Ilustrasi: Stockcake
TEH masuk ke Indonesia pada abad ke-17, pertama-tama sebagai tanaman hias tapi kemudian dibudidayakan bahkan wajib ditanam dalam politik Tanam Paksa. Seperti gula, sejak itu teh menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sampai sekarang. Teh hadir di berbagai konteks, mulai dari kebutuhan rumah tangga hingga minuman pendamping makanan di berbagai restoran. Seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali, dapat menikmati secangkir teh, sering kali diiringi jajanan pasar seperti pisang goreng, singkong, atau bakwan. Tidak ada yang istimewa dari meminum secangkir teh.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, meminum teh mulai mendapatkan pemaknaan yang berbeda lewat tren afternoon tea. Kegiatan minum teh yang tadinya bersifat personal dan biasa-biasa saja, lewat afternoon tea, menjadi pengalaman sosial yang eksklusif. Tentu saja dengan teh premium, ditambah sajian pendamping seperti scones, dan macaron, afternoon tea bukan sekadar praktik minum teh, tetapi simbol status sosial.
Konsumsi Teh dan Pembentukan Identitas
Afternoon tea mulanya dipopulerkan oleh Anna Russell, Duchess of Bedford, pada abad ke-19. Namun sumber lain meragukan klaim tersebut, dengan dasar kebiasaan seperti itu sudah ada lama sebelumnya. Terlepas dari siapa penemunya, inti dari afternoon tea adalah untuk mengatasi rasa lapar sebelum makan malam. Kebiasaan ini lama-kelamaan berkembang dan berubah menjadi ritual yang berlangsung di seluruh Inggris dan kini merebak ke berbagai belahan dunia.
Perbedaan signifikan antara minum teh biasa dan afternoon tea terletak pada konteks sosial, lokasi, serta pengalaman yang ditawarkan. Jika teh di warung kopi (warkop) atau rumah makan biasanya dihargai kurang dari Rp10 ribu, afternoon tea di salah satu butik teh ternama di Jakarta bisa berkisar antara Rp100-400 ribu per orang. Ini menunjukkan bahwa teh tidak lagi hanya sekadar minuman, melainkan menjelma suatu medium untuk mengekspresikan identitas sosial. Konsep ini seperti apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai distinction, yakni bagaimana selera dan pola konsumsi berfungsi untuk membedakan kelas sosial (De Morais Sato et al., 2015).
Pola konsumsi seseorang menentukan identitasnya, misalnya baju dan tas apa yang dipakai, makanan apa yang dikonsumsi, dan minuman apa yang dibeli. Layaknya Starbucks yang identik dengan kelas menengah ke atas, kini teh juga mulai menjadi penanda identitas. Teh Twinings asal Inggris yang hanya bisa ditemukan di supermarket besar akan dipersepsikan berbeda dengan Sariwangi yang bisa dijangkau siapa saja di mana saja. Begitu pula dengan minum teh di hotel bintang lima atau butik teh akan dipersepsikan berbeda dengan minum teh di angkringan ataupun warkop di pinggir jalan.
Kapitalisme dan Fetisisme Terhadap Teh
Afternoon tea tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme yang mendikte pola konsumsi masyarakat. Dalam kajian budaya, fenomena ini dapat dianalisis melalui konsep fetisisme komoditas yang diajukan oleh Jean Baudrillard—pengembangan dari teori fetisisme Freud dan Marx. Jika Marx menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bagaimana nilai guna suatu barang tertutupi oleh nilai tukarnya dalam sistem kapitalis, dan Freud mengaitkannya dengan obsesi terhadap objek yang menggantikan sesuatu yang hilang, Baudrillard melangkah lebih jauh dengan menyoroti bahwa dalam masyarakat modern, nilai simbolis suatu barang bahkan mengungguli nilai tukarnya (Dant, 1996). Dalam hal ini, barang dikonsumsi bukan hanya karena manfaat langsungnya, tetapi karena citra dan makna simbolis yang melekat padanya.
Dalam konsep itu, afternoon tea, misalnya, tidak lagi sekadar aktivitas minum teh atau menghilangkan rasa haus dan lapar, melainkan menjelma sebuah ritual simbolis yang menandakan gaya hidup mewah dan eksklusif. Nilai guna teh untuk diminum tersubordinasi oleh nilai simbolis yang diciptakan melalui elemen-elemen konsumsi yang diciptakan melalui konteks penyajiannya, seperti tata ruang hotel berbintang atau butik teh eksklusif, pemilihan teh premium, dan kudapan mewah yang menyertainya. Dengan demikian, afternoon tea menjadi sebuah simulacrum, yakni representasi yang menggantikan realitas sebenarnya, di mana yang penting bukan teh itu sendiri melainkan kesan dan gaya hidup yang dibangun di sekitarnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Proses fetisisasi ini diperkuat oleh industri yang membungkus pengalaman afternoon tea dengan narasi tertentu. Lewat iklan, media sosial, dan konten visual, industri menyematkan nilai-nilai prestise, kemewahan, dan status sosial tinggi pada produk tersebut. Sebuah unggahan foto di Instagram tentang afternoon tea di hotel mewah, misalnya, tidak hanya menggambarkan teh sebagai minuman, tetapi juga mencitrakan gaya hidup seseorang yang diasosiasikan dengan kemewahan dan kemapanan. Misalnya saja, kata gourmet, haute couture, premium, finest harvest, dan sejenisnya yang mengonstruksi citra eksklusif lazim dilekatkan pada periklanan afternoon tea.
Representasi ini tidak hanya membentuk persepsi masyarakat tentang teh, tetapi juga memperkuat hierarki sosial yang mendefinisikan siapa yang “layak” mengakses pengalaman tersebut. Dengan demikian, teh menjadi “fetish” bagi khalayak, sebuah komoditas yang dianggap memiliki daya tarik magis karena simbol yang dilekatkan padanya, bukan semata-mata karena kualitas fisiknya.
Baudrillard juga menggarisbawahi bagaimana commodity fetishism “memanipulasi” keinginan konsumen. Konsumsi afternoon tea bukan lagi tentang kebutuhan dasar atau apresiasi terhadap rasa teh, tetapi tentang mengakses citra diri yang diasosiasikan dengan kelas atas. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme menciptakan hubungan sosial baru yang dimediasi oleh barang, di mana seseorang menilai dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan apa yang mereka konsumsi, bukan dari siapa mereka sebenarnya.
Industri yang menawarkan afternoon tea secara aktif membangun citra elite untuk mendorong konsumsi, menciptakan dinamika di mana kelas menengah atas berlomba mengadopsi gaya hidup mewah yang dipromosikan. Dengan memosisikan diri sebagai agen budaya yang mendikte selera dan norma sosial, pemilik modal diuntungkan oleh peningkatan konsumsi. Sementara itu, masyarakat kian terjebak dalam perlombaan simbolis demi meraih citra diri yang diidealkan.
Referensi
Dant, T. (1996). Fetishism and the Social Value of Objects. The Sociological Review, 44(3), 495–516. https://doi.org/10.1111/j.1467-954x.1996.tb00434.x
De Morais Sato, P., Gittelsohn, J., Unsain, R. F., Roble, O. J., & Scagliusi, F. B. (2015). The use of Pierre Bourdieu’s distinction concepts in scientific articles studying food and eating: A narrative review. Appetite, 96, 174–186. https://doi.org/10.1016/j.appet.2015.09.010
Regina Nopia Helnaz adalah mahasiswi magister Ilmu Susastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Sebelumnya pernah bekerja sebagai editor di penerbit buku anak.