Kapitalisme Tidak Hanya Mengalienasi Manusia, tapi Juga Alam

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


“ALL creatures have been turned into property, the fishes in the water, the birds in the air, the plants on the earth; the creatures, too, must become free.” 

Dalam On the Jewish Question (1844), Marx mengutip pernyataan di atas dari seorang pemimpin petani revolusioner dan sekaligus teolog Jerman, Thomas Müntzer. Dari cuplikan ini, meski soal hak asasi dan kesejahteraan hewan serta isu kebebasan makhluk hidup lain tidak begitu signifikan dalam karya-karyanya, Marx tampak jelas menghargai alam, tumbuhan, dan hewan di sekitarnya (Wilde, 2000). Kutipan tersebut juga menjadi titik awal untuk mengembangkan lebih jauh konsep alienasi, yaitu bahwa kondisi tersebut sebenarnya tidak hanya dialami oleh manusia. 

Sebelumnya, dalam artikel tentang kapitalisme hijau (Mahadika, 2023), saya menjelaskan bahwa gagasan pembangunan berkelanjutan itu akal-akalan kapitalisme agar dapat terus melanjutkan akumulasi. Contoh dari praktik ini adalah perdagangan karbon. Perdagangan karbon ini yang kemudian mendorong untuk berpikir lebih dalam dan menyadari bahwa kapitalisme juga menciptakan alienasi terhadap yang bukan manusia.


Non-Manusia Terasing

Beberapa tahun terakhir, perdagangan karbon (carbon pricing, carbon emission trading) menjadi perbincangan yang kian umum di masyarakat dan pemerintah. Pemerintah bahkan telah menanggapi model “ekonomi berkelanjutan” ini dengan regulasi, misalnya lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC). Tren seperti ini membuat saya tertarik untuk meninjau lebih dalam implikasi dari model ekonomi hijau dan proses alienasi yang dialami bukan manusia.

Meskipun di Indonesia masih berjalan secara sukarela, sudah ada beberapa pengembang proyek atau perusahaan yang teregistrasi resmi dan aktif berpartisipasi dalam perdagangan karbon (KataData Insight Center, 2022, pp. 44–45). Penyerapan karbon atau carbon sequestration menjadi jasa yang mereka tawarkan, termasuk konservasi air dan tanah, dengan harapan pasar dapat berjalan lebih efisien dan dampak kerusakan lingkungannya berkurang. Negara yang mampu memberikan “jasa lingkungan” biasanya adalah negara-negara berkembang dan terletak di wilayah tropis, seperti Indonesia dan Vietnam. Sementara bayaran yang mereka dapatkan dikenal dengan nama payments for environmental services/PES. Pada akhirnya ini adalah pasar karbon skala internasional. Kalkulasi karbon yang terserap oleh tumbuhan kemudian akan diekstrak menjadi akumulasi keuntungan bagi para pengusaha kapitalisme hijau.

Para pembeli karbon global juga menyediakan dana untuk penduduk asli (indigenous communities) khususnya yang ada di negara Dunia Ketiga untuk menjaga dan memelihara hutan. Program ini sering dikenal sebagai Reduced Emissions from Deforestation and Degradation atau REDD+. Vietnam dan Indonesia antusias dengan program ini meski belum teruji benar.

REDD+ menggunakan teknologi canggih untuk mengalkulasi jumlah karbon yang ada di hutan dan berapa banyak pula yang bisa diserap. Aktivitas ini menghasilkan praktik pemetaan baru yang fokus pada karbon itu sendiri. Kapitalisme melirik hutan dengan tujuan spesifik, yaitu mencari tahu tanaman-tanaman mana yang dapat menyerap karbon sebanyak-banyaknya. Adanya pengukuran daya serap karbon pada tumbuhan, pengkategorian pohon-pohon berdasarkan kemampuan mereka dalam menyimpan karbon, kemudian mendorong transformasi hutan itu sendiri. Pohon-pohon yang dinilai lebih tinggi pasokan karbonnya menjadi prioritas dan perlu ditanam lebih banyak dibandingkan pohon lain. Contohnya adalah pohon karet. Pohon ini dianggap punya daya serap karbon cukup baik. Namun tentu jika pohon karet saja yang ditanam, deforestasilah yang bakal terjadi, apalagi pohon karet memang telah lama menjadi perkebunan monokultur skala besar. Di Indonesia, perkebunan karet telah ada sejak era kolonialisme (Dove, 2011). Ironi ini seperti kata McElwee (2016): “What counts as a carbon-worthy tree may in fact further drive local deforestation.” 

Tumbuhan yang mampu menyerap karbon dapat dianggap sebagai buruh metabolik atau metabolic labor (Beldo, 2017: 119), yakni penyedia jasa karbon dalam upaya menyeimbangkan metabolisme perubahan iklim. Dalam marxisme, alienasi secara sederhana adalah kondisi ketika pekerja terasing oleh produk atau jasa yang mereka produksi atau kerjakan sendiri. Para pekerja teralienasi selama mereka mengerahkan kerjanya kepada para kapitalis (Marx, 2007, p. 71). Tumbuhan secara langsung teralienasi sekaligus tereksploitasi dari aktivitas penyerapan karbon yang mereka hasilkan sendiri demi keuntungan kapitalisme.

Hewan setali tiga uang. Mereka pun teralienasi. Beldo (2017) memaparkan proses alienasi yang terjadi di dalam peternakan ayam pedaging atau broiler. Ia menawarkan ide mengenai buruh metabolik atau metabolic labor sama halnya dengan pohon sebagai penyerap karbon—bertindak sebagai penyeimbang dalam proses metabolisme ekologis yang terjadi di alam. Ia mulai-mula mencontohkan buruh metabolik seperti halnya ayam kampung. Dengan memberi makan teratur dan menyediakan tempat untuk mengeram, diasumsikan ayam akan memproduksi telur berkualitas dan bisa mengakomodasi permintaan yang tinggi. Namun induk-induk ayam di peternakan skala-besar sering kali sekadar hidup di dalam ruangan atau kotak, membuat pergerakan mereka sangat terbatas. Aktivitas sepanjang hari hanya tidur dan makan. Dari kasus ini, katanya, tidak hanya terjadi alienasi tapi juga eksploitasi terhadap proses vital, bertelur dan  juga reproduksi dalam organ hewan ternak itu sendiri (2017: 125). 

Beragam contoh alienasi dan eksploitasi terhadap hewan juga dipaparkan oleh cendekia lain. Kosek (2010) menunjukkan bahwa lebah tidak hanya memproduksi madu yang dapat dirampok oleh kapitalisme, namun juga hampir seluruh perkebunan dan pertanian masih mengandalkan mereka sebagai agen penyerbukan. Barua (2017) memberikan contoh lewat kasus pengembangan ekowisata di India yang melibatkan singa Asia. Para sosiolog (Stuart, et al, 2012,) menggunakan kasus sapi di peternakan skala besar. Mereka menjelaskan bagaimana karena bisnis peternakan, “sapi-sapi (perah) itu benar-benar telah tercerabut dari apa artinya menjadi seekor sapi.” Hewan-hewan ini hidup sekadar sebagai alat kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan, bukan lagi makhluk bebas.


Refleksi Alienasi

Alienasi yang dialami oleh makhluk hidup bukan manusia terjadi sangat mendalam, kata Fair dan McMullen (2023). Selama ini alienasi dipaparkan dengan membahas produk, jasa, dan/atau relasi sosial yang dihasilkan oleh para pekerja. Fair dan McMullen menambahkan ide bahwa alienasi bisa terjadi hingga pada makhluk hidup itu sendiri. Makhluk hidup atau species-being dalam pandangan sebelumnya sering masih dimaknai lewat cara antroposentris, yang menunjukkan bahwa manusialah yang teralienasi oleh raganya sendiri. Namun, kenyataannya, apa yang dimaksud sebagai species-being itu bukan hanya manusia. Hal ini terlihat dari kapitalisme yang dapat mengakumulasi daging-daging dari hasil bisnis peternakan seperti yang digambarkan Beldo. Maka dari itu, hewan dan tumbuhan dapat teralienasi dari tubuhnya sendiri karena akumulasi tumbuhan pangan dan daging yang dijual oleh kapitalisme. Dengan demikian, apa yang dirasakan oleh hewan dan tumbuhan tidak sekadar alienasi berwujud produk, jasa, dan relasi sosial, melainkan hingga pada titik keterasingan terhadap hidupnya atau tubuh (ragawi) mereka. 

Alienasi mendalam dari spesies lain membawa pada pandangan skeptis bahwa terdapat pemisahan antara manusia dan yang bukan manusia. Foster dan Clark (2018) menjelaskan bahwa sebenarnya yang membuat manusia susah membangun empati terhadap hewan adalah karena alienasi yang dialami manusia juga. Mereka tidak mampu memahami penderitaan yang dirasakan oleh hewan (animal suffering) saat mereka sendiri dieksploitasi. Oleh karena itu, Foster dan Clark menolak pemahaman bahwa hewan itu seperti mesin atau natural automata dalam pemahaman aliran cartesian. Mereka berdua mengungkapkan bahwa, sama halnya dengan manusia, hewan memiliki emosi termasuk merasakan penderitaan. Oleh karena itu, Foster dan Clark menyarankan perlu adanya identifikasi praktik alienasi beragam spesies yang bukan manusia. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun kembali dialektika manusia dengan yang bukan manusia agar dapat memahami kembali bahwa alam sebenarnya tidak terpisah atau terasing dari manusia. Kapitalismelah yang menciptakan keterasingan.


Gilang Mahadika adalah peneliti sosial dengan latar belakang antropologi. Kini ia menjadi rekan meneliti (research fellow) di Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan isu ontologi lingkungan di Yogyakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.