#KaburAjaDulu: Kita Memang Disingkirkan Perlahan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


TAGAR #KaburAjaDulu makin sering muncul di lini masa media sosial. Sekilas ini tampak seperti ekspresi kekesalan anak muda terhadap karut-marut ekonomi dan politik dalam negeri. Namun, seiring waktu, ini bukan lagi sekadar keluhan. #KaburAjaDulu menjelma menjadi semacam gerakan kolektif: seruan terbuka untuk lekas angkat kaki. Lihat saja apa yang dibicarakan. Dalam satu utas, ada yang membagikan tutorial lengkap cara mengurus visa kerja ke Australia, Kanada, atau Singapura. Lantas ada yang dengan semangat berbagi tips keuangan agar bisa menabung cukup untuk modal pindah, dan ada pula yang merinci jalur beasiswa sebagai pintu masuk menuju kehidupan baru. #KaburAjaDulu berubah menjadi panduan langkah demi langkah untuk pindah.

Narasi yang kerap muncul di publik adalah mereka yang memutuskan #KaburAjaDulu merupakan orang-orang terdidik atau kelas menengah terampil. Namun itu tak sepenuhnya benar, bahkan dapat menutupi realitas yang lebih suram. Menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mayoritas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sampai awal 2025 berasal dari sektor informal seperti rumah tangga, perkebunan, dan manufaktur. Mereka memiliki pendidikan terbatas dan di tempat tujuan pun diupah murah. Faktanya ratusan ribu TKI berbondong-bondong ke luar setiap tahun dengan modal keberanian, keputusasaan, dan tak jarang meninggalkan utang di kampung halaman. Jadi, ada apa di balik fenomena ini?

Pindah ke luar negeri bukan sekadar persoalan individu yang mencari kehidupan lebih baik. Ini adalah konsekuensi dari proyek ekonomi-politik yang menutup akses kesejahteraan untuk rakyat kecil. Ketika tanah semakin dikuasai oleh segelintir elite dan korporasi, ketika industrialisasi gagal menciptakan lapangan kerja yang bermartabat, dan ketika negara lebih sibuk mengundang investor ketimbang melindungi tenaga kerjanya sendiri, maka rakyat hanya punya satu pilihan: pergi. Pergi dari desa yang semakin tak mampu menghidupi; pergi dari kota yang menelantarkan; dan pergi dari negeri yang tak lagi memberi harapan.


Kegagalan Reforma Agraria dan Gelombang Urbanisasi

Migrasi tenaga kerja, baik dalam bentuk urbanisasi maupun migrasi internasional, adalah akibat dari kapitalisme yang selalu akan menghancurkan akses rakyat terhadap alat produksi terutama tanah. Maka, untuk dapat melihat fenomena ini secara lebih utuh, kita harus menyelisik persoalan agraria.

Lewat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, pemerintah Sukarno berupaya menghapus ketimpangan kepemilikan tanah/lahan sekaligus menghapus sistem feodalisme warisan kolonial. Lahan-lahan saat itu dikuasai oleh tuan tanah besar dan bekas perusahaan kolonial, sementara petani kecil (peasant) sekadar menjadi penggarap. Namun dalam pelaksanaannya reforma agraria tak berjalan semulus yang dibayangkan. Pihak yang seharusnya menjadi pelaksana kebijakan—panitia reforma agraria yang terdiri dari bupati, camat, hingga lurah—justru lebih sering berdiri di pihak tuan tanah daripada petani miskin (Achdian, 2008). 

Mereka yang ditugaskan untuk membagikan tanah justru menjadi perpanjangan tangan para pemilik tanah. Ada kesepakatan yang dibuat diam-diam agar lahan milik para tuan tanah tidak diredistribusi. Antara klaim pemerintah dan keadaan di lapangan tidak sesuai. Menteri agraria saat itu, Sadjarwo, mengatakan bahwa hingga akhir 1964 ada sekitar 450 ribu hektare tanah telah didistribusikan di Jawa Timur. Namun Partai Komunis Indonesia (PKI) mengatakan hanya 18 ribu hektare yang benar-benar dibagikan. 

Bahkan cita-cita kepemilikan lahan yang lebih adil benar-benar pupus setelah peristiwa G30S meletus. Orde Baru tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk reforma agraria sejak 1971 (Lucas, 1992). Alih-alih melanjutkan agenda pemerataan, Orde Baru justru memfasilitasi kembali perampasan tanah atas nama pembangunan. Negara menggunakan dalih “kepentingan umum” untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Dalam praktiknya, penggusuran banyak dilakukan untuk kepentingan industri dan investasi asing. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan atas UU 1/67, yang membuka keran untuk proyek besar seperti kawasan industri, bendungan, dan properti, sering kali mengorbankan masyarakat yang menggantungkan hidup pada lahan pertanian.  

Ketika para petani dan masyarakat yang subsisten terlempar dari tanah, mereka hanya punya dua pilihan: bertahan dengan bekerja serabutan di sektor informal seperti menjadi tukang bangunan, buruh tani musiman, atau berdagang kecil-kecilan, atau; meninggalkan kampung halaman dan mencari penghidupan baru di kota.

Banyak yang kemudian memilih opsi kedua. Urbanisasi pun tak terhindarkan. Banyak migran berharap terserap ke dalam industri manufaktur, bekerja di pabrik yang menjanjikan upah minimum dan tunjangan sosial. Namun krisis moneter 1998 membuat industrialisasi stagnan. Kapital asing yang semula menanam modal di sektor manufaktur mulai hengkang, memilih sektor lain yang lebih menguntungkan dan minim risiko. Akibatnya, industri yang diharapkan menjadi solusi bagi limpahan tenaga kerja justru gagal menyerap sebagian besar migran desa maupun orang kota itu sendiri (Habibi, 2021).

Di negara kapitalis maju, petani yang kehilangan tanahnya masih bisa terserap sektor formal sebab industri berkembang berkat eksploitasi kolonial terhadap negara dunia ketiga. Tetapi di negara dunia ketiga, mereka yang tak berhasil masuk ke sektor formal akhirnya terjebak dalam ekonomi informal. Menjadi pedagang kaki lima, pekerja harian, atau buruh serabutan tanpa kepastian pendapatan. Dalam beberapa kasus, industri juga mengandalkan sistem subkontrak dengan memindahkan produksi ke rumah tangga sehingga semakin mengaburkan batas antara pekerjaan formal dan informal. 

Lebih dari rentan, mereka yang tidak terserap ke sektor formal adalah surplus populasi relatif. Mereka adalah cadangan tenaga kerja yang siap dieksploitasi kapan saja. Keberadaan mereka memberi industri keleluasaan untuk menekan upah. Buruh formal bisa dipecat kapan saja sebab di luar dinding pabrik sana ada banyak yang siap menjadi pengganti dengan bayaran berapa saja. Akhirnya ketidakpastian kerja menjadi norma.

Apa ada pilihan lain? Luar negeri. Tapi itu pun dengan segala kekurangannya. Tetap saja sedikit dari TKI masuk ke sektor formal. Umumnya mereka bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, buruh konstruksi, dan pekerja perkebunan (Habibi, 2017). Mereka yang berangkat menjadi TKI bukan karena ambisi, tetapi keterpaksaan untuk bertahan hidup dalam sistem yang terus mereproduksi ketimpangan.


Dinamika TKI Zaman Orde Baru – Pasca Reformasi

Sebelum Orde Baru mengembangkan kebijakan ekspor tenaga kerja ke luar negeri, strategi awal yang diambil untuk mengatasi pengangguran dan kepadatan penduduk adalah transmigrasi antarpulau. Melalui UU Nomor 3 Tahun 1972 tentang Transmigrasi, pemerintah secara sistematis memindahkan penduduk dari Jawa, Bali, dan Lombok ke wilayah-wilayah yang dianggap kurang padat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Program ini diklaim sebagai upaya untuk membuka lahan pertanian baru dan meningkatkan kesejahteraan para transmigran. Namun, dalam praktiknya, banyak wilayah tujuan yang tanahnya tidak subur, minim infrastruktur, dan sering kali merupakan tanah adat yang telah lama dikelola oleh masyarakat lokal. Akibatnya, konflik agraria antara transmigran dan penduduk asli kerap terjadi (Bachriadi dan Wiradi, 2011).

Kegagalan transmigrasi sebagai solusi ketenagakerjaan inilah yang kemudian mendorong rezim Orde Baru untuk mencari alternatif lain, yaitu mendorong migrasi tenaga kerja ke luar negeri.​ Gelombang buruh migran mulai dikirim ke Arab Saudi, Malaysia, hingga negara-negara Asia lain dengan janji pekerjaan yang lebih baik. Namun, mereka yang pergi menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan. Di Arab Saudi, banyak pekerja rumah tangga hidup dalam isolasi, terkurung di rumah majikan tanpa kepastian gaji dan perlindungan hukum. Beberapa mengalami kekerasan fisik dan bahkan seksual, sementara yang lain diperlakukan seperti budak, bekerja nyaris tanpa istirahat. Tidak sedikit pula yang dibunuh dan dipancung tanpa proses hukum yang adil (Hidayah, Susilo, dan Mulyadi, 2015).

Meskipun telah mengirim tenaga kerja ke luar negeri sejak tahun 1970-an, landasan hukum dalam bentuk undang-undang baru ditetapkan pada era Presiden Megawati Sukarnoputri, yaitu lewat UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun undang-undang ini tetap gagal mengatasi permasalahan utama yang dihadapi buruh migran, terutama terkait perlindungan mereka di negara tujuan.

TKI berkontribusi pada perekonomian nasional melalui remitansi (uang dari luar negeri). Setiap tahun, jutaan dolar mengalir dari kantong para buruh migran ke Indonesia, menopang keluarga di kampung halaman sekaligus menjadi salah satu sumber devisa negara. Di balik peran besar mereka dalam menopang ekonomi, para pekerja migran justru dibiarkan rapuh tanpa payung hukum yang kuat. Catatan Migrant Care menunjukkan bahwa undang-undang tidak bertaji  dengan bukti meningkatnya kekerasan fisik, seksual, hingga kematian buruh migran hingga Desember 2014.


Eksodus, Nasionalisme, dan Kebijakan: Sebuah Refleksi

Tagar #KaburAjaDulu muncul sejak September 2023 atau saat era pemerintahan Joko Widodo. Kemudian kembali ramai di awal 2025, di era Prabowo Subianto, ketika muncul berita tentang pemagaran laut di Tangerang. Tagar #KaburAjaDulu adalah ekspresi dan letupan kemarahan yang telah lama terpendam. Ia lahir dari kelelahan kolektif rakyat yang terus-menerus diimpit kebijakan ekonomi-politik yang tidak berpihak pada mereka. Bukan sekali dua kali ketidakadilan terjadi, tetapi berkali-kali, dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Pada masa pemerintahan Jokowi, banyak kebijakan jelas menunjukkan keberpihakan terhadap oligarki dan menindas rakyat. Politik dinasti semakin mengakar, bukan hanya dengan majunya Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden melalui putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi juga dengan maraknya pembagian jabatan strategis kepada keluarga dan kroni politik istana. Belum lagi ketergantungan terhadap utang yang semakin dalam, terutama kepada Cina, demi proyek ambisius seperti ibu kota baru. 

Pada sektor hak asasi manusia (HAM), pendekatan militeristik terus diterapkan di Papua, memperparah ketegangan dan pelanggaran. Janji Jokowi untuk menuntaskan kasus Kanjuruhan dan Kamisan pun nihil hasil. 

Pada sektor agraria dan ekologi, konflik tak bisa dibilang sedikit. Dari mulai Wadas, Rempang, Dago Elos, Seruyan, dan beberapa daerah lain. Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti geotermal malah mengancam nelayan, petani, hingga masyarakat adat. Belum lagi hlirisasi nikel yang memperparah kerusakan ekologi di beberapa daerah seperti Morowali sampai Maluku.

Di era Prabowo, menurut Kontras, pemerintah sudah memicu kekecewaan luas karena berbagai hal selama 100 hari menjabat. Dari mulai kekerasan aparat di Rempang, tidak jelasnya posisi Indonesia dalam isu hukuman mati WNI di luar negeri, hingga serangan terhadap pembela HAM. Ditambah lagi permasalahan tentang korupsi Pertamina hingga gelombang PHK. 

Dalam situasi seperti ini, eksodus tidak bisa disebut sebagai bentuk kepasrahan, apalagi, seperti kata para elite, bentuk ketidakcintaan terhadap tanah air. Ini adalah strategi bertahan dalam sistem yang telah gagal menjamin reproduksi kehidupan. Namun, pindah luar negeri tidak boleh berujung pada apatisme politik. Mereka yang menjadi diaspora masih dapat melawan dengan membangun solidaritas internasional, mendukung gerakan di tanah air, serta melakukan remitansi dan pemberdayaan akses yang dimiliki untuk memperkuat perjuangan yang terus berlangsung. Kapitalisme bersifat global, maka perlawanan pun harus lintas batas.

Sementara bagi mereka yang bertahan baik karena memilih untuk itu atau karena memang tidak ada opsi lain, satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan adalah dengan terus melawan. Tinggal bukan berarti menyerah pada keadaan, tetapi memastikan bahwa ruang perjuangan tetap ada, bahwa perlawanan terhadap dominasi kelas kapitalis tetap terorganisir. Hak atas tanah, kerja, dan kebebasan, harus terus diupayakan. Kita tidak boleh membiarkan para koruptor, oligark, dan aparatus represif hidup damai. Kita tidak boleh membiarkan mereka terus mengonsolidasikan kekuasaan, menjarah sumber daya tanpa hambatan, dan memperdalam eksploitasi.

Baik pergi maupun bertahan, keduanya tidak boleh ditempatkan sekadar pilihan individu, melainkan bagian dari dialektika perjuangan kelas yang lebih luas. Sebab kapitalisme tidak mengenal batas negara, dan sebagaimana sejarah telah membuktikan: penindasan hanya bisa dihancurkan dengan perlawanan yang terorganisir.


Referensi

Achdian, Andi. Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Land Reform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960- 1965. Yogyakarta: Kekal Press, 2008.

Bachriadi, Dianto, dan Gunawan Wiradi. 6 Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC), 2011.

Habibi, Muchtar. “Laju Kapital dan Dinamika Kelas Ekonomi Informal Perkotaan.” Prisma: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi 40 (2021): 19–21.

Habibie, Muchtar. “Populasi Terbuang, Informal Proletariat dalam Kuasa Negara Neoliberal.” mapcorner.wg.ugm.ac.id (blog), t.t. https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2017/03/populasi-terbuang-informal-proletariat-dalam-kuasa-negara-neoliberal/.

Hidayah, Anis, Wahyu Susilo, dan Mulyadi. Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Migran Indonesia. Jakarta: Migrant Care, 2015.

Lucas, Anton. “Land Disputes In Indonesia:  Some Current Perspective.” Southeast Asia Program Publications at Cornell University 53 (1992): 83–87.


Diky Kurniawan Arief, mahasiswa Aqidah Filsafat Islam Uinsa, demisioner LPM Forma Surabaya

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.