.
Pengubahan sistem peredaran pasar turut juga mengubah orientasi manusia untuk beraktivitas dalam pasar. Manusia yang pada mulanya masuk dalam peredaran pasar hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, kini malah menimbun kekayaan melalui keuntungan. Dalam skema seperti ini, kapital yang telah dihasilkan dalam peredaran pasar pun diakumulasi demi memenuhi tujuan tadi. Dalam skema akumulasi kapital seperti ini, peran pasar bagi terciptanya akumulasi kapital disorot secara terang benderang agar untuk kemudian membantu melahirkan kesadaran bahwa situasi ini bukanlah suatu “peristiwa harian” yang harus diterima begitu saja, melainkan suatu sistem yang predatoris, dijalankan sebagai suatu proses yang sistematis dalam swatata pasar dan secara gamblang menjadi pelaku utama atas segala persoalan kemiskinan dan kemelaratan yang dialami oleh masyarakat kelas bawah.
Referensi
Aristoteles. 2007. Politik (Nino Cicero [peny]). Jakarta: Visimedia.
Duchrow, Ulrich. 2000. Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar, Asal-Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gregorius Valentino Ukat, lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, tertarik pada pembahasan mengenai masalah-masalah ekonomi politik terkhusus pada dinamika akumulasi kapital dan swatata pasar; berprofesi sebagai guru antropologi pada sebuah sekolah menengah di Kota Kupang; dapat dikontak melalui vallenesvede@gmail.com