Ilustrasi: @illinoisstateu
SETELAH cukup lama hanya menjadi bahan studi segelintir akademisi, topik imperialisme kini kembali menjadi perbincangan luas dan mendalam, baik di lingkungan akademia, media massa/sosial, dan kalangan aktivis. Perkembangan pesat ekonomi Cina, krisis kapitalisme yang dipicu oleh krisis finansial pada 2008, struktur pembagian kerja internasional yang semakin timpang, kebangkitan kembali gerakan kanan-jauh, dan serangan Pandemi Covid-19 yang mematikan, serta perlawanan-perlawanan yang terjadi di Utara (Global North) maupun Selatan (Global South), menjadi alasan mengapa studi dan perbincangan tentang imperialisme dan neoliberalisme kembali bergairah.
Dalam semangat itulah Candaş Ayan dan Ulaş Taştekin berbincang dengan Intan Suwandi, asisten profesor sosiologi di Illinois State University, Amerika Serikat, dan penulis buku Value Chains: The New Economic Imperialism (Monthly Review Press, 2019).
Candaş Ayan & Ulaş Taştekin (CA & UT): Dalam bukunya yang berjudul Imperialism: From the Colonial Age to the Present yang ditulis pada 1978, Harry Magdoff, berdasarkan teori imperialisme Lenin, membuat perbedaan antara imperialisme lama (old imperialism) dan imperialisme baru (new imperialism). Magdoff berpendapat bahwa imperialisme lama, yang mengindikasikan proses penciptaan dan perampasan tenaga kerja secara langsung di daerah jajahan, telah digantikan oleh imperialisme baru, yang bergantung pada diferensiasi barang dan jasa yang dihasilkan di negara-negara inti (core) dan pinggiran (periphery) dengan menciptakan pembagian kerja internasional, sehingga menghasilkan “nilai lebih” (surplus value) atau “nilai tambah” (value-added) di negara-negara inti.
Sejalan dengan pandangan Magdoff, Anda juga menekankan bahwa nilai lebih ekonomi yang signifikan yang diciptakan di Selatan dimasukkan sebagai “nilai tambah” pada PDB Utara; namun hal ini seharusnya dipahami sebagai “nilai yang dirampas” melalui imperialisme akhir (late imperialism) itu sendiri. Mempertimbangkan bahwa sudah empat dekade berlalu dan banyak perubahan yang terjadi terkait kedua definisi tersebut, hubungan berkelanjutan apa yang bisa diklaim antara bentuk baru imperialisme saat ini dan bentuk lamanya? Dapatkah dikatakan bahwa hubungan imperialis seperti pembagian kerja global, triadisasi, trinitas yang tidak suci, yang termasuk dalam definisi imperialisme abad ke-20, telah berevolusi ke dalam bentuk yang berbeda?
Intan Suwandi (IS): Harry Magdoff melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terus berkembang sepanjang sejarah dan berakar pada logika kapitalisme. Dalam Imperialism: From the Colonial Age to the Present, ia dengan cermat dan cemerlang menjelaskan bagaimana karakteristik imperialisme berubah dalam kaitannya dengan hubungan kolonial antara negara-negara inti dan pinggiran. Penekanan pada pembagian kerja internasional terutama digunakan untuk menjelaskan karakteristik ekspansi Eropa setelah kebangkitan industri pasca-Revolusi Industri tahun 1870-an. Pada masa itu, koloni-koloni berfungsi terutama sebagai pemasok bahan mentah untuk industri yang sedang berkembang pesat di Eropa Barat, serta sebagai sumber bahan makanan yang dibutuhkan untuk populasi perkotaan yang terus berkembang yang terkait dengan industri-industri ini. Selain itu, koloni-koloni ini juga berfungsi sebagai pasar baru untuk komoditas yang diproduksi di Eropa. Bahkan setelah dekolonisasi, negara-negara inti (atau pusat-pusat metropolitan) tetap berusaha mempertahankan hubungan imperialis dengan daerah pinggiran untuk mengendalikan pasokan bahan baku dan semua peluang perdagangan dan investasi, baik melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung—sebuah aspek penting dari ketergantungan. Magdoff juga menyoroti kapitalisme monopoli dan kebangkitan perusahaan-perusahaan raksasa (multinasional) pada tahun 1960-an sebagai komponen penting dari karakteristik imperialisme yang terus berkembang.
Banyak proses yang serupa masih dapat ditemukan hingga saat ini. Contoh yang jelas adalah kasus imperialisme AS baru-baru ini di Amerika Latin, seperti yang terjadi di Bolivia. Perdagangan internasional dan lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, yang sebagian besar dikendalikan oleh Utara, terus memainkan peran penting dalam melanggengkan hubungan imperialis antara Selatan dan Utara.
Sebagai ilustrasi, kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) yang terkenal kejam masih diterapkan dan terus melanggengkan penghisapan utang bagi negara-negara Selatan, meskipun namanya telah diubah menjadi program “pengentasan kemiskinan/poverty reduction).” Program-program ini, antara lain, memaksa negara-negara untuk memprivatisasi sektor publik dan menerapkan langkah-langkah penghematan. Mereka dipaksa untuk memotong anggaran di sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan sehingga mereka dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk pembayaran utang. Akibat dari kebijakan semacam ini, populasi yang paling rentan menjadi yang paling menderita. Sumber daya dasar, seperti air bersih dan layanan kesehatan, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika akses terhadap barang dan jasa publik diserahkan kepada mekanisme pasar, maka ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin meningkat.
Lebih lanjut, ketika situasi seperti pandemi Covid-19 terjadi, Anda dapat melihat di mana letak prioritas dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam sambutannya pada pertemuan virtual para menteri keuangan G20 pada bulan Maret 2020, Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass, menekankan bahwa negara-negara, dalam upaya mereka untuk pulih dari dampak pandemi, perlu “mendukung sektor swasta dan melawan gangguan pasar keuangan.” Ia juga menekankan pentingnya “reformasi struktural.” Menurutnya, Bank Dunia akan bekerja sama dengan negara-negara yang “memiliki peraturan, subsidi, rezim perizinan, proteksi perdagangan yang berlebihan,” untuk memastikan bahwa mereka dapat “menumbuhkan pasar, pilihan, dan prospek pertumbuhan yang lebih cepat selama masa pemulihan.” Tentu saja, hal ini tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi. Apa yang dikemukakannya itu semuanya berkaitan dengan perluasan jangkauan globalisasi neoliberal, yang terutama menguntungkan negara-negara kaya, dan merugikan negara-negara miskin.
Namun, sejalan dengan pendekatan yang diusung oleh Magdoff, kita perlu mengakui bagaimana imperialisme telah berevolusi selama empat puluh tahun terakhir, dengan perubahan dalam ekonomi global yang sebagian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Perubahan-perubahan ini, termasuk pola-pola yang terkait dengan produksi global, seperti peningkatan arus investasi asing langsung ke Selatan dan, baru-baru ini, peningkatan kontrak-kontrak yang tidak terikat. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Utara (kebanyakan masih dalam Triad, dengan beberapa pengecualian di “negara-negara industri maju” di Asia Timur) terlibat dalam produksi yang dialihdayakan ke pemasok luar negeri, dan finansialisasi. Rantai komoditas global (global commodity chains) kini menjadi lebih kompleks, dengan setiap perusahaan multinasional memiliki ribuan, bahkan jutaan, pemasok di seluruh dunia. Dengan sebagian besar proses produksi terjadi di Selatan, menjadikan Selatan sebagai rumah bagi populasi tenaga kerja industri dunia yang besar dan terus bertambah.
Dengan perkembangan tersebut, pembagian kerja global telah mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, wilayah Selatan berfungsi sebagai pemasok bahan mentah, terutama dalam sektor industri ekstraktif atau pertanian, sementara area utama produksi bernilai tambah dan lapangan kerja yang terkait dengan manufaktur berada di wilayah Utara. Saat ini, meskipun beberapa pola pembagian kerja tradisional ini masih ada—terutama dalam konteks produk produk pertanian yang hanya dapat tumbuh di daerah beriklim sedang, seperti yang ditunjukkan oleh Utsa Patnaik dan Prabhat Patnaik dalam buku mereka A Theory of Imperialism—peran Selatan dalam lapangan kerja industri telah meningkat secara drastis.
Saat ini kita memiliki perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Utara seperti Apple atau Nike, yang produknya, termasuk komponen-komponen perantaranya, seluruhnya atau hampir seluruhnya diproduksi di Selatan. Bahkan perusahaan-perusahaan yang secara tradisional beroperasi melalui anak perusahaan mereka sendiri untuk produksi di luar negeri, seperti Volkswagen atau General Motors, kini telah mengalihdayakan produksi mereka melalui kontrak jarak jauh (arm’s length contracts), yang melibatkan jaringan produksi yang luas di banyak negara.
Di sinilah muncul konsep atau ide tentang “menangkap atau mengamankan nilai/capturing value”. Pemahaman neoklasik mengenai “nilai tambah”, yang mengaitkan “nilai tambah” (yaitu nilai surplus yang dihasilkan dalam produksi) dengan perusahaan-perusahaan di pusat ekonomi dunia, meskipun lapangan kerja dan produksi berlangsung di negara-negara Selatan, mencerminkan kontradiksi mendasar dari imperialisme akhir. Argumen mengenai penangkapan nilai ini telah diajukan sebelumnya oleh ekonom politik marxis John Smith, dalam bukunya Imperialism in the Twenty-First Century, dan juga dikaji dalam karya saya sendiri. Saat ini, produksi sebagian besar terjadi di Selatan, di mana tingkat eksploitasi lebih tinggi karena biaya tenaga kerja per unit yang rendah—ukuran yang memperhitungkan upah dan produktivitas tenaga kerja—di banyak negara di Selatan yang telah menjadi pusat produksi, terutama dalam hal perakitan. Nilai tenaga kerja yang dihasilkan oleh produksi “ditangkap” dan tidak terdaftar sebagai berasal dari Selatan, akibat asimetri dalam hubungan kekuasaan, di mana perusahaan-perusahaan multinasional oligopoli berperan sebagai saluran utama.
Intinya adalah, meskipun terjadi perubahan signifikan, kita harus ingat bahwa imperialisme telah menyertai perkembangan kapitalisme sejak awal. Ketika kita berbicara tentang imperialisme kapitalis—sebuah sistem ekonomi dunia yang hirarkis dan tidak setara, yang didominasi oleh oligopoli raksasa dan segelintir negara di inti imperialisme—imperialisme ini memiliki karakteristiknya sendiri. Seperti yang dijelaskan Magdoff, berbeda dengan moda produksi sebelumnya, seperti pada zaman kuno, di mana imperialisme adalah tentang ekspansi ke wilayah geografis lain dan penarikan upeti, imperialisme kapitalis dicirikan oleh proses di mana wilayah yang didominasi, yaitu Selatan, diubah, diadaptasi, dan dimanipulasi untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital di pusat.
Seperti yang saya jelaskan dalam buku Values Chains, meskipun hubungan pasar secara keseluruhan di negara berkembang juga mengalami transformasi, perubahan di tingkat perusahaan sering kali terjadi tanpa hubungan organik yang nyata, atau logika yang berasal dari negara berkembang, dan dapat dengan mudah dibongkar dan dihilangkan. Hal ini, kemudian, menciptakan ilusi pembangunan dan produksi yang maju di negara-negara ini, yang tetap berada dalam kondisi ketergantungan. Dengan produksi jarak jauh (arm’s length production), bahkan lebih dari investasi asing langsung tradisional, apa yang diproduksi hanyalah bagian dari mata rantai nilai global, di mana titik-titik produksi tertentu ditentukan dan dikendalikan secara digital dari luar negeri. Seluruh sistem produksi dirancang untuk menjadi sangat mobile dan dapat dengan cepat dipindahkan ke tempat lain jika biaya tenaga kerja meningkat secara signifikan. Hal ini secara garis besar menjelaskan karakteristik imperialis dari ekonomi dunia saat ini.
CA & UT: Internasionalisasi kapital bukanlah sebuah fenomena baru. Namun, seperti yang juga Anda kemukakan, gelombang baru globalisasi yang dimulai pada tahun 1970-an mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Apa saja aspek-aspek yang membedakan ini, atau bagaimana kita dapat membandingkan dan membedakan apa yang disebut sebagai periode neoliberal dengan masa lalu kapitalisme imperialis?
IS: Saya merasa telah menjawab sebagian besar pertanyaan yang diajukan sebelumnya di atas. Namun, perlu ditambahkan di sini bahwa produksi global yang saya bahas, yang dimulai pada tahun 1970-an di tengah stagnasi ekonomi, kemudian diiringi dengan runtuhnya Uni Soviet. Hal ini juga melibatkan integrasi tenaga kerja dari negara-negara bekas sosialis seperti Cina dan negara-negara yang sebelumnya proteksionis seperti India ke dalam ekonomi dunia. Proses ini menghasilkan perluasan tenaga kerja global dan tentara cadangannya di Selatan. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Farshad Araghi, de-petani-sasi (depeasantization) yang dipicu oleh penyebaran agribisnis yang masif di Selatan, sebagian dilakukan untuk membongkar “negara kesejahteraan agraria” yang berfungsi dalam 25 tahun pertama setelah Perang Dunia Kedua, sebagai upaya untuk melawan penyebaran gerakan sosialis dan nasionalis yang berbasis petani. Struktur baru ekonomi dunia ini kemudian mengarah pada fenomena yang dikenal dalam literatur bisnis sebagai arbitrase tenaga kerja global (global labour arbitrage), yang berarti menggantikan tenaga kerja berupah tinggi dengan tenaga kerja berupah rendah secara global.
Kapital melihat ini sebagai “taktik bertahan hidup yang mendesak (urgent survival tactic)” bagi perusahaan, di mana mereka berusaha menurunkan biaya produksi, sebagian untuk mengatasi ketidakmampuannya dalam melakukan pemotongan harga akibat kapitalisme monopoli. Namun pada intinya, ini adalah cara bagi kapital untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi. Fakta bahwa kapital dapat bergerak relatif lebih bebas dibandingkan dengan tenaga kerja (yang sebagian besar masih dibatasi oleh berbagai kebijakan, seperti kebijakan imigrasi) memungkinkan kapital untuk mengambil keuntungan dari perbedaan besar dalam biaya tenaga kerja secara global melalui proses, yang saya sebutkan sebelumnya, seperti investasi asing langsung dan kontrak jarak jauh.
Fenomena ini sebenarnya berakar pada ketimpangan hubungan kekuasaan antara kapital dan tenaga kerja serta di antara negara-bangsa yang sering kali tersembunyi. Teori-teori arus utama tentang rantai komoditas global justru menyoroti kompleksitas rantai tersebut untuk mendorong argumen desentralisasi kekuasaan. Para ahli teori dan akademisi ini berargumen bahwa karena rantai komoditas global melibatkan banyak pelaku di berbagai negara, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di puncak dan rantai tersebut, sebagian besar, tidak bersifat hierarkis. Perusahaan-perusahaan yang kurang kuat di negara-negara berkembang dapat mengalami “peningkatan” dan memperbaiki posisi mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan di negara-negara tersebut.
Gagasan tentang desentralisasi kekuasaan ini sering kali memperhitungkan jaringan yang lebih “digerakkan oleh pembeli”, yang dicirikan oleh kontrak-kontrak yang telah menjadi aspek penting dalam rantai komoditas global. Antara tahun 2010 hingga 2014, menurut Bank Dunia, tingkat pertumbuhan perdagangan jarak jauh (the growth rate of arm’s length trading) tumbuh pada tingkat 6,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang sebesar (4,4%). Selain itu, laporan UNCTAD mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 saja, perdagangan jarak jauh menghasilkan penjualan sebesar US$2 triliun.
Namun, kita perlu mempertanyakan argumen ini. Apakah benar bahwa jaringan produksi yang tersebar benar-benar mengarah pada desentralisasi kekuasaan? Ini adalah salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam penelitian saya sendiri. Sebagai langkah awal, pendekatan kritis dan radikal sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh ekonom Stephen Hymer, menunjukkan bahwa “perusahaan-perusahaan utama” dalam rantai komoditas global (dalam banyak kasus, ini berarti perusahaan multinasional) mengelola jaringan antar-perusahaan tersebut dalam struktur tata kelola yang berbeda-beda. Jauh dari mencerminkan desentralisasi kontrol atas produksi (dan valorisasi) seperti yang sering diasumsikan, jaringan “tersebar” yang terkait dengan moda produksi non-ekuitas baru pada akhirnya diatur oleh kantor pusat keuangan yang terpusat dari perusahaan-perusahaan raksasa yang mereka layani, yang mempertahankan monopoli atas teknologi informasi dan pasar serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari nilai tambah.
Studi kasus yang saya lakukan juga menunjukkan bahwa meskipun melalui kontrak jarak jauh, perusahaan multinasional masih dapat mengendalikan sebagian besar aktivitas dalam rantai pasok mereka, baik secara langsung melalui anak perusahaan mereka yang berada di negara yang sama dengan pemasok, maupun secara tidak langsung melalui berbagai prosedur birokrasi dan proses-proses yang terlibat dalam apa yang dikenal dengan “produksi fleksibel”. Intinya, perusahaan multinasional berusaha untuk mengeksternalisasi biaya dengan, misalnya, memberikan tanggung jawab kepada pemasok mereka untuk menangani skenario berisiko, seperti ketidakakuratan perkiraan yang disebabkan oleh fluktuasi permintaan pasar dan pengelolaan limbah.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, rantai komoditas global di masa neoliberal ini sering dipandang sebagai semacam sistem meritokrasi yang terlepas dari hubungan imperialis karena kompleksitasnya. Namun, setelah ditelaah lebih lanjut, pandangan ini tidaklah benar. Melalui rantai komoditas global saat ini dan cara kerja ekonomi dunia, kapital Utara yang mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional, bersama dengan aparatus negara dan antek-anteknya seperti Tritunggal Mahakudus, memiliki kekuatan untuk merestrukturisasi ekonomi di negara-negara Selatan demi memenuhi kebutuhan kekuatan imperialis inti. Seperti yang dijelaskan oleh Jason Hickel, jika negara-negara di Selatan berani melawan, mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa fatal; mereka harus siap menghadapi berbagai kemungkinan, mulai dari sanksi ekonomi hingga intervensi militer.
CA & UT: Dalam literatur saat ini, hegemoni konsep neoliberalisme begitu kuat sehingga digunakan untuk mendefinisikan kapitalisme kontemporer itu sendiri. Dalam hal ini, apakah menurut Anda konseptualisasi neoliberalisme atau globalisasi neoliberal telah berubah menjadi sarana untuk menggantikan konsep imperialisme? Ketika Anda melihat diskusi-diskusi tersebut dari sudut pandang Anda sendiri, menurut Anda, hubungan seperti apa yang ada antara neoliberalisme dan imperialisme? Apakah mungkin untuk mengklaim bahwa ada dikotomi atau timbal balik antara neoliberalisme dan imperialisme?
IS: Jika seseorang mengasosiasikan globalisasi neoliberal dengan “dunia yang datar/flat world” ala Thomas Friedman atau dengan bidang meritokrasi di mana kekuasaan terdesentralisasi dan perusahaan serta negara dapat “memanjat tangga” untuk menjadi lebih baik, maka menurut saya hal tersebut bermasalah. John Bellamy Foster menjelaskan bahwa globalisasi produksi yang terjadi dalam imperialisme akhir telah menghasilkan kapitalisme monopoli yang digeneralisasikan, seperti yang diteorikan oleh para pemikir marxis seperti Magdoff, Paul Baran, Paul Sweezy, dan Samir Amin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini, jelas bahwa neoliberalisme, seperti bentuk-bentuk kapitalisme lainnya, bersifat imperialistik. Hal yang sama juga berlaku untuk globalisasi neoliberal. Terlepas dari karakteristiknya yang berubah, tujuan globalisasi tetap sama, seperti yang ditulis oleh Amin: untuk mengontrol perluasan pasar, menjarah sumber daya alam, dan mengeksploitasi cadangan tenaga kerja di wilayah pinggiran.
CA & UT: Selama empat dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dalam distribusi spasial produksi dan pembagian kerja global. Setelah krisis pada tahun 1970-an, sebagian besar negara pinggiran, yang sebelumnya menerapkan model industrialisasi substitusi impor (ISI) yang berorientasi ke dalam, mulai beralih ke strategi yang lebih terbuka dan terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, yang menekankan pada pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor (export-led growth). Akibatnya, bagian-bagian konstituen dari ekonomi dunia mulai berintegrasi dengan pasar internasional. Ada keyakinan bahwa ekonomi semi-periferal dan periferal akan berkembang dan menyatu dengan ekonomi inti dalam hal kemakmuran dan tingkat industrialisasi.
Para pendukung posisi ini selalu mendukung rantai produksi dengan alasan bahwa hal ini membawa investasi asing dan peningkatan industri di daerah pinggiran, bersama dengan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas, dan pengentasan kemiskinan. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan tersebut. Dari sudut pandang penelitian Anda, bagaimana kita dapat menilai perbedaan antara harapan dan kenyataan ini?
IS: Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kenyataannya tidak sejalan dengan argumen-argumen arus utama yang sering diajukan. Pertama-tama, tidak mungkin untuk mengevaluasi organisasi rantai komoditas global saat ini tanpa memperhitungkan sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme, di mana kekuatan-kekuatan imperialis menjadi kaya dan berkuasa melalui eksploitasi dan penjarahan yang dilakukan terhadap daerah jajahan selama berabad-abad. Proses yang, pada dasarnya, membuat negara-negara Selatan terbelakang. Mengklaim bahwa negara-negara di Selatan dapat mengejar ketertinggalan mereka melalui, misalnya, peningkatan industri, tampaknya mengabaikan fakta tersebut.
Lebih jauh lagi, seperti yang ditulis Magdoff, meskipun tanpa koloni formal, hubungan imperialis tetap berlangsung, melanggengkan ketergantungan dan memungkinkan kekuatan imperialis untuk kembali mengendalikan bekas koloninya. Investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI)—yang menjadi signifikan terutama setelah Perang Dunia Kedua—berfungsi sebagai sarana bagi kekuatan imperialis untuk menembus pasar luar negeri dan memungkinkan kapital mereka bersaing secara langsung di pasar-pasar ini, bukan hanya melalui ekspor. Di era produksi global, baik FDI maupun kontrak-kontrak jarak jauh adalah sarana bagi kapital untuk meningkatkan margin keuntungan melalui berbagai mekanisme, termasuk eksploitasi tenaga kerja, pemanfaatan zona-zona pemrosesan ekspor serta berbagai keuntungan yang terkait dan penjarahan sumber daya alam. Bagi negara-negara Selatan, menjadi “kompetitif” dalam menarik investasi asing berarti mereka harus mampu menawarkan upah rendah dan tenaga kerja yang “patuh”, “stabilitas politik” (yang berarti minimnya protes dan demonstrasi), pengecualian pajak, peraturan lingkungan yang longgar, dan masih banyak lagi.
Beberapa kelompok, seperti borjuasi nasional dan oligarki politik, akan diuntungkan dari situasi ini, tetapi kelas pekerja, termasuk pekerja industri dan informal, petani dan produsen kecil, serta kaum miskin kota, tidak mungkin merasakan manfaat yang berarti bahkan mungkin akan semakin menderita akibat tenaga kerja mereka dieksploitasi dan tanah mereka dirampas. Jadi, meskipun ekonomi mungkin tumbuh dengan cepat di beberapa negara di Selatan karena integrasi mereka ke dalam ekonomi kapitalis global—faktanya, untuk sebagian besar negara BRIICS (Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan), pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir ternyata jauh lebih lambat dari yang diperkirakan secara optimis—pertumbuhan tersebut hanya mungkin terjadi dengan merugikan dan menciptakan kesengsaraan bagi sebagian besar penduduknya.
Arbitrase tenaga kerja global sendiri merupakan bentuk pertukaran yang tidak setara, di mana perusahaan multinasional pada dasarnya memperoleh lebih banyak tenaga kerja dengan harga yang lebih murah dan meraup keuntungan besar dari tenaga kerja berbiaya rendah di negara-negara Selatan. Sementara itu kelebihan surplus yang dihasilkan sering kali secara keliru dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang “inovatif”, finansial, dan ekstraktif nilai yang terjadi di negara Utara. Arbitrase tenaga kerja global adalah upaya untuk melakukan valorisasi, yaitu strategi untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang diperlukan secara sosial dan memaksimalkan perolehan nilai lebih. Strategi ini mengeruk lebih banyak dari para pekerja melalui berbagai cara, termasuk lingkungan kerja yang represif di pabrik-pabrik di ekonomi pinggiran, pelarangan serikat pekerja yang dilakukan oleh negara, dan sistem kuota atau kerja borongan.
Inilah strategi “pengurasan” yang terjadi dari Selatan ke Utara, di mana surplus ekonomi disedot keluar tanpa memberikan keuntungan yang diharapkan; dan tenaga kerja adalah bagian dari kisah pertukaran yang tidak setara, bersama dengan aspek-aspek lain seperti energi, tanah, dan bahan baku. Jadi, sekali lagi, meskipun ada kisah sukses beberapa negara industri (“negara berkembang”) di Asia Timur, sebagian besar populasi Selatan tidak mendapatkan manfaat dari industrialisasi yang lahir dari integrasi negara mereka ke dalam ekonomi dunia. Kita tidak melihat industrialisasi yang berdaulat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan bentuk pembangunan yang bergantung yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kapital yang terlibat dalam akumulasi tanpa henti demi kemakmuran segelintir orang.
CA & UT: Khususnya setelah krisis 2008, metafora neo-feodalisme mulai digunakan untuk menggambarkan bentuk baru yang telah ditransformasikan oleh neoliberalisme dan, oleh karena itu, sistem kapitalisme. Dalam konseptualisasi ini, terungkap bahwa, seperti yang diuraikan dalam pertanyaan sebelumnya, posisi negara-bangsa dalam sistem kapitalis telah berangsur-angsur melemah, bahkan dalam perannya sebagai mediator dalam proses perampasan nilai lebih. Perusahaan-perusahaan multinasional telah mengeliminasi peran negara-bangsa dengan membangun rantai pasok mereka sendiri dan mulai berproduksi di lahan-lahan yang telah mereka beli di negara-negara pinggiran. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki kemungkinan kontrol seperti itu di negara-negara Selatan, kini memiliki kekuatan untuk menentukan upah di wilayah-wilayah ini telah membuka pintu bagi klaim bahwa sistem ini telah berevolusi menjadi jenis feodalisme baru. Ini adalah situasi yang Anda dan Foster klaim sebagai perampasan nilai-lebih yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan cara yang tidak terkendali di tanah-tanah yang telah dibeli.
Terdapat juga contoh di mana perusahaan-perusahaan semacam itu mempekerjakan polisi mereka sendiri dan memperoleh perangkat pemaksaan ekstra-ekonomi (seperti yang dilakukan perusahaan Renaissance Construction di Rusia, yang mencegah pekerja konstruksinya melakukan pemogokan dengan bantuan AMON/SORB), sehingga menambah dimensi baru dalam perdebatan tentang neo-feodalisme. Di sisi lain, posisi ini juga mengaitkan peran penting pada munculnya kedaulatan yang terfragmentasi, dan tuan-tuan dan petani-petani baru dalam memahami dunia saat ini. Anda memiliki pertimbangan tertentu mengenai hubungan antara desentralisasi proses produksi dan sentralisasi kekuasaan? Dalam konteks ini, bisakah Anda mengevaluasi perdebatan tentang neo-feodalisme dan hubungan perdebatan ini dengan imperialisme era neoliberal dari kerangka kerja yang Anda lihat?
IS: Apakah yang Anda maksud dengan pertanyaan ini adalah bahwa korporasi modern, seperti layaknya penguasa feodal, bertindak secara independen tanpa memperhatikan struktur negara? Saya tidak terlalu familier dengan perdebatan tentang neo-feodalisme, jadi saya tidak akan membahasnya lebih jauh di sini. Namun, saya pikir ada perbedaan mendasar antara feodalisme yang dipahami secara umum dan sistem sosial produksi kapitalisme. Saya tidak setuju jika dikatakan bahwa perusahaan multinasional modern bertindak seperti penguasa feodal. Dalam masyarakat feodal, kekuatan ekonomi dan politik tidak dipisahkan, melainkan terwujud dalam diri penguasa atau raja ketika ada struktur negara.
Dalam kapitalisme saat ini, lebih tepat jika dikatakan bahwa kekuatan korporasi telah menyusup ke dalam negara hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (seperti yang terlihat dalam praktik lobi yang ekstensif, seringnya orang yang sangat kaya memegang jabatan politik, dan seterusnya), tetapi masih ada negara dan memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan terhadap kapital tertentu, jika mereka ingin melakukannya.
Perbedaan lainnya adalah bahwa penguasa atau raja feodal memiliki kewajiban tertentu—meskipun tidak selalu dipatuhi—yang bersifat pribadi terhadap mereka yang berada di bawahnya. Di Eropa, misalnya, melanggar kewajiban-kewajiban ini adalah sebuah dosa, seperti halnya meminjamkan uang dengan bunga adalah dosa. Saat ini, meskipun kapital mungkin agak kebal dari peraturan negara, sama sekali tidak ada rasa kewajiban feodal. Selain itu, dalam kapitalisme modern, tidak ada perusahaan seperti East India Company atau the Dutch East India Company yang dapat memerintah seluruh bangsa.
Selain itu, ketika pekerja atau petani melakukan perlawanan, biasanya aparat militer negara yang menyerang mereka. Dalam beberapa kasus, perusahaan (seperti agribisnis) atau pemilik pabrik dapat menyewa kelompok paramiliter atau menggunakan penjaga keamanan pribadi mereka untuk melukai hingga membunuh buruh atau petani yang memprotes dan menolak untuk meninggalkan tanah mereka. Terkadang, mereka meminta kerja sama negara untuk mengerahkan militer di suatu wilayah guna memastikan bahwa industri ekstraktif yang sangat eksploitatif dapat beroperasi tanpa hambatan. Namun, bukan berarti kapital memiliki kemampuan atau kekuatan yang setara dengan negara.
Bahkan dalam hal upah, kapital Utara dapat, misalnya, menekan negara-negara di Selatan untuk menurunkan upah mereka melalui mekanisme yang terbatas. Misalnya, melalui cara kerja lembaga keuangan internasional dan program penyesuaian struktural mereka, atau dengan menekan negara-negara ini untuk tetap “kompetitif” dalam ekonomi dunia jika mereka ingin melihat investasi asing mengalir masuk. Namun, pada akhirnya, negara tetap memainkan peran utama dalam mengendalikan upah, dan negara juga yang merepresi gerakan buruh yang menuntut upah lebih tinggi. Jadi, sekali lagi, saya pikir ini lebih tentang bagaimana kapital dan negara saling berhubungan, dan karakteristiknya tidak sama dengan masyarakat feodal.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
CA & UT: Dalam konteks imperialisme akhir, para pemilik kapital di Selatan juga memainkan peran kunci dalam proses ini. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan banyak keuntungan; mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan investasi di luar negeri. Dalam beberapa kasus, hal ini memicu perdebatan sub-imperialisme atau perdebatan lain mengenai kemampuan atau fungsi pemilik kapital lokal. Apa yang dapat dikatakan dalam hal ini?
IS: Kapital Selatan memang memainkan peran penting. Dalam konteks imperialisme akhir (late imperialism), yaitu imperialisme arbitrase tenaga kerja global di bawah naungan kapital monopoli yang digeneralisasikan, para kapitalis di Selatan mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek bisnis yang dimungkinkan oleh integrasi negara mereka (atau negara-negara lain di Selatan) ke dalam rantai komoditas global. Beberapa dari mereka adalah pemilik agribisnis; lainnya memiliki pabrik, tambang, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan kapital komprador lama, namun dalam skala yang jauh lebih besar dalam konteks globalisasi. Kelompok ini sering kali terdiri dari segelintir orang, di mana beberapa di antaranya masih disebut sebagai “oligarki” di beberapa negara di Selatan. Mereka memiliki hubungan erat dengan para elite politik dan bertujuan untuk mendukung kebijakan-kebijakan neoliberal yang akan memfasilitasi proses-proses yang terkait dengan investasi asing, perampasan tanah, ekstraksi sumber daya alam, dan mekanisme-mekanisme lain yang terkait.
Saya akan memberikan contoh dari sektor manufaktur, karena ini merupakan fokus penelitian saya. Di negara-negara dengan kekuatan dan kekayaan yang kecil, para kapitalis ini umumnya berperan sebagai konglomerat lokal yang, misalnya, memiliki bisnis yang memproduksi merek-merek lokal untuk pasar lokal, dan dalam skala lebih kecil di pasar luar negeri (biasanya di negara-negara tetangga), atau para kapitalis yang terkait dengan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam rantai komoditas global. Mereka memiliki bisnis lokal yang bertujuan memasok perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Utara. Dalam kasus terakhir ini, para kapitalis ini berperan sebagai “perantara” antara tenaga kerja lokal dan perusahaan multinasional. Meskipun mereka tetap kapitalis yang mengatur dan mengontrol proses kerja para pekerjanya—sering kali sesuai permintaan klien multinasionalnya—dan dengan demikian secara aktif terlibat dalam eksploitasi, kekuatan mereka cukup terbatas dalam hal keterlibatannya dalam rantai komoditas global.
Para pemasok Indonesia yang saya teliti termasuk dalam kelompok ini. Awalnya, mereka mengklaim bangga menjadi perusahaan “berteknologi tinggi” yang melayani segmen pasar yang khusus, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka menyadari bahwa mereka hanya memenuhi permintaan klien multinasional. Teknologi sebagian besar dikendalikan oleh klien, tidak ada ruang untuk inovasi, dan mereka harus bersedia mengubah proses produksi mereka untuk memenuhi permintaan klien yang terus berubah. Mereka diharuskan menunjukkan rincian struktur biaya, sering kali sebagai persyaratan dalam mengikuti tender, dan klien multinasional dapat menentukan berapa margin keuntungan mereka.
Ada banyak mekanisme lain yang terlibat di sini yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional sangat dominan, bahkan dalam jaringan yang disebut tersebar yang didominasi oleh kontrak yang panjang. Jadi, dalam kasus-kasus seperti ini, kecil kemungkinannya ada diskusi yang luas mengenai apakah Indonesia dapat menjadi pemain besar berikutnya dalam rantai komoditas global, dengan potensi untuk menggantikan negara-negara dalam Triad sebagai kekuatan imperialis baru, atau untuk bersaing dengan “macan-macan Asia”. Ini tentu saja tidak mengabaikan fakta bahwa Indonesia terlibat dalam tindakan imperialis di Papua Barat, namun hal ini membutuhkan diskusi tersendiri, dan kasus ini juga melibatkan peran kapital Utara di wilayah tersebut.
Situasinya mungkin akan lebih rumit ketika kita berbicara tentang negara-negara seperti Korea Selatan atau “macan-macan” lainnya, seperti Hong Kong dan Taiwan. Diskusi tentang “pertumbuhan ajaib” mereka tentu saja membutuhkan analisis kritis, tetapi yang dapat kita buktikan adalah bahwa para kapitalis dari negara-negara ini telah mengembangkan bisnis mereka untuk sementara waktu dan mereka, misalnya, memiliki pabrik di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memasok perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Triad. Foxconn, salah satu pemasok terbesar untuk Apple, adalah perusahaan Taiwan meskipun pabriknya berlokasi di Cina. Ini berarti bahwa para kapitalis ini terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja di negara lain (sering kali mencakup kasus-kasus ekstrem dan praktik-praktik yang kejam), perampasan sumber daya, namun mereka juga masih menjadi pemasok yang bergantung pada rantai komoditas global. Klien multinasional mereka masih mendapatkan keuntungan terbesar dari pengaturan ini, tetapi tentu ada variasi dalam hubungan kekuasaan yang begitu kompleks.
Menariknya, ketika membahas sub-imperialisme, negara yang dimaksud biasanya adalah Cina, yang pada tahun 2014 (tahun terakhir yang tersedia dalam data yang digunakan dalam buku saya) memiliki biaya tenaga kerja satuannya sebesar 46 persen dari tingkat AS. Ada perdebatan mengenai apakah Cina telah menjadi sub-imperialis, atau sedang dalam proses menjadi kekuatan imperialis baru, terutama terkait dengan investasi dan proyek-proyeknya di beberapa wilayah di Asia dan Afrika. Beberapa pihak berpendapat bahwa eksploitasi kapitalis di luar negeri tidak selalu mengarah ke jalur imperialis, sementara yang lain tidak setuju. Andy Higginbottom, yang menulis untuk blog Review of African Political Economy, menunjukkan bahwa sepuluh besar negara dengan Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan di Afrika masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan yang berbasis di Triad, dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis berada di tiga besar. Saya tidak dapat membahas lebih jauh tentang perdebatan ini di sini, tetapi ada beberapa hal menarik yang perlu dipertimbangkan dari diskusi ini.
Cina tentu saja merupakan kasus khusus—ekonomi terbesar kedua di dunia, tetapi masih bisa dianggap miskin jika dilihat dari pendapatan per kapitanya; sebuah negara yang, mengutip John Bellamy Foster, “tidak sepenuhnya kapitalis dan tidak sepenuhnya sosialis” dalam perkembangan pasca-revolusinya. Tidak ada jawaban sederhana untuk menjawab pertanyaan ke mana arah Cina. Foster berpendapat, dan saya setuju dengan penilaiannya, bahwa banyak hal yang “masih tergantung pada apakah Cina di masa depan akan mengedepankan pendekatan horizontal atau hirarkis-imperialis dalam berhubungan dengan negara-negara di Selatan.” Setidaknya untuk saat ini, kita tidak boleh terjebak dalam narasi Perang Dingin baru yang telah dikobarkan oleh Amerika Serikat ketika membahas Cina. Penting untuk dipertimbangkan bahwa, terlepas dari apakah sub-imperialisme itu “sesuatu” atau tidak, keberadaannya tidak akan meniadakan hubungan imperialis yang ada dalam ekonomi dunia.
CA & UT: Pandemi Covid-19 dapat dianggap telah memengaruhi hubungan imperialis di era neoliberal dalam berbagai cara, sekaligus menciptakan peluang untuk memperbarui dan memperdalam hubungan eksploitasi imperialis dari perspektif yang berbeda. Seperti yang telah Anda tekankan sebelumnya, pandemi ini telah menyebabkan rantai pasokan perusahaan multinasional terputus secara signifikan, yang mengakibatkan produksi yang menciptakan “nilai tambah” di banyak sektor terganggu atau bahkan terhenti. Dalam konteks neoliberal, perusahaan-perusahaan multinasional yang telah mengurangi biaya penyimpanan dengan meniadakan kegiatan ini belum mampu mengatasi penurunan mendadak dalam permintaan konsumsi di beberapa sektor, dan tetap pasif dengan tidak memenuhi pesanan di beberapa sektor yang berbeda.
Akibatnya, seperti yang Anda sebutkan, perusahaan multinasional yang tidak menyadari titik-titik di mana rantai pasokan mereka di negara-negara pinggiran terpengaruh, telah terjebak dalam semacam perlombaan untuk mengatur kembali rantai pasokan mereka selama pandemi Covid-19. Jika kebangkrutan akibat gangguan rantai pasokan terjadi, bagaimana dampaknya terhadap proses ketenagakerjaan di negara-negara Selatan?Apakah kemungkinan ini dapat memicu perubahan radikal dalam bentuk imperialisme akhir di era pasca-Covid-19? Selain itu, Anda menggarisbawahi bahwa Cina adalah pemberhentian terakhir di mana banyak dari rantai pasokan ini berputar. Dalam konteks ini, dapatkah kita berargumen bahwa imperialisme akhir akan bubar di dunia setelah Covid-19 dan Cina akan memulai hegemoninya dengan proposal sistem yang baru? Atau haruskah kita mengharapkan Cina untuk memulihkan dan mempertahankan bentuk imperialisme akhir ini dan bangkit sebagai kekuatan hegemonik bersamaan dengan itu?
IS: Ketika Pandemi Covid-19 dimulai, dengan adanya lockdown dan pembatasan sosial yang meluas, gangguan pada rantai pasokan merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Seluruh sistem produksi global sangat terganggu, sehingga oleh beberapa kalangan, Pandemi Covid-19 dijuluki sebagai “krisis rantai pasokan global pertama”. Ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti kompleksitas rantai komoditas global dan pemanfaatan produksi yang fleksibel dan tepat waktu, ketergantungan yang besar pada negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang rendah, terutama Cina, sebagai simpul penting dalam rantai komoditas global, berkontribusi pada memburuknya “efek banteng” yang disebabkan oleh pandemi.
Penguncian dan penghentian aktivitas produksi di Cina sendiri menyebabkan gangguan besar dalam rantai komoditas global, terutama terkait dengan komoditas (atau bagian dari komoditas) yang diproduksi atau dirakit di Cina, serta bahan baku yang diperoleh dari negara tersebut. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS yang bergantung pada pemasok Cina untuk merakit produk akhir mereka jelas mengalami kesulitan sejak awal pandemi, tetapi gangguan tersebut juga berdampak pada semua pihak di sepanjang rantai komoditas. Sebagai contoh, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dan sekitar 20 hingga 50 persen bahan baku industri Indonesia berasal dari Cina. Contoh lain, Vietnam, yang juga menjadi tujuan manufaktur atau perakitan bagi perusahaan multinasional, mengalami masalah ketika pasokan bahan baku atau suku cadang setengah jadi dari Cina terhenti akibat pandemi. Tentu saja Cina dapat memulihkan produksinya dengan cukup cepat karena penanganan Covid-19 yang efektif. Namun demikian, kerentanan sistem terungkap. Perusahaan multinasional biasanya memiliki beberapa strategi untuk mengantisipasi masalah seperti ini, dengan bekerja sama dengan beberapa pemasok dari wilayah yang sama yang melakukan perakitan atau yang memproduksi suku cadang perantara yang sama, tetapi ketika pandemi seperti ini terjadi, strategi tersebut ternyata tidak memadai.
Pandemi ini, tentu saja, telah memengaruhi seluruh perekonomian dunia, sehingga menyebabkan gangguan rantai pasokan di berbagai tempat. Di satu sisi, pekerja di Global South sebagian besar terkena dampaknya, yang dalam banyak hal mirip dengan pekerja di Global North yang berupah rendah dan rentan: banyak yang kehilangan pekerjaan karena PHK atau penutupan pabrik, sementara yang masih bekerja harus mempertaruhkan nyawanya setiap hari, terutama di tempat kerja yang tidak memiliki langkah-langkah perlindungan yang memadai terhadap virus. Pekerja yang berada di posisi rentan, seperti pekerja temporer dan informal, bahkan lebih menderita. Di negara-negara yang sistem perawatan kesehatannya sudah buruk, pandemi ini berarti bahwa mereka yang tidak mampu membayar perawatan yang mahal akan dibiarkan mati.
Di sisi lain, tampaknya ada semacam optimisme di beberapa negara di Selatan terkait keinginan mereka untuk menggantikan Cina dalam rantai komoditas global. Pandemi, ditambah dengan perang dagang yang diprakarsai oleh pemerintahan Trump, telah mendorong banyak perusahaan multinasional untuk secara serius mempertimbangkan untuk memindahkan produksi mereka ke luar dari Cina (dan berusaha untuk mendiversifikasi kelompok pemasok mereka secara umum). Hal ini telah menarik perhatian dari negara-negara seperti India dan Malaysia, misalnya.
Ada laporan berita yang menyebutkan bahwa negara-negara ini berusaha keras untuk menarik investor dengan menawarkan insentif atau mempromosikan potensi mereka. Di Malaysia, ada optimisme bahwa negara ini dapat menjadi pusat industri baru untuk manufaktur elektronik atau industri otomatis kelas atas. Negara ini melihat perang dagang AS-Cina sebagai peluang untuk memulihkan kekayaan mereka yang hilang di tahun 1990-an, ketika banyak perusahaan multinasional meninggalkan Malaysia ke Cina setelah membangun pabrik elektronik di Penang. Dengan mempromosikan “infrastruktur yang lebih baik” dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Malaysia telah menarik investasi baru. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2019, Penang mendapatkan investasi asing sebesar US$2,94 miliar, meningkat 456 persen dari tahun sebelumnya.
Di India, pemerintah berencana untuk menawarkan insentif senilai US$23 miliar guna menarik perusahaan-perusahaan untuk mendirikan pabrik di negara ini, termasuk pabrik mobil, panel surya, dan baja khusus. Awal tahun ini, pemerintah menyetujui insentif sekitar US$5,3 juta untuk manufaktur ponsel lokal-sektor yang sangat berharga bagi India—sebagai bagian dari inisiatif “Made in India” yang telah ditetapkan, serta US$900 ribu untuk manufaktur komponen elektronik. Ravi Shankar Prasad, Menteri Telekomunikasi dan TI India, menyatakan bahwa dana ini akan mendorong “investasi di segmen elektronik yang penting sekaligus memosisikan India sebagai pusat manufaktur global.” Dua lusin perusahaan, termasuk Samsung dan Foxconn, berencana untuk mendirikan pabrik-pabrik ponsel di India, dengan total investasi mencapai US$1,5 miliar.
Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga mulai memikirkan kembali komitmen mereka pada produksi yang tepat waktu dan fleksibel. Namun semua ini tidak akan berjalan mulus. Di sisi Selatan, akan ada pertanyaan mengenai apakah negara tersebut memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung industri berskala besar. Yang paling penting, saya percaya kapital global tidak akan rela meninggalkan faktor-faktor yang membuat akumulasi profit tetap berlangsung, seperti komitmen untuk mencari biaya tenaga kerja yang rendah dan kemampuan untuk menghindari berbagai tanggung jawab—baik tentang kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja, pelestarian lingkungan, maupun dalam menangani pemborosan tenaga kerja dan material ketika terjadi kesalahan dalam perhitungan. Kapital global akan lebih memilih untuk mencari solusi yang masih mengikuti logika yang sama.
Mungkin dalam jangka panjang, kapital global akan berusaha melakukan restrukturisasi ekonomi dunia demi keuntungan mereka sekali lagi. Mungkin peran Cina dalam rantai komoditas global juga akan berubah. Kita tidak tahu. Perang Dingin Baru yang dilancarkan oleh AS terhadap Cina merupakan faktor yang signifikan. Ada kemungkinan bahwa pengucilan paksa Cina dari ekonomi dunia akan memicu beberapa perubahan dalam dinamika kekuatan, tetapi sejauh mana perubahan tersebut terjadi, saya tidak dapat memprediksi. Yang bisa kita yakini adalah bahwa apa pun perubahan yang mungkin terjadi—jika dilakukan untuk melayani kepentingan kapital Utara—tidak akan menghasilkan penurunan radikal dalam ketidaksetaraan global dan berakhirnya imperialisme.
Saya percaya hanya solidaritas internasional itulah yang dapat menghapuskan imperialisme. Akan sangat baik jika kita bisa membangun suatu bentuk kerja sama Selatan-Selatan dalam semangat Konferensi Bandung, dan kerja sama tersebut haruslah berkomitmen penuh pada cita-cita sosialis. Tetapi apa pun bentuk gerakannya, gerakan ini harus melibatkan dan menempatkan kelas buruh (dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada buruh industri) di garis depan gerakan. Kita tidak dapat bergantung pada arahan satu negara atau kepemimpinan beberapa orang. Saya telah mengatakan hal ini dalam buku saya, dan saya akan mengatakannya lagi di sini: Saya setuju dengan Michael Yates, yang menulis bahwa “mereka yang paling menderita—buruh dan petani di Selatan, minoritas di Utara, perempuan kelas pekerja di semua tempat—akan memimpin perjuangan atau mereka akan gagal.”
CA & UT: Kondisi ketenagakerjaan saat ini memberikan gambaran yang buruk bagi para pekerja, terutama di negara-negara Selatan. Bahkan “perang melawan virus” telah membebani kelas pekerja. Di beberapa negara tertentu, kami juga menemukan kebangkitan melawan penindasan. Apa evaluasi, proyeksi, atau prediksi Anda mengenai reaksi melawan eksploitasi imperialis, gerakan kelas pekerja di Selatan, dan gerakan sosial dalam arti luas?
IS: Elemen-elemen kelas buruh, terutama yang berada di Selatan, telah lama terlibat dalam perlawanan terhadap bentuk-bentuk dan akibat-akibat imperialisme. Mereka mempertahankan tanah mereka, melawan eksploitasi, menghadapi kapital dan aparatus negara yang paling menindas dan kejam terhadap mereka. Pabrik-pabrik telah diduduki oleh para buruh di Argentina, dan tanah-tanah telah diambil kembali oleh para petani di Brasil. Masyarakat adat di seluruh dunia tanpa henti melakukan perlawanan terhadap perampasan dan penindasan. Semua ini tidak berhenti bahkan di masa dan sesudah pandemi. Para pekerja terus mogok, para petani terus melakukan protes, dan mereka semua berorganisasi. Dalam banyak kasus, ukuran protes semacam itu sangat besar, menunjukkan bagaimana masyarakat tidak menyerah pada penindasan.
Rakyat Bolivia baru-baru ini telah memenangkan sebuah pertempuran penting melawan imperialisme AS. Saya pikir contoh-contoh ini saja sudah menunjukkan bahwa gerakan kelas buruh di Selatan akan terus berkembang. Selalu ada pekerjaan rumah-pertanyaan tentang strategi, tentang cara-cara membangun solidaritas yang kuat, tentang membangun hubungan dengan sekutu-sekutu di Utara, dan seterusnya. Namun, ide dasarnya tetap sama: kita harus memutus rantai penindasan, termasuk organisasi rantai komoditas global saat ini. Kita harus terus berpikir tentang bagaimana membangun jaringan produksi dan distribusi kita sendiri – mungkin dimulai dari wilayah lokal. Pengetahuannya ada di sana, dan kita sudah cukup kuat untuk melawan. Jadi, di masa krisis ini, mari kita gunakan ini sebagai kesempatan untuk menggerakkan dunia ke arah yang berbeda.
Daftar Pustaka
Magdoff (1978). Imperialism: From to Colonial Age to the Present, New York: Monthly Review Press.
B. Foster dan I. Suwandi (2020 COVID-19 and Catastrophe Capitalism: Commodity Chains and Ecological-Epidemiological-Economic Crises. Monthly Review, 72(2), 1-20.
Suwandi, I. (2019). Value Chains: The New Economic Imperialism. New York: Monthly Review Press
J. Dean (2020). Neofeudalism: The End of Capitalism?, Los Angeles Review of Books.
Artikel wawancara ini pertama kali diterbitkan di Textum pada 20 Februari 2021, dengan judul asli Neoliberalism and Imperialism: Interview with Intan Suwandi, diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan membantu pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme di Indonesia.