Yogyakarta Bukan Sekadar Tempat Pulang; Ia Adalah Medan Perjuangan Bagi Mereka yang Tertindas

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Wikimedia Commons


KUTIPAN puisi bernada satire dari penyair ternama, Joko Pinurbo, menggambarkan realitas sosial di Yogyakarta: “UMR-nya rendah, harga tanahnya tinggi, harga kangennya lebih tinggi.” Banyak orang memandang dan menilai Yogyakarta sebagai kota yang penuh dengan hal menarik—mulai dari budaya, pendidikan, sejarah, seni, hingga kehangatan orang-orangnya. Namun, di balik citra yang positif nan romantis ini, terdapat ketimpangan sosial yang mencolok. Ketimpangan itu dialami oleh sebagian besar penduduk, terutama kelas pekerja.

Persoalan yang demikian muncul karena bentuk pemerintahan di Yogyakarta berbeda dari daerah lainnya: monarki. Monarki Yogyakarta memiliki akar sejarah panjang, dinyatakan oleh Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 no. 3 jo. 19/1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terdiri dari tiga bab (Peraturan Umum, Tentang Urusan Rumahtangga Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Peraturan Penutup) dan 7 pasal disertai 12 ayat; kemudian diperbarui lewat Undang-Undang No 13 tahun 2012, meliputi 16 bab, 51 pasal, dan 70 ayat. Sistem monarki ini memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta, yang kemudian berpengaruh pada terbentuknya identitas sosial dan politik. Namun, keistimewaan ini tidak selalu membawa dampak signifikan bagi semua kalangan.

Sekalipun jargon “Jogja Istimewa” menjadi spirit membanggakan bagi warga lokal, ia berpotensi melanggengkan ketidakadilan sosial. Pasalnya, keistimewaan ini sering kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo: para elite menikmati berbagai privilese dan kemudahan akses sementara kelas pekerja merana dan terpinggirkan. Situasi tersebut akhirnya menciptakan dinamika sosial yang kompleks, di mana nilai budaya dan tradisi bertemu dengan tekanan ekonomi modern.

Romantisme yang terus digaungkan pun kerap mengalihkan perhatian dari persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat Yogyakarta. Citra sebagai pusat seni dan pendidikan tak cukup untuk menutupi kenyataan pahit mengenai upah yang rendah, akses properti yang semakin sulit, dan beban hidup yang terus meningkat. Sisi inilah yang menjadi persoalan serius bagi kelas pekerja di kota ini, sebuah kelompok yang terjebak dalam sistem yang mengeksploitasi tenaga mereka tanpa memberikan imbalan setimpal.

Oleh sebab itu, untuk memahami dinamika sosio-ekonomi Yogyakarta lebih jauh, penulis akan menghantar pembaca untuk melihat hubungan eksploitasi dan kekuasaan yang dialami oleh kelas pekerja kota ini dengan lensa marxisme.


Keterasingan dan Eksploitasi dalam Marxisme

Dalam tradisi pemikiran marxis, fenomena yang terjadi di Yogyakarta merupakan bentuk dari keterasingan, atau alienasi, yang dialami oleh kelas pekerja. Kenaikan UMP DIY tahun 2025 sebesar 6,5% tampaknya hanya menjadi solusi tambal sulam yang gagal menyentuh akar persoalan. Nilai lebih (surplus value) yang dihasilkan oleh kelas pekerja dieksploitasi oleh para pemilik modal untuk mempertahankan relasi produksi yang timpang.

Kritik terhadap ketidakadilan ini semakin relevan ketika kebijakan seperti kenaikan PPN 12% mulai berlaku. Riset terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) tahun 2024 menunjukkan potensi permasalahan sosial akibat kenaikan PPN yang diiringi dengan inflasi sebesar 4,1%: Kelas pekerja bukan hanya berhadapan dengan upah rendah, tetapi juga beban biaya hidup yang semakin tinggi. Beban tersebut mencakup kebutuhan pokok, pendidikan, dan akses terhadap perumahan yang layak.

Dalam perspektif materialisme historis, situasi ini menciptakan kontradiksi internal dalam sistem kapitalisme lokal. Yogyakarta, yang didekorasi sebagai kota budaya dan pendidikan, ternyata juga merupakan ruang bagi reproduksi ketimpangan kelas yang sistemik. Ketimpangan sosio-ekonomi di Yogyakarta semakin terlihat dalam distribusi akses terhadap fasilitas publik. Di satu sisi, Yogyakarta menampilkan wajah sebagai kota pariwisata yang ramah dan nyaman. Namun di sisi lain, banyak pekerja informal dan buruh kontrak yang berjuang demikian keras hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kondisi kerja yang tidak stabil dan upah yang minim hanya memperparah keterasingan mereka dari hasil kerja yang seharusnya mereka nikmati.


Struktur Kekuasaan Feodal dan Dampaknya

Kota Yogyakarta pun membawa warisan struktur kekuasaan feodal dengan sistem pemerintahan monarkinya. Meskipun dikemas dalam romantisme budaya, feodalisme ini menjadi landasan bagi hierarki kekuasaan yang tidak memberikan ruang cukup bagi kelas pekerja untuk berkembang. Yogyakarta lantas menjadi lingkup sosial yang unik bila dilihat menurut skema perjuangan kelas Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The Communist Manifesto. Berdiri kontras terhadap masyarakat dunia Barat yang mengembangkan ekonomi kapital setelah rezim feodal runtuh, Yogyakarta sejatinya tak pernah kehilangan citra feodalnya. Malahan, struktur feodal kota ini turut melestarikan kapitalisme.

Dalam pemahaman marxisme-feminisme, sistem kekuasaan feodal Yogyakarta tak hanya memperkuat ketimpangan kelas, tetapi juga memperparah penindasan berbasis gender. Struktur masyarakat feodal lazimnya menempatkan perempuan di posisi subordinat, baik dalam ruang domestik maupun publik. Di Yogyakarta, eksploitasi tenaga kerja perempuan tampak jelas dalam sektor informal, seperti industri batik, buruh gendong, pekerja seks komersial (PSK), dan pekerja rumah tangga.

Dalam prosesnya, akan ada bayang-bayang ketidakadilan yang terus mengiringi mereka, yakni kurangnya perlindungan hukum, risiko kesehatan, dan stigma sosial. Tak hanya itu, perempuan pekerja juga menghadapi beban ganda, yaitu sebagai pencari nafkah dan sebagai pengurus rumah tangga. Perempuan Yogyakarta, dengan demikian, terjebak dalam relasi produksi yang menindas mereka. 

Harga tanah yang melambung tinggi menjadi salah satu contoh nyata dari dampak sistem kapitalis-feodalistik tersebut. Di bawah sistem ini, tanah dan ruang kota menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh para pemilik modal besar. Terlebih lagi, klaim kepemilikan tanah atas dasar Sultan Ground mengakibatkan berbagai konflik agraria di sejumlah wilayah. Selain itu, perempuan di kota ini juga menghadapi hambatan struktural dalam mengakses tanah dan modal.

Warisan feodal yang mengutamakan kepemilikan tanah oleh laki-laki semakin memperkuat marginalisasi perempuan. Dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai patriarki, perempuan jarang terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut distribusi sumber daya. Ini menyebabkan perempuan kehilangan kontrol atas alat produksi, yang pada gilirannya memperkuat posisi mereka sebagai kelas tertindas. 

Kritik marxis-feminis juga menyoroti kerja sama kapitalisme dan feodalisme untuk mengeksploitasi tenaga kerja perempuan. Sistem upah rendah yang berlaku di sektor-sektor yang didominasi oleh perempuan menunjukkan bahwa tubuh dan kerja perempuan direduksi menjadi alat produksi yang murah dan fleksibel. Hal ini tidak hanya mengalienasi perempuan dari hasil kerja mereka, tetapi juga dari potensi mereka untuk berpartisipasi secara setara dalam ruang ekonomi dan politik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Menuju Kesadaran Kelas dan Perlawanan

Sebagaimana diteorikan Marx, transformasi sosial hanya mungkin terjadi melalui kesadaran kelas yang berkembang dari pengalaman penindasan. Yogyakarta membutuhkan gerakan kolektif yang mampu melampaui batas-batas feodalisme dan kapitalisme lokal. Kelas pekerja perlu menyadari posisi mereka sebagai agen perubahan dalam mengubah relasi produksi yang ada.

Romantisme “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” harus ditantang oleh narasi baru yang lebih kritis. Yogyakarta bukan sekadar tempat pulang—ia adalah medan perjuangan bagi mereka yang tertindas. Dalam konteks ini, pengawasan atas kerja pemerintah tidak hanya menjadi tugas bersama masyarakat, tetapi juga menjadi langkah awal menuju transformasi sosial. Pengawasan tersebut harus disertai dengan langkah konkret, seperti advokasi kebijakan yang lebih pro-pekerja, penguatan serikat buruh, serta pendidikan politik untuk menciptakan pemimpin dari kalangan kelas pekerja itu sendiri.

Kesadaran kolektif akan isu kelas dan perjuangan melawan eksploitasi mesti diperkuat melalui pendidikan kritis dan solidaritas antarpekerja. Pendidikan kritis dapat menjadi alat bagi kelas pekerja untuk memahami struktur penindasan yang mereka alami sekaligus membangun strategi perlawanan yang efektif. Dengan solidaritas yang terorganisasi, kelas pekerja dapat menantang struktur kekuasaan yang selama ini mendominasi mereka.

Hanya dengan demikianlah harapan untuk membangun Yogyakarta yang benar-benar istimewa—bukan hanya untuk para elite, tetapi juga bagi seluruh rakyat—dapat terwujud. Yogyakarta harus menjadi ruang bagi pembebasan, bukan hanya tempat bernostalgia semata.


Eldad Mesakh Pramono adalah mahasiswa teologi tingkat akhir yang sedang menggumuli isu-isu sosial.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.