Kerusakan Ekologis Pantura hingga Perampokan Hak Buruh

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Buruh Semarang saat banjir rob (ANTARA via Republika)


DALAM sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jawa Tengah menjadi tujuan relokasi pabrik dari berbagai wilayah di Jawa Barat dan Banten. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar mencatat jumlah pabrik yang direlokasi ke Jateng sepanjang 2019-2023 saja sebanyak 33. Sementara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jateng menyebut per 2024 ada 97 perusahaan sudah pindah ke wilayah mereka. Investasi yang masuk ke Jateng didominasi oleh perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA), terutama di sektor padat karya seperti barang dari kulit dan alas kaki, industri mesin, elektronik, alat kesehatan, dan tekstil.

Alasan yang mengemuka di media, banyak pabrik pindah karena upah minimum di daerah sebelumnya terlalu tinggi. Dengan kata lain, agar terus dapat menghasilkan profit semaksimal mungkin, pemodal memanfaatkan kesenjangan upah antarwilayah. Selain itu, Jateng juga dipilih karena adanya fasilitas lain dari negara, yaitu berbagai kawasan industri beserta infrastruktur pendukungnya. Hingga Juli 2024, Jateng memiliki delapan kawasan industri.

Apa hanya itu? Tidak. Berbagai regulasi lain dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melayani pemodal. Misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng 2024-2044 Pasal 44 melegitimasi alih fungsi lahan sampai 53.530 hektare di berbagai daerah untuk menjadi kawasan industri. Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2023 bahkan mencantumkan visi “Menjadikan Jawa Tengah Ladang Investasi 2025”. Di dalam tersebut terdapat berbagai promosi untuk pemodal seperti: 1) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; 2) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; 3) pemberian dana stimulan; dan/atau 4) pemberian bantuan modal. Dua regulasi ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan. Dalam peraturan tersebut diatur perluasan kawasan industri di beberapa daerah Jateng: Kedungsepur yang terdiri dari Kendal, Kota Semarang, Semarang, Kota Salatiga, Demak, dan Grobogan; Purwomanggung yang terdiri dari Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang, dan Temanggung; serta Bregasmalang yang terdiri dari Brebes, Kota Tegal, Tegal, dan Pemalang.

Pemerintah mempromosikan kawasan industri di Jateng dengan menonjolkan konektivitas infrastruktur (Arifin, 2023) seperti dengan jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Soal perizinan pun dipangkas melalui sistem pelayanan satu atap. Kemudian para kepala daerah disiapkan untuk punya satu visi dalam melayani investasi.

Sampai sini, tampak tiga faktor yang kerap digunakan untuk mempromosikan kawasan industri di Jateng, yaitu upah “kompetitif” (baca: murah), aksesibilitas, dan ketersediaan pasokan buruh. Bahkan untuk faktor terakhir pemerintah menarasikan bahwa buruh di Jateng itu loyal dan ramah terhadap pemilik perusahaan, ditandai dengan minimnya aktivis perburuhan atau serikat buruh yang berkonfrontasi dengan perusahaan yang melanggar hak normatif. Semua narasi yang dibangun diarahkan untuk menciptakan citra bahwa Jateng itu ramah investasi.


Alih Fungsi Lahan dan Krisis Ekologi

Alih fungsi lahan untuk kawasan industri di Jateng memicu krisis ekologi yang tidak saja berdampak pada perubahan bentang alam, tapi juga menjadi persoalan struktural. Contoh kasusnya terjadi di Semarang. Tanah berbukit yang masih rindang dengan hutan belantara diubah menjadi kawasan industri Bukit Semarang Baru (BSB). Akibatnya bisa ditebak, daerah tersebut menjadi kerap diterjang banjir (Batubara, 2021). Perkara banjir tentu saja memicu masalah-masalah lain termasuk kesehatan.

Di hulu, alih fungsi lahan untuk industri juga meminggirkan warga lokal pemilik tanah. Mereka dipaksa menjual tanahnya kepada pengembang. Sementara di hilir, alih fungsi semakin memiskinkan para petani tambak.

Negara juga abai melihat dampak krisis lingkungan terhadap buruh. Di kawasan industri Lamicitra Nusantara, banyak perusahaan meliburkan buruh karena pabrik terendam air rob. Jika terjadi banjir, aktivitas produksi memang lumpuh total. Tapi perusahaan tidak mau rugi. Apa yang mereka lakukan adalah memotong upah buruh atau buruh dipaksa mengambil cuti tahunan. Situasi ini terjadi di sepanjang kawasan industri di Pantai Utara (Pantura) Jateng.

Setiap musim penghujan, daerah Pantura memang langganan banjir karena permukaan tanah menurun serta masifnya pembangunan kawasan-kawasan industri di sepanjang bibir pantai. Beberapa media melaporkan ketinggian banjir bisa mencapai hingga dua meter. Berikut peta kerentanan banjir Pantura Semarang-Demak:

Dalam proses industrialisasi, sepaket dengan infrastruktur adalah ketersediaan lahan, baik untuk permukiman para buruh maupun tempat produksi. Pembangunan sepuluh tahun terakhir telah mengubah struktur ruang sehingga menciptakan kerentanan terhadap banjir. Dengan kalimat sederhana, banjir disebabkan karena hancurnya daerah tangkapan air oleh masifnya alih fungsi lahan untuk Industri.


Meraup Untung di Tengah Kerusakan Ekologi

Selain Lamicitra, Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) yang terletak di Kecamatan Mangkang, Semarang Barat, juga menjadi langganan banjir. Jika banjir datang, perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut merumahkan pekerjanya tanpa upah. Bahkan banjir kerap dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melakukan pemecatan massal. Sialnya lagi, pemecatan kerap tidak dibarengi dengan pemberian pesangon. Banyak perusahaan memaksa buruh yang dipecat sekadar menerima uang tali asih. Uang tali asih adalah uang yang diberikan perusahaan kepada buruh ketika tidak ada lagi hubungan kerja. Nominalnya suka-suka perusahaan, tidak memperhitungkan berapa lama buruh sudah bekerja.

PT Lucky Textile adalah salah satu yang mempraktikkan uang tali asih. Pada 2023 lalu mereka merelokasi pabrik yang berujung pada pemecatan massal. Relokasi dilakukan karena banjir rob sampai menenggelamkan kawasan industri Lamicitra. Mereka menawarkan para buruh ke tempat baru di Kabupaten Demak, namun dengan upah yang disesuaikan. Upah minimum Kabupaten Demak sebesar Rp2.761.236, lebih sedikit dari Kota Semarang yang sebanyak Rp3.243.969. Karena perbedaan upah cukup besar dan pertimbangan harus pindah tempat tinggal atau menempuh perjalanan yang jauh untuk ke pabrik, ada yang akhirnya menolak. Mereka yang tidak ikut hanya mendapatkan uang tali asih.

Kasus serupa juga terjadi di perusahaan asal Korea Selatan yang berdiri pada 2006, PT Victory Apparel Semarang. Dalih perusahaan adalah banjir menyebabkan produksi tidak berjalan dan rugi. Sebanyak 50 buruh yang rata-rata masa kerjanya 2-3 tahun di-PHK. Mereka hanya menerima uang tali asih sebesar satu bulan upah, padahal hubungan kerjanya adalah pekerja tetap (PKWTT).

Selama banjir rob, keselamatan buruh dipertaruhkan dan mereka sendirilah yang menanggung akibatnya. Momen banjir rob 2022 lalu contohnya. Serikat menyebut sekitar 15.000-an buruh terdampak banjir rob, dengan satu pabrik rata-rata memiliki 1.500 buruh. Perusahaan-perusahaan yang terkena dampak dijamin Pemerintah Kota Semarang berupa asuransi atau biaya pemulihan/ganti kerugian, tapi di sisi lain aset yang dimiliki buruh seperti sepeda motor tidak ditanggung sama sekali baik oleh perusahaan atau pemerintah. Perusahaan akan berdalih bahwa banjir rob juga merugikan mereka secara material sehingga mengelak kewajiban.

Surutnya banjir juga tidak begitu saja menyelesaikan persoalan. Setelah banjir, kondisi jalan masuk kawasan industri akan sangat parah. Licin. Banyak buruh yang tergelincir. Sudah banyak yang mengeluhkan kondisi di Lamicitra ini, namun pengelolah kawasan industri mengabaikan keluhan.

Berikut daftar perusahaan di kawasan industri Lamicitra yang merumahkan buruh pada saat banjir rob 2021-2023:

Berikut dampak yang ditanggung buruh kawasan industri Lamicitra hasil wawancara langsung:

Dinas Tenaga Kerja Tidak Berguna

Dinas tenaga kerja tumpul. Jika ada buruh melaporkan pelanggaran, alih-alih menjatuhkan sanksi tegas, mereka malah menjadi seperti humas perusahaan. Dinas tidak bisa menjalankan tugas sebagai pengawas. Hal ini dilihat dari pembiaran adanya PHK massal terhadap ribuan buruh. Lebih dari itu, kompensasi sepenuhnya diserahkan kepada “kesepakatan” antara pengusaha dan buruh yang posisinya tidak pernah seimbang. Dalam kondisi yang rentan, tentu banyak buruh menerima PHK tanpa kompensasi atau sekadar uang tali asih yang nominalnya sangat sedikit.

Dinas juga justru menerangkan bahwa masih banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan baru serta masih ada pula perusahaan melakukan relokasi ke Jateng. Pernyataan ini coba menghilangkan jejak pertanggungjawaban kepada publik soal pengendalian gelombang PHK massal yang terjadi.

Hal lain yang menunjukkan betapa dinas tidak berguna adalah kasus di PT Grand Best Indonesia (PT GBI). Karena terdampak banjir, mereka hanya memberikan pembayaran upah selama seminggu. Selebihnya tidak ada kompensasi sama sekali bagi para buruh. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) lalu meminta PT GBI memenuhi hak-hak buruh selama dirumahkan. Namun permintaan itu diabaikan. Serikat kemudian mengadu ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Semarang. Alih-alih mendapatkan jaminan serta melakukan pemantauan atau memeriksa perusahaan, dinas malah cenderung tidak peduli. PT GBI berdalih mengalami kerugian seperti produksi tidak berjalan, ekspor terhenti, dan lain-lain. Perusahaan tidak bisa membuktikan klaim merugi.

Ketika banjir terjadi, pemerintah hanya fokus memperbaiki tanggul yang jebol dengan menguras air di kawasan industri dengan pompa. Apa yang dialami buruh ditanggung mereka sendiri, selain bantuan seadanya dari sesama buruh lain yang bersolidaritas.

Jumaris, bukan nama asli, adalah salah satu buruh yang merasakan langsung betapa tidak ada gunanya dinas. Dia pernah bekerja di PT Bogowonto Primalaras, perusahaan furnitur yang terletak di Wijayakusuma (KIW).

Perusahaan ini memaksa buruh untuk tetap bekerja meskipun dalam kondisi banjir yang airnya bisa setinggi lutut orang dewasa. Upah para buruh dipotong jika tidak masuk. Beberapa buruh mencoba berkomunikasi ke HRD karena tidak bisa masuk sebab kebanjiran. Tapi perusahaan tetap memaksa dengan ancaman PHK. Perusahaan ini mempekerjakan buruh dengan status PKWT dan PKWTT tanpa salinan perjanjian kerja (hanya lisan). Total buruh yang dipekerjakan sebanyak 300-an.

Dengan alasan banjir, perusahaan dengan mudah melakukan PHK sepihak. Mereka juga tidak memberikan hak-hak buruh selama dirumahkan. Total buruh yang kemudian menerima surat PHK sebelum Lebaran 2024 mencapai 72. Salah satunya adalah Jumaris yang sudah bekerja 7 tahun dengan status pekerja kontrak.

Jumaris dan teman-temannya yang bekerja di bagian gudang kemudian melapor ke Disnaker Kota Semarang. Pada saat mediasi, perusahaan berdalih tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar THR dan terpaksa memutus hubungan kerja. Perusahaan hanya memberikan keterangan secara lisan bahwa mereka akan memberikan THR sebesar 30 persen bagi pekerja kontrak dan 100 persen bagi pekerja tetap. Namun itu pun belum jelas kapan. “Kontrak kerja kami sudah selesai. Untuk THR perusahaan mencoba berusaha, tetapi perusahaan tidak bisa menjanjikan apakah diberi atau tidak. Walaupun THR ada tetapi tidak full, berapa persennya perusahaan belum menentukan,” kata Jumaris.  “Akan diusahakan nanti di bulan Januari 2024. Pihak perusahaan tidak wajib memberikan THR sebelum hari Lebaran,” demikian ucap manajemen saat mediasi.

Tidak berhenti di situ, Jumaris dan teman-temannya pun kesulitan mengklaim Jaminan Hari Tua (JHT) karena status mereka telah dinonaktifkan oleh perusahaan sebelum di-PHK.

Maka demikianlah perbincangan sehari-hari buruh Pantura yang terdampak banjir rob: tentang ancaman banjir, ancaman efisiensi, ancaman PHK, dan ancaman-ancaman lain.

Nasib serupa dialami Sugi, juga bukan nama asli. Sejak 2010 sampai 2023 dia bekerja di PT Wijaya Mandiri Pratama di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak sebagai pegawai tetap. Dia awalnya ditempatkan sebagai operator mesin lewat secara lisan (tanpa perjanjian tertulis). Kemudian, pada suatu hari, Sugi dimutasi ke bagian serbuk kayu (mengolah limbah furnitur). Dia mulai di divisi baru pada November 2023.

Selama bekerja di divisi baru, Sugi digaji Rp100 ribu per hari, dibayarkan tiap dua pekan sekali. Pendapatan maksimalnya sebulan hanya Rp2,6 juta—Rp3 juta kalau lembur. Angka ini lebih rendah dibanding yang dia dapat di divisi lama. Selain itu pekerjaan barunya juga lebih berisiko karena setiap hari dia terpapar serbuk/debu sisa furnitur. Perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri. Sugi protes. Perusahaan malah merespons dengan meminta Sugi mengundurkan diri. Perusahaan berjanji memberinya uang tali asih dan uang jasa. Namun sampai saat ini janji itu masih sekadar janji. Dia belum mendapatkan kabar sama sekali dari perusahaan.

Dengan motif menagih janji, Sugi kemudian melaporkan kronologi ke dinas tenaga kerja. Dia kemudian hanya diberikan sepucuk surat draf bipartit oleh bagian pelayanan tanpa mendapatkan penjelasan yang melegakan perasaan. Selang beberapa hari kemudian surat tersebut ia ajukan ke PT Wijaya Mandiri Pratama melalui HRD dan personalia. Saat itu dia mendapatkan kabar bahwa uang kompensasi masih diproses.

Saat ini Sugi telah di-PHK, tapi surat PHK-nya tidak ada. “Saya enggak minta banyak, semau perusahaan mau ngasih berapa saya terima, daripada ini satu rupiah pun tidak pernah diberikan. Uang tersebut saya mau pakai kebutuhan keluarga pada bulan Ramadan ini dan keperluan belanja kebutuhan menjelang Idulfitri,” kata Sugi.

Sugi sudah berupaya berkonsultasi ke salah satu perwakilan serikat yang lumayan tenar di Kabupaten Demak, namun tak kunjung mendapat kabar. Nomornya pun diblokir oleh HRD. Beberapa kali ia berupaya menelepon dan mendatangi perusahaan namun tidak direspons. Kejadiannya selalu terulang. Pada saat menagih ke perusahaan, HRD meminta salinan surat keputusan (SK) kerja, padahal perusahaan tidak pernah memberikannya. “Meskipun saat ini saya bekerja di perusahaan lain, tempat kerja baru, namun belum ada kepastian terkait THR, padahal sudah bekerja hampir 2 tahun,” pungkas Sugi.


Pabrik Baru, Rasa Penindasan Lama

Pada Oktober 2024, keluar pernyataan mengejutkan dari ketua Apindo Jateng. Dia menyatakan bahwa Kota Semarang dan Kabupaten Demak mulai ditinggalkan investor. Mereka pindah karena beberapa alasan, katanya, mulai dari banjir rob terlampau sering, harga tanah mahal, sampai upah minimum yang terlalu tinggi. Para investor kemudian relokasi ke Brebes, Tegal, Pati, Jepara hingga Grobogan. Jejak yang mereka tinggalkan setelah relokasi tidak lain adalah kerusakan lingkungan. Perusahaan membiarkannya begitu saja, begitu juga pemerintah yang mengukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja.

Selain itu, perusahaan juga meninggalkan kawasan industri semarang dengan melakukan PHK tanpa pesangon, memaksa para buruh menerima uang tali asih saja, juga langkah-langkah lain yang bertentangan dengan aturan hukum. Banyak perusahaan tidak berunding dulu dengan serikat ketika proses relokasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menemukan perusahaan melakukan PHK secara bertahap, dengan dalih kondisi sedang merugi (tidak ada pesanan).

Di tempat baru pun situasi tidak membaik bagi buruh. Contohnya yang terjadi di  PT Lucky Textile di Kabupaten Demak (LTS 3 Demak). Perusahaan yang berdiri pada 2021 dan beroperasi setahun kemudian ini adalah perluasan dari PT Lucky Textile Kota Semarang. Salah satu yang bekerja di sana adalah Nur. Ketika rumahnya terdampak banjir, begitu juga 6 kilometer jalan menuju perusahaan sepanjang Jalan Pantura Demak, perusahaan memintanya mengambil cuti tahunan dengan bukti surat keterangan dari RT/RW setempat. Hal ini dialami ratusan buruh lain. Perusahaan akan memotong upah buruh jika tidak menunjukkan surat keterangan RT/RW.

Pelanggaran lain yang dilakukan PT Lucky Textile adalah mereka melakukan demosi terhadap 350 buruh. Mereka diberikan surat peringatan (satu dan dua) dan diancam di-PHK. Para buruh bahkan mendapat surat peringatan satu hanya karena terlambat lima menit. HRD pun kerap membuat aturan sendiri di luar peraturan perusahaan.

Cerita lain dialami buruh PT RCL Travelware Indonesia, perusahaan yang memproduksi koper, beralamat Kabupaten Demak. Ratna, bukan nama asli, bekerja sebagai operator di sana dengan status kontrak sejak 19 November 2023, lalu masa kerja diperpanjang selama 4 bulan hingga 27 Maret 2024. Pada Februari 2024, daerah Karanganyar Demak kebanjiran. Aktivitas Jalan Pantura lumpuh. Bukan hanya Ratna, kawan-kawannya juga terdampak. Seorang buruh kemudian meminta HRD “dispensasi” terhadap karyawan terdampak. Namun HRD malah menjawab bahwa buruh “boleh izin tanpa upah.” Dia juga mengatakan “perusahaan butuh karyawan yang niat bekerja. Jika dirasa tidak niat kerja, silakan resign.”

Perusahaan kemudian mengeluarkan surat pengumuman libur selama dua hari (12-13 Februari), namun buruh tidak mendapatkan gaji penuh. Dengan kata lain, terjadi pemotongan upah. Cerita lain dari kawan Ratna, di bagian supervisor, tidak masuk kerja sehari karena terdampak banjir dan upahnya dipotong sampai Rp500 ribu. Setelah masuk, mereka dipaksa lembur selama dua sampai tiga jam. “Banyak teman-teman yang dikena SP karena tidak ikut lembur,” kata Ratna.

Perusahaan pun sering telat memberikan slip gaji. “Rincian slip gaji tersebut membuat saya dan rekan-rekan kerja kaget karena potongannya banyak sekali. Hal tersebut mengundang reaksi dari saya dan rekan-rekan kerja, mengeluhkan pemotongan upah karena pemotongan tersebut tanpa dasar dan alasan yang jelas,” kata Ratna.

Ratna dan kawan-kawannya mengeluh di grup Whatsapp soal semua ini. Obrolan pun melebar. Ratna dan teman-temanya juga mengeluhkan jangka waktu kontrak mereka yang sangat pendek—satu sampai tiga bulan saja. Ratna dan teman-temanya kemudian berpikir untuk membentuk serikat dan ingin melaporkan tindakan perusahaan sebab mereka menyalahi aturan yang berlaku.

Pada 26 Maret 2024, Ratna tiba-tiba dipanggil HRD. “Akhirnya saya diberi surat PHK dari perusahaan tanpa alasan yang jelas,” cerita Ratna. Menurutnya pada saat pertemuan tersebut HRD sempat menyinggung pembicaraan Ratna dan kawan-kawannya di grup Whatsapp. “Saya baca semua percakapan di grup ‘line 12-softcase’… Mbak Ratna bisa mencari perusahaan yang dirasa lebih baik,” kata HRD sepenuturan Ratna. Pada hari itu juga dia di-PHK. Tidak ada surat peringatan sama sekali. Ratna yang tidak sepakat kemudian mengirimkan surat penolakan PHK sepihak tertanggal 28 Maret, namun surat tersebut tidak diterima oleh HRD dan dia pun menolak menandatangani tanda terima surat tersebut.

Setelah Ratna di-PHK, dia mendapat kabar dari kawan-kawannya di line yang sama bahwa HRD menyuruh mereka tidak lagi membicarakan apa pun di luar pekerjaan di grup Whatsapp. Ini termasuk membentuk serikat dan menuntut hak.


Penutup

Ada tiga poin yang dapat merangkum artikel ini. Pertama, negara menyediakan regulasi pro-pemodal dengan mempercepat kawasan industri, yang dampaknya adalah kerusakan lingkungan di sepanjang Pantura.Kedua, karena pro-pemodal, pemerintah pun mengabaikan eksploitasi perusahaan terhadap buruh. Ketiga adalah pelanggaran perusahaan itu sendiri. Dari mulai memaksa buruh bekerja walaupun banjir, memotong upah mereka, sampai menjadikan banjir rob sebagai alasan melakukan PHK massal atau mengganti status buruh dari tetap ke harian.

Pemerataan sering menjadi alasan pemerintah ketika “membangun” suatu daerah. Namun, dalam kasus ini, itu hanya berujung pada kerusakan.


Muhammad Safali adalah advokat publik divisi buruh LBH Semarang

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.