Narasi Kapitalisme Hijau: Ramah di Luar, Tetap Bahaya di Dalam

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: resilience.org


KALA itu saya tengah di pusat perbelanjaan yang cukup besar. Banyak orang bilang bahwa ini mal yang paling lengkap di Yogyakarta. Satu hal menarik perhatian saya yaitu kata “sustainability” (keberlanjutan) di sebuah gerai sepatu. Di sana terlihat bahwa produk yang mereka tawarkan ramah lingkungan alias eco-friendly. Bahan yang digunakan mudah didaur ulang dan rendah emisi karbon. Limbah pabriknya juga katanya demikian. Saya cukup terkesima dan jadi bertanya, apakah ini cara paling adil dalam menjalankan bisnis atau justru masih meninggalkan masalah ketidaksetaraan kelas?

Kabar bahwa industri mulai sadar akan lingkungan cukup menarik perhatian saya. Industri yang muncul sejak abad ke-19 itu rupanya mampu berevolusi dan beradaptasi dengan keadaan sekarang. Kapitalisme sekarang tampak kian ramah dan sopan. Apa yang ada di balik itu semua?


Kemunculan

Kapitalisme hijau atau green capitalism tidak muncul dengan sendirinya. Terdapat wacana berskala global yang memaksa korporasi saat ini menjalankan bisnis yang selaras dengan alam. Industri saat ini perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan atau sering disebut sustainability, dalam artian tidak sekadar memaksimalkan keuntungan melainkan juga berpikir keras bagaimana dapat bertahan hingga masa depan. Ada yang menyebut model kapitalisme seperti ini sebagai eco-capitalism.

Menurut Adrienne Buller dalam buku The Value of a Whale: On the Illusions of Green Capitalism (2022), korporasi saat ini memang sering kali menggunakan narasi-narasi aktivisme lingkungan dan iklim demi memperkuat kedudukan bisnis mereka. Mereka melancarkan narasi bahwa industri peduli dengan krisis iklim, dalam artian mencoba meminimalisasi gangguan atau disrupsi akibat aktivitas ekonomi. Kapitalisme hijau juga berusaha menjalankan industri yang tidak banyak memproduksi karbon supaya tetap mampu mencari keuntungan sekarang dan di masa depan. Menurut Buller, konsep ini cukup ironis sebab pada akhirnya kapitalisme hijau hanya mencoba memperlambat krisis iklim dan lingkungan yang tengah terjadi.

Istilah “sustainability” mulai digunakan dan mendapat momentum pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1972 di Stockholm, Swedia, yang membahas mengenai manusia dan lingkungannya. Para peserta konferensi berfokus pada bagaimana menjaga bumi sebagai tempat yang pantas untuk kehidupan tidak hanya untuk sementara, tapi juga bagi generasi-generasi mendatang (Danieldson, 2004). Penekanannya kepada mencari solusi dari masalah industrialisasi yang berdampak pada peningkatan polusi.

Kemudian, di tahun 1980, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) mengeluarkan laporan berjudul World Conservation Strategy (1980) yang secara garis besar mengatakan bahwa pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berkelanjutan. Ia harus mempertimbangkan faktor sosial, ekologis, ekonomi, serta keuntungan jangka pendek dan panjang. Laporan ini kemudian menjadi inspirasi bagi PBB untuk mengadakan komisi di tahun 1987 yang sering dikenal sebagai Brundtland Commission (Darryl, 2002). Dalam komisi tersebut, mereka membahas definisi yang kemudian populer saat ini, yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mencoba menyeimbangkan antara kebutuhan sosial-ekonomi dengan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan menawarkan cara pandang bagaimana kita tetap mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan saat ini tanpa menutup kemungkinan bagi generasi di masa depan tetap mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.

Di tahun 1992, PBB mengadakan konferensi terkait di Rio de Janeiro, Brasil, yang dikenal juga sebagai Earth Summit. Pertemuan ini mendukung adanya pertumbuhan ekonomi selagi mengupayakan konservasi keanekaragaman hayati (Darryl, 2002, p. 206). Konferensi ini menjadi alat justifikasi bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk membuka usaha dengan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak konservasi alam. Stuart Kirsch, seorang antropolog, menjelaskan bagaimana perusahaan tambang mulai menggunakan konsep keberlanjutan untuk menjaga agar bisnis dapat terus berjalan dengan memperhatikan lingkungan yang rusak karena aktivitas bisnis mereka sendiri. Kirsch (2010) menunjukkan bahwa perusahaan tambang menjadi memiliki imunitas karena wacana pembangunan berkelanjutan tersebut.

Benson dan Kirsch (2010) menawarkan istilah “corporate oxymorons” (kontradiksi perusahaan), yang berarti bahwa model perusahaan yang berkelanjutan menjadi model perusahaan berbahaya di dunia kontemporer sekarang. Klaim-klaim mengenai keberlanjutan yang dibuat oleh industri pertambangan sangat dapat dipertanyakan. 

From the recognition that the mining industry is inherently unsustainable, leaving behind scarred and ruined environments, the industry now promotes itself as practicing sustainable mining. This claim is contingent on the emptying out of the ecological aspects of the definition of sustainability. It capitalizes on the historical transformation of the concept and the promotion of a notion of weak sustainability that licenses widespread environmental degradation in return for industry support of conservation set-asides and development programs (Kirsch, 2010, p. 92)

(Dari yang diyakini bahwa industri pertambangan secara inheren tidaklah berkelanjutan, meninggalkan lingkungan-lingkungan yang terluka dan rusak, industri tambang saat ini mempromosikan dirinya sendiri dengan menjalankan pertambangan yang berkelanjutan. Klaim ini bagian dari mengosongkan aspek ekologis dari definisi keberlanjutan. Klaim ini mengkapitalisasi transformasi sejarah dari konsep dan dukungan mengenai ide keberlanjutan yang lemah, yang mana memperbolehkan degradasi lingkungan dengan timbal balik berupa penyisihan konservasi dan program-program pembangunan).


Kasus Newmont

Marina Welker dalam tulisan berjudul Enacting the Corporation: An American Mining Firm in Post-Authoritarian Indonesia (2014) memaparkan bukti etnografis menarik dari Sumbawa, Indonesia. Di sana, masyarakat lokal sering mendapatkan program-program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan tambang Newmont. Hal ini membuat warga lokal menganggap bahwa perusahaanlah yang menjadi wali negara sesungguhnya (surrogate state) dibandingkan pemerintah dalam usaha membangun dan memperbaiki kualitas hidup (Mahadika, 2021). Kekecewaan masyarakat di Kecamatan Sekongkang terhadap pemerintah Orde Baru karena korup dan nepotis membuat mereka lebih percaya terhadap Newmont yang memberikan program pemberdayaan dan pembangunan nyata (Welker, 2014, pp. 67–68). Newmont bahkan memiliki program seperti pelepasan penyu di pesisir yang menghasilkan citra karismatik dan sangat peduli dengan lingkungan (Welker, 2016).

Kasus ini menunjukkan bahwa citra perusahaan tambang dapat menjadi positif atau baik ketika mereka bertindak dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Masyarakat lokal seolah terbius. Ide pembangunan berkelanjutan lantas membuat khalayak semakin susah melakukan kritik terhadap perusahaan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa ada biaya sosial dan lingkungan yang mereka harus bayar kembali.

Aktivitas perusahaan yang kontradiktif ini rupanya lebih berbahaya dibandingkan aktivitas industri di masa lalu. Hal ini disebabkan karena industri hijau mampu menyembunyikan hal-hal yang berisiko dan berbahaya, serta mampu menetralisir kritik yang muncul dari aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat secara umum.

Model perusahaan yang berkelanjutan ini juga mengingatkan saya terhadap karya populer George Orwell, 1984, yang menceritakan bagaimana pemerintah menanamkan penilaian yang kontradiktif namun kita harus tetap menerimanya karena hal tersebut mungkin saja baik. Hal ini disebut sebagai doublethink (berpikir dua kali). Seperti halnya kapitalisme hijau, kapitalisme yang berkelanjutan, kita mengetahui mungkin itu akan berbahaya jika dijalankan, namun perusahaan/pemerintah memiliki taktik membangun narasi alternatif atau menciptakan eufimisme agar maknanya tidak terlihat seperti yang sebenarnya terjadi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Eufimisme

Slavoj Žižek dalam Refugees, Terror, Other Troubles with the Neighbors: Against the Double Blackmail (2017) menyebut bahwa menutupi rasisme dengan kata-kata yang lebih sopan adalah tindakan yang melanggengkan totalitarianisme modern. Upaya eufemisme ini, seperti halnya “kapitalisme hijau”, memaksa perasaan emosional dalam diri kita agar patuh terhadap model kapitalisme sekarang. Istilah “political correctness” (kebenaran politik) kemudian cukup berhubungan dengan narasi kapitalisme hijau dan pertambangan yang berkelanjutan. Permainan kata ini menunjukkan lembutnya kapitalisme dalam melakukan tindakan koersif terhadap kita agar kita tidak punya pilihan lain selain setuju dengan keadaan yang dipaksakan tersebut.

Pembangunan berkelanjutan dan jargon sustainable development goals (SDGs) dari PBB justru menyembunyikan tanggung jawab perusahaan dan para politikus (pemerintah) dari kerusakan lingkungan yang terjadi. Bahkan, Kohei Saito menyebut SDGs adalah candu masyarakat sekarang (McCurry, 2022). Kehidupan di era pasca pandemi, yang disebut pemerintah Indonesia sebagai era back to normal, menunjukkan bagaimana kapitalisme mencoba membawa kita kembali ke cara-cara hidup yang “normal”; hidup seperti sedia kala di mana sistem ekonomi kapitalisme terus berjalan.

Maka dari itu, industri yang hijau tidak jauh beda dengan kapitalisme seperti pada umumnya. Hanya saja, para pemilik modal sadar akan permasalahan lingkungan yang kini menjadi isu bersama di ranah global. Karena sekadar model kapitalisme yang menyesuaikan diri dengan krisis, tren yang muncul darinya seperti membeli tas, sedotan, dan botol yang ramah lingkungan tidak bakal mengubah apa pun.


Referensi

Benson, P. & S. K. (2010). Corporate Oxymorons. Dialectical Anthropology, 34(1), 45–48.

Buller, A. (2022). The value of a whale: On the illusions of green capitalism. In The Value of a Whale: On the Illusions of Green Capitalism. https://doi.org/10.1093/ia/iiac242

Danieldson, L. (2004). Mining and Minerals: Breaking New Ground. In Survival for a Small Planet (p. 17). Routledge.

Darryl, R. (2002). Resources Extraction Industries in Developing Countries. Journal of Business Ethics, 39, 199–226.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. (1980). World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. https://portals.iucn.org/library/efiles/documents/wcs-004.pdf

Kirsch, S. (2010). Sustainable Mining. Dialectical Anthropology, 34(1), 87–93.

Mahadika, G. (2021). Siasat Korporasi Tambang Merangkul Masyarakat. Artikel Populer Tentang Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia, 22(20), 17–20. https://pmb.brin.go.id/siasat-korporasi-tambang-merangkul-masyarakat/

McCurry, J. (2022). “A new way of life’’’: the Marxist, post-capitalist, green manifesto captivating Japan.” The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2022/sep/09/a-new-way-of-life-the-marxist-post-capitalist-green-manifesto-captivating-japan

Welker, M. (2014). Enacting the Corporation: An American Mining Firm in Post-Authoritarian Indonesia. University of California Press.

Welker, M. (2016). “Corporate Security Begins in the Community.” Enacting the Corporation, 157–182. https://doi.org/10.1525/california/9780520282308.003.0006

Žižek, S. (2017). Refugees, Terror, and Other Troubles with the Neighbors. Penguin Press.


Gilang Mahadika adalah peneliti independen, magister antropologi dari Universitas Gadjah Mada, menaruh perhatian pada permasalahan lingkungan di Indonesia. Ia melakukan riset di Sorong, Papua Barat mengenai kehidupan penduduk asli di perkotaan, dan terafiliasi dengan CCFS (Center for Culture and Frontier Studies), Universitas Brawijaya. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.