Komando Teritorial Angkatan Darat: Orde Baru di Halaman Rumah Kita

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth 


BERAGAM peristiwa politik yang berhubungan dengan militer belakangan ini amat meresahkan. Semua mengarah pada pengulangan sejarah kelam yang pernah terjadi beberapa dekade lalu. Ingatan publik akan rezim yang otoriter, absolut, dan despotik dengan militer sebagai fondasi utama kian menguat. Kejadian termutakhir adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diam-diam di ruang tertutup hotel mewah membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), sebuah produk hukum yang akan melegitimasi kembalinya militer ke ranah sipil. 

Kita tentu wajib khawatir (dan melawan) terhadap tiap upaya yang dapat membuat tentara menduduki jabatan sipil—pokok yang paling banyak dibahas dalam revisi peraturan tersebut. Akan tetapi persoalan intervensi militer tidak hanya tentang siapa menduduki apa. Ada satu hal penting lain yang sejak Reformasi ingin dihapuskan namun kini justru akan diperkuat, yaitu komando teritorial. 

Hierarki struktur militer utuh dari tingkat provinsi hingga desa, terdiri atas Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa). Komando teritorial inilah yang secara konsisten menyokong rezim Orde Baru selama tiga dekade lebih. Orde baru yang dipimpin oleh dan bergaya militer menggunakan struktur ini untuk melanggengkan kekuasaannya dengan terus-menerus mengawasi sipil agar tunduk, patuh, dan tidak kritis terhadap pemerintah, dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan. 

Sumber: Leonard C. Sebastian, Realpolitik ideology: Indonesia’s use of military force, 2006)

Masyarakat “didisiplinkan” dengan cara-cara kekerasan, entah fisik, psikologis, maupun simbolik. Penangkapan, penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, bahkan pembunuhan jadi sesuatu yang umum. Untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan tersebut, dipakailah wacana-wacana kedaruratan. Individu yang kritis, melakukan resistansi terhadap kebijakan negara, atau bahkan sekadar tidak mendukung agenda pembangunan dicap sebagai antipemerintah, komunis, atau separatis. Penyematan stigma tersebut masif dilakukan. Dengan kata lain, setiap orang yang kritis saat itu adalah homo sacer (Agamben, 1998), yaitu individu yang hak politiknya dapat dicabut sewaktu-waktu secara semena-mena, tubuhnya dapat dihakimi tanpa ada konsekuensi hukum bagi pihak yang menghakimi. Persis di situlah posisi sipil di bawah rezim Soeharto.

Militer (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI) menggunakan situasi “kondusif” karena pendisiplinan tersebut untuk menguasai birokrasi dari pusat hingga daerah. Mereka juga, dalam perspektif Bourdieu (Haryatmoko, 2016), menguasai seluruh elemen kapital. Kapital ekonomi diperoleh dengan menguasai akses terhadap sumber daya. Kapital sosial didapat dari jaringan kekuasaan dengan elite sipil dan pengusaha. Kapital budaya yang membentuk citra positif sekaligus mendapat penghormatan dari publik dikuasai berkat peran sebagai “penjaga” negara. Sedangkan kapital simbolik didapatkan karena dianggap sebagai pilar stabilitas nasional. Akumulasi dari modal-modal tersebut meneguhkan superioritas militer dalam arena sosial, politik, dan ekonomi.

Setelah Orde Baru tumbang berkat gerakan massa, reformasi militer pun dilakukan. Demiliterisasi politik dan depolitisasi militer menjadi agenda utama. Kedudukan dan peran angkatan bersenjata diatur ulang secara proporsional agar menjadi profesional dan netral (terdepolitisasi) yang tunduk pada supremasi sipil. 

Karena basis kekuatan ABRI di era Orde Baru adalah komando teritorial, maka agenda penting dalam reformasi militer adalah menghapus struktur tersebut. Hari ini, setelah 27 tahun Reformasi, kita sudah dapat menilai dengan jelas sejauh mana itu terwujud. Kita akan melihat sejauh mana reformasi komando teritorial dilakukan, apakah mengalami kemajuan, kemandekan, atau malah kemunduran, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain.


Struktur Komando Teritorial dari Masa ke Masa

Masa Transisi: Era Habibie

Struktur komando teritorial sebagai tulang punggung kehadiran militer dalam kehidupan sosial politik tidak tersentuh selama masa transisi era Presiden Habibie. Mempertahankan basis kekuatan teritorial dan mandiri secara finansial adalah dua kepentingan utama angkatan bersenjata dalam pemerintahan pasca-Soeharto. Maka tidak heran struktur komando teritorial tidak ada sama sekali dalam wacana reformasi internal yang diumumkan pimpinan militer saat itu. Tidak dimasukkannya struktur komando teritorial berarti elemen kunci dari reformasi tidak ditangani pada periode awal transisi ini. Hal ini juga menghambat reformasi lainnya. Dengan latar belakang ini, pembongkaran dwifungsi secara kelembagaan dan doktrinal gagal mengatasi fakta bahwa peran politik angkatan bersenjata merupakan hasil, dan bukan alasan, dari menguatnya militer dalam masyarakat Indonesia. Kapasitas ini didasarkan pada keberadaan teritorial militer, otonomi dari sumber pendanaan pusat, mediasi dalam konflik antara partai politik, dan kekuatan masyarakat lainnya (Mietzner, 2006). 

Era Gus Dur

Gus Dur menaruh perhatian terhadap reformasi militer. Akan tetapi dia menghadapi resistansi. Sebagian besar pihak ingin mempertahankan teritori TNI dan manfaat yang menyertainya. Hanya sebagian kecil yang merekomendasikan reformasi, salah satunya adalah Wirahadikusumah, seorang tentara reformis. Pernyataannya dulu merangkum dengan apik mengapa penghapusan teritori TNI adalah hal yang semestinya dilakukan: “Struktur komando pada tingkatan rendah adalah sisa-sisa dari otoriter masa lalu dan karenanya sepenuhnya dapat dibuang. Mengapa kita membutuhkan unit teritorial di Wonosobo? Apakah musuh akan menyerang kita di sana? Tidak. Kita memiliki unit-unit itu karena perwira yang malas dan tidak fleksibel telah menjadi puas diri bermain politik, menghasilkan uang, dan pensiun di jabatan sipil yang bagus di luar sana. Itu tidak ada hubungannya dengan pertahanan” (Mietzner, 2006). Karena mendapat resistansi yang kuat dari para petinggi TNI konservatif, reformasi militer termasuk penghapusan struktur komando teritorial tidak terlaksana di era Gus Dur.

Era Megawati

Masa pemerintahan Presiden Megawati dianggap sebagai era kemandekan bahkan dekadensi reformasi militer. Krisis konstitusional tahun 2001 serta buruknya konsolidasi elite meyakinkan para politisi untuk menjaga hubungan baik dengan militer, terutama setelah memangku jabatan eksekutif. Konsesi kepada tentara menjadi bagian integral dari politik sipil pasca-Soeharto, dan karenanya berimplikasi negatif terhadap kemajuan reformasi militer. 

Selain itu, ada tiga perkembangan utama yang memicu refleks balik terhadap rencana radikal untuk mereformasi sektor keamanan: pertama, kekalahan di Timor Timur; kedua, pecahnya kekerasan komunal di seluruh Nusantara antara 1999 dan 2001; ketiga, meluasnya gerakan separatis di Aceh dan Papua (Mietzner, 2006). Serangkaian peristiwa ini memunculkan apa yang disebut oleh Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti (2004) sebagai “pola pikir nasionalis” di diri para elite. Mereka kian menentang kebijakan yang akomodatif dan kompromistis terhadap kelompok separatis. Para politisi terkemuka memandang pendekatan lunak yang diterapkan oleh pemerintahan Habibie dan Gus Dur sebagai kesalahan besar. Karena khawatir eksperimen lanjutan akan mengurangi kapasitas angkatan bersenjata untuk secara efektif menindak pemberontak atau militan sektarian, banyak politisi yang menangguhkan tuntutan mereka untuk mereformasi struktur komando teritorial dan aspek penting lainnya dari organisasi militer. 

Era Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di satu sisi telah dipuji secara luas karena mengendalikan angkatan bersenjata dalam masalah Aceh, yang menjadi preseden historis bagi kepatuhan militer terhadap penyelesaian dalam bentuk negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini membedakannya dari para pendahulu (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) sebab semuanya gagal mendapatkan dukungan militer untuk rencana menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai. 

Namun, tetap saja, reformasi struktur komando teritorial mengalami hambatan. Hambatan disebabkan oleh menguatnya kembali gerakan separatis yang ditandai peristiwa Bom Bali 2005. Tragedi itu dijadikan justifikasi bagi Panglima TNI saat itu, Sutarto, untuk menyerukan tentara secara aktif terlibat dalam perang melawan teror dengan mengumpulkan intelijen melalui tingkat terendah dari sistem teritorial. Dengan sistem komando teritorial yang terintegrasi ke dalam aparat antiterorisme nasional, kemungkinan untuk mereformasi aparat tampak semakin kecil. Ditambah lagi prediksi kandidat dengan latar belakang militer bakal kalah di pertarungan elektoral kian menguat. Untuk mengantisipasi kekalahan lebih lanjut dalam pengaruh politik formal tersebut, angkatan bersenjata berupaya mengonsolidasikan sistem komando teritorial sebagai benteng terakhir keterlibatan militer dalam ekonomi lokal dan jaringan politik mereka (Mietzner, 2006).

Era Jokowi

Pandemi Covid-19 merupakan titik balik revitalisasi struktur komando teritorial. Militer memberdayakan pasukannya hingga ke tingkat desa (memobilisasi Babinsa). Mobilisasi Babinsa atas nama penegakan disiplin sosial memang tidak menyiratkan kebangkitan dwifungsi, tetapi mungkin memberikan kesempatan bagi para elite tentara untuk mengukir peran baru. Babinsa yang diberdayakan sembari “menguduskan” ideologi TNI tentang “kemanunggalan bersama rakyat” membantu mereka memulihkan legitimasi dari struktur komando teritorial yang sudah babak belur. Ketika itu TNI bermanuver untuk memperluas misi operasi militer selain perang atau misi non-pertahanan. Awalnya misi utamanya adalah memberikan bantuan medis darurat, termasuk evakuasi dan karantina. Lalu peran mereka dengan cepat meluas ke patroli disiplin publik, dan kemudian ke pelacakan dan deteksi virus. Ini kemudian diikuti oleh kampanye vaksinasi nasional. Perluasan peran skala besar ini membutuhkan pembenaran, sebab mengelola krisis kesehatan nasional selama hampir dua tahun tidak dapat diidentifikasi sebagai misi non-pertahanan yang bersifat ad hoc dan sementara. Untuk melawan tekanan publik yang menuntut penarikan militer dari garis depan kesehatan, TNI memobilisasi narasi tertentu: menyelaraskan pertempuran menahan pandemi sebagai bentuk peperangan (Honna, 2022). 

Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari political will Jokowi. Dia memang menggunakan secara masif struktur komando TNI untuk melakukan pendisiplinan publik atas nama pemulihan ekonomi. TNI dengan cekatan mengelola krisis Covid-19 untuk mengunci dan menghentikan reformasi militer utama pasca-Soeharto dengan kedok kesehatan dan menjadi semakin kebal terhadap pengawasan sipil. 

Era Prabowo

Tanda-tanda menguatnya kembali supremasi struktur komando teritorial yang menjadi akar penunjang dwifungsi rezim Orde Baru begitu jelas. Prabowo yang berlatar belakang militer mendayagunakan struktur komando teritorial untuk menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Distribusi MBG melibatkan struktur komando teritorial hingga tingkat bawah, Babinsa, persis sama seperti saat terjadi Covid-19 di era Jokowi. Belum lagi program-program lainnya seperti pembukaan lahan untuk food estate dan ketahanan energi. Ini terlihat dari wacana penambahan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) sebagai penyokong pemerintah dalam melakukan swasembada pangan. Selain itu, wacana penambahan 22 Kodam juga semakin menguat. Melihat keterlibatan aktif struktur komando teritorial dalam program populis pertama di rezim Prabowo, menguatnya wacana penambahan serdadu teritorial, serta penambahan komando teritorial semakin memupuskan harapan untuk menghapus sisa-sisa Orde Baru.


Penutup

Sebagai bahan refleksi kritis, kita mesti mempertanyakan ulang peran dan fungsi dari struktur komando teritorial ini. Made Supriatma dalam suatu siniar di IndoProgress curiga telah terjadi distorsi atas pemikiran Nasution. Saya kutip lengkap pernyataannya: “Lama-lama interpretasi saya terhadap buku-bukunya Nasution itu, terutama di buku Pokok-pokok Gerilya, ketika dia merumuskan tentara rakyat, diterapkan melenceng oleh Orba. Tidak seperti yang Nasution maksudkan dulu. Kalau yang Nasution maksudkan dulu adalah, ketika terjadi pertempuran, perang, baru kita membentuk struktur teritorial. Jadi tidak dalam keadaan damai. Tidak permanen. Ini yang paling penting: struktur teritorial itu tidak diperlukan dalam keadaan damai. Itu diperlukan dalam keadaan perang. Tanggung jawab kalau seandainya terjadi apa-apa? Misalnya kerusuhan? Itu bukan tanggung jawab tentara, itu polisi. Di sini ketika ada struktur wilayah, turut campur dalam kebijakan ini dan itu, harus bergaul dengan bupati, semua sudah hancur. Tidak ada reformasi lagi.”

Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan tersebut adalah keberadaan struktur komando teritorial seharusnya tidak permanen. Selain itu, urusan keamanan sipil merupakan urusan polisi, bukan tentara. Namun lagi-lagi kita mengetahui fakta bahwa struktur komando teritorial ini melibatkan sekitar dua pertiga prajurit Angkatan Darat, yang memungkinkannya mempertahankan keunggulan institusional terhadap Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Bagi Angkatan Darat, reformasi yang bertujuan untuk merampingkan komando teritorial tidak dapat diterima karena hal itu akan mengurangi kekuatan dan pengaruh mereka. Kehendak tersebut beriringan dengan kehendak penguasa untuk mendayagunakan militer di setiap agenda kebijakan saat ini. Reformasi militer akhirnya kian sulit dilakukan.


Daftar Pustaka

Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life. California: Stanford University Press.

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Sleman: Kanisius.

Honna, Jun. 2022. Health security in Indonesia and the normalization of the military’s non-defence role. ISEAS Publications.

Indoprogress. 2016. Antonius Made Tony Supriatma: “Reformasi TNI Gagal Total”, diakses di https://indoprogress.com/2016/07/antonius-made-tony-supriatma-reformasi-tni-gagal-total/.

Mietzner, Marcus. 2006. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia:: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance. Washington D.C : East-West Center.

Sebastian, Leonard C. 2006. Realpolitik ideology: Indonesia’s use of military force. ISEAS Publications.


Pandu Irawan Riyanto, alumni Magister Sosiologi UGM

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.